Hukum Shalat Jum’at
Shalat jumat hukumnya fardhu ‘ain dan ini ditetapkan oleh Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’.
Adapun dari Al-quran firman Allah subhanahu wa ta’ala:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ}
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” ([1])
Adapun dari As-Sunnah dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“(Shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah kecuali bagi empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.” ([2])
Dan juga terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkannya secara sengaja tanpa udzur, Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, keduanya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ketika beliau memegang tongkat di mimbarnya:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ
“Hendaklah orang yang suka meninggalkan shalat jumat menghentikan perbuatannya. Atau jika tidak, Allah akan menutup hati-hati mereka, kemudian mereka benar-benar akan tergolong ke dalam orang-orang yang lalai.” ([3])
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga kali karena lalai terhadap shalat tersebut, Allah akan tutupi hatinya.” ([4])
Adapun Ijma’ maka kaum muslimin sepakat akan wajibnya shalat jum’at, dan tidak ada yang berkeyakinan tidak wajibnya shalat jum’at.
Hikmah disyariatkan Shalat Jum’at
Allah mensyariatkan waktu-waktu yang banyak untuk berkumpul, di antaranya: berkumpul untuk melaksanakan shalat lima waktu setiap hari, berkumpul ketika shalat dua hari raya, shalat jum’at, ketika haji dan umroh. Sungguh Agama Islam sangat bersemangat dalam mengumpulkan kaum muslimin untuk bersatu dalam niat, perkataan, hati, dan badan. Karena di dalamnya terdapat sesuatu yang menimbulkan rasa cinta antara kaum muslimin, juga terdapat kewibawaan dan kekuatan.
Syarat Wajib Shalat Jum’at
Pertama: Muslim, adapun orang kafir tidak wajib untuk melaksanakan shalat jumat, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas, Dari Ibnu Abbas bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus Muadz ke Yaman, lalu beliau bersabda kepadanya:
ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ…..
“Ajaklah mereka (penduduk Yaman) untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sungguh aku adalah utusan Allah, jika mereka menaatinya, maka beritahukan mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka lima shalat dalam sehari semalam…. “ ([5])
Sisi pendalilannya adalah bahwa orang kafir, yang pertama kali wajib dilaksanakan adalah mengucapkan dua kalimat syahadat (untuk masuk Islam) kemudian melaksanakan kewajiban-kewajiban yang lain.
Kedua: Lelaki
Ketiga: Tidak ada udzur. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“(Shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah kecuali bagi empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.” ([6])
Dari perkataan Rasulullah ketika mengatakan tidak wajibnya bagi wanita menunjukan mafhum dari kebalikannya bahwasanya lelaki wajib untuk melaksanakan shalat jum’at.
Juga disebutkan bahwa orang yang sakit tidak wajib melaksanakan shalat jum’at. Hal ini dikarenakan sakit termasuk udzur syar’i yang membolehkan seseorang tidak mengikuti shalat jum’at, bukan berarti pembatasan udzur tersebut hanya untuk orang yang sakit saja, tetapi semua udzur yang menyebabkan seseorang kesulitan untuk mendatangi shalat jum’at maka masuk ke dalamnya.
Keempat: Mukallaf, yaitu bukan anak kecil ataupun orang gila berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ ”
“Telah diangkat pena dari tiga golongan: dari orang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia baligh, dan dari orang gila sampai ia sadar.” ([7])
Kelima: Orang merdeka (bukan budak)
Keenam: Berdomisili dalam suatu daerah.
Golongan Tidak Wajib Shalat Jum’at
Pertama: Musafir
لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ
“Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir.” ([8])
Akan tetapi dikatakan bahwa hadits di atas dho’if ([9]), namun walaupun dhoif para ulama sepakat bahwa shalat Jum’at tidak wajib bagi musafir. Berkata Ibnu Qudamah membawakan perkataan Ibnul Mundzir:
أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ لَا جُمُعَةَ عَلَى النِّسَاءِ. وَلِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَيْسَتْ مِنْ أَهْلِ الْحُضُورِ فِي مَجَامِعِ الرِّجَالِ، وَلِذَلِكَ لَا تَجِبُ عَلَيْهَا جَمَاعَةٌ. وَأَمَّا الْمُسَافِرُ فَأَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ أَنَّهُ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِ كَذَلِكَ
“Telah sepakat semua orang yang kami ketahui dari kalangan ahli ilmu bahwasanya shalat jum’at tidak wajib bagi wanita, karena wanita bukan termasuk bagian dari orang-orang yang hadir di perkumpulan-perkumpulan para lelaki, karena itu tidak wajib baginya melaksanakan shalat jum’at. Adapun musafir, kebanyakan ulama memandang tidak wajib juga baginya melaksanakan shalat jum’at.” ([10])
Kedua: Wanita
Berdasarkan hadits thoriq Bin Syihab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“(Shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah kecuali bagi empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.” ([11])
Begitu juga berdasarkan ijma’ para ulama, di antaranya:
– Ibnul Mundzir: “Mereka (para ulama) sepakat tidak (wajib) shalat jum’at untuk wanita.” ([12])
– Al-Khotthoby: “Fuqaha telah sepakat bahwa para wanita tidak (wajib) shalat jum’at.” ([13])
– Ibnu Batthol: “Mereka (para Ulama) sepakat bahwa shalat jum’at tidak wajib bagi para wanita.” ([14])
– Ibnu Qudamah: “Adapun wanita, maka tidak ada perselisihan bahwa tidak (wajib) jum’at baginya.” ([15])
Ketiga: Budak
- Berdasarkan hadits Thoriq Bin Syihab di atas: “(Shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah kecuali bagi empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.”
- Dan juga ini disepakati oleh para Imam Madzhab. ([16])
- Karena dia sudah tersibukkan dengan berkhidmah pada tuannya.
Keempat: Orang yang tidak mukallaf, yaitu belum baligh dan tidak berakal seperti anak kecil dan orang gila.
1- Berdasarkan hadits Ali:
رُفِعَ القلمُ عن ثلاثةٍ: عن النائمِ حتى يَستيقظَ، وعن الصَّبيِّ حتى يَبلُغَ، وعن المجنونِ حتى يَعقِلَ
“Pena pencatat amal telah diangkat dari tiga golongan: dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai ia berakal”.
2- Dan juga berdasarkan hadits Thoriq Bin Hisyam di atas.
3- Para imam madzhab telah sepakat. ([17])
Kelima: Orang yang sakit.
Semuanya ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“(Shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah kecuali bagi empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.” ([18])
Syarat Ditegakkan Shalat Jum’at
Dan syarat ini terbagi menjadi dua: Syarat umum dan Syarat khusus
- Syarat umum
Maksud dari syarat umum adalah syarat secara umum yang terdapat pada 5 shalat wajib dan ini dibagi menjadi dua macam:
Pertama: Syarat sah shalat, yaitu: suci dari hadats, masuk waktu shalat, menutup aurat, suci dari najis, menghadap kiblat dan niat.
Kedua: Syarat wajib shalat, yaitu: Islam, berakal dan Mumayyiz (baligh). ([19])
- Syarat khusus untuk shalat jum’at
Yaitu syarat yang khusus untuk shalat jum’at:
Pertama: Waktu, yaitu seperti waktu shalat zhuhur. ([20])
Kedua: Berjamaah
Dalil wajibnya shalat jum’at secara berjama’ah adalah firman Allah:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ}
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” ([21])
Dan jama’ah terwujud dengan adanya tiga orang, sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
وَتَنْعَقِدُ الْجُمُعَةُ بِثَلَاثَةٍ: وَاحِدٌ يَخْطُبُ وَاثْنَانِ يَسْتَمِعَانِ
“Shalat jum’at sah dengan tiga orang: satu orang yang berkhutbah dan dua orang mendengarkannya” ([22])
Ketiga: Tidak boleh menegakkan shalat jum’at dalam sebuah kota lebih dari satu kecuali ada kebutuhan, karena shalat jum’at disyariatkan untuk mengumpulkan kaum muslimin dan ini tidak mungkin tercapai apabila kaum muslim terpencar dengan banyaknya kelompok-kelompok yang menegakkan shalat jumat. Kecuali ada kebutuhan, seperti masjid sudah terlalu penuh dan tidak muat lagi, maka boleh untuk menegakkan shalat jumat lebih dari satu dalam satu kota.
