Shalat Khauf
Penjelasan
Shalat khauf adalah shalat fardhu yang dikerjakan apabila kaum muslimin sedang berada dalam keadaan perang, melawan musuh atau berjaga jaga dari serangan musuh. ([1])
Shalat khauf bukanlah shalat yang berdiri sendiri seperti halnya shalat ied atau yang lain, shalat khauf adalah cara melaksanakan shalat wajib lima waktu dalam keadaan kondisi tadi secara berjama’ah.
Syariat shalat khauf telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Allah Ta’āla berfirman:
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu”. ([2])
Adapun dalil dari sunnah, maka sangat banyak. Akan kita sebutkan dalam pembahasan tata cara shalat khauf.
Syariat Shalat Khauf berlaku sampai akhir zaman dan tidak dimansukh. ([3])
Shalat khauf boleh dilaksanakan dalam semua bentuk peperangan selama bukan dalam kemaksiatan, seperti berperang melawan orang kafir harbi, melawan orang yang ingin membunuh kaum muslimin atau ingin merampas hartanya. Boleh juga dilakukan karena lari dari hewan buas.([4])
Hikmah
Di antara hikmah disyariatkan shalat khauf adalah untuk meringankan kaum muslimin agar dapat melaksanakan ibadah dan tetap waspada serta tidak lengah terhadap musuh.
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. ([5])
kaki atau mengendarai tunggangan, menghadap ke kiblat maupun tidak”. ([6])
Macam-Macam Ketakutan
Dari dalil dalil diatas kita dapat simpulkan bahwa ketakutan terbagi menjadi dua sifat :
Pertama: Ketakutan yang ringan, disebutkan dalam ayat:
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu”. ([7])
Ini adalah ketakutan yang masih memungkinkan kaum muslimin melakukan shalat secara berjama’ah. Maka mereka harus melakukan shalat khauf dengan cara berjama’ah, sebagaimana telah dijelaskan cara-caranya dari cara pertama sampai keenam, tergantung bagaimana yang terbaik dari segi keamanan dan penjagaan dari musuh.
Kedua: Ketakutan yang berat, sebagaimana dalam ayat:
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا
“Jika kamu dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan”. ([8])
Ini adalah ketakutan yang menyebabkan kaum muslimin tidak dapat melaksanakan shalat secara berjama’ah, karena perang yang sedang berkecamuk. Maka kaum muslimin shalat sendiri-sendiri semampu mereka sebagaimana pada cara ketujuh.
Syarat mengerjakan shalat khauf
Dalam peperangan yang mubah
Shalat khauf boleh ditegakkan apabila terjadi di peperangan yang diwajibkan atau dibolehkan oleh syariat, seperti perang melawan kafir harbi, perang melawan pemberontak, atau memerangi orang yang ingin pertumpahan darah kaum muslimin.
Dalilnya adalah sebagai berikut:
1- Dari Al Qur’an
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
“Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. ([9])
2- Rukhsah (keringanan) tidak boleh bercampur dengan kemaksiatan. ([10])
3- Shalat khauf itu rukhsah, dan rukhsah boleh dilakukan dalam hal mubah sebagaimana dibolehkan dalam hal-hal yang wajib. ([11])
Yakin adanya musuh
Maka apabila sekelompok orang melihat bayangan hitam lalu mengira itu adalah musuh dan mereka melakukan shalat khauf, lalu ternyata itu bukan musuh maka mereka wajib mengulangi shalat. Ini juga disepakati jumhur ulama’([12])
Dalilnya adalah sebagai berikut :
1- Dari Al Qur’an
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. ([13])
2- Siapapun yang meninggalkan kewajiban dalam shalat dengan prasangka yang tidak benar, maka ia wajib mengulangi. Sebagaimana hadits seorang yang berwudhu lalu ia lupa mengusap kedua kakinya dan dia melaksanakan shalat, setelah itu ingat bahwa dia belum mengusap kakinya, maka dia wajib mengulangi shalatnya. ([14])
Tata cara Shalat Khauf
Shalat khauf bermacam-macam caranya. Nabi telah melaksanakannya di berbagai kesempatan dengan cara yang berbeda-beda, tergantung mana lebih baik dalam melaksanakan shalat dan lebih aman untuk berjaga-jaga. Sehingga walaupun bentuknya berbeda-beda tetapi maknanya sama. ([15])
- Cara Pertama ([16])
Cara yang pertama ini disebut cara shalat khauf Dzaatur Riqa’, karena Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam melakukannya dalam perang tersebut. Di perang inilah shalat khauf pertama kali disyariatkan.
