Shalat-Shalat Wajib
Yang dimaksud di sini adalah shalat-shalat yang wajib dilakukan mencakup yang fardhu ‘ain (yaitu wajib bagi setiap orang) dan fardhu kifayah (jika telah dilakukan oleh sebagian orang maka telah gugur kewajibannya).
Shalat 5 waktu
Permasalahan:
Hukum Qunut Subuh
Secara umum para ulama berselisih pendapat dalam qunut subuh menjadi dua:
PERTAMA : Qunut subuh tidak disyariatkan.
Ini adalah pendapat Hanafiyah dan Hanabilah.
Pertama : Hanafiyah : Qunut subuh adalah bidáh([1])
Kedua : Qunut subuh adalah tidak dianjurkan dan makruh([2])
Akan tetapi Imam Ahmad rahimahullah tidak mencela orang yang qunut subuh. Beliau berkata :
لَا أُعَنِّفُ مَنْ يَقْنُتُ
“Aku tidak mencela orang yang qunut”
Imam Ahmad membolehkan untuk kontinyu (selalu) qunut subuh jika dalam rangka mendoakan kaum muslimin agar menang mengalahkan musuh.
Abdullah (putra Imam Ahmad) berkata :
إِنْ قَنَتَ فِي الصَّلَوَات كلهَا؟ قَالَ لَا إِلاَّ فِي الْوِتْرِ وَالْغَدَاةِ فَإِذَا كَانَ يَسْتَنْصِرُ وَيَدْعُو لِلْمُسْلِمِيْنَ
“Jika ia qunut dalam seluruh sholat?”. Imam Ahmad menjawab, “Tidak, kecuali di sholat witir dan subuh jika ia meminta pertolongan dan mendoakan kaum muslimin” ([3])
Beliau juga berkata :
وَإِنْ قَنَتَ رَجُلٌ السَّنَةَ لَمْ أَرَ بِهِ بَأْسًا فِي الْوِتْرِ وَإِنْ هُوَ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ إِذَا دَعَا عَلَى الْكَفَرَة وَيَدْعُو للْمُسْلِمِيْنَ لَمْ أَرَ بِهِ بَأْسًا
“Jika seseorang qunut sepanjang tahun menurutku tidak mengapa jika di sholat witir. Jika dia qunut di sholat subuh maka jika dia meminta kehancuran bagi kaum kafir dan mendaoakan kaum muslimin maka menurutku tidak mengapa” ([4])
Bahkan dalam riwayat yang lain dari Imam Ahmad memberikan rukhshah (keringanan) untuk qunut dalam shalat subuh meskipun beliau tidak memandangnya disyari’atkan.([5])
KEDUA : Qunut subuh disyariatkan.
Ini adalah pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah([6]), dan Dzohiryah :
Pertama : Pendapat yang masyhur dari Malikiyah: Qunut subuh dianjurkan dan sebuah keutamaan. ([7])
Dalilnya adalah riwayat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut subuh, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Khaffaf bin Ima’, Al-Bara’ dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum.
Kedua : Pendapat Syafi’iyah: Qunut subuh adalah sunnah.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan:
اعْلَمْ أَنَّ الْقُنُوتَ مَشْرُوعٌ عِنْدَنَا فِي الصُّبْحِ، وَهُوَ سُنَّةٌ مُتَأَكِّدَةٌ
“Ketahuilah sesungguhnya qunut disyariatkan menurut kami ketika subuh, dan dia adalah sunnah muakkadah (ditekankan)”. ([8])
Ketiga : Pendapat Ibnu Hazm rahimahullah: Qunut dianjurkan setiap shalat fardhu, baik subuh maupun lainnya.
Beliau berkata :
وَالْقُنُوْتُ فِعْلٌ حَسَنٌ، بَعْدَ الرَّفْعِ مِنَ الرُّكُوْعِ فِي آخِرِ رَكْعَةٍ مِنْ كُلِّ صَلاَةِ فَرْضٍ – الصُّبْحِ وَغَيْرِ الصُّبْحِ، وَفِي الْوِتْرِ، فَمَنْ تَرَكَهُ فَلاَ شَيْءَ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ
“Qunut adalah perbuatan yang baik, setelah bangkit dari ruku’ di akhir rakaat setiap shalat fardhu (baik subuh maupun selain subuh) dan dalam witir, siapa yang meninggalkannya maka tidak mengapa”. ([9])
Dalil pendapat yang mengatakan tidak disyariatkan
Dalil utama pendapat ini adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
” قَنَتَ فِي صَلاةِ الْفَجْرِ شَهْرًا يَدْعُو فِي قُنُوتِهِ عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ، ثُمَّ تَرَكَهُ ”
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam qunut dalam shalat subuh selama satu bulan, beliau mendoakan keburukan kepada sebagian kampung Arab, kemudian beliau menginggalkannya”. ([10])
Ini menunjukkan bahwa qunut tersebut mansukh (dihapus), karena beliau meninggalkannya.
