Bolehkah menggabungkan thowaf ifadhoh dengan thowaf wadaa’?
Tidak diragukan lagi bahwa amalan-amalan haji merupakan amalan yang berat yang mendatangkan keletihan bagi para jema’ah haji, terutama bagi kaum wanita. Karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan haji dan umroh sebagai jihad bagi kaum wanita.
Terlebih lagi di zaman sekarang ini dimana jama’ah haji yang jumlahnya begitu banyak dan berjubel-jubel, terutama pada pelaksanaan thowaf. Mathoof (areal thowaf) terasa begitu sempit dan sesak. Dan seorang yang melaksanakan haji tamattu’ maka ia wajib melakukan 3 kali thowaf, thowaf umroh, thowaf haji/ifadhoh/ziarah, dan thowaf wadaa’ (perpisahan).
Sebagian jama’ah haji mengakhirkan thowaf ifadhohnya lalu mengerjakannya sebelum mereka meninggalkan kota Mekah, dan mereka menggabungkan thowaf Ifadhoh dengan towaf Wadaa’. Jadi hanya sekali thowaf dengan niat thowaf Ifadhoh tapi sudah mencukupkan bagi thawaf wadaa’. Bagaimanakah hukumnya ??
Para ulama telah berselisih tentang permasalahan ini, yang akar permasalahannya kembali kepada :
1) Apakah thowaf wadaa’ adalah ibadah khusus yang dimaksudkan oleh syari’at, ataukah thowaf wadaa’ tidak dimaksudkan secara khusus, akan tetapi yang penting sebelum meninggalkan kota Mekah melakukan thowaf?
Hal ini sebagaimana sholat tahiyyatul Masjid, yang bukan merupakan ibadah khusus yang dimaksudkan, akan tetapi yang penting sebelum duduk di mesjid telah melakukan sholat dua raka’at. Karenanya barang siapa yang maksud mesjid langsung melakukan sholat dua raka’at (seperti shalat qobliyah, atau sholat sunah wudhu atau sholat istikhoroh yang ia kerjakan di mesjid, atau langsung sholat subuh dua raka’at atau sholat yang lebih dari dua raka’at seperti sholat maghrib, duhur, ashar, dan isya’) maka setelah melaksanakan sholat tersebut ia tidak perlu lagi sholat tahiyyatul masjid. Karena tujuan dari sholat tahiyyatul masjid telah tercapai, yaitu tidak duduk di mesjid kecuali setelah sholat dua raka’at.
Pertama : Bagi para ulama yang memandang bahwa thowaf wadaa’ merupakan ibadah khusus yang dimaksudkan oleh syari’at maka mereka memandang bahwa thowaf ifadhoh tidak boleh digabungkan dengan thowaf wada’. Sebagaimana juga pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa suatu kewajiban tidak bisa mewakili kewajiban yang lain. Ini juga kembali kepada bahwa amal kewajiban yang lain tersebut memang dimaksudkan oleh syari’at untuk dikerjakan. Dan ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah.