Perincian tata caranya adalah sebagai berikut:
- Imam membagi jamaah menjadi dua kelompok, kelompok pertama shalat bersama imam dan yang kedua menghadap musuh.
- Imam shalat bersama kelompok tersebut satu raka’at.
- Setelah mereka menyelesaikan rakaat pertama, mereka menyempurnakan shalat sendiri-sendiri sedangkan imam tetap berdiri. ([17])
- Kelompok yang telah selesai shalat menggantikan kelompok yang berjaga, adapun yang tadi berjaga sekarang shalat bersama imam.
- Imam shalat bersama kelompok kedua satu raka’at.
- Saat imam tasyahud, kelompok ini menyempurnakan sholat sampai tasyahud bersama imam.
- Setelah mereka semua tasyahud, imam menutup shalat dengan salam.
- Cara Kedua
Cara ini dilakukan apabila musuh berada di arah kiblat, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah. ([18]) Cara yang kedua ini disebut shalat khauf ‘Usfan karena Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam melakukannya di perang tersebut.
Tata caranya sebagai berikut:
- Imam membagi jamaah menjadi dua shaf ke belakang.
- Imam memulai shalat dari bertakbiratul ihram sampai bangkit dari rukuk bersama seluruh jamaah.
- Imam turun untuk sujud bersama shaf depan saja, sedangkan shaf yang di belakang berjaga-jaga.
- Setelah imam beserta shaf depan selesai dan sudah berdiri, maka shaf belakang melakukan sujud.
- Selesai sujud, shaf belakang maju ke depan dan shaf depan mundur ke belakang.
- Imam memulai raka’at kedua, sampai rukuk dan bangkit dari rukuk bersama seluruh jamaah.
- Setelah bangkit, imam sujud bersama shaf yang sekarang berada di depan (tadi pada rakaat pertama di belakang), sedangkan shaf yang di belakang berdiri berjaga-jaga.
- Saat imam dan shaf depan bertasyahud, barulah shaf belakang sujud sampai mereka bertasyahud semua, lalu imam salam bersama semua makmum.
- Cara Ketiga
Cara yang ketiga adalah imam shalat dengan sebagian jamaah secara sempurna dua rakaat lalu salam, lalu imam shalat dengan jamaah lainnya sempurna dua rakaat lalu salam. ([19])
Cara yang ketiga ini disebut dengan shalat khauf Bathnu Nakhlah, karena Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam melakukannya di sana.
- Cara Keempat
Imam membagi jamaah menjadi dua dan imam sholat bersama tiap kelompok satu raka’at. ([20])
Perincian tata cara keempat:
- Imam membagi jamaah menjadi dua, sekelompok sholat bersamanya dan kelompok yang lain menghadap musuh.
- Imam shalat dengan kelompok yang pertama satu rakaat penuh.
- Setelah sempurna satu rakaat, kelompok pertama menggantikan posisi kelompok kedua menghadap musuh.
- Imam shalat dengan kelompok kedua satu rakaat, lalu salam.
- Lalu kedua kelompok tersebut menyempurnakan shalat mereka masing masing.
- Cara Kelima
Imam akan shalat dengan satu kelompok satu raka’at, dengan kelompok yang lain satu raka’at, mereka semua takbir bersama imam dan salam setelah imam. ([21])
Perincian tata caranya adalah:
- Imam membagi jamaah menjadi dua kelompok, satu kelompok shalat bersama imam dan yang lain menghadap musuh
- Imam memulai shalat dengan takbiratul ihram diikuti oleh semua jama’ah, baik yang shalat dan yang menjaga
- Imam shalat dengan kelompok pertama satu raka’at lalu mereka bergantian dengan yang menghadap musuh
- Setelah mereka datang ke barisan shalat mereka shalat satu raka’at masing masing sedangkan imam tetap berdiri menunggu mereka
- Setelah mereka selesai mereka shalat bersama imam satu raka’at lalu duduk
- Lalu yang mengahdap musuh datang ke barisan shalat dan rukuk lalu sujud dan imam beserta yang bersamanya tetap duduk
- Setelah mereka semua duduk maka imam salam diikuti semua jama’ah
- Cara Keenam (Mengerjakan Shalat Semampunya)
Apabila telah datang waktu sholat, tetapi kaum muslimin tidak dapat melaksanakan shalat secara berjama’ah; misalnya karena musuh terlalu banyak dan pertempuran memakan waktu lama sehingga mereka sulit untuk melaksanakan shalat berjama’ah, maka mereka shalat sendiri-sendiri sesuai yang mereka mampu. Baik dalam keadaan berdiri, berjalan ataupun sedang mengendarai hewan tunggangan, baik mereka menghadap kiblat maupun tidak. Ini adalah pendapat jumhur ulama’.([22])