Dan riwayat Abu Malik Al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu:
عَنْ أَبِي مَالِكٍ سَعْدِ بْنِ طَارِقٍ الأَشْجَعِيِّ قَالَ: قُلْتُ لأَبِي: يَا أَبَتِ، إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ، وَأَبِي بَكْرٍ وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ هَاهُنَا بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ، أَكَانُوا يَقْنُتُونَ؟ قَالَ: أَيْ بُنَيَّ، مُحْدَثٌ. وَفِي لَفْظٍ: يَا بُنَيَّ إِنَّهَا بِدْعَةٌ.
Aku bertanya kepada ayahku: Ayah, sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Utsman dan Ali di sini di Kufah sekitar lima tahun, apakah mereka melakukan qunut? Ia berkata: Wahai anakku, itu adalah sesuatu yang diada-adakan, dalam lafadz lain: Wahai anakku, sesungguh itu adalah bid’ah. ([11])
Mereka memiliki sejumlah dalil lainnya, akan tetapi yang nampak adalah hadits Abu Malik Al-Asyja’i inilah dalil terkuat pendapat ini.
Dalil Pendapat Disyariatkan Qunut Subuh([12])
Telah datang hadits-hadits tentang qunut dari beberapa sahabat. Diantaranya hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dan hadits-hadits Anas terbagi menjadi dua model:
- Pendalilannya sharih (jelas) tapi sanadnya diperselisihkan
- Sanadnya shahih tapi segi pendalilannya tidak sharih (jelas)
Pertama : Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu melakukan qunut sampai wafat
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ يَعْنِي الرَّازِيَّ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Menceritakan padaku Abdurrazzaq, ia berkata menceritakan padaku Abu Ja’far yaitu Ar-Razi, dari Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu qunut subuh hingga meninggal dunia”. ([13])
Catatan: hadits ini bermasalah pada salah satu rawi bernama Isa bin Mahan yang dikenal dengan Abu Ja’far Ar-Razi. Para ulama yang memandang tidak disyari’atkannya qunut subuh karena mereka melemahkan hadits ini disebabkan perawi di atas.
Oleh karenanya perlu kita lihat penjelasan ulama hadits terutama mengenai Abu Ja’far Ar-Razi, dan berikut daftar pernyataan ulama tentang Abu Ja’far:
Pernyataan Ulama Hadits Mengenai Abu Ja’far Ar-Razi | ||
المتساهلون | المعتدلون | المتشددون |
الحاكم : البخاري ومسلم قد هجرا أبا جعفر الرازي ولم يخرجا عنه وحاله عند سائر الأئمة أحسن الحال. وقال مرة : ثقة | أحمد : رواية حنبل (صالح الحديث) ورواية عبد الله (ليس بقوي في الحديث) | يحيى : روايات (ثقة – يكتب حديثه لكنه يخطئ – صالح – ثقة وهو يغلط فيما يروي عن مغيرة – صدوق ليس بمتقن) |
علي بن المديني : روايات (نحو موسى بن عبيدة يخلط فيما روى عن مغيرة ونحوه – كان عندنا ثقة) | أبو حاتم الرازي : ثقة صدوق صالح الحديث | |
أبو زرعة الرازي : شيخ يهم كثيرا | النسائي : ليس بالقوي | |
ابن عدي : ليس له أحاديث صالحة وقد روى عنه الناس، وأحاديثه عامتها مستقيمة، وأرجو أنه لا بأس به | ابن خراش : سيء الحفظ صدوق | |
محمد بن سعد : كان ثقة، وكان يقدم بغداد يسمعون منه | ||
ابن عبد البر : هو عندهم ثقة عالم يفسر القرآن | ||
Silahkan merujuk:
1. Al-Badrul Munir, Ibnul Mulaqqin 3/622 2. Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar 12/50 |
Kesimpulan Ibnu Hajar tentang Abu Ja’far Ar-Razi:
أَبَو جَعْفَرَ الرَّازِي التَّمِيْمِي [التَّيْمِي] مَوْلاَهُمْ مَشْهُوْرٌ بِكَنْيَتِهِ، وَاسْمُهُ عِيْسَى بْنِ أَبِي عِيْسَى عَبْدِ اللهِ بْنِ مَاهَانَ وَأَصْلُهُ مِنْ مَرْو وَكَانَ يَتَّجِرُ إِلَى الرَّيِ، صَدُوْقٌ سَيِّءُ الْحِفْظِ خُصُوْصًا عَنْ مُغِيْرَةَ
“Abu Ja’far Ar-Razi At-Tamimi [At-Taimi] adalah maula mereka, terkenal dengan kunyahnya, namanya adalah Isa bin Abu Isa Abdullah bin Mahan, asalnya dari Maru pernah berdagang ke Ray, beliau shaduq sayyi’ul hifzi (jujur hafalannya buruk) khususnya dari Mughirah” ([14])
Kesimpulan Ibnu Hajar ini sangat kuat mengingat :
- Ulama yang yang menilai Abu Ja’far tsiqoh lebih banyak, bahkan dari para ulama yang dikenal dengan mutasyaddid (ketat dan sangat mudah melemahkan kredibilitas para perawi)
- Para ulama yang melemahkan Abu Ja’far juga dengan bentuk pelemahan yang tidak keras, dan sebagian hanya melemahkan jika meriwayatkan dari Mughiroh
Siapa saja yang menshahihkan hadits ini?
- Al-Qurthubi, sebagaimana dinukil oleh Ibnul Mulaqqin rahimahullah:
وروى البيهقي عن الخلفاء الأربعة القنوت فيه أيضا، وأعجبني قول القرطبي في “شرح مختصر مسلم”: الذي استقر عليه أمر النبي – صلى الله عليه وسلم – في القنوت هذا الحديث المخرج عند الدارقطني بإسناد صحيح.
“Dan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari para khalifah empat mereka qunut padanya (subuh) juga, dan menakjubkanku ucapan Al-Qurthubi dalam “Syarh Mukhtashar Muslim”: yang menetap dalam perkara Rasulullah dalam qunut adalah hadits ini yang dikeluarkan Ad-Daruquthni dengan sanad shahih”. ([15])
Ibnul Mulaqqin rahimahullah setelah menyebutkan hadits tersebut mengatakan: “Dalam sanadnya terdapat Abu Ja’far Ar-Razi dan di-tsiqah-kan oleh banyak kalangan”. ([16])
- Abu Abdillah Muhammad bin ‘Ali Al-Balkhi
- Abu Abdillah Al-Hakim
- Abu Bakar Al-Baihaqi
Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Shalah rahimahullah: Hadits ini telah dihukumi shahih lebih dari satu dari kalangan huffadz al-hadits, di antara mereka: Abu Abdullah Muhammad bin ‘Ali Al-Balkhi imam hadits, Abu Abdillah Al-Hakim, dan Abu Bakar Al-Baihaqi. ([17])
- Ibnu Batthal ([18])
وثبت قنوته في الصبح، وصح الخبر عنه أنه لم يزل يقنت في صلاة الصبح حتى فارق الدنيا
“dan telah tetap qunut beliau dalam subuh, dan telah shahih kabar (hadits) dari beliau bahwa beliau selalu qunut dalam shalat subuh hingga beliau meninggal dunia.”
- Ibnu Hajar menghasankan hadits dalam Nataijul Afkar. ([19])
Hadits Anas tentang Rasulullah qunut hingga beliau wafat, dari jalur lain:
- Jalur Ismail Al-Makki dan Amr bin Ubaid dari Al-Hasan dari Anas, lafadznya adalah:
قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَأَحْسِبُهُ قَالَ رَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ.
“Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhum -aku mengira ia berkata: empat- qunut sampai aku tinggalkan mereka”. ([20])
Ismail Al-Makki ([21]) dan Amr bin Ubaid Al-Mu’tazili ([22]) keduanya lemah.
- Dari jalur Dinar bin Abdullah, pembantu Anas, lafadznya adalah:
مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقْنُتُ فِي صَلاةِ الصُّبْحِ حَتَّى مَاتَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam senantiasa melakukan qunut dalam shalat subuh sampai beliau meninggal dunia”. ([23])
Marilah kita simak keterangan dari Al-Allamah Al-Mu’allimi Al-Yamani:
وأما حديث “ما زال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم يقنت في الصبح حتى مات” فقد ورد من وجهين آخرين أو أكثر عن أنس، صحح بعض الحفاظ بعضها وجاء نحو معناه من وجوه أخرى راجع سنن الدارقطني وسنن البيهقي، وبمجموع ذلك يقوى الحديث.
“Adapun hadits “Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam senantiasa melakukan qunut dalam shalat subuh sampai beliau meninggal dunia” maka datang dari dua jalur lain atau lebih dari Anas, sebagian huffadz menshahihkan sebagiannya, dan datang juga semakna dengannya dari jalur yang lain, lihat Sunan Ad-Daruquthni dan Sunan Al-Baihaqi, dan dengan gabungan semuanya maka hadits tersebut menjadi kuat”. ([24])
Silahkan melihat di gambar berikut jalur-jalur riwayat hadits Anas bin Malik dalam masalah qunut subuh:
Catatan:
Kalaupun seandainya kita anggap hadits Anas dari jalur Abu Ja’far Ar-Razi ini lemah, maka harus diperhatikan beberapa poin:
- Sangat jelas ada perbedaan lafadz ulama-ulama besar jarh wa ta’dil ketika menyebutkan Abu Ja’far Ar-Razi, bahkan Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullah yang tergolong mutasyaddid dalam menilai rijal, beliau mengatakan: Tsiqah Shaduq Shalihul Hadits. Sebagian mereka menyebutkan bahwa lemah jika meriwayatkan dari Al-Mughirah, sementara dalam hadits qunut subuh ini beliau meriwayatkan dari Ar-Rabi’ bin Anas. Dari sini maka sangat wajar jika setelah itu para ulama berbeda pendapat tentang qunut subuh, karena mereka membangun hukum di atas dalil.
- Gugurnya hadits ini bukan berarti sudah final bahwa qunut subuh pun gugur, karena hadits ini bukan satu-satunya dalil qunut subuh, sehingga perlu kita lihat dalil-dalil lain, misalnya amalan para sahabat.
- Tidak bisa dikatakan bahwa disyariatkan qunut subuh hanya pendapat fuqaha karena mengikuti madzhab mereka dan bukan mengikuti dalil, sebab faktanya justru banyak ulama syafi’iah seperti Al-Baihaqi, An-Nawawi, Ibnu Shalah, Ibnul Mulaqqin, mereka adalah ulama besar di bidang hadits dan mereka juga terkemuka di bidang ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits.
Kedua : Hadits Anas bin Malik qunut setelah rukuk sedikit
عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ قُلْتُ لأَنَسٍ هَلْ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا.
“Dari Muhammad (bin Sirin), aku bertanya kepada Anas: Apakah Rasulullah qunut dalam shalat subuh? Ia menjawab: Ya, setelah rukuk sedikit”. ([25])
Segi pendalilan:
Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan:
فإن مفهوم قوله بعد الركوع يسيرا يحتمل أن يكون وقبل الركوع كثيرا ويحتمل أن يكون لا قنوت قبله أصلا
“Mafhum dari ada kemungkinan sebelum ruku’ banyak dan ada kemungkinan sama sekali tidak melakukan qunut sebelumnya”. ([26])
Ketiga: Hadits Anas bin Malik qunut setelah rukuk selama satu bulan
عَاصِمٌ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنِ الْقُنُوتِ فَقَالَ قَدْ كَانَ الْقُنُوتُ قُلْتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ قَالَ قَبْلَهُ قَالَ فَإِنَّ فُلَانًا أَخْبَرَنِي عَنْكَ أَنَّكَ قُلْتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَقَالَ كَذَبَ إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا أُرَاهُ كَانَ بَعَثَ قَوْمًا يُقَالُ لَهُمُ الْقُرَّاءُ زُهَاءَ سَبْعِينَ رَجُلًا إِلَى قَوْمٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ دُونَ أُولَئِكَ وَكَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ فَقَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ.
Dari Ashim ia berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang qunut, beliau menjawab: Qunut sudah lama dikerjakan. Aku bertanya: Sebelum ruku’ atau setelahnya? Beliau menjawab: Sebelumnya. Ia berkata: Karena fulan menceritakan padaku dari engkau bahwa engkau mengatakan: Setelah ruku’. Beliau menjawab: Dia berdusta (salah), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut setelah ruku’ hanya selama satu bulan, beliau mengutus suatu rombongan yang dikenal dengan Al-Qurra’ berjumlah sekitar 70 orang kepada satu kaum dari musyrikin sedangkan jumlah mereka lebih sedikit dari mereka, pada saat itu antara mereka dan Rasulullah terdapat perjanjian. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam qunut selama satu bulan mendoakan keburukan atas mereka. ([27])
Hadits ini menunjukkan bahwa qunut ada dua([28]):
- Qunut Nawazil yang dilakukan setelah ruku’.
- Qunut yang dilakukan sebelum ruku’, jika bukan qunut subuh maka adakah qunut dalam shalat wajib lainnya? Sedangkan dalam selain subuh tidak ada ulama yang mengatakan disyariatkan qunut.
Imam As-Syaukani rahimahullah mengatakan:
واعلم أنه قد وقع الاتفاق على ترك القنوت في أربع صلوات من غير سبب وهي الظهر والعصر والمغرب والعشاء ولم يبق الخلاف إلا في صلاة الصبح من المكتوبات وفي صلاة الوتر من غيرها .
Ketahuilah bahwa telah disepakati meninggalkan qunut dalam empat shalat jika tidak ada sebab, yaitu dhuhur, asar, maghrib dan isya. Tidak tersisa khilaf kecuali dalam shalat subuh dalam shalat wajib dan shalat witir untuk selain wajib. ([29])
Kesimpulan Ibnu Hajar rahimahullah adalah:
ومجموع ما جاء عن أنس من ذلك أن القنوت للحاجة بعد الركوع لا خلاف عنه في ذلك وأما لغير الحاجة فالصحيح عنه أنه قبل الركوع
“Secara kesuluruhan, riwayat dari Anas adalah bahwa qunut karena ada kebutuhan yang dilakukan setelah ruku’ tidak ada khilaf, adapun jika qunut tanpa ada kebutuhan maka yang shahih dari beliau adalah sebelum ruku’”. ([30])
Ketiga : Hadits Al-Bara’ bin Azib qunut subuh dan maghrib
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقْنُتُ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبِ.
“Dari Al-Bara’ bin Azib, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu qunut dalam shalat subuh dan maghrib”. ([31])
Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan sisi pendalilannya:
وتمسك به الطحاوي في ترك القنوت في الصبح قال لأنهم أجمعوا على نسخه في المغرب فيكون في الصبح كذلك انتهى ولا يخفى ما فيه وقد عارضه بعضهم فقال أجمعوا على أنه صلى الله عليه وسلم قنت في الصبح ثم اختلفوا هل ترك فيتمسك بما أجمعوا عليه حتى يثبت ما اختلفوا فيه.
dan (hadits ini) dipegang oleh At-Thahawi dalam meninggalkan qunut subuh, ia mengatakan karena mereka sepakat bahwa qunut di-naskh dalam maghrib, maka begitupula dalam subuh, selesai ucapan beliau dan tidak ada yang samar di sini. Akan tetapi sebagian ulama membantahnya bahwa mereka sepakat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam qunut dalam subuh, kemudian setelah itu mereka berbeda pendapat apakah beliau meninggalkannya? Maka dari sini, yang dapat dijadikan pegangan adalah ijma’ mereka (dalam melakukan qunut subuh) sampai dapat ditentukan shahihnya apa yang mereka perselisihkan. ([32])
Keempat : Riwayat para salaf dalam qunut subuh:
Banyak ulama menyebutkan bahwa qunut subuh merupakan pendapat mayoritas.
Imam Nawawi rahimahullah
في مذاهب العلماء في اثبات القنوت في الصبح: مذهبنا أنه يستحب القنوت فيها سواء نزلت نازلة أو لم تنزل وبها قال أكثر السلف ومن بعدهم أو كثير منهم
Madzhab ulama dalam penetapan qunut subuh: Madzhab kami adalah qunut tersebut mustahab, baik ada bencana maupun tidak, ini adalah pendapat kebanyakan salaf dan setelah mereka atau kebanyakan mereka. ([33])
Al-Hazimi rahimahullah
فَذَهَبَ أَكْثَرُ النَّاسِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الْأَمْصَارِ إِلَى إِثْبَاتِ الْقُنُوتِ
“Madzhab mayoritas dari kalangan sahabat, tabi’in dan setelah mereka dari kalangan ulama besar adalah menetapkan qunut” ([34])
Al-Hazimi rahimahullah menyebutkan para salaf yang qunut subuh:
Dari kalangan sahabat (ada 19 orang): empat khulafa rasyidun, Ammar bin Yasir, Ubai bin Ka’ab, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdurrahman bin Abu Bakar As-Shiqqid, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Al-Bara bin Azib, Anas bin Malik, Abu Halimah Mu’adz bin Harits Al-Anshari, Khufaf bin Ima’, Ahban bin Shaifi, Sahl bin Sa’id, Arfajah bin Syuraih, Muawiyah bin Abi Sufyan, Aisyah radhiyallahu ‘anhum.
Dari kalangan muhadhram (ada 4 orang): Abu Raja’ Al-Utharidi, Suwaid bin Ghafalah, Abu Utsman An-Nahdi, Abu Rafi’ As-Shaigh.
Dari kalangan tabi’in (ada 15 orang): Sa’id bin Al-Musayyib, Al-Hasan bin Abil Hasan, Muhammad bin Sirin, Aban bin Utsman, Qatadah, Thawus, Ubaid bin Umair, Ar-rabi’ bin Khutsaim, Ayyum As-Sakhtiyani, Abidah As-Salmani, Urwah bin Zubair, Ziyad bin Utsman, Abdurrahman bin Abi Laila, Umar bin Abdul Aziz, Humaid At-Thawil rahimahumullah.
Dari kalangan imam fuqaha: Abu Ishaq, Abu Bakr bin Muhammad, Al-Hakam bin Utaibah, Hammad, Malik bin Anas, Ahlul Hijaz, Al-Auza’I, mayoritas penduduk Syam, As-Syafi’i dan penganut madzhab beliau, dari At-Tsauri ada dua riwayat, dan banyak orang selain mereka rahimahumullah.
Dan diselisihi oleh sekelompok ulama, mereka menolak disyariatkannya qunut subuh, dan sejumlah mereka menganggap dahulu disyariatkan kemudian mansukh berdasarkan hadits-hadits yang disangka naskh. ([35])
Imam Malik rahimahullah berkata:
وإن ابن مسعود والحسن وأبا موسى الأشعري وأبا بكرة وابن عباس وعبد الرحمن بن أبي ليلى قالوا: القنوت في الفجر سنة ماضية، وإن ابن سيرين والربيع بن خثيم قنتا قبل الركعة، وعبيدة السلماني قبل الركوع، والبراء بن عازب قبل الركعة، وأبا عبد الرحمن السلمي، كل هؤلاء في الصبح من حديث ابن وهب.
“Sesungguhnya Ibnu Mas’ud, Al-Hasan, Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Bakrah, Ibnu Abbas, dan Abdurrahman bin Abi Laila semuanya berkata: Qunut dalam subuh adalah sunnah yang sudah berlaku atau berjalan di masyarakat. Sesungguhnya Ibnu Sirin dan Rabi’ bin Khutsaim qunut sebelum ruku’, Ubaidah As-Salmani qunut sebelum ruku’, Al-Bara bin Azib qunut sebelum ruku’ dan juga Abu Abdirrahman As-Sulami, mereka semua adalah dalam shalat subuh dari hadits Ibnu Wahb”. ([36])
Imam Tirmidzi rahimahullah secara tegas menyatakan bahwa ini adalah pendapat sebagian ulama dari kalangan sahabat dan setelah mereka:
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِ الْقُنُوتِ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- وَغَيْرِهِمُ الْقُنُوتَ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ. وَقَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ لاَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ إِلاَّ عِنْدَ نَازِلَةٍ تَنْزِلُ بِالْمُسْلِمِينَ فَإِذَا نَزَلَتْ نَازِلَةٌ فَلِلإِمَامِ أَنْ يَدْعُوَ لِجُيُوشِ الْمُسْلِمِينَ.
Para ulama berbeda pendapat dalam qunut subuh, sebagian ulama dan dari kalangan sahabat Nabi dan selain mereka berpendapat melakukan qunut dalam shalat subuh, ini adalah pendapat Malik dan As-Syafi’i. Sedangkan Ahmad dan Ishaq mengatakan tidak qunut dalam subuh kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin, maka hendaknya imam berdoa untuk pasukan kaum muslimin. ([37])
Ar-Rafi’i rahimahullah berkata: “Qunut subuh diriwayatkan juga dari khalifah yang empat”, dan begitulah seperti yang ia katakan, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanadnya sampai kepada Al-Awwam bin Hamzah, ia berkata:
الْعَوام بن حَمْزَة قَالَ: «سَأَلت أَبَا عُثْمَان عَن الْقُنُوت فِي الصُّبْح قَالَ: بعد الرُّكُوع. قلت: عَمَّن؟ قَالَ: عَن أبي بكر وَعمر وَعُثْمَان»
Aku bertanya kepada Abu Utsman tentang qunut subuh, ia menjawab: setelah ruku’, aku bertanya lagi: dari siapa? Ia menjawab: Dari Abu Bakar, Umar dan Utsman. ([38])
Sebagian ulama ada yang menganggap keduanya baik, Sufyan At-Tsauri rahimahullah misalnya:
وَقَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ: إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ.
Jika qunut subuh maka baik dan jika tidak qunut juga baik. ([39])
Ibnu Abdil Barr rahimahullah menerangkan pendapat para sahabat:
Dalam qunut subuh terdapat perbedaan riwayat-riwayat dari Rasulullah dan ada perbedaan dalam riwayat dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud dan selain mereka. Diriwayatkan dari mereka qunut subuh dan diriwayatkan juga sebaliknya. Begitupula apakah qunut tersebut sebelum ruku’ atau setelahnya. Yang paling banyak menyebutkan riwayat tersebut adalah kitab Mushannaf, seperti Ibnu Abi Syaibah dan lainnya. ([40])
Riwayat terbanyak dari Umar bin Khatthab adalah qunut subuh dan diriwayatkan dari berbagai jalur yang bersambung dan shahih. Adapun Ibnu Umar maka tidak qunut dan tidak ada perselisihan tentang beliau. ([41])
Catatan:
Banyak riwayat yang dibawakan oleh para ulama lafadznya menyebutkan qunut secara mutlak pada shalat subuh, sehingga mungkin saja ada yang memahami bahwa qunut mutlak tersebut harus dibawa ke qunut nazilah, karena membawa mutlak ke muqayyad, maka jawabannya adalah kita tanya: Jika nazilah, lantas apa faidahnya riwayat-riwayat tersebut mengkhususkan dengan shalat subuh?
Ini menunjukkan bahwa shalat subuh berbeda dan memiliki nilai lebih dibandingkan dengan shalat lainnya dengan qunut tersebut, wallahu a’lam.
Al-Baji rahimahullah berkata:
فَذَهَبَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ الْقُنُوتَ مَشْرُوعٌ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ وَأَنَّهُ مِنْ فَضَائِلِ الصُّبْحِ
“Madzhab Malik dan Syafii adalah qunut disyariatkan pada shalat subuh dan itu adalah salah satu keutamaan shalat subuh”. ([42])
Ibnul Arabi rahimahullah membuat pernyataan menarik, beliau mengatakan:
ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم قنت في صلاة الفجر، وثبت أنه قنت قبل الركوع وبعد الركوع، وثبت أنه قنت لأمر نزل بالمسلمين من خوف عدو وحدوث حادث، ولكن قنت الخلفاء بالمدينة، وسنه عمر، واستقر بمسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم فلا تلتفتوا إلى غير ذلك، ولكن ليس فيه دعاء صحيح، فخذوا من دعاء النبي صلى الله عليه وسلم ما ثبت.
“Telah tetap (shahih) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam qunut dalam shalat subuh, dan telah shahih juga beliau qunut sebelum ruku’ dan setelah ruku’, dan telah shahih juga beliau qunut karena ada perkara yang menimpa kaum muslimin berupa ketakutan musuh dan terjadinya suatu peristiwa, akan tetapi para khulafa di Madinah dan disunnahkan oleh Umar dan menjadi amalan yang selalu dilakukan di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka janganlah kalian menoleh ke selain itu, akan tetapi tidak ada di dalamnya doa yang shahih, maka ambillah doa Nabi yang shahih”. ([43])
Jawaban Untuk Pendapat Yang Mengatakan Qunut Tidak Disyariatkan
Pertama : Hadits Abu Malik Al-Asyja’i (Thariq bin Asyam) “wahai anakku, itu adalah sesuatu yang dibuat-buat”
Ada beberapa jawaban untuk hadits ini:
- Thariq bin Asyam yang dikenal dengan Abu Malik Al-Asyja’i tidak menjumpai qunut sedangkan selain beliau menjumpainya. Imam Al-Baihaqi rahimahullah mengatakan:
طارق بن أشيم الأشجعي لم يحفظه عمن صلى خلفه فرآه محدثا وقد حفظه غيره فالحكم له دونه
Tharib bin Asyam Al-Asyja’i tidak menjumpainya dari orang yang shalat di belakang beliau, sehingga ia memandangnya sesuatu yang dibuat-buat, sedangkan selain beliau menjumpainya, sehingga yang menjadi hukum masalah ini adalah dari selain beliau. ([44])
- Abu Malik mengingkari qunut ini tidak melazimkan qunut tidak boleh, karena ada kemungkinan ia berada di akhir shaf bersama Rasulullah dan para sahabat beliau sehingga tidak mendengarkan qunut dan tidah tahu. Karena dahulu Nabi shalat tanpa menggunakan pengeras suara.
- Yang diingkari Abu Malik adalah selain qunut subuh dan witir.
- Bisa jadi Abu Malik mendengar kalimat yang tidak ia dengar dari Nabi dan sahabat, sehingga ia ingkari.
- Abu Malik memberi kesaksian dengan peniadaan, sedangkan banyak yang memberi kesaksian dengan penetapan, seperti Al-Hasan, Abu Hurairah, Anas dan Ibnu Abbas. ([45])
- Sebagian ulama juga berbeda pendapat tentang Abu Malik Al-Asyja’i, Al-Uqaili mengatakan: tidak ada mutabaah untuk haditsnya dalam qunut. ([46])
- Yang beliau maksud dengan bid’ah adalah menjadikannya ratib (rutinitas harian),
- Atau beliau menceritakan sesuatu beliau dapati, yaitu pas ketika beliau sholat di belakang Nabi dan para khulafaa ketika itu mereka tidak sedang qunut. Dan ketika mereka sedang qunut pas kebetulan beliau tidak sholat di belakang mereka. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:فأمَّا قولُ طارقٍ الأشجعيِّ أنهُ بدعةٌ، فمرادهُ الراتبُ، أو أخبَر بما رأى منَ الترْكِ وجهل الفعل في وقتٍ.Adapun ucapan Thariq Al-Asyja’i bahwa itu bid’ah, yang beliau maksud adalah kalau ratib (rutinitas harian), atau beliau menceritakan apa yang ia lihat saat ditinggalkan dan beliau tidak tahu saat dikerjakannya. ([47])
- Dapat difahami bahwa sumber pertanyaan Sa’ad bertanya kepada ayahnya yaitu Thariq bin Asyam, adalah karena ia menyaksikan perbuatan yang sedang dikerjakan oleh manusia pada zaman itu, yaitu qunut subuh, maka ia pun bertanya kepada ayahnya tentang hal ini. Seandainya qunut ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat maka bagaimana Sa’ad menanyakan sesuatu yang tidak pernah ia jumpai? Dan saat itu masih di zaman tabi’in. Wallahu a’lam.
Kedua : Hadits Anas dan Abu Hurairah “kemudian beliau meninggalkannya” ini menunjukkan qunut subuh mansukh
Penjelasan Ibnu Mulaqqin rahimahullah:
قَوْله فِي الحَدِيث السالف «ثمَّ تَركه». المُرَاد ترك الدُّعَاء عَلَى أُولَئِكَ الْكفَّار ولعنهم فَقَط، لَا ترك جَمِيع الْقُنُوت أَو ترك الْقُنُوت فِي غير الصُّبْح، وَهَذَا التَّأْوِيل مُتَعَيّن؛ لِأَن حَدِيث أنس بعده «لم يزل يقنت فِي الصُّبْح حَتَّى فَارق الدُّنْيَا» صَحِيح صَرِيح، فَيتَعَيَّن الْجمع بَينهمَا.
Yang dimaksud adalah menginggalkan doa keburukan atas orang-orang kafir dan laknat atas mereka saja, bukan meninggalkan seluruh qunut. Atau yang dimaksud adalah meninggalkan qunut selain subuh. Takwil ini harus dilakukan karena hadits Anas setelahnya “Selalu qunut dalam subuh sampai meninggal dunia” adalah shahih dan jelas, sehingga harus dijamak antara keduanya.
Ibnu Mulaqqin melanjutkan: Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad beliau sampai Abdurrahman bin Mahdi Al-Imam bahwa ia mengatakan: Hanya laknat yang beliau tinggalkan.
Yang menguatkan takwil ini adalah riwayat As-Syaikhan dalam Shahihain dari Abu Hurairah:
«أَن رَسُول الله – صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم – قنت بعد الرُّكُوع فِي صلَاته شهرا يَدْعُو لفُلَان وَفُلَان ثمَّ ترك الدُّعَاء لَهُم».
“Sesungguhnya Rasulullah qunut setelah ruku’ dalam shalat beliau selama satu bulan mendoakan keburukan bagi fulan dan fulan, kemudian meniggalkan doa keburukan bagi mereka”.
قَالَ أَصْحَابنَا: الَّذين رووا إِثْبَات الْقُنُوت أَكثر وَمَعَهُمْ زِيَادَة علم، فَتقدم روايتهم.
Ibnu Mulaqqin melanjutkan: Dan para sahabat kami yang meriwayatkan penetapan qunut lebih banyak, ada tambahan ilmu pada mereka, sehingga riwayat mereka lebih dikedepankan. ([48])
Jika dibawakan bahwa yang dimaksud adalah meninggalkan qunut, maka seharusnya tidak hanya dibatasi hanya qunut subuh saja, karena lafalnya justru tentang qunut nazilah. Berarti seharusnya tidak ada semua qunut lagi. Badruddin Al-Aini Al-Hanafi menerangkan juga bahwa dhamir (kata ganti) dalam kata تركه kembali pada qunut-qunut yang dimaksud oleh lafadz qunut, tidak bisa dimaknai meninggalkan qunut subuh saja, karena lafadz tersebut umum mencakup semua qunut dalam seluruh shalat, sedangkan mengkhususkan qunut fajar yang ditinggalkan tanpa shalat yang lain tanpa berdasar pada dalil dari lafadznya adalah suatu kebatilan. ([49])
Ketiga : Riwayat Ibnu Mas’ud Menafikan Qunut Rasulullah
Al-Baihaqi rahimahullah menjelaskan dalam As-Sunan: Riwayat tersebut diriwayatkan oleh Jabir bin Muhammad As-Suhaimi, dan dia adalah rawi yang matruk. Al-Baihaqi menjelaskan justru sebaliknya, Ibnu Masud meriwayatkan qunut Rasulullah dan doa beliau untuk suatu kaum, maka ini bertentangan dengan riwayat penafian mutlak yang riwayatnya sangat lemah. ([50])
Ibnu Hazm rahimahullah menjelaskan:
أما الرواية عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر، وعمر، وعثمان، وعلي، وابن عباس رضي الله عنهم: بأنهم لم يقنتوا فلا حجة في ذلك النهي عن القنوت، لأنه قد صح عن جميعهم أنهم قنتوا، وكل ذلك صحيح، قنتوا وتركوا، فكلا الأمرين مباح، والقنوت ذكر لله تعالى، ففعله حسن، وتركه مباح، وليس فرضا، ولكنه فضل.
Adapun riwayat dari Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka tidak qunut maka tidak ada hujjah dalam larangan qunut tersebut, karena telah shahih dari seluruh mereka bahwa mereka melakukan qunut, dan semuanya shahih, mereka qunut kemudian meninggalkannya, maka kedua hal ini boleh, dan qunut adalah dzikit kepada Allah Ta’ala, sehingga mengerjakannya bagus dan meninggalkannya boleh, bukan fardhu tapi keutamaan. ([51])
Keempat : Riwayat Umar Tidak Qunut
Yaitu:
عن الأسود وعمرو بن ميمون قالا: صلينا خلف عمر الفجر فلم يقنت
Al-Baihaqi rahimahullah mengatakan:
وقد روينا في باب القنوت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم عن الخلفاء بعده أنهم قنتوا في صلاة الصبح ومشهور عن عمر من أوجه صحيحة أنه كان يقنت في صلاة الصبح فلئن تركوه في بعض الأحايين سهوا أو عمدا دل ذلك على كونه غير واجب.
“Kami telah meriwayatkan dalam Bab Qunut dari Rasulullah kemudian dari khulafa setelah beliau mereka melakukan qunut dalam shalat subuh, dan yang masyhur dari Umar dari berbagai jalur yang shahih bahwa beliau melakukan qunut dalam shalat subuh. Seandainya mereka meninggalkan dalam beberapa keadaan, karena lupa atau sengaja maka itu menunjukkan tidak wajib”. ([52])
Kelima : Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud Tidak Qunut
Ibnu Hazm rahimahullah menerangkan:
Adapun Ibnu Mas’ud sendiri tidak ada riwayat beliau membenci atau melarangnya, akan tetapi beliau tidak qunut, karena mubah, dan para sahabat selain beliau melakukan qunut.
Adapun Ibnu Umar, maka beliau tidak mengetahui, sebagaimana beliau tidak tahu Al-Mashu (disyari’atkannya mengusaf kedua khuf tatkala berwudhu), dan ini bukan celaan bagi orang yang tahu. ([53])
Al-Baihaqi rahimahullah berkata:
نسيان بعض الصحابة أو غفلته عن بعض السنن لا يقدح في رواية من حفظه وأثبته
“Lupanya sebagain sahabat dalam sebagian sunnah tidak menjadikan cacