Bagaimana jika seseorang batal wudhunya ketika sedang thowaf
Jawab :
Jika seseorang batal di tengah thowaf maka hendaknya ia berhenti sejenak untuk berwudhu kembali, setelah itu baru ia melanjutkan thowafnya dari tempat ia batal dan tidak perlu mengulang dari hajar aswad. Dan jika dalam kondisi sangat padat dan susah untuk pergi berwudhu dan kembali lagi thowaf, maka tidak mengapa ia melanjutkan sholatnya dan tidak harus membayar dam.
Detail :
Sebelumnya para ulama berselisih tentang apakah bersuci merupakan syarat sah thowaf?. Secara umum ada 3 pendapat :
Pertama : Bersuci merupakan syarat sah thowaf, dan ini adalah pendapat jumhur ulama (Malikiyah([1]), Syafiíyah([2]), dan Hanabilah([3])).
Kedua : Bersuci bukan merupakan syarat sah thowaf, akan tetapi hanya merupakan kewajiban thowaf. Artinya jika seseorang sengaja thowaf dalam kondisi berhadats/junub maka thowafnya sah akan tetapi ia harus bayar dam karena meninggalkan kewajiban. Ini adalah pendapat Hanafiyah([4])
Ketiga : Sekelompok ulama berpendapat bahwa bersuci dari hadats kecil adalah sunnah dalam thowaf, sehingga jika seseorang thowaf dalam kondisi berhadats kecil maka thowafnya sah dan tidak perlu bayar dam. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah([5]) dan al-Útsaimin([6]).
Dari khilaf di atas maka timbul khilaf lagi pada permasalahan yang sedang kita bahas, yaitu bagaimana jika seseorang di tengah-tengah thowaf batal wudhunya, apa yang harus ia lakukan ?.
Pendapat pertama : Pendapat Hanafiyah : Jika ia melanjutkan saja maka thowafnya sah hanya saja ia harus membayar dam. Jika ia mau melanjutkan maka ia berwudhu dan mengulangi lagi dari awal thowaf (dari putaran pertama). As-Sarokhsy berkata :
أَنَّ طَوَافَ الْمُحْدِثِ مُعْتَدٌّ بِهِ عِنْدَنَا، وَلَكِنَّ الْأَفْضَلَ أَنْ يُعِيدَهُ، وَإِنْ لَمْ يُعِدْهُ فَعَلَيْهِ دَمٌ
“Sesungguhnya thowaf orang yang berhadats adalah sah di sisi kami (madzhab Hanafiyah), akan tetapi yang lebih afdhol adalah ia mengulangi lagi. Jika ia tidak mengulangi thowaf maka ia wajib bayar dam” (al-Mabsuuth 4/38)
Pendapat kedua : Ia harus berwudhu kembali dan harus mengulangi dari awal (dari putaran pertama), dan ini adalah pendapat Malikiyah.
Al-Qorofi berkata :
وَمَنْ أَحْدَثَ فِي طَوَافِهِ قَاصِدًا أَوْ غَيْرَ قَاصِدٍ انْتَقَضَ طَوَافُهُ وَتَطَهَّرَ وَابْتَدَأَهُ
“Siapa yang berhadats dalam thowafnya baik sengaja maupun tidak sengaja maka batal-lah thowafnya dan ia bersuci lalu memulai lagi dari awal” (adz-Dzakhiiroh 3/249)
Al-Khirosyi berkata :
أَنَّهُ إذَا حَصَلَ فِي أَثْنَاءِ الطَّوَافِ حَدَثٌ عَمْدًا، أَوْ سَهْوًا أَيْ: سَاهِيًا عَنْ كَوْنِهِ فِي الطَّوَافِ، أَوْ غَلَبَةً فَإِنَّهُ يُبْطِلُهُ وَيَمْنَعُ مِنْ الْبِنَاءِ عَلَى مَا مَضَى مِنْ الْأَشْوَاطِ عَلَى الْمَشْهُورِ كَانَ الطَّوَافُ وَاجِبًا أَوْ تَطَوُّعًا
“Jika timbul hadats di tengah-tengah thowaf baik karena sengaja ataupun kelupaan, yaitu ia lupa kalau ia sedang thowaf, atau karena tidak bisa ia tahan lantas berhadats maka ia batalkan thowafnya, dan tidak boleh ia melanjutkan putaran-putaran sebelumnya, menurut pendapat yang masyhur, baik thowaf yang wajib ataupun sunnah” (Syarh Mukhtashor Kholil 2/314)
Pendapat ketiga : Jika batalnya ia sengaja maka ia berwudhu dan harus mulai lagi thowaf dari awal.
Namun jika ia batalnya tidak sengaja maka ia berwudhu dan boleh cukup mengulangi thowaf dari putaran yang ia batal.
Ibnu Qudamah berkata :
إذَا أَحْدَثَ عَمْدًا فَإِنَّهُ يَبْتَدِئُ الطَّوَافَ؛ لِأَنَّ الطَّهَارَةَ شَرْطٌ لَهُ، فَإِذَا أَحْدَثَ عَمْدًا أَبْطَلَهُ، كَالصَّلَاةِ، وَإِنْ سَبَقَهُ الْحَدَثُ، فَفِيهِ رِوَايَتَانِ: إحْدَاهُمَا، يَبْتَدِئُ أَيْضًا. وَهُوَ قَوْلُ الْحَسَنِ، وَمَالِكٍ، قِيَاسًا عَلَى الصَّلَاةِ. وَالرِّوَايَةُ الثَّانِيَةُ، يَتَوَضَّأُ، وَيَبْنِي. وَبِهَا قَالَ الشَّافِعِيُّ، وَإِسْحَاقُ
“Adapun jika ia sengaja berhadats maka ia mulai lagi thowafnya dari awal, karena bersuci adalha syarat thowaf. Maka jika ia sengaja berhadats maka ia batalkan thowafnya seperti sholat. Jika ia keduhuluan hadats (yaitu tidak sengaja) maka ada dua riwayat (dari Imam Ahmad), riwayat (1) ia mulai lagi dari awal, dan ini adalah pendapat al-Hasan dan Malik, diqiaskan dengan sholat. Dan riwayat ke (2) ia berwudhu dan melanjutkan dan ini adalah pendapat Syafií dan Ishaq” (Al-Mughni 3/357)
Pendapat keempat : Ia harus berwudhu dan tidak perlu mengulangi lagi dari awal, akan tetapi tinggal melanjutkan. Dan tidak dibedakan apakah hadatsnya karena sengaja ataupun tidak sengaja. Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i.