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
“Jika kamu dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan”. ([23])
Ibnu Umar menjelaskan:
فَإِنْ كَانَ خَوْفٌ أَشَدُّ مِنْ ذَلِكَ صَلَّوْا رِجَالا قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ، أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةِ، أَوْ غَيْرِ مُسْتَقْبِلِيهَا
“Apabila ketakutan yang terjadi luar biasa maka mereka shalat dalam keadan berjalan diatas
Permasalahan
Shalat Khauf tidak dilakukan dengan qashar apabila tidak dalam safar
Shalat khauf tidak selalu dikerjakan dengan cara qashar. Dalam keadaan muqim maka dikerjakan sesuai jumlah raka’at shalatnya, apabila shalat dhuhur maka empat raka’at, ashar empat raka’at maghrib tiga raka’at dan seterusnya. Karena shalat khauf disyariatkan saat kondisi ketakutan, bukan kerena sebab safar. ([24])
Dan perlu diketahui bahwa shalat khauf boleh dikerjakan selama diperlukan, walaupun tidak dalam keadaan safar. ([25])
Melaksanakan Shalat Jum’at dengan shalat khauf
Apabila dalam suatu daerah terjadi pertempuran lalu tiba waktu shalat jum’at, maka shalat jum’at boleh dilaksanakan dengan cara shalat khauf, baik dengan cara yang dilakukan Nabi di perang dzaatur riqa (cara pertama) maupun dengan cara yang kedua.
Namun apabila menggunakan cara yang pertama disyaratkan:
- Imam berkhutbah kepada seluruh jama’ah lalu membaginya menjadi dua kelompok, atau imam berkhutbah kepada suatu kelompok lalu membagi kelompok itu menjadi dua kelompok lagi dengan jumlah empat puluh orang atau lebih. Jika imam berkhutbah dengan suatu kelompok, tetapi shalat dengan kelompok yang lain, maka tidak sah.
- Jumlah kelompok yang pertama harus lebih dari empat puluh orang, apabila kurang maka shalat jum’atnya tidak sah. Adapun kelompok yang kedua, maka tidak diwajibkan lebih dari empat puluh.
Namun apabila imam telah berkhutbah dan ingin mengerjakan shalat dengan cara yang kedua maka ini lebih baik. ([26])
Membawa senjata saat shalat khauf
Membawa senjata pada saat shalat khauf lebih baik, tidak dianjurkan meletakkan senjata kecuali ada udzur, misalnya: sakit, hujan dan yang lainnya. ([27])
Allah azza wa jalla berfirman:
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ… وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ ۖ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata… Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu”. ([28])
Tetapi jika senjata diletakkan saat shalat khauf maka shalat itu tidak batal, karena bukan termasuk pembatal shalat atau meninggalkan rukunnya.
Juga diperbolehkan bagi orang yang sedang melaksanakan shalat khauf untuk memukul, menusuk dan lain lain. karena inilah tujuan dari membawa senjata saat shalat. Gerakan tersebut tidak membatalkan shalat karena ada udzur. ([29])
Sujud sahwi saat shalat khauf
Dalam shalat khauf, kelompok pertama wajib sujud sahwi apabila terjadi kesalahan pada raka’at pertama, ketika mereka shalat bersama imam. Akan tetapi apabila imam melakukan kesalahan setelah mereka berpisah di raka’at kedua maka mereka tidak sujud sahwi, karena mereka telah berpisah dengan imam dan menyempurnakan shalat mereka sendiri.
Adapun untuk kelompok yang kedua, maka mereka mengikuti imam, baik terjadi kesalahan di raka’at pertama ataupun kedua. Karena kelompok kedua hukumnya sama dengan hukum orang yang masbuq dalam shalat, dan mereka salam dengan salam imam juga, maka mereka sujud sahwi apabila imam sujud di akhir shalatnya. ([30])
Keadaan berubah aman ketika shalat khauf
Apabila sedang melakukan shalat khauf lalu keadaan berubah menjadi aman, maka shalat disempurnakan seperti halnya shalat dalam keadaan aman. Apabila seorang sedang menunggangi hewan dan tidak menghadap kiblat maka ia turun dan menyempurnakan shalatnya dengan menghadap kiblat seperti saat dalam keadaan aman.