Keempat: Dimulai dengan dua khutbah, sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ}
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” ([23])
Berkata At-Thobari makna dari “Dzikrullah” dalam ayat di atas adalah nasihat dari imam. ([24])
Ibnu Qudamah mengatakan:
وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ الْخُطْبَةَ شَرْطٌ فِي الْجُمُعَةِ، لَا تَصِحُّ بِدُونِهَا كَذَلِكَ قَالَ عَطَاءٌ، وَالنَّخَعِيُّ، وَقَتَادَةُ، وَالثَّوْرِيُّ، وَالشَّافِعِيُّ، وَإِسْحَاقُ، وَأَبُو ثَوْرٍ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ. وَلَا نَعْلَمُ فِيهِ مُخَالِفًا، إلَّا الْحَسَنَ
“Secara global, khutbah adalah syarat pada shalat jum’at, tidak sah shalat jum’at tanpa khutbah, begitu yang dikatakan oleh ‘Atho, An-Nakhai, Qotadah, At-Tsaury, As-Syafi’i, Ishaq, Abu Tasur, dan Ashab Ar-Ro’yi. Kami tidak mengetahui ada yang menyelisihi tentang khutbah adalah syarat kecuali Al-Hasan. ([25])
Dan dua khutbah ini menempati posisi dua raka’at yang pada shalat zhuhur, sehingga ketika meninggalkan dua khutbah, maka shalat jum’at tidak sah, sama halnya shalat zhuhur hanya dikerjakan dua raka’at. ([26])
Khutbah Jum’at
Syarat khutbah shalat jum’at ([27])
Pertama: Harus dilakukan ketika sudah masuk waktu
Kedua: Harus dilakukan sebelum melakukan shalat. Ini adalah ijma’ para ulama. ([28])
Dan juga antara khubah dan shalat harus dilakukan dengan berkesinambungan. ([29])
Ketiga: Niat. ([30])
Keempat: Dengan suara keras: maka tidak sah khutbah dengan suara yang pelan dan tidak terdengar oleh jama’ah shalat jum’at, karena maksud dari khutbah jum’at adalah agar tersampaikan apa yang diucapkan oleh khotib, ini tidak terwujud kecuali dengan suara yang keras. ([31])
Rukun-rukun khutbah jum’at
Dalam khutbah jum’at rukunnya adalah minimal dengan apa yang dinamakan khutbah jum’at secara ‘urf. ([32])
Sunnah-sunnah dalam berkhutbah
- Hendaknya seorang khotib mengenakan pakaian terbagus.
- Mengucapkan salam kepada para jamaah dan menghadap mereka.
- Memberikan nasehat dengan bahasa yang jelas dan mudah difahami.
- Memendekkan khutbah.
- Membagi khutbah menjadi dua bagian.
Sunnah-sunnah Shalat Jum’at
Bacaan shalat jumát
Shalat jum’at adalah dua raka’at dan di jahrkan (jelas) bacaannya, disunnahkan ketika salat jum’at untuk membaca surat berikut:
Pilihan Pertama: Membaca surat Al-A’la dan Al-Ghosyiyah, berdasarkan hadits An-Nu’man bin Basyir:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ وَيَوْمِ الْجُمُعَةِ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ قَالَ وَرُبَّمَا اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَقَرَأَ بِهِمَا
“Dalam shalat hari raya dan shalat Jum’at, Rasulullah membaca: Sabbihisma rabbikal a’la dan Hal ataaka hadiitsul ghaatsiyah. Nu’man berkata: Dan terkadang (hari raya dan shalat jum’at) bertepatan dalam satu hari, maka beliau juga membaca kedua surat tersebut”. ([33])
Pilihan Kedua: Membaca surat Al-Jumu’ah dan Al-Ghasyiyah, berdasarkan hadits An-Nu’man bin Basyir ketika ditanya oleh Adh-Dhohhak tentang bacaan Rasulullah ketika shalat jum’at:
أَنَّ الضَّحَّاكَ بْنَ قَيْسٍ سَأَلَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ مَاذَا كَانَ يَقْرَأُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى إِثْرِ سُورَةِ الْجُمُعَةِ فَقَالَ كَانَ يَقْرَأُ بِهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ
“Dhahhak bin Qais bertanya kepada Nu’man bin Basyir: Surat apakah yang biasa di baca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Jum’at setelah surat Al Jum’ah? dia menjawab: Beliau membaca Hal ataaka hadiitsul Ghaasyiyah.” ([34])
Pilihan Ketiga: Membaca surat al-jumu’ah dan al-munafiqun, berdasarkan hadits Ibnu Abu Rofi’:
صَلَّى بِنَا أَبُو هُرَيْرَةَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَرَأَ بِسُورَةِ الْجُمُعَةِ وَفِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالَ فَأَدْرَكْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ حِينَ انْصَرَفَ فَقُلْتُ لَهُ إِنَّكَ قَرَأْتَ بِسُورَتَيْنِ كَانَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْرَأُ بِهِمَا بِالْكُوفَةِ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ بِهِمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ
“Abu Hurairah shalat mengimami kami pada hari Jum’at, ia membaca surat Al Jumuah pada raka’at pertama dan idza jaaakal munafiqun pada raka’at terakhir. Selesai shalat, aku berkata kepadanya: Sesungguhnya Anda membaca surat sebagaimana yang dibaca oleh Ali bin Abi Thalib ketika di Kufah. Abu Hurairah berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam membaca kedua surat tersebut pada shalat Jum’at. ([35])
Adab-adab yang berkaitan dengan shalat jum’at
Pertama : Datang ke masjid lebih awal
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ راح في الساعة الأولى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً
“Siapa yang berangkat Jum’at di awal waktu, maka ia seperti berkurban unta. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kedua, maka ia seperti berkurban sapi. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu ketiga, maka ia seperti berkurban kambing gibas yang bertanduk. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu keempat, maka ia seperti berkurban ayam. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kelima, maka ia seperti berkurban telur.” ([36])
Kedua : Berangkat dari rumah dalam keadaan sudah berwudhu
Ketiga : Mendengar khutbah dan diam tidak berbicara ketika khatib menyampaikan khutbah
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
“Barangsiapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia mendatangi (shalat) Jum’at, kemudian (di saat khutbah) ia betul-betul mendengarkan dan diam, maka dosanya akan diampuni antara Jum’at saat ini dan Jum’at sebelumnya ditambah tiga hari. Dan barangsiapa yang bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang sia-sia.” ([37])
Keempat : Mandi jum’at dan bersih-bersih diri dari rumah
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ
“Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih utama.” ([38])
Kelima : Memakai wangi-wangian
Di antaranya riwayat dari Salman Al-Farisi bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasalam bersabda:
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيْبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى
”Tidaklah seseorang mandi pada hari Jumat, lalu ia membersihkan anggota badannya semaksimal mungkin, dan memakai minyak atau memakai wangi-wangian yang ada di rumahnya, kemudian ia berangkat ke masjid, dan ia tidak memisahkan antara dua orang, kemudian ia melaksanakan shalat, dan ketika imam berkhutbah ia pun diam, melainkan dosa-dosanya akan diampuni antara Jumat itu dengan Jumat yang berikutnya’.” ([39])
Keenam : Bersiwak
Ketujuh : Memakai pakaian bagus
Kedelapan : Tidak melangkahi bahu orang
Rasulullah bersabda:
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَاسْتَاكَ، وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ، وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ، ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى يَأْتِيَ الْمَسْجِدَ، فَلَمْ يَتَخَطَّ رِقَابَ النَّاسِ، ثُمَّ رَكَعَ مَا شَاءَ أَنْ يَرْكَعَ، ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ، فَلَمْ يَتَكَلَّمْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلَاتِهِ، كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا
“Siapa yang mandi hari Jum’at, bersiwak, memakai parfum jika memiliki parfum, memakai pakaian paling bagus, kemudian pergi sampai datang ke masjid, tidak melangkahi bahu orang, kemudian shalat sunnah terserah dia, kemudian diam ketika imam datang, tidak berbicara sampai selesai shalat, maka hal itu menggugurkan dosa antara Jum’at itu dan Jum’at sebelumnya”. ([40])
Kesembilan : Tidak berbicara dan mengobrol saat mendengar khutbah Jum’at
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ. وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jum’at ‘Diamlah’, sedangkan khotib sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berkata sia-sia.” ([41])
Kesepuluh : Melaksanakan shalat tahiyatul masjid sebelum duduk.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Sulaik Al Ghothofani datang pada hari Jum’at dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Ia masuk dan langsung duduk. Beliau pun berkata pada Sulaik:
يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا – ثُمَّ قَالَ – إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
“Wahai Sulaik, berdirilah dan kerjakan shalat dua raka’at (tahiyyatul masjid), persingkat shalatmu (agar bisa mendengar khutbah, pen).” Lantas beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at dan imam berkhutbah, tetaplah kerjakan shalat sunnah dua raka’at dan persingkatlah.” ([42])
Kesebelas : Tidak duduk memeluk lutut saat mendengar khutbah
Dari Sahl bin Mu’adz dari bapaknya (Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy), ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحُبْوَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari duduk dengan memeluk lutut pada saat imam sedang berkhutbah.” ([43])
Imam Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Shalihin membawakan hadits di atas dengan menyatakan dalam judul bab:
كَرَاهَةُ الاِحْتِبَاءِ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ لِأَنَّهُ يَجْلِبُ النَّوْم فَيَفُوْت اِسْتِمَاع الخُطْبَة وَيَخَافُ اِنْتِقَاض الوُضُوْء
“Dimakruhkan memeluk lutut pada hari Jumat saat khatib berkhutbah karena dapat menyebabkan tertidur sehingga terluput dari mendengarkan khutbah dan dikhawatirkan pula posisi seperti itu membatalkan wudhu (karena bisa keluar angin tanpa disadari-pent).” ([44])
Permasalahan Seputar Shalat Jum’at
Ketika lupa melakukan shalat jum’at
Sudah diketahui bersama bahwa shalat wajib yang terluput karena lupa atau tertidur maka wajib untuk melaksanakannya ketika ingat. Lalu bagaimana dengan shalat jum’at, apakah sama dengan shalat wajib lainnya?
Berkata ‘Alauddin Al-Hanafi:
وَأَمَّا إذَا فَاتَتْ عَنْ وَقْتِهَا وَهُوَ وَقْتُ الظُّهْرِ سَقَطَتْ عِنْدَ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ ; لأَنَّ صَلاةَ الْجُمُعَةِ لا تُقْضَى
“Adapun jika telah luput shalat jum’at dari waktunya, yaitu waktu shalat zhuhur, maka gugur shalat jum’at tersebut menurut kebanyakan para ulama, karena shalat jum’at tidak dapat diqodho.” ([45])
Maka dapat kita ketahui bahwa siapapun yang terluput darinya shalat jum’at, ia harus melaksanakan shalat zhuhur, bukan shalat jum’at.
Menjamak shalat jum’at dengan shalat ashar
Terjadi silang pendapat di kalangan para ulama tentang hal ini, akan tetapi yang lebih kuat yaitu bolehnya menjamak antara sholat jum’at dan sholat ashar dengan jamak taqdim([46]), hal ini disebabkan ada banyak kesamaan antara shalat jumat dengan shalat zhuhur yang menguatkan untuk menjadikan sholat jumat mengambil hukum sholat dzuhur dalam permasalahan ini.:
Masbuq dalam shalat jum’at
Selagi makmum masbuk mendapatkan satu raka’at dari shalat jum’at, maka dia masih mendapati shalat jum’at tersebut. Adapun jika dia mendapatkan kurang dari satu raka’at maka dia tidak mendapatkan shalat jum’at, ia harus menyempurnakan shalat tersebut sebagai shalat zhuhur. ([47])
Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Abu Huroiroh:
«مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلَاةِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ»
“Siapa yang mendapati satu raka’at dari shalat (imam), maka dia mendapatkan shalat tersebut.” ([48])
Dan satu raka’at didapatkan dengan mendapatkan rukuknya imam. Berdasarkan hadits Abu Bakrah, ketika ia mendapatkan jama’ah dalam keadaan ruku’, ia melakukan ruku’ dari sebelum masuk dalam shaf. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika diceritakan hal tersebut beliau bersabda:
«زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ»
“Semoga Allah menambahkan semangat kepadamu wahai Abu Bakrah, namun shalatmu tidak perlu diulang” ([49])
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Telah kami sebutkan bahwa madzhab kami (Syafi’i), jika seseorang mendapatkan ruku’ di raka’at kedua, maka dia mendapatkan shalat Jumat. Jika tidak, maka tidak. Inilah pendapat kebanyakan ulama. Ibnul Mundzir menyebutkan hal ini dari Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Anas bin Malik, Sa’id bin Al Musayyib, Al Aswad, ‘Alqomah, Al Hasan Al Bashri, Urwah bin Jubair, An Nakho’i, Az Zuhri, Malik, Al Auza’i, Ats Tsauri, Abu Yusuf, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur. Ibnul Mundzir menyatakan bahwa pendapatnya juga demikian.” ([50])
FOOTNOTE:
([2]) HR. Abu Daud no. 1067. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih.
([4]) HR. Abu Daud no. 1052, Nasai no. 1369, dan Ahmad 3: 424. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih
([6]) HR. Abu Dawud no. 1067, dishahihkan oleh Al-Abani di Shahih al-Jaami’ no 3111 dan Shahih Sunan Abi Daud no 978
([7]) HR. Abu Dawud no. 4403, dishahihkan oleh Al-Albani di al-Irwaa’ no 297
([8]) HR. Ad Daruquthni no. 1582, namun sanadnya dho’if
([9]) Lihat: At-Tibyan Fi Takhrij Wa Tabwib Ahaadiitsi Buluughil Maroom 5/211
([10]) Al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/250
([11]) HR. Abu Daud no. 1067, dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani
([14]) Syarhu Shohihil Bukhory, Ibnu Batthol
([15]) Al-Mughni Libni Qudamah 2/250
([16]) Madzhab Hanafiyah: “Shalat jum’at tidak wajib bagi musafir, wanita, orang sakit, budak, dan orang yang buta. Jika mereka menghadiri shalat jum’at maka tidak perlu melaksanakan shalat wajib (zhuhur)”. (Mukhtashor Al-Qodhury hal. 40)
Madzhab Malikiyah: Jika shalat jumát wajib bagi lelaki merdeka, maka mafhum mukhoolafahnya (kebalikannya) yaitu tidak wajib bagi wanita dan budak. (Lihat: Syarh Mukhtoshor Kholil 2/79)
Madzhab syafi’iyah: Imam An-Nawawi berkata ketika menyebutkan macam-macam orang yang tidak wajib untuk shalat jum’at: “Dan juga tidak wajib bagi budak dan mukatab (budak yang telah membuat akad dengan tuannya untuk membayarkan sejumlah uang dengan timbal balik mendapat kebebasan) walaupun dia mudabbar (budak yang kebebasannya tergantung dengan kematian tuannya)”. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 4/485 )
Madzhab hanabilah: Ibnu Qudamah berkata bahwa ada dua riwayat dari Imam Ahmad dalam masalah budak wajib melaksanakan shalat jumat, lalu beliau menguatkan riwayat tidak wajib bagi budak melaksanakan shalat jum’at, berdasarkan hadits Thoriq bin Syihab di atas. (Lihat: Al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/251)
([17]) HR. Abu Daud no. 1067, dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani
([18]) HR. Abu Daud no. 4403, dan dishahihkan oleh Al-Albani
([19]) Lihat: Bidayatul ‘Abid wa Kifayatuz Zahid, karya Abdurrahman bin Abdullah Al-Khalutiy, hal.36
([20]) Waktu dimasukkan dalam syarat khusus, karena ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:
Pendapat pertama: Waktu shalat jumat sama dengan waktu shalat zhuhur, yaitu dilakukan setelah zawal (tergelincir matahari), dan ini adalah pendapat jumhur ulama.