Ibnu Nujaim Al-Hanafi (wafat 970 H) berkata :
لَوْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ، وَصَلَّى الْفَرْضَ أَوْ الرَّاتِبَةَ دَخَلَتْ فِيهِ التَّحِيَّةُ، وَلَوْ طَافَ الْقَادِمُ عَنْ فَرْضٍ، وَنَذْرٍ دَخَلَ فِيهِ طَوَافُ الْقُدُومِ بِخِلَافِ مَا لَوْ طَافَ لِلْإِفَاضَةِ لَا يَدْخُلُ فِيهِ طَوَافُ الْوَدَاعِ؛ لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا مَقْصُودٌ وَمَقْصُودَهُمَا مُخْتَلِفٌ
“Kalau ia masuk masjid lalu sholat fardu atau sunnah rawatib maka telah masuk ke dalamnya sholat tahiyyatul masjid, dan jika seseorang yang datang ke Mekah lalu melakukan thowaf karena kewajiban atau karena nadzar maka telah masuk ke dalamnya thowaf qudum. Hal ini berbeda kalau seandainya ia thowaf thowaf ifadhoh maka thowaf wadaa’ tidak masuk kedalamnya, karena masing-masing dari keduanya dimaksudkan (oleh syari’at) dan tujuan keduanya berbeda” (Al-Asybaah wa An-Nadzooir 112, dengan hawasyi Syaikh Zakariya Emiroot, Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah)
Abul Hasan Ali bin Al-Husain As-Sugdiy (wafat 461 H) berkata :
وأما طواف الوداع فهو عند النفر فيطوف بالبيت سبعا بلا رمل ويخرج ولا يلبث فإن ترك طواف الزيارة وطاف للوداع فإنه يقوم مقام طواف الزيارة وعليه دمان دم لتأخيره طواف الزيارة ودم لفوات طواف الوداع في قول أبي حنيفة وفي قول أبي يوسف ومحمد عليه دم واحد لفوات طواف الوداع وليس عليه شيء لتأخير طواف الزيارة
“Adapun thowaf wadaa’ maka dilakukan tatkala hendak pergi, maka iapun thowaf di ka’bah tujuh kali tanpa melakukan roml. Lalu ia pergi dan tidak tinggal di Mekah. Jika ia meninggalkan thowaf ziaroh/ifadhoh dan ia melakukan thowaf wadaa’ maka jadilah thowaf wadaa’ nya menggantikan posisi thowaf ifadhoh, akan tetapi wajib baginya dua dam, pertama dam karena mengakhirkan thowaf wadaa’, dan kedua dam karena tidak melakukan thowaf wadaa’. Dan dalam satu pendapat Abu Hanifah, dan satu pendapat Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibaani : hanya wajib baginya satu dam saja yaitu kerena meninggalkan thowaf wadaa’, dan ia tidak wajib bayar dam karena mengakhirkan thowaf ifadhoh” (An-Nutaf fi Al-Fataawa, tahqiq : DR Sholahuddiin An-Naahi, 1/210)
Pendapat inilah juga yang dipilih oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah, beliau berkata :
وهناك قاعدة أنه لا يغني واجب عن واجب، وقد يغني واجب عن مستحب، والسؤال الآن هل يمكن أن يستغني الحاج بطواف الإفاضة عن طواف الوداع؟، نقول لو كان طواف الوداع سنة كنا نقول يكفي أن ينوي في قلبه الفرض وهو طواف الإفاضة ويزيد على ذلك نية أخرى هي أداء سنة طواف الوداع، هذا على افتراض أن طواف الوداع سنة، ولكن طواف الوداع واجب أمر به النبي – صلى الله عليه وآله وسلم – وفارق بينه وبين طواف الإفاضة فجعل طواف الإفاضة لابد للمرأة الحائض لو حاضت لابد لها من أن تتأخر وأن لا تطوف وهي حائض مهما طال بها الحيض حتى تتطهر وتطوف طواف الإفاضة طاهراً، أما طواف الوداع فقد أسقط الشارع الحكيم وجوبه عن المرأة الحائض تخفيفاً من ربها عنها، فإذن لا يجوز الإكتفاء بطواف الإفاضة عن طواف الوداع، لأن كل منهما واجب وأحدهما أوجب من الآخر وهو طواف الإفاضة.
“Di sana ada sebuah kaidah yaitu, “Suatu kewajiban tidak bisa mewakilkan kewajiban yang lain, dan bisa jadi suatu kewajiban mencukupkan suatu yang mustahab”. Pertanyaan sekarang, apakah mungkin seorang haji mencukupkan untuk melakukan thowaf ifadhoh dan sudah cukup mewakilkan thowaf wadaa’?. Kami katakan kalau seandainya thowaf sunnah maka kami katakan cukup baginya untuk sebelumnya berniat untuk melaksanakan thowaf wajib yaitu thowaf ifadhoh dan ditambah dengan niat yang yang lain yaitu untuk melaksanakan thowaf wadaa’, ini kalau seandainya thowaf wadaa’ sunnah. Akan tetapi thowaf wadaa’ hukumnya wajib, diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, dan Nabi membedakan antara thowaf wadaa’ dan thowaf ifadhoh. Beliau menjadikan thowaf ifadhoh harus dikerjakan oleh wanita yang haid, kalau haid maka ia harus menunggu (hingga suci) dan ia tidak boleh thowaf dalam keadaan haid meskipun haidnya lama hingga ia suci lalu melakukan thowaf ifadhoh dalam kondisi suci. Adapun thowaf wadaa’ maka Allah –Yang membuat syari’at, Yang Maha Bijak – telah menggugurkan kewajiban thowaf wadaa’ dari wanita haid sebagai keringanan dari Robnya.
Jika perkaranya demikian maka tidak boleh hanya sekedar mencukupkan dengan thowaf ifadoh untuk mewakili thowaf wadaa’. Karena masing-masing thowaf tersebut hukumnya wajib, dan salah satunya lebih wajib dari yang lain, yaitu thowaf ifadhoh” (www.alalbany.net/?wpfb_dl=917)
Kedua : Bagi para ulama yang memandang bahwa analogi thowaf wadaa’ seperti analogi sholat tahiyyatul masjid maka mereka memandang bahwa thowaf ifadhoh yang diakhirkan dan dikerjakan menjelang meninggalkan kota Mekah sudah cukup mewakili thowaf wadaa’.
Syaikh Bin Baaz rahimahullah berkata :
لو أن إنساناً أخر طواف الإفاضة فلما عزم على السفر طاف عند سفره بعدما رمى الجمار وانتهى من كل شيء، فإن طواف الإفاضة يجزئه عن طواف الوداع، وإن طافهما – طواف الإفاضة وطواف الوداع – فهذا خير إلى خير، ولكن متى اكتفى بواحد ونوى طواف الحج أجزأه ذلك.
“Kalau seandainya seseorang mengakhirkan thowaf ifadhoh, dan tatkala ia hendak bersafar lalu iapun thowaf, yaitu setelah ia melempar jamaroot, dan telah selesai dari segala sesuatu, maka thowaf ifadhoh sudah mencukupkan baginya (mewakili) thowaf wadaa’. Dan jika ia melakukan kedua thowaf tersebut, yaitu thowaf ifadhoh dan thowaf wadaa’ maka ini adalah kebaikan menuju kebaikan. Akan tetapi barang siapa yang mencukupkan hanya melakukan satu saja dengan niat thowa haji (tahowaf ifadhoh) maka sudah cukup.” (http://www.binbaz.org.sa/mat/3737)
Syaikh Ibnu Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