Demikian sebaliknya, orang yang sedang shalat dalam keadaan aman dengan mengerjakan semua rukun dan kewajiban-kewajibannya, lalu keadaan berubah menjadi sulit dan menakutkan, maka dia boleh melaksanakannya dangan cara shalat khauf. ([31])
Meringankan bacaan pada shalat khauf
Imam Syafi’i mengatakan: Imam membaca surat Al fatihah di shalat khauf, dan surat pendek seukuran Al A’la atau atau semisalnya untuk meringankan keadaan perang dan karena beratnya membawa senjata. Jika ia membaca surat Al-Ikhlas atau yang semisalnya pada rakaat pertama maka tidak aku benci. ([32])
Apakah wajib berwudhu ketika shalat khauf ?
Wudhu adalah syarat sahnya semua shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Karena Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda :
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Tidaklah diterima shalat salah seorang di antara kalian apabila ber-hadats sampai dia berwudhu.” ([33]) Apabila tidak ada air maka boleh bertayamum.
Bolehkan berbicara dalam shalat khauf?
Orang yang sedang melaksanakan shalat tidak boleh berbicara, dan ini berlaku dalam semua shalat termasuk shalat khauf. ([34])
FOOTNOTE:
([1]) Kifayah At-Thalib Ar-Rabbani oleh Abu Al-Hasan Al-Maliki
([3]) Ini adalah pendapat fuqaha empat, mayoritas ulama dan bahkan dinukil ijma’ dalam hal ini. (Lihat Bada’i Shana’i 1/242, Ad-Dzakhirah Al-Qarrafi 2/437, Al-Majmu’ An-Nawawi 4/404, Al-Mughni 2/297)
([4]) Lihat Raudhatut Thalibin (2/62)
([6]) HR. Bukhari 8/199 dan Muslim 1/574. Imam Al Bukhari menambahkan bahwa Imam Malik berkata: Aku mengira Ibnu Umar tidak mengatakan ini kecuali dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam.
Imam Nawawi menjelaskan: “Imam Syafi’I berkata bahwa Ibnu Umar telah meriwayatkannya dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, maka tidak diwajibkan kepada orang yang shalat dalam keadaan berjalan untuk menghadap kiblat seperti orang yang mengendara, walaupun itu dalam takbiratul ihram, rukuk, sujud dan tidak wajib juga menempelkan keningnya ke tanah, karena hal itu bisa membahayakan”. (Raudhatut Thalibin 2/273)
As-Sarakhsi menerangkan: “Mereka tidak wajib mengerjakan shalat secara berjama’ah saat menunggangi hewan, karena ada batas jalan di antara mereka dan imam, sehingga mereka terhalang dari mengikuti imam yang sah”. (Mabsuth karya As-Sarakhsi 2/49)
Begitu juga orang yang berada dalam pesawat tempur, apabila telah datang waktu shalat dan tidak memungkinkan untuk melaksanakannya di daratan karena sempitnya waktu, maka dia shalat di pesawatnya sesuai kemampuannya, baik itu menghadap kiblat atau tidak.
([10]) Lihat Al-Majmu’ oleh An-Nawawi 4/402
([11]) Lihat Al-Hawi Al-Kabir karya Al Mawardi 2/476
([12]) Lihat Al Mughni 2/311, Al-Majmu’ oleh An-Nawawi 4/431, Badai’u Ash-Shanai’ oleh Al-Kasani 1/245
([15]) Lihat penjelasan Al-Khatthabi dalam Maalimus Sunan 1/269
([16]) Ini adalah cara yang tercantum dalam Surat An-Nisa : 102. “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu], dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.”
Cara ini juga selaras dengan hadits berikut:
عَنْ صَالِحِ بْنِ خَوَّاتٍ، عَمَّنْ صَلَّى مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم، يَوْمَ ذَاتِ الرِّقَاعِ، صَلاَةَ الْخَوْفِ؛ أَنَّ طَائِفَةً صَفَّتْ مَعَهُ، وَصَفَّتْ طَائِفَةٌ وِجَاهَ الْعَدُوِّ. فَصَلَّى بِالَّتِي مَعَهُ رَكْعَةً. ثُمَّ ثَبَتَ قَائِماً، وَأَتَمُّوا لِأَنْفُسِهِمْ. ثُمَّ انْصَرَفُوا. فَصَفُّوا وِجَاهَ الْعَدُوِّ. وَجَاءَتِ الطَّائِفَةُ الْأُخْرَى، فَصَلَّى بِهِمُ الرَّكْعَةَ الَّتِي بَقِيَتْ مِنْ صَلاَتِهِ. ثُمَّ ثَبَتَ جَالِساً، وَأَتَمُّوا لِأَنْفُسِهِمْ، ثُمَّ سَلَّمَ بِهِمْ.
“Dari Shalih bin Khawwaat, dari seorang yang sholat khauf bersama Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam saat perang Dzaat Ar Riqaa’, bahwasannya sekelompok orang sholat bersama beliau dan yang lain menghadap musuh, beliau shalat bersama mereka satu raka’at lalu beliau tetap berdiri, dan mereka menyempurnakan masing masing. Lalu mereka pergi menghadap musuh dan yang lain shalat bersama beliau satu raka’at, lalu beliau duduk dan mereka menyempurnakan masing-masing, lalu beliau salam.” (HR Bukhari No. 4129 dan Muslim No. 842)
Ini adalah cara yang paling mudah, sahabat yang dimaksud dalam sanad hadits tersebut adalah Sahl bin Abi Hatsmah, cara ini adalah yang dipilih Imam Ahmad bin Hambal karena sesuai dengan Al Qur’an, beliau juga mengakui tata cara yang lain karena semua hadits yang shahih tentang shalat khauf boleh dipraktekkan. (Al-Mughni 2/306)
([17]) Ulama’ berbeda pendapat tentang apa yang dilakukan imam saat menunggu kelompok yang kedua:
Imam Syafi’i mengatakan dalam salah satu qaul beliau, bahwa imam diam saat menunggu, sampai kelompok yang kedua datang, agar sama antara kelompok pertama dan kedua.
Ibnu Qudamah mengatakan: Dalil kami adalah dalam shalat tidak ada kondisi diam dan qiyam adalah untuk membaca, maka hendaknya melakukan apa yang semestinya, sebagaimana ketika menunggu dalam tasyahud, maka bertasyahud juga dan tidak diam, ini sama saja. (Al-Mughni 2/405)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما قَالَ : شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْخَوْفِ فَصَفَّنَا صَفَّيْنِ: صَفٌّ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَالْعَدُوُّ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ ، فَكَبَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَبَّرْنَا جَمِيعًا ، ثُمَّ رَكَعَ وَرَكَعْنَا جَمِيعًا ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ وَرَفَعْنَا جَمِيعًا ، ثُمَّ انْحَدَرَ بِالسُّجُودِ وَالصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ ، وَقَامَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ فِي نَحْرِ الْعَدُوِّ ، فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السُّجُودَ وَقَامَ الصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ انْحَدَرَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ بِالسُّجُودِ وَقَامُوا ، ثُمَّ تَقَدَّمَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ وَتَأَخَّرَ الصَّفُّ الْمُقَدَّمُ ، ثُمَّ رَكَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَكَعْنَا جَمِيعًا ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ وَرَفَعْنَا جَمِيعًا ، ثُمَّ انْحَدَرَ بِالسُّجُودِ وَالصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ الَّذِي كَانَ مُؤَخَّرًا فِي الرَّكْعَةِ الأُولَى ، وَقَامَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ فِي نُحُورِ الْعَدُوِّ، فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السُّجُودَ وَالصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ انْحَدَرَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ بِالسُّجُودِ ، فَسَجَدُوا ، ثُمَّ سَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَلَّمْنَا جَمِيعًا
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu, ia berkata: “Aku melaksanakan shalat khauf bersama Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam maka kami membuat dua shaf di belakang beliau dan musuh berada di antara kami dan kiblat, Nabi bertakbir (takbiratul ihram) maka kami bertakbir, lalu beliau rukuk dan kami rukuk, lalu beliau berdiri dari rukuk dan kami juga berdiri, lalu beliau sujud beserta shaf yang ada di belakang beliau (shaf depan) sementara shaf yang di belakang berdiri menghadap musuh. Ketika beliau selesai sujud dan shaf yang di belakang beliau sudah berdiri, maka shaf yang berada di belakang sujud lalu berdiri dan maju ke shaf yang di depan, sedangkan shaf yang tadi di depan mundur ke belakang. Lalu Nabi rukuk dan kami semua rukuk, lalu beliau bangkit dari rukuk maka kami pun bangkit, lalu beliau sujud bersama shaf yang berada di belakangnya yang di rakaat pertama berada di belakang, sedangkan shaf yang berada di belakang berdiri menghadap musuh. Ketika Nabi selesai sujud beserta shaf yang di belakang beliau, maka shaf yang berada di belakang melakukan sujud, lalu Nabi salam dan mereka salam”. (HR Muslim No. 840)
([19]) Berdasarkan hadits Jabir:
أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى بطائفة من أصحابه ركعتين، ثم سلم، ثم صلى بآخرين أيضًا ركعتين، ثم سلم
“Bahwasanya Nabi shalat dengan sebagian sahabatnya dua rakaat lalu salam lalu shalat dengan sebagian yang lain dua raka’at juga lalu salam.” (HR An-Nasa’I No. 1552 hadits ini dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhoif Sunan An-Nasa’i).