Pendapat kedua: Shalat Jum’at boleh dilakukan sebelum zawal, waktunya memulainya sama dengan waktu memulai shalat dhuha, ini adalah pendapat Imam Ahmad, akan tetapi Ibnu Qudamah sendiri yang bermadzhab hambali lebih menyukai untuk dilaksanakan shalat jum’at setalah zawal, karena ini adalah hal yang disepakati oleh semua ulama dan terlepas dari perselisihan. (Lihat: Al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/250)
([22]) Al-Fatawa Al-kubro 5/355
Para ulama sepakat bahwa:
- Syarat sah shalat jum’at adalah harus dilakukan secara berjama’ah
- Tidak sah shalat jum’at jika dilakukan sendirian.
Tetapi ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah disyaratkan bilangan tertentu untuk sah shalat jum’at:
Pendapat pertama: Imam Asy-Syafi’I dan Imam Ahmad berpendapat disyaratkan harus minimal 40 orang, berdasarkan hadits riwayat Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik dari bapaknya Ka’ab bin Malik:
أنه كان إذا سمع النداء يوم الجمعة ترحم على أسعد بن زرارة فقلت له إذا سمعت النداء ترحمت لأسعد قال لأنه أول من جمّع بنا في هزم النَبيتِ من حَرّة بني بَياضةَ في نَقيع يقال له نقيع الخَضِمات قلت له كم كنتم يومئذ قال أربعون
Sesungguhnya Ka’ab bin Malik apabila mendengar azan pada hari Jum’at, mendo’akan rahmat untuk As’ad bin Zurarah. Aku bertanya kepadanya: “Apabila mendengar azan, mengapa engkau mendo’akan rahmat untuk As’ad?” Ka’ab bin Malik menjawab: “As’ad adalah orang pertama yang mengumpulkan kami shalat Jum’at di sebuah perkebunan di Desa Hurah Bani Bayadhah pada sebuah lembah yang disebut dengan Naqi’ Al-Khashimaat”. Aku bertanya padanya: “Kalian berapa orang pada saat itu?” Beliau menjawab: “Empat puluh orang.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim. Berkata Baihaqi: Hadits hasan dengan sanad sahih)
Dijawab oleh ulama yang lain bahwa ini bukan dalil yang tegas bahwa syarat bilangan minimal sahnya shalat jum’at adalah 40 orang, adapun perbuatan mengumpulkan yang dilakukan As’ad Bin Zuroroh ini hanya kebetulan mendapatkan 40 orang, bukan sengaja mencari 40 orang.
Pendapat kedua: Pendapat Ibnu Hazm, Asy-Syaukani, dan Ath-Thobary. Mereka mengatakan sah shalat jum’at dengan dua orang. Berkata Ibnu al-Útsaimin:
إن الاثنين جماعة فيحصل الاجتماع، ومن المعلوم أن صلاة الجماعة في غير الجمعة تنعقد باثنين بالاتفاق، والجمعة كسائر الصلوات فمن ادعى خروجها عن بقية الصلوات، وأن جماعتها لابد فيها من ثلاثة فعليه الدليل
“Sesungguhnya dua orang adalah jama’ah, sehingga terwujud ijtima’ (perkumpulan). Termasuk sesuatu yang diketahui bersama bahwa shalat jama’ah di selain shalat jum’at itu sah dengan dua orang, sedangkan shalat jum’at sama seperti shalat wajib lainnya. Maka siapa yang menyangka bahwa shalat jum’at berbeda dari shalat-shalat lain dan jama’ahnya harus terdiri dari tiga orang, ia harus bisa dalil” (Asy-Syarh al-Mumti’ 5/41).
Ibnu Hazm berkata :
وأما حجتنا فهي ما قد ذكرناه قبل من حديث مالك بن الحويرث أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال له:” إذا سافرتما فأذنا وأقيما، وليؤمكما أكبركما “، فجعل عليه السلام للاثنين حكم الجماعة في الصلاة”
“Adapun hujjah kami adalah yang kami sebutkan sebelumnya dari hadits Malik bin Al-Huwairits bahwa Rasulullah berkata kepadanya: Jika kalian berdua safar maka adzan dan iqomahlah, lalu hendaklah yang paling besar di antara kalian menjadi imam. Rasulullah menjadikan dua orang sudah dihukumi berjama’ah dalam shalat.” (Al-Muhalla 3/251)
Berkata Asy-Syaukani:
” و اعلم أنه لا مستند لاشتراط ثمانين أو ثلاثين أو عشرين أو تسعة أو سبعة ، كما أنه لا مستند لصحتها من الواحد المنفرد ، و أما من قال أنها تصح باثنين فاستدل بأن العدد واجب بالحديث و الإجماع ، و رأى أنه لم يثبت دليل على اشتراط عدد مخصوص ، و قد صحت الجماعة في سائر الصلوات باثنين ، و لا فرق بينها و بين الجماعة ، و لم يأت نص من رسول الله صلى الله عليه و سلم بأن الجمعة لا تنعقد إلا بكذا، و هذا القول هو الراجح عندي”
“Ketahuilah bahwa tidak ada landasan dalam pensyaratan bilangan 80, 30, 20, 9, atau 7. Sebagaimana tidak ada landasan untuk sahnya shalat jum’at bagi satu orang. Adapun yang mengatakan bahwa shalat jum’at sah dengan dua orang, maka ia berdalil bahwa bilangan ini adalah yang dinyatakan wajib (dalam berjama’ah) berdasarkan hadits dan ijma’, juga dia memandang tidak ada dalil yang bisa mendasari syarat bilangan tertentu, sesungguhnya shalat berjama’ah itu sah dengan dua orang, dan tidak ada perbedaan antara shalat jum’at dengan shalat jama’ah, juga tidak ada riwayat dari Rasulullah bahwasanya shalat jum’at tidak sah kecuali dengan bilangan tertentu. Ini adalah pendapat yang kuat menurutku.” (Naliul Author 3/276)
Pendapat ketiga: Pendapat Abu Hanifah, beliau mengatakan sah dengan empat orang, berdalil dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diserukan untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Sisi pendalilannya: dalam ayat ini Allah menyebutkan tiga golongan; (1) Al-Munadi, yaitu muadzin, (2) Yang mengingatkan: yaitu imam atau khothib, (3) Yang mendengar panggilan dan bersegera mendatangi shalat jum’at, karena disini menggunakan lafaz jamak “Fas’au” dan minimal jamak adalah dua. Sehingga total semuanya adalah empat orang.
Tetapi dijawab oleh ulama yang lain bahwa khithab di sini yaitu dalam lafaz “Wahai orang-orang beriman” bersifat umum untuk seluruh orang-orang yang beriman terhadap wajibnya menegakkan shalat jum’at saat dikumandangkan adzan, bukan mengkhususkan beberapa orang tanpa yang lain.
Dan juga kalau kita perhatikan lagi, ketika mendengar khutbah tidak memasukkan muadzin dalam hitungan orang yang mendengarkan khutbah, maka ada yang aneh, karena muadzin dan yang lain sama wajibnya untuk mendengarkan khutbah.
Pendapat keempat: Pendapat yang masyhur dari Malikiyyah, yaitu sah dengan 12 orang. Mereka berdalil dengan hadits Jabir bin Abdillah:
بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَقْبَلَتْ عِيرٌ تَحْمِلُ طَعَامًا فَالْتَفَتُوا إِلَيْهَا حَتَّى مَا بَقِيَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا }
“Ketika kami sedang shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba datang rombongan dagang yang membawa makanan. Orang-orang pun (berhamburan pergi) mendatangi rombongan tersebut, sampai tidak tersisa bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali hanya dua belas orang. Maka turunlah ayat ini: (Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, maka mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka meninggalkan kamu ketika kamu sedang berdiri menyampaikan berkhutbah)”. (QS. Al Jumu’ah: 12) (HR. Bukhori no. 884)
Dijawab oleh para ulama: hadits ini bukanlah dalil yang tegas dalam membatasi jumlah minimal harus 12 orang, juga orang yang tersisa terjadi karena kebetulan, bukan sengaja syariat membatasi jumlah mereka, jadi ini tidak bisa dijadikan patokan batasan minimal.
Pendapat kelima: Boleh kurang dari 40 orang dan tidak boleh kurang dari 3 atau 4, ini adalah Madzhab Imam Malik. Dan batasan mereka adalah jika memungkinkan membuat sebuah kampung dengan jumlah tersebut. Tetapi pendapat ini tidak memiliki landasan dalil.
Pendapat keenam: Shalat jum’at sah dengan 3 orang yaitu 1 imam dan 2 makmum. Ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, pendapat Abu Yusuf, Al-Auza’i, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Utsaimin, dan ini adalah yang difatwakan oleh Lajnah Daimah (Lihat Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd 2/371)
Kesimpulan:
Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak ada dalil yang tegas dalam pembatasa jumlah orang agar shalat jum’at menjadi sah. Dari pemaparan dalil-dalil di atas bisa disimpulkan pendapat yang kuat adalah yang menyatakan bahwa shalat jum’at sah dengan 2 atau 3 orang, karena bilangan tersebut sah untuk melakukan shalat berjamaah.
Tetapi dari keduanya, yang tampak lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa shalat jum’at sah dengan 3 orang. Ketika kita lihat konteks dari ayat “Fas’au ila dzikrillah” kita ambil penafsiran ”dzikir” tersebut dengan khutbah, maka tampak yang diperintahkan untuk bersegera (atau mendengarkan) khutbah adalah bentuk jamak, karena itu bagi yang mendengar khutbah harus lebih dari satu. Ini juga berdasarkan alasan-alasan lain, di antaranya:
- Berdasarkan hadits Abu Darda:
ما من ثلاثة في قرية ولا بدو لا تقام فيهم الصلاة إلا قد استحوذ عليهم الشيطان فعليك بالجماعة، فإنما يأكل الذئب من الغنم القاصية
”Tiada tiga orangpun di dalam sebuah desa atau lembah yang tidak didirikan di sana shalat jama’ah, melainkan mereka telah dikuasai oleh setan, karena itu hendaklah kamu membiasakan shalat jama’ah, sebab serigala itu hanya menerkam kambing yang jauh dari kawannya.” (HR. Abu Dawud no. 556)
- Secara bahasa, bilangan minimal untuk disebut jamak adalah angka tiga.
- Diriwayatkan dari Abu Yusuf bahwa shalat jum’at sah dengan dua orang selain imam, ini juga pendapat Ats-Tsaury(Mukhtashor Ikhtilaf Ulama 1/30)
- Berkata Abu Aja’far: “Jamak yang benar adalah tiga, karena mereka sepakat posisi mereka di belakang imam, adapun dua orang maka ini diperselisihkan hukumnya, ada yang mengatakan di sisi kanan, ada yang mengatakan di sisi kiri, dan ada yang mengatakan di belakang imam (karena ada perselisihan dalam angka dua ini) maka wajib untuk mengambil angka tiga yang telah disepakati.” (Lihat: Mukhtashor Ikhtilaf Ulama 1/31)
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan sah dengan 3 orang, karena khithob dalam wajibnya shalat jum’at datang dengan bentuk jamak “Fas’au ila dzikrillah” dan harus ada jama’ah yang mendengarkan khutbah, batasan minimal jamak adalah dua, adapun yang dilakukan As’ad bin Zuroroh mengumpulkan orang maka ini hanya kebetulan dan tidak secara sengaja.
Beliau juga berkata:
وَتَنْعَقِدُ الْجُمُعَةُ بِثَلَاثَةٍ: وَاحِدٌ يَخْطُبُ وَاثْنَانِ يَسْتَمِعَانِ
“Shalat jum’at sah dengan tiga orang: satu orang yang berkhutbah dan dua orang yang mendengarkannya” (Lihat: Maniyatus Sajid Syarh Bidayatil ‘Abid Wa Kifayatiz Zahid)
- Berdasarkan Fatwa Lajnah Daimah:
من كان مقيماً مثلكم إقامة تمنع قصر الصلاة في السفر فعليه إقامة صلاة الجمعة على الصحيح من أقوال العلماء، ولا يشترط لوجوبها ولا لصحتها أن يكون العدد أربعين رجلاً، بل يكفي أن يكونوا ثلاثة فأكثر
“Siapa yang mukim seperti kalian, yang tercegah darinya mengqoshor shalat ketika safar, maka hendaknya ia melakukan shalat jum’at menurut pendapat yang shahih dari berbagai pendapat ulama, dan tidak disyaratkan untuk wajib dan sah (yang hadir) harus berjumlah 40 orang lelaki, akan tetapi cukup 3 orang atau lebih. (Fatawa Lajnah Daimah 2/211)
- Syaikh Utsaimin berkata: Akan tetapi pendapat yang diambil Syaikhul Islam lebih benar, karena (dalam shalat jum’at) harus ada jama’ah yang mendengar khutbah, dan bilangan minimal dalam jama’ah adalah dua, sedangkan khotib adalah orang yang ketiga.
([24]) Jami’ul Bayan Fi Takwilil Quran 23/384
([25]) Al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/224
([26]) Ada beberapa syarat shalat jum’at lain yang diperselisihkan ulama:
Pertama: Tempat ditegakkannya shalat jum’at harus berada di mishr (kota). Yang dimaksud dengan mishr ini adalah sebuah kota yang di dalamnya ada seorang Qodhy yang semua permasalahan dan gugatan disampaikan kepadanya. Ini dalam madzhab hanafiyah. Tetapi madzhab yang lain tidak mensyaratkan hal ini, inilah yang kuat karena tidak ada dalil jelas yang menunjukkan bahwa shalat jumat harus didirikan di mishr, juga menyebabkan terluputnya syariat shalat jum’at bagi orang-orang yang tinggal di perkampungan.
Kedua: Izin dari pemimpin, ini juga pendapat madzhab hanafiyyah, sedangkan madzhab lain menyelisihinya, karena tidak adanya dalil yang kuat dalam masalah ini.
([27]) Mengambil dari website Islamqa.