إن نوى طواف الوداع فقطْ لم يُجزئْ عن طواف الإفاضة؛ لأن طواف الوداع واجبٌ وطوافَ الإفاضة رُكنٌ، بل إنَّ طواف الوداع سنةٌ عند كثيرٍ من العلماء وطوافَ الإفاضة ركنٌ، وإن نوى طواف الإفاضةِ فقد أجزأ عن الوداع؛ لأنه أعلى منه، ولأنَّ المقصود بطواف الوداع أن يكون آخر عهده بالبيت؛ وقد حصل، فيجزئه طواف الإفاضة عن طواف الوداع، كما تجزئ الفريضةُ في المسجد عن تحيَّة المسجد. وقال: إن نواهما جميعًا جاز؛ لعموم قول النبي – صلى الله عليه وعلى آله وسلم -:إنما الأعمالُ بالنيَّاتِ، وإنما لكُلِّ امرئٍ ما نوى
“Jika ia berniat thowaf wadaa’ saja maka tidak mencukupkan thowaf ifadoh, karena thowaf wadaa’ wajib sedangkan thowaf ifaadhoh rukun haji. Bahkan banyak ulama yang menganggap thowaf wadaa’ hanya sunnah sedangkan thowaf ifadhoh rukun. Jika ia meniatkan thowaf ifadhoh maka sudah mencukupkannya dari thowaf wadaa’ karena thowaf ifadhoh lebih tinggi (kedudukannya) dari pada thowaf wadaa’. Dan juga karena tujuan dari thowaf wadaa’ adalah kegiatan akhirnya adalah (thowaf) di ka’bah, dan tujuan tersebut telah ia dapatkan, maka cukup dia kerjakan thowaf ifadhoh mewakili thowaf wadaa’. Sebagaimana sholat wajib sudah mencukupkan dari sholat tahiyyatul masjid. Dan jika meniatkan kedua-duanya (sekaligus) maka diperbolehkan karena keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung niatnya, dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan” (silahkan lihat di : http://www.alukah.net/World_Muslims/10829/8237/#ixzz2f2bk1n2f)
2) Jika kita menyatakan bolehnya menggabungkan thowaf ifadhoh dengan thowafa wadaa’, maka ada dua bentuk permasalahan :
– Jika yang menggabungkan thowaf ifadhoh/thowaf haji/thowaf ziaraoh tersebut adalah seorang haji ifrod atau haji qiron yang sebelumnya mereka telah melakukan sa’i haji setelah thowaf qudum, maka hal ini tidak menimbulkan permasalahan. Karena setelah mereka thowaf mereka langsung keluar dari Mekah dan tidak ada manasik haji lainnya yang mereka lakukan lagi. Jadi benar-benar thowaf adalah kegiatan manasik yang terakhir mereka lakukan. Dan apa yang mereka lakukan sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
لاَ يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ الطَّوَافَ بِالْبَيْتِ
“Janganlah salah seorang dari kalian meninggalkan (Mekah) hingga kegiatan terakhirnya adalah thowaf di ka’bah” (HR Muslim no 1327, Abu Dawud no 2004, dan Ibnu Majah no 3070)
– Jika yang menggabungkan thowaf ifadhoh dengan thowaf wadaa’ adalah seorang haji yang mutamatti’, maka ada permasalahan yang timbul. Yaitu setelah melakukan thowaf ifadhoh ia masih harus melakukan sa’i haji, sehingga dengan demikian kegiatan manasik haji terakhirnya bukanlah thowaf tetapi sa’i. Lantas apakah thowaf ifadhohnya tersebut bisa mewakili thowaf wadaa’?. Para ulama di sinipun terbagi menjadi dua pendapat :
Pertama : Sebagian ulama memandang bahwa thowaf ifadhoh tersebut tidak bisa mewakili thowaf wada’ karena manasik terakhir yang dilakukan adalah sa’i dan bukan thowaf. Ini adalah pendapat madzhab Syafi’iyah dan sebagian ulama Hanbali.