Dan hadits Abu Bakrah:
صلى النبي صلى الله عليه وسلم في خوفٍ الظهر فصف بعضهم خلفه وبعضهم بإزاء العدو، فصلى بهم ركعتين ثم سلم، فانطلق الذين صلوا معه فوقفوا موقف أصحابهم، ثم جاء أولئك فصلوا خلفه، فصلى بهم ركعتين، ثم سلم، فكانت لرسول الله صلى الله عليه وسلم أربعًا، ولأصحابه ركعتين
“Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat khauf di waktu dhuhur, maka sebagian sahabat membuat shaf di belakang beliau dan yang lain menghadap musuh, Nabi shalat bersama mereka dua raka’at lalu salam, lalu yang baru saja shalat bersama beliau pergi dan menggantikan posisi yang lain (untuk berjaga jaga), lalu kelompok yang lain shalat di belakang Nabi dan beliau shalat bersama mereka dua rakaat lalu salam. Sehingga Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam shalat empat rakaat dan para sahabat beliau shalat dua raka’at”. (HR Abu Dāwud No. 1248 hadits ini dishahihkan oleh syaikh Al-Albani Shahih wa Dhoif Sunan Abu Dāwud).
([20]) Berdasarkan hadits Abdullah bin Umar:
حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما، قال: غزوت مع النبي – صلى الله عليه وسلم – قِبَل نجدٍ فوازينا العدو، فصاففناهم، فقام رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يصلي لنا، فقامت طائفة معه وأقبلت طائفة على العدو، فركع رسول الله – صلى الله عليه وسلم – بمن معه وسجد سجدتين، ثم انصرفوا مكان الطائفة التي لم تصلِّ، فجاؤوا فركع رسول الله – صلى الله عليه وسلم – بهم ركعة وسجد سجدتين، ثم سلَّم، فقام كل واحد منهم فركع لنفسه ركعة وسجد سجدتين وفي لفظ لمسلم: (ثم سلم النبي – صلى الله عليه وسلم -، ثم قضى هؤلاء ركعة وهؤلاء ركعة) وفي لفظ لمسلم أيضًا: (ثم قضت الطائفتان: ركعة ركعة)
“Aku berperang bersama Nabi menghadap ke Najed dan kami searah dengan musuh, lalu Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam shalat bersama kami, maka sekelompok shalat bersama beliau dan sekelompok menghadap musuh, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam rukuk bersama mereka lalu beliau sujud dua kali, lalu mereka pergi ke tempat kelompok yang belum shalat, mereka datang dan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam rukuk dan sujud dua kali bersama mereka lalu beliau salam. Mereka masing-masing berdiri lalu menyempurnakan rukuk dan sujud dua kali”. Dalam riwayat Muslim: “Lalu Nabi salam dan mereka masing-masing mengqadha satu rakaat”. Dan dalam riwayat muslim juga: “Lalu kedua kelompok tersebut mengqadha satu rakaat satu rakaat”. (HR. Bukhāri No. 942, 4133 dan Muslim No. 839)
Al Hafid Ibnu Hajar berkata:
Zahir hadits ini menunjukkan bahwa mereka menyempurnakan shalat dalam satu waktu, ada kemungkinan bergiliran dan ini adalah yang rajih, karena apabila tidak, hilanglah fungsi berjaga-jaga saat mereka shalat. Ini dikuatkan dengan hadits riwayat Abu Dāwud dari hadits Ibnu Mas’ud: “Lalu Nabi salam dan mereka berdiri, yaitu kelompok kedua, untuk menyempurnakan satu rakaat sendiri-sendiri, lalu mereka pergi dan kelompok pertama datang, lalu menyempurnakan satu rakaat dan salam”. Akan tetapi Ar-Rafi’i dan yang lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dalam hadits Ibnu Umar ini adalah setelah itu kelompok kedua kembali lagi berjaga, sedangkan kelompok pertama menyempurnakan shalat, setelah itu barulah kelompok kedua menyempurnakan shalat. (Fathul Bari 2/431)
([21]) Berdasarkan hadits Abu Hurairah:
عن أبي هُرَيرَةَ أنَّها قامتْ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم طائفةٌ، وطائفةٌ أخرى مقابلَ العدوِّ، وظهورهم إلى القِبلة؛ فكبَّر فكبَّروا جميعًا الذين معه، والذين مقابلَ العدوِّ، ثم ركَع ركعةً واحدةً ركعت الطائفةُ التي معه، ثم سَجَد فسجَدتِ التي تليه, والآخرون قيامٌ مقابلَ العدوِّ، ثم قام وقامت الطائفة التي معه, فذهبوا إلى العدوِّ وقابلوهم, وأقبلتِ الطائفةُ التي كانت مقابلَ العدوِّ، فركعوا وسجدوا، ورسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قائمٌ كما هو، ثم قاموا فرَكع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ركعةً أخرى، فركعوا معه، وسجَدَ وسجَدُوا معه، ثم أقبلتِ الطائفةُ التي كانتْ مقابلَ العدوِّ فركعوا وسجَدوا، ورسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قاعدٌ ومَن معه، ثم كان السَّلامُ، فسَلَّمَ وسلَّموا جميعًا، فكان لرسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ركعتانِ؛ وللقومِ لكلِّ طائفةٍ ركعتانِ
“Bahwasanya sekelompok orang pernah melaksanakan shalat khauf bersama Nabi dan sebagian dari mereka menghadap musuh membelakangi kiblat. Maka Nabi bertakbir (takbiratul ihram) maka yang shalat bersama nabi bertakbir dan juga yang menghadapi musuh, lalu beliau rukuk dan juga orang orang yang shalat bersamanya lalu Nabi sujud dan mereka sujud, sedangkan yang lain menghadap musuh lalu yang shalat bersama nabi berdiri dan menggantikan mereka yang mnghadap musuh, lalu mereka rukuk dan sujud sedangkan Nabi tetap berdiri, setelah sempurna satu raka’at nabi shalat bersama mereka satu raka’at, mereka pun rukuk dan sujud, lalu datanglah mereka yang menghadap musuh lalu rukuk dan sujud sedangkan Nabi dan yang lain tetap duduk, lalu salam, maka mereka semua salam. Maka Nabi shalat dua raka’at dan setiap kelompok juga shalat dua raka’at”. (HR. Abu Dāwud No. 1240, An-Nasa’i No. 1543 dan Ahmad No. 8243 hadits ini dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dāwud dan Shahih Sunan An-Nasa’i)
([22]) Sebagian ulama berpendapat bolehnya mengakhirkan shalat apabila ketakutan sangat mencekam, apabila para mujahid tidak bisa lagi memahami apa yang mereka katakan karena pertempuran yang sangat berkecamuk. Ini adalah pendapat Imam Bukhari, sebagian ulama’ madzhab hambali, dan juga Al-Auza’i. Ini juga pernah dilakukan sahabat pada zaman Umar radhiallahu anhu ketika Perang Tustar, mereka mengakhirkan shalat subuh sampai waktu dhuha.
Dan ini juga dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu, beliau menjelaskan bolehnya shalat khauf apabila ketakutan tersebut sangat mencekam dan seseorang tidak dapat menyadari apa yang dia katakan. Beliau juga menjelaskan bahwa mengakhirkan shalat yang pernah nabi lakukan tidaklah mansukh, tetapi masih berlaku dalam keadaan darurat yang memaksa untuk melakukan itu. Lalu beliau berkata: Kita di sini tidak dapat merasakannya secara pasti, karena yang tahu adalah orang yang berada dalam medan peperangan. (Syarh Al Mumti’ 4/586).
([24]) Sehingga dapat difahami sebagai berikut:
Pertama: Keringanan pada rukun rukun shalat dan jumlah rakaat, apabila terkumpul rasa takut dan safar.
Kedua: Keringanan pada jumlah rakaat saja apabila safar dan tidak ada rasa takut.
Ketiga: Keringanan pada rukun-rukunnya saja apabila takut tapi tidak safar. (Lihat Zaadul Ma’ad 1/529)
Imam Al Hafidz Ibnul Mundzir menjelaskan jika shalat tersebut dalam keadaan tidak qashar: “Shalat khauf dikerjakan dalam keadaan muqim dengan cara imam membagi dua kelompok, dia shalat dengan kelompok pertama dua rakaat lalu dia duduk tasyahud, mereka menyempurnakan sendiri lalu pergi, kemudian kelompok satunya shalat bersama imam dua raka’at, lalu imam tetap duduk saat mereka menyempurnakan tanpa imam, jika mereka duduk tasyahud maka imam salam bersama mereka. Apabila dalam shalat maghrib, maka imam shalat dengan kelompok pertama dua raka’at dan kelompok kedua satu raka’at dengan cara ini pula”. (Al-Iqna’ oleh Ibnu Mundzir 1/123)
Al Khiraqi rahimahullah berkata: “Apabila shalat khauf tersebut maghrib, maka imam shalat dengan kelompok pertama dua raka’at, dan kelompok tersebut menyempurnakan shalat sendiri tanpa imam, cukup membaca Al-Fatihah saja, lalu imam shalat dengan kelompok kedua satu raka’at, lalu kelompok ini juga menyempurnakan sendiri dua raka’at sisanya, dengan membaca Al-Fatihah dan surat pendek”. (Al-Mughni 3/309)
([25]) Akan tetapi Imam Malik berpendapat harus safar, beliau mengatakan bahwa tidak boleh shalat khauf dalam keadaan muqim, karena ayat menunjukkan bahwa shalat tersebut dua raka’at, sedangkan shalat muqim empat rakaat, dan karena Nabi belum pernah melakukannya dalam keadaan muqim. Akan tetapi jumhur ulama’ mengingkari hal itu, karena ayatnya bersifat umum dan Nabi tidak melakukannya karena beliau sedang tidak butuh untuk melakukannya. (Al Mughni 3/305, lihat juga keterangan Imam Syafi’i dalam Al-Umm 1/244)
([26]) Raudhatut Thalibin 2/57. Penyebutan minimal 40 orang ini hanya berlaku bagi pendapat yang mensyaratkan batas minimal sahnya shalat jumat adalah 40 orang.
Imam Syafi’i berkata: “Hendaknya imam tidak meninggalkan shalat jum’at, shalat ied maupun shalat khusuf apabila mungkin mengerjakan shalat dan tetap berjaga-jaga, ia mengerjakan shalat sebagaimana mengerjakan shalat shalat wajib dengan cara shalat khauf”. (Al-Umm oleh Imam Syafi’I 1/260)
([27]) Imam Syafi’I berkata: “Aku lebih suka jika orang yang shalat khauf membawa senjata, selama tidak najis, tidak mengganggu shalatnya atau mengganggu orang lain”. (Al-Hawi Al-Kabir 2/467)
Imam Nawawi menjelaskan dalam bahwa syarat disunnahkannya membawa senjata dalam shalat khauf ada empat: yang pertama adalah senjata tersebut suci, maka tidak boleh membawa senjata yang terdapat sesuatu yang najis, yang kedua tidak menghalanginya untuk melakukan rukun shalat, misalnya helm perang yang menghalangi keningnya dari tempat sujud, yang ketiga tidak mengganggu orang yang shalat di sebelahnya, dan yang keempat adalah apabila ditakutkan akan terjadi bahaya apabila dia meninggalkan senjatanya. (Raudhatut Thalibin 2/60)
Bagi orang yang melaksanakan shalat di atas hewan tunggangan, ia juga diperbolehkan memegang tali kekangnya. (Al-Umm oleh Imam Syafi’i 1/256)
([30]) Raudhatut thalibin 2/58, Al Mughni karya Ibnu Qudamah 2/406. Lihat perincian masalah ini dalam Al-Umm 1/246.
Imam Syafi’i berkata: “Apabila imam melakukan kesalahan pada rakaat pertama, dia memberi isyarat pada makmum dengan sesuatu yang bisa mereka fahami bahwa ia lupa, jika mereka mengqadha maka mereka sujud sahwi kemudian salam. Apabila imam tidak lupa tetapi mereka yang lupa setelah berpisah dengan imam, maka mereka sujud karena lupa mereka. Adapun kelompok yang lain sujud bersama imam karena imam lupa di raka’at pertama”. (Lihat Al Haawi Al Kabir 2/469)
([31]) Lihat Al-Haawi Al Kabir 2/471
([32]) Al-Umm oleh Imam Syafi’i 1/245
([33]) HR Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225
([34]) Imam Syafi’i berkata: “Apabila musuh datang dan seseorang berbicara sebab kehadiran musuh tersebut sementara dia dalam shalat, maka shalatnya batal. Tapi apabila dia lupa bahwa dia sedang shalat, maka dia tetap melanjutkan shalat dan nanti melakukan sujud sahwi”. (Al Umm karya Imam Syafi’i 1/247)