Asy-Syirozi berkata :
وَإِنْ أَحْدَثَ وَهُوَ فِي الطَّوَافِ تَوَضَّأَ وَبَنَى
“Jika ia berhadats tatkala thowaf makai a berwudhu dan ia melanjutkan (thowafnya)” (al-Muhaddzab 1/408, dan lihat Al-Majmuu’, An-Nawawi 8/48)
Pendapat kelima : Jika ia berhadats maka ia boleh melanjutkan thowafnya tanpa harus berwudhu, karena bersuci dalam thowaf hukumnya sunnah dan tidak wajib. Dan ini adalah pendapat Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata :
وَاَلَّذِينَ أَوْجَبُوا الْوُضُوءَ لِلطَّوَافِ لَيْسَ مَعَهُمْ حُجَّةٌ أَصْلًا فَإِنَّهُ لَمْ يَنْقُلْ أَحَدٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا بِإِسْنَادِ صَحِيحٍ؛ وَلَا ضَعِيفٍ أَنَّهُ أَمَرَ بِالْوُضُوءِ لِلطَّوَافِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّهُ قَدْ حَجَّ مَعَهُ خَلَائِقُ عَظِيمَةٌ وَقَدْ اعْتَمَرَ عُمَرًا مُتَعَدِّدَةً وَالنَّاسُ يَعْتَمِرُونَ مَعَهُ فَلَوْ كَانَ الْوُضُوءُ فَرْضًا لِلطَّوَافِ لَبَيَّنَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيَانًا عَامًّا وَلَوْ بَيَّنَهُ لَنَقَلَ ذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ عَنْهُ وَلَمْ يُهْمِلُوهُ وَلَكِنْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ {أَنَّهُ لَمَّا طَافَ تَوَضَّأَ} . وَهَذَا وَحْدَهُ لَا يَدُلُّ عَلَى الْوُجُوبِ فَإِنَّهُ قَدْ كَانَ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ وَقَدْ قَالَ إنِّي كَرِهْت أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ إلَّا عَلَى طُهْرٍ فَيَتَيَمَّمُ لِرَدِّ السَّلَامِ
“Dan mereka yang mewajibkan wudhu untuk thowaf tidak memiliki argumentasi sama sekali, karena tidak seorangpun yang menukil dari Nabi shallallahlu álaihi wasallam baik dengan sanad yang shahih demikian juga sanad yang lemah bahwasanya beliau memerintahkan berwudhu untuk thowaf. Padahal yang berhaji bersama beliau jumlah manusia yang sangat banyak. Demikian pula beliau telah berumroh berulang-ulang dan orang-orang berumroh bersama beliau. Jika wudhu wajib untuk thowaf tentu Nabi shallallahu álaihi wasallam akan menjelaskannya dengan penjelasan umum. Jika Nabi menjelaskannya tentu kaum muslimin akan menukil hal tersebut dari beliau dan tidak akan dilalaikan. Akan tetapi yang valid dalam hadits yang shahih bahwasanya “Nabi shallallahu álaihi wasallam tatkala beliau thowaf beliau berwudhu”. Dan dalil ini saja tidak cukup untuk menunjukan kewaiban. Karena Nabi selalu berwudhu setiap kali sholat, dan beliau berkata, “Sesungguhnya aku benci untuk berdzikir kepada Allah kecuali dalam kondisi suci”. Maka Nabipun bertayammum untuk menjawab salam” (Majmuu’Al-Fataawa 21/273)
Mengingat kuatnya khilaf para ulama di atas, maka seseorang jika batal wudhunya ketika thowaf maka hendaknya ia berwudhu lalu kembali lagi melanjutkan thowafnya, selama jedanya tidak lama. Namun jika jedanya lama maka lebih baik ia mengulangi lagi thowafnya dari awal([7]). Namun jika kondisi sangat padat dan sangat sulit bagi seseorang untuk keluar berwudhu dan kembali lagi, terutama ia thowafnya bersama rombongan maka tidak mengapa ia melanjutkan saja thowafnya meskipun dalam kondisi berhadats. Karena mewajibkan seseorang yang dalam kondisi demikian untuk berwudhu dengan dalil yang tidak tegas dan jelas maka kurang tepat([8])
FOOTNOTE:
===
([1]) Lihat Syarh Mukhtashor Kholil, Al-Khrosyi 2/313-314
([2]) Lihat al-Muhaddzab, Asy-Syirozi 1/403
([3]) Lihat al-Mughni, Ibnu Qudaamah 3/357
([4]) Lihat al-Mabsuuth, As-Sarokhsi 4/38
([5]) Lihat Majmuu’ Al-Fataawa 21/273
([6]) Lihat Asy-Syarh al-Mumti’ 7/260
([7]) Sebagaimana ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab syafi’iyah (lihat al-Majmuu’, An-Nawawi 8/48)