Badruddin Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Mantsuur fi Al-Qowaa’id berkata :
فإن قلت: هل يصح -السعي- بعد طواف الوداع؟ قلت: هذا مغالطة، لأن طواف الوداع لا يصح قبل إتمام المناسك فكيف يصح قبل السعي
“Jika engkau berkata : “Apakah sah sa’i yang dilakukan setelah thowaf wadaa’?.’ Aku katakana : “Ini merupakan kengawuran, karena thowaf wadaa’ tidaklah sah sebelum menyelesaikan seluruh manasik haji, maka bagaimana bisa sah thowaf wadaa’ sebelum sa’i ?” (Al-Mantsuur fi AL-Qowaa’id, 3/404, tahqiq : DR Taisir Faiq Ahmad Mahmud, Wizaarotul Auqoow Al-Kuwaitiyah, cetakan ke 2)
Ar-Rofi’i berkata
غير أنه لا يتصور وقوع السعي بعد طواف الوداع فإن طواف الوداع هو الواقع بعد أعمال المناسك فإذا بقى السعي عليه لم يكن الماتى به طواف الوداع
“Hanya saja tidaklah tergambarkan dilaksanakannya sa’i setelah thowaf wadaa’, karena thowaf wadaa’ itulah yang dikerjakan setelah seluruh amalan-amalan manasik haji, jika ternyata masih tersisa sa’i yang harus ia kerjakan (setelah thowaf wadaa’), maka thowaf yang dikerjakan tersebut bukanlah thowaf wadaa’…” (Al-‘Aziiz Syarh Al-Wajiiz, li Ar-Roofi’i 7/348)
Zakariya Al-Anshoori berkata :
يَجِبُ على الصَّبِيِّ إذَا بَلَغَ بِعَرَفَةَ إعَادَتُهُ كما سَيَأْتِي فَإِنْ أَخَّرَهُ إلَى ما بَعْدَ طَوَافِ الْوَدَاعِ لم يُعْتَدَّ بِوَدَاعِهِ لِأَنَّهُ إنَّمَا يُؤْتَى بِهِ بَعْدَ الْفَرَاغِ وَاذَا بَقِيَ السَّعْيُ لم يَكُنْ الْمَأْتِيُّ بِهِ طَوَافَ وَدَاعٍ
“Wajib bagi seorang anak (yang sudah mendahulukan sa’i haji setelah thowaf qudum-pen) jika ternyata balig (dewasa) ketika di ‘Arofah untuk mengulangi sa’i hajinya–sebagaimana akan datang penjelasannya-. Dan jika ia mengakhirkan sa’i nya hingga setelah thowaf wadaa’ maka thowaf wadaa’nya tidak teranggap, karena thowaf wadaa’ hanyalah dikerjakan setelah selesai (dari seluruh amalan manasik haji-pen), dan jika setelah thowaf wadaa’ masih tersisa sa’i maka thowaf yang dikerjakan tersebut bukanlah thowaf wadaa’…” (Asna Al-Mathoolib li Syaikil Islam Zakariya Al-Anshoori, 1/484-485)
Dan ini juga dzohir dari pendapat sebagian ulama madzhab Hanbali, Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
ووقته بعد فراغ المرء من جميع أموره، ليكون آخر عهده بالبيت على ما جرت به العادة في توديع المسافر إخوانه وأهله، ولذلك قال النبي صلى الله عليه وسلم: حتى يكون آخر عهده بالبيت
“Dan waktu pelaksanaan thowaf wadaa’ adalah setelah seseorang selesai dari seluruh urusannya, agar kegiatan terakhirnya adalah thowaf sebagaimana kebiasaan yang berlaku bagi seorang musafir yang hendak mengucapkan selamat tinggal terhadap saudara-saudaranya dan keluarganya. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hingga akhir kegiatannya adalah thowaf di ka’bah” (Al-Mughni 3/489, cetakan Darul Fikr, Beirut)
Kedua : Sebagian ulama yang lain memandang bahwa thowaf ifadhoh tersebut sudah cukup mewakili thowaf wadaa’, karena meskipun setelah thowaf masih melakukan sa’i, akan tetapi sa’i tersebut adalah kegiatan/pemisah yang sebentar sehingga tidak mengapa. Ini merupakan pendapat madzhab Malikiyah, sebagian ulama Hanbali, dan juga sebagian ulama Syafi’iyyah.
Kholil bin Ishaaq Al-Jundi berkata :
وَتَأَدَّى بِالإِفَاضَةِ وَالْعُمْرَةِ
“Dan Thowaf al-Wadaa’ terkerjakan dengan thowaf ifadhoh dan thowaf umroh” (Mukhtashor Al-Kholil hal 71)
Ahmad Ad-Dardiir menjelaskan perkataan Al-Kholil ini dengan berkata :
(وتأدى) الوداع (بالافاضة و) بطواف (العمرة) أي سقط طلبه بهما ويحصل له ثواب طواف الوداع إن نواه بهما
“Yaitu thowaf wadaa’ terkerjakan dengan thowaf ifadhoh dan thowaf umroh, yiatu thowaf wadaa’ gugur dengan mengerjakan kedua thowaf tersebut (yaitu thowaf ifadhoh dan thowaf umroh), dan ia mendapatkan pahala thowaf wadaa’ jika ia meniatkan thowaf wadaa’ bersamaan dengan kedua thowaf tersebut” (Asy-Syarh Al-Kabiir 2/53)
Dan kita tahu bahwasanya seseorang tatkala mengerjakan umroh, ia akan mengerjakan thowaf dan sa’i, akan tetapi menurut madzhab Malikiyah sa’i tersebut tidaklah mempengaruhi thowaf umroh menempati posisi sebagai thowaf wadaa’ (perpisahan) karena sa’i hanyalah sebentar.
Ahmad Ash-Shoowi berkata
قَوْلُهُ : [ وَتَأَدَّى طَوَافُ الْوَدَاعِ ] إلَخْ : أَيْ لِأَنَّهُ لَيْسَ مَقْصُودًا لِذَاتِهِ ، بَلْ لِيَكُونَ آخِرَ عَهْدِهِ مِنْ الْبَيْتِ الطَّوَافُ ، وَلَا يَكُونُ السَّعْيُ بَعْدَهُ طُولًا حَيْثُ لَمْ يَقُمْ بَعْدَهُ إقَامَةً تَقْطَعُ حُكْمَ التَّوْدِيعِ
“Perkataan Al-Kholil (Dan Thowaf Wadaa’ terkerjakan dengan …dst) maksudnya adalah : Karena thowaf wadaa’ bukanlah dimaksudkan secara dzatnya, akan tetapi maksudnya adalah agar kegiatan terakhirnya sebelum berpisah dari ka’bah adalah thowaf, dan tidaklah sa’i setelah thowaf tersebut panjang, dimana sa’i setelah thowaf tidaklah menduduki posisi iqomah (menetap) yang memotong hukum perpisahan” (Bulghot As-Saalik Li Aqrobi Al-Masaalik, karya Ahmad Ash-Shoowi, tahqiq : Muhammad Abdus Salaam Syaahin, Daarul Kutub al-‘Ilmiyah 2/454)
Demikian juga sebagian ulama madzhab Syafi’iyah berpendapat demikian. An-Nawawi berkata :
قال صاحب البيان قال الشيخ أبو نصر يجوز لمن أحرم بالحج من مكة إذا طاف للوداع لخروجه إلى منى أن يقدم السعي بعد هذا الطواف قال وبمذهبنا هذا قال ابن عمر وابن الزبير والقاسم بن محمد وقال مالك وأحمد وإسحق لا يجوز ذلك له وإنما يجوز للقادم. دليلنا أنه إذا جاز ذلك لمن أحرم من خارج مكة جاز للمحرم منها
“Dan pemilik kitab Al-Bayaan berkata : “Telah berkata Asy-Syaikh Abu Nashr : Boleh bagi siapa yang berihrom dengan haji dari Mekah untuk melakukan thowaf wadaa’ jika hendak keluar ke Mina, boleh baginya untuk melakukan sa’i setelah thowaf”. Ia berkata, “Dan yang sependapat dengan pendapat kami ini adalah Ibnu Umar, Ibnu Az-Zubair, Al-Qoosim bin Muhammad. Imam Malik dan Ahmad berkata : Hal ini (sa’i setelah thowaf wadaa’) hanyalah boleh bagi orang yang ihromnya dari luar kota Mekah. Dan dalil kami, yaitu jika diperbolehkan bagi orang yang ihromnya dari luar Mekah, maka demikian pula boleh bagi orang yang berihrom (haji) dari dalam Mekah” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 8/72-73)
An-Nawawi mengomentari :
هذا نقل صاحب البيان ولم أر لغيره ما يوافقه وظاهر كلام الاصحاب أنه لا يجوز السعي إلا بعد طواف القدوم أو الاضافة
“Penukilan dari pemilik kitab “Al-Bayaan” aku tidak melihat selain dia yang menyetujui pendapatanya tersebut. Dan dzohir dari pendapat para ulama madzhab Syafi’iyyah adalah tidak bolehnya sa’i kecuali setelah thowaf qudum atau thowaf ifadhoh” (Al-Majmuu’ 8/73)
Dalam kitab fikih madzhab Hanbali (Hasyiyat Raudl Al-Murbi’ 4/114) disebutkan :
ولو أخر ذلك إلى ما بعد طواف الإفاضة جاز، فإن الحج فيه ثلاثة أطوفة…طواف القدوم…وطواف الإفاضة… والطواف الثالث هو لمن أراد الخروج من مكة وهو طواف الوداع، وإذا سعى عقب واحد منها أجزأه
“Dan jika ia mengakhirkan sa’i setelah thowaf ifadhoh maka boleh. Karena di haji ada tiga thowaf…, thowaf qudum…, thowaf ifadhoh…, dan thowaf yang ketiga adalah untuk orang yang hendak keluar dari Mekah, yaitu thowaf wadaa’. Jika ia melakukan sa’i setelah salah satu dari tiga thowaf tersebut maka tidak mengapa”
Pendapat Yang Terkuat
Pendapat yang kuat adalah thowaf ifadhoh tetap bisa mewakilkan thowaf wadaa’ meskipun setelah thowaf ifadhoh masih ada amalan sa’i haji. Dalilnya adalah kisah umrohnya Aisyah radhiallahu ‘anhaa tatkala ditemani oleh saudaranya Abdurrahman bin Abi Bakr radhiallahu ‘anhuma. Yang dimana umroh tersebut dilakukan Aisyah tatkala ia bersafar berhaji dari Madinah ke Mekah bersama Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, akan tetapi haji Aisyah adalah haji qiron, setelah itu sebelum beliau balik ke Madinah bersama Nabi beliau melakukan umroh dengan sekali thowaf (yaitu thowaf umroh) setelah itu beliau melakukan sa’i umroh, setelah umroh beliau langsung pulang menuju ke Madinah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa melakukan thowaf wadaa’ lagi. Hal ini menunjukkan bahwa thowaf umroh beliau sudah mencukupkan sehingga tidak perlu lagi melakukan thowaf wadaa’, dan sa’i umroh yang beliau lakukan tidaklah membatalkan wadaa’ beliau, karena sa’i tersebut adalah kegiatan yang sebentar dan tidak dianggap seperti orang yang akan tinggal di Mekah.
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam shahihnya berkata :
بَابٌ المعتمرُ إِذَا طَافَ طَوَافَ الْعُمْرَةِ ثُمَّ خَرَجَ هَل يُجْزِئُهُ مِنْ طَوَافِ الْوَدَاعِ؟
“Bab : Seorang yang umroh jika melakukan thowaf umroh apakah sudah mencukupkan mewakili thowaf wadaa’?”