([28]) Sebagaimana yang dikatakan oleh Syirbiny:
(الْخَامِسُ) مِنْ الشُّرُوطِ (خُطْبَتَانِ) لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ خُطْبَتَيْنِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا» (1) وَكَوْنُهُمَا (قَبْلَ الصَّلَاةِ) بِالْإِجْمَاعِ إلَّا مَنْ شَذَّ
“Yang kelima dari syarat-syarat shalat jum’at adalah dua khutbah. Berdasarkan riwayat dalam as-shohihain dari Ibnu Umar: Rasulullah berkhutbah pada hari jum’at dengan dua khutbah, beliau duduk di antara keduanya. Keduanya dilakukan sebelum shalat berdasarkan ijma’ ulama, kecuali ada pendapat yang ganjil”. (Mughni Al-Muhtaj 1/549)
([29]) Berkata Ibnu Qudamah: “Begitupula disyaratkan bersambungnya antara khutbah dan shalat (jum’at)”. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/230)
([30]) Berdasarkan hadits Umar bin Al-Khottob, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dengan niat”. (HR. Bukhori No. 1) Tetapi para ulama berbeda pendapat dalam masalah niat adalah syarat dalam khutbah.
([31]) Ada juga syarat khutbah lainnya yaitu harus dengan Bahasa Arab. Para ulama sepakat lebih utama berkhutbah menggunakan Bahasa Arab, tetapi mereka berselisih dalam pensyaratannya menjadi beberapa pendapat:
- Merupakan syarat khutbah jum’at bagi yang mampu walaupun yang mendengar tidak memahaminya. Ini pendapat malikiyah dan hanabilah.
- Merupakan syarat bagi yang mampu, kecuali yang mendengar tidak memahaminya maka harus berkhutbah dengan bahasa yang mereka paham. Dan ini adalah pendapat yang shohih menurut madzhab syafi’iyah dan ini juga pendapat sebagian hanabilah.
- Bukan termasuk syarat khutbah harus dengan bahasa arab, dan ini adalah perkataan Imam Abu Hanifah dan juga pendapat sebagian syafi’iyah
Dan pendapat ketiga ini adalah pendapat yang kuat, karena sesuai dengan tujuan dari syariat khutbah pada shalat jum’at, yaitu memberi nasehat dan memberi peringatan, sedangkan hal ini tidak mungkin tercapai kecuali berkhutbah sesuai dengan bahasa yang difahami orang yang mendengar.
([32]) Lihat: Al-Muhalla bil Atsar 5/97
Adapun rukun-rukun khutbah, sebagian ulama menyebutkan beberapa perkara, seperti yang disebutkan dalam madzhab syafi’I bahwasa rukun khutbah ada lima berikut:
1- Mengucapkan hamdalah, dengan bentuk ucapan apa pun yang mengandung pujian pada Allah.
2- Bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ucapan apa pun yang menunjukkan shalawat. Disyaratkan agar nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut secara jelas, seperti menyebut dengan Nabi, Rasul atau Muhammad. Tidak cukup dengan dhomir (kata ganti) saja.
3- Wasiat takwa dengan bentuk lafazh apa pun. Tiga rukun ini adalah rukun dari dua khutbah.
4- Membaca salah satu ayat dari Al Quran pada salah satu dari dua khutbah.
Ayat yang dibaca harus jelas, tidak cukup dengan membaca ayat yang terdapat huruf muqotho’ah (seperti alif laam mim) yang terdapat dalam awal surat.
5- Berdoa kepada kaum mukminin pada khutbah kedua dengan doa-doa yang sudah makruf. (Lihat: Al Fiqhu Al Manhaji ‘ala Madzhabi Al Imam Asy Syafi’i, Dr. Musthofa Al Khin, Dr. Musthofa Al Bugho, ‘Ali Asy Syabajiy 1/206-207)
Akan tetapi yang lebih tepat adalah seperti yang disampaikan oleh Syaikh Abdurrhman As-Sa’di:
” اشتراط الفقهاء الأركان الأربعة في كل من الخطبتين فيه نظر ، وإذا أتى في كل خطبة بما يحصل به المقصود من الخطبة الواعظة الملينة للقلوب فقد أتى بالخطبة ، ولكن لا شك أن حمد الله ، والصلاة على رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وقراءة شيء من القرآن من مكملات الخطبة ، وهي زينة لها ”
“Pensyaratan para ulama dengan empat rukun di setiap dua khutbah maka perlu ditinjau ulang, karena apabila (seorang khotib) telah mendatangkan di setiap khutbahnya dengan apa yang mencapai maksud dari khutbah, berupa nasehat yang melunakkan hati, maka dia sejatinya sudah melakukan khutbah. Tetapi tidak diragukan bahwa tahmid, shalawat kepada Rasul, dan membaca satu ayat dari al-quran termasuk kesempurnaan khutbah, dan dia adalah hiasan baginya (khutbah)”. (Lihat: Al-Fatawa As-Sa’diyyah Hal: 193)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
وَلَا يَكْفِي فِي الْخُطْبَةِ ذَمُّ الدُّنْيَا وَذِكْرُ الْمَوْتِ، بَلْ لَا بُدَّ مِنْ مُسَمَّى الْخُطْبَةِ عُرْفًا، وَلَا تَحْصُلُ بِاخْتِصَارٍ يَفُوتُ بِهِ الْمَقْصُودُ، وَيَجِبُ فِي الْخُطْبَةِ أَنْ يَشْهَدَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“Tidak cukup dalam khutbah hanya mencela dunia dan mengingatkan kematian, tetapi harus dengan apa yang dinamakan khutbah secara ‘urf. Tidak tercapai khutbah dengan sesuatu yang ringkas yang justru menghilangkan tujuan khutbah. Wajib dalam khutbah ada syahadat bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya”. (Lihat: Al-Fatawa Al-kubro 5/355)
([36]) HR. Bukhāri No. 881 dan Muslim No. 850
([38]) HR. An-Nasa’i no. 1380, Tirmidzi no. 497, Ibnu Mājah no. 1091
([40]) HR. Ahmad dalam musnadnya No. 11768 dan sanadnya hasan
([41]) HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851
([42]) HR. Bukhāri no. 930 dan Muslim no. 875
([43]) HR. Tirmidzi, no. 514; Abu Daud, no. 1110. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
([44]) Taqrir Riyadhus Sholihin 1/959
([45]) Bada-I’us Shona-I’ Fii Tartiibisy Syaro-i’ 1/269
([46]) Secara umum ada dua pendapat :
Pertama : Tidak boleh menjamak sholat jum’at dengan sholat ashar. Dan ini adalah pendapat Madzhab Hanbali (lihat Kasysyaful Qina’ 2/21) dan madzhab Hanafi, karena pada dasarnya madzhab Hanafi tidak membolehkan jamak yang sesungguhnya kecuali pada hari ‘Arofah (antara dzuhur dan ashar) dan di Muzdalifah (antara maghrib dan isya), adapun selain 2 kondisi ini maka hanya boleh jamak suri (yaitu pada hakikatnya tidak menjamak, hanya saja misalnya sholat dzuhur di kerjakan di akhir waktu dzuhur, sehingga begitu selesai sholat dzuhur sudah masuk waktu ashar lalu sholat ashar) (lihat Ad-Durrul Mukhtar, hal: 55).
Alasan mereka adalah :
- Tidak adanya dalil tentang menjamak antara shalat jum’at dan shalat ashar, dan asal dalam ibadah adalah larangan sampai datang dalil pembolehannya.
- Tidak dapat diqiyaskan antara shalat zhuhur dengan shalat jum’at, karena tidak boleh mengqiyaskan antara ibadah-ibadah.