Setelah itu beliau membawakan sebuah hadits tentang kisah umroh Aisyah radhiallahu ‘anhaa, dimana Aisyah berkata :
فَدَعَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ فَقَالَ اُخْرُجْ بِأُخْتِكَ الْحَرَمَ فَلْتُهِلَّ بِعُمْرَةٍ ثُمَّ افْرُغَا مِنْ طَوَافِكُمَا أَنْتَظِرُكُمَا هَا هُنَا فَأَتَيْنَا فِي جَوْفِ اللَّيْلِ فَقَالَ فَرَغْتُمَا؟ قُلْتُ : نَعَمْ، فَنَادَى بِالرَّحِيْلِ فِي أَصْحَابِهِ فَارْتَحَلَ النَّاسُ وَمَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ ثُمَّ خَرَجَ مُوَجّهًا إِلَى الْمَدِيْنَةِ
“Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Abdurrahman (bin Abi Bakr) lalu beliau berkata, “Bawalah saudara perempuanmu (yaitu Aisyah binti Abi Bakr) ke luar haram lalu hendaknya Aisyah berihrom untuk umroh, lalu selesailah kalian berdua dari thowaf kalian dan aku menunggu kalian berdua di sini”. (Setelah selesai umroh-pen) kamipun mendatangi Nabi di tengah malam. Lalu Nabi berkata, “Apakah kalian berdua sudah selesai (dari umroh kalian)?”, Aku (Aisyah) berkata, “Iya”. Lalu Nabi mengungumkan kepada para sahabatnya untuk bersafar (pulang meninggalkan Mekah-pen). Maka orang-orang pun bersafar demikian juga orang-orang yang thowaf di ka’bah sebelum sholat subuh, lalu Nabipun keluar menuju ke Madinah” (HR Al-Bukhari no 1788)
Sangat jelas dalam hadits ini bahwasanya Aisyah hanya melakukan umroh, dan thowaf umrohnya sudah mewakili thowaf wadaa’ nya, meskipun setelah thowaf umrohnya beliau masih melakukan sa’i umroh, akan tetapi sa’i tersebut tidak mempengaruhi wadaa’ (perpisahan) beliau dari ka’bah dengan thowaf umrohnya.
Ibnu Hajar berkata :
ويستفاد من قصة عائشة أن السعي إذا وقع بعد طواف الركن إن قلنا إن طواف الركن يغني عن طواف الوداع أن تخلل السعي بين الطواف والخروج لا يقطع أجزاء الطواف المذكور عن الركن والوداع معا
“Dan diambil faedah dari kisah Aisyah bahwasanya sa’i jika dilakukan setelah thowaf rukun –jika kita mengatakan bahwa thowaf rukun sudah mencukupkan thowaf wadaa’- bahwasanya dilakukannya sa’i antara thowaf dengan keluar (dari Mekah) tidaklah memotong/membatalkan bagian-bagian thowaf tersebut dari rukunnya dan wadaa’ nya sekaligus” (Fathul Baari 3/612)
Maksud Ibnu Hajar adalah sa’i tersebut tidak membatalkan thowaf tersebut tetap sebagai thowaf rukun/thowaf umroh sekaligus sebagai thowaf wadaa’.
Bahkan dalam riwayat yang lain disebutkan setelah Aisyah menemui Nabi, maka Nabipun berangkat melakukan thowaf sebelum subuh baru beliau pulang ke Madinah. Thowaf yang dilakukan Nabi tersebut adalah thowaf wadaa’ (lihat penjelasan Al-Haafiz Ibnu Hajar di Fathul Baari 3/613). Padahal Aisyah hanya menunggu Nabi dan tidak ikut Nabi untuk thowaf wadaa’, karena Aisyah sudah melakukan thowaf umroh yang mewakili thowaf wadaa’.
Juga menguatkan pendapat ini bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah thowaf wadaa’ (sebelum subuh) beliau ingin keluar dari Mekah (Masjidil Harom) akan tetapi ternyata istri beliau Ummu Salamah belum thowaf wadaa’ karena sakit. Akhirnya Nabi menunggu Ummu Salamah, dan beliaupun memimpin sholat subuh di masjidil haram sementara Ummu Salamah melakukan thowaf wadaa’. Hal ini menunjukan bahwa sholat subuh di Masjidil Harom juga tidak membatalkan thowaf wadaa’, padahal bacaan Nabi tatkala sholat subuh bacaan yang panjang. Beliau membaca surat At-Thuur. (lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ 7/370)