Berikut perbedaan antara shalat jumát dan shalat dzuhur :
No. | Shalat Jumat | Shalat Zhuhur |
1 | Tidak sah kecuali dikerjakan secara berjamaah | Bisa dikerjakan sendiri ataupun berjama’ah |
2 | Tidak ditegakkan kecuali di kota atau di kampung | Dapat dikerjakan di setiap tempat |
3 | Tidak ditegakkan dalam safar walaupun dengan berjama’ah | Dapat ditegakkan ketika safar maupun mukim |
4 | Ditegakkan hanya dalam satu masjid dalam satu kota, kecuali ada kebutuhan menegakkannya lebih dari satu masjid dalam satu kota | Bisa ditegakkan di setiap masjid berapapun dalam satu kota |
5 | Tidak bisa qodho ketika sudah lewat waktunya | Tetap harus diqodho walaupun sudah lewat waktunya, jika ada udzur |
6 | Wajib untuk lelaku dan tidak wajib bagi wanita | Wajib bagi lelaki dan wanita |
7 | Tidak wajib bagi budak | Wajib bagi orang yang merdeka dan budak |
8 | Disunnahkan untuk membaca dengan jahr (keras) | Disunnahkan untuk membaca dengan sir (pelan) |
9 | Disunnahkan untuk membaca surat tertentu seperti Surat Al-Jumu’ah dan Al-Munafiqun | Tidak ada sunnah membaca surat tertentu |
10 | Ada sunnah-sunnah yang harus dikerjakan sebelumnya seperti mandi, memakai wewangian, dan lainnya. | Tidak ada sunnah-sunnah khusus yang dilakukan sebelumnya. |
11 | Tidak ada shalat sunnah rawatib sebelumnya | Ada shalat sunnah rawatib sebelumnya |
12 | Didahului dengan dua khutbah | Tidak didahului dengan dua khutbah |
13 | Apabila sudah terluput atau terlewat dalam satu masjid maka tidak bisa diulang | Ketika terluput dalam satu masjid maka boleh ada pengulangan |
- Shalat jum’at adalah shalat yang mustaqil (berdiri sendiri), yang hukum-hukumnya berbeda dengan shalat zhuhur.,
- Karena pada zaman Nabi pernah terjadi hujan yang mana hujan termasuk salah satu sebab bolehnya untuk menjamak sebagaimana hadits anas bin malik tentang a’roby yang meminta kepada Rasulullah untuk berdoa kepada Allah agar diturunkan hujan,
أَصَابَتِ النَّاسَ سَنَةٌ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ قَامَ أَعْرَابِيٌّ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: هَلَكَ المَالُ وَجَاعَ العِيَالُ، فَادْعُ اللَّهَ لَنَا، فَرَفَعَ يَدَيْهِ وَمَا نَرَى فِي السَّمَاءِ قَزَعَةً، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا وَضَعَهَا حَتَّى ثَارَ السَّحَابُ أَمْثَالَ الجِبَالِ، ثُمَّ لَمْ يَنْزِلْ عَنْ مِنْبَرِهِ حَتَّى رَأَيْتُ المَطَرَ يَتَحَادَرُ عَلَى لِحْيَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمُطِرْنَا يَوْمَنَا ذَلِكَ، وَمِنَ الغَدِ وَبَعْدَ الغَدِ، وَالَّذِي يَلِيهِ، حَتَّى الجُمُعَةِ الأُخْرَى، وَقَامَ ذَلِكَ الأَعْرَابِيُّ – أَوْ قَالَ: غَيْرُهُ – فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، تَهَدَّمَ البِنَاءُ وَغَرِقَ المَالُ، فَادْعُ اللَّهَ لَنَا، فَرَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ: «اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا» فَمَا يُشِيرُ بِيَدِهِ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ السَّحَابِ إِلَّا انْفَرَجَتْ، وَصَارَتِ المَدِينَةُ مِثْلَ الجَوْبَةِ، وَسَالَ الوَادِي قَنَاةُ شَهْرًا، وَلَمْ يَجِئْ أَحَدٌ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَّا حَدَّثَ بِالْجَوْدِ
“Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam manusia tertimpa paceklik. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang memberikan khutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba ada seorang Arab badui berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, harta benda telah binasa dan telah terjadi kelaparan, maka berdo’alah kepada Allah untuk kami.” Beliau lalu mengangkat kedua telapak tangan berdoa, dan saat itu kami tidak melihat sedikitpun ada awan di langit. Namun demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh beliau tidak menurunkan kedua tangannya kecuali gumpalan awan telah datang membumbung tinggi laksana pegunungan. Dan beliau belum turun dari mimbar hingga akhirnya aku melihat hujan turun membasahi jenggot beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka pada hari itu, keesokan harinya dan lusa kami terus-terusan mendapatkan guyuran hujan dan hari-hari berikutnya hingga hari Jum’at berikutnya. Pada Jum’at berikut itulah orang Arab badui tersebut, atau orang yang lain berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, banyak bangunan yang roboh, harta benda tenggelam dan hanyut, maka berdo’alah kepada Allah untuk kami.” Beliau lalu mengangkat kedua telapak tangannya dan berdoa: اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا (Ya Allah, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan jangan sampai menimbulkan kerusakan kepada kami) ‘. Belum lagi beliau memberikan isyarat dengan tangannya kepada gumpalan awan, melainkan awan tersebut hilang seketika. Saat itu kota Madinah menjadi seperti danau dan aliran-aliran air, Madinah juga tidak mendapatkan sinar matahari selama satu bulan. Dan tidak seorang pun yang datang dari segala pelosok kota kecuali akan menceritakan tentang terjadinya hujan yang lebat tersebut.” (HR. Bukhori no. 933)
Kedua : Boleh menjamak sholat jum’at dan sholat ashar, maka ini adalah dzohir dari pendapat madzhab Maliki, karena mereka membolehkan menjamak dua shalat fardhu yang waktunya saling berkaitan seperti antara dzuhur dan ashar atau maghrib dan isya (lihat Al-Muqaddimat Al-Mumahhidat 1/186) sementara mereka memandang bahwa waktu sholat jumat adalah waktu sholat dzuhur (lihat At-Tamhiid At-Tamhid 8/71).
Dan ini juga adalah pendapat madzhab Syafi’i. Meskipun madzhab syafi’i dalam hal ini terbagi menjadi 3 kelompok :
- ada yang membolehkan secara mutlak, baik jamak taqdim maupun jamak ta’khir. Ini adalah pendapat an-Nawawi (lihat Al-Majmu’ 4/383)
- ada yang tidak membolehkan secara mutlak, ini adalah pendapat Ar-Ruyani (lihat Bahrul Madzhab 2/308)
- dan ada yang membolehkan dengan jamak taqdim saja. Ini adalah pendapat mayoritas ulama syafi’iyah, diantaranya Al-‘Imrani, Az-Zarkasyi, Zakariya Al-Anshari (Lihat : Asnal Mathalib 1/242), Asy-Syirbini (Lihat : Mughnil Muhtaj 1/529) , Syamsuddin Ar-Ramli (Lihat : Nihayatul Muhtaj 2/272-273), Al-Bujairami (Lihat : Hasyiah Al-Bujairami Alal Khathib 2/175), Ibnu Hajar Al Haitami (Lihat : Tuhfatul Muhtaj Fi Syarhi Al-Minhaj 2/394).
Alasan mereka adalah:
- Mengqiyaskan dengan shalat zhuhur, ketika shalat zhuhur boleh dijamak dengan ashar maka begitu pula shalat jum’at yang waktunya sama dengan shalat zhuhur boleh dijamak dengan shalat ashar.
Jika ada yang mengatakan ini masuk dalam Qiyas dalam ibadah, maka Qiyas yang tidak dibolehkan dalam ibadah adalah bila dia tidak bisa dicerna oleh akal (ghairu ma’qulil ma’na). Adapun masalah ini, yakni menjamak shalat, maka termasuk hal yang ma’qulul ma’na, karena kita tahu bahwa maksud dari menjamak dua shalat ini adalah untuk meringankan kaum muslimin dan menjauhkan mereka dari kesulitan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas -radhiyallahu anhuma- [HR. Muslim: 705].
- Bahwa shalat Jum’at adalah gantinya shalat Zhuhur dan pengganti itu bisa mengambil hukum sesuatu yang digantikannya. Sehingga ketika shalat Zhuhur bisa dijamak dengan shalat Ashar, maka begitu pula shalat Jum’at bisa diganti dengan shalat Ashar.
Diantara bukti bahwa shalat Jum’at itu pengganti shalat Zhuhur adalah:
Pertama : Ketika makmum masbuq dan hanya mendapati shalatnya imam kurang dari satu rekaat, maka dia harus menyempurnakannya menjadi shalat Zhuhur empat rekaat.
Kedua : Saat makmum ketinggalan shalat Jum’at, baik masih dalam waktunya, ataupun sudah keluar waktunya, dia harus melakukan shalat Zhuhur, bukan shalat Jum’at.
Ketiga : Saat seseorang sedang safar di hari jum’at dan tidak melakukan shalat Jum’at, maka yang dilakukan adalah shalat Zhuhur.
Dan secara umum, ketika shalat Jum’at ditinggalkan, harus diganti dengan shalat Zhuhur. Sebaliknya ketika shalat Jum’at dilakukan, maka shalat Zhuhur menjadi gugur. Ini semua menguatkan kesimpulan bahwa shalat Jum’at adalah gantinya shalat Zhuhur.
Jika demikian, maka sebagaimana ada rukhshah jamak dalam shalat Zhuhur, begitu pula harusnya ada rukhshah jamak dalam shalat Jum’at. Wallahu a’lam.
- Adanya kesamaan antara shalat Jum’at dengan shalat Zhuhur dalam hal udzur. Shalat Jum’at sama dengan shalat Zhuhur dalam hal udzur-udzur yang membolehkan seseorang untuk tidak mendatanginya. Maka konsekuensi dari adanya udzur tersebut harusnya juga sama, diantaranya adanya keringanan untuk menjamak.
- Karena ma’na menjamak antara 2 shalat adalah meletakkan salah satu shalat di waktu shalat yang lain, dan ini didapatkan di shalat jum’at, dan shalat jum’at waktunya tidak berubah akan tetapi kita hanya memajukan shalat ashar ke dalam waktu shalat jum’at, dan ketika kita melakukan jamak taqdim antara shalat zhuhur dengan ashar diselain hari jum’at sama seperti ketika kita menjamak taqdim antara shalat jum’at dengan ashar.
- Karena Allah memberi keringanan kepada orang yang safar dan tidak mewajibkan mereka untuk melaksanakan shalat jum’at, dan menjadikan safar salah satu udzur yang menggugurkan wajibnya shalat jum’at, walaupun demikian ketika musafir tersebut melaksanakan shalat jum’at maka sah shalatnya karena kemudahan dan rahmat dari Allah, maka bagaimana mungkin dia di beratkan dengan dilarang untuk menjamak shalat jum’at dengan shalat ashar?
- Karena waktu shalat jumat dan shalat zhuhur itu sama.
- Dan syari’at tidak memisahkan antara 2 yang semisal, sebagaimana tidak menggabung antara 2 perkara yang berbeda, ketika didapati ‘illah atau sebab untuk menjamak maka didapati hukum bersama dengan illah tersebut, dan disini kita dapati illah menjamak adalah keringanan dari masyaqqoh, maka apa bedanya antara menjamak zhuhur bersama ashar dengan menjamak antara shalat jum’at dengan ashar ketika keduanya sama-sama didapati didalamnya terdapat masyaqqoh atau mungkin masyaqqoh pada shalat jum’at lebih berat.
- Tidak ada penukilan dari Rasulullah tentang pelarangan menjamak antara shalat jum’at dengan shalat ashar padahal banyak terjadinya safar dihari shalat jum’at, apabila tidak boleh maka aka nada penukilan dari Rasulullah.
- Adapun kisah A’robi yang minta Nabi untuk berdoa lantas turun hujan di hari jumát, dan ternyata Nabi tidak menjamaknya dengan shalat ashar, maka jawabannya :
Pertama : Hujan tidaklah mewajibkan untuk menjamak shalat, akan tetapi salah satu sebab untuk dibolehkannya menjamak. Dan bisa jadi ketika itu Nabi memilih ázimah (hukum asal) dan tidak mengambil rukhshoh untuk menjamak.
Kedua : Secara logika, jika ternyata dalam kejadian tersebut ada sekelompok orang yang ternyata terlambat datang menghadiri sholat jumát sehingga akhirnya hanya bisa shalat dzuhur, maka apakah diizinkan bagi mereka untuk menjamak shalat dzuhur dan shalat ashar ?. Tentu sepakat dibolehkan bagi mereka. Maka sungguh aneh jika jamaah yang hadir sejak awal untuk melaksanakan shalat jumát dilarang untuk menjamaknya dengna shalat ashar, sementara yang terlambat sehingga hanya bisa shalat dzuhur dibolehkan untuk menjamaknya dengan shalat ashar?, padahal masyaqqoh (kesulitan) yang dihadapi oleh kedua kelompok tersebut adalah sama, sama-sama terhalangi untuk pulang ke rumah akibat hujan yang deras.
Dan pendapat yang lebih kuat adalah yang membolehkan jamak shalat jumát dan shalat ashar dengan taqdim saja. Karena ketika shalat Jum’at dijamak secara taqdim, maka yang menjadi berubah adalah waktu shalat Asharnya, bukan waktu shalat Jum’at-nya.
Jika demikian, maka tidak ada perbedaan antara shalat Ashar di hari Jum’at dengan shalat Ashar di hari-hari lainnya. Jika shalat Ashar di hari-hari lainnya boleh dijamak taqdim, maka harusnya shalat Ashar di hari Jum’at juga boleh dijamak taqdim, karena tidak adanya perbedaan di antara shalat-shalat Ashar tersebut. Wallahu a’lam bis showaab.
([47]) Adapun Abu Hanifah menyatakan bahwa makmum masbuk mendapati shalat jum’at dengan mendapati bagian apapun dari shalat imam, berdalil dengan hadits Abu Huroiroh:
«إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ، فَلاَ تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ، وَأْتُوهَا تَمْشُونَ، عَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا»
“Jika shalat telah didirikan (terdengar iqamat), maka janganlah mendatanginya dengan berlari (tergesa-gesa). Datangilah shalat itu dengan berjalan tenang. Apa yang kamu dapati dari imam, maka shalatlah (kerjakanlah sepertinya), dan apa yang terlewatkan darimu maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari no. 908 dan Muslim no. 151)
Sisi pendalilannya: hadits keumumannya ini menunjukkan bahwa apabila makmum masbuk mendapati sedikit dari shalat imamnya, walaupun itu tasyahhud, maka dia shalat dengan posisi yang ia dapati, setelah itu ia bisa menyempurnakan yang tersisa dan tidak perlu menambahkan.
Akan tetapi, jika kita lihat ketika dia hanya mendapatkan tasyahhud, maka dia harus menyempurnakan shalatnya dua raka’at sendirian, maka seakan-akan dia melakukan shalat jum’at secara sendirian, dan kita ketahui shalat jum’at tidak boleh dilakukan sendirian.
Ada juga yang berpendapat: orang yang tidak mendapati khutbah imam maka ia harus mengerjakan shalat zhuhur empat raka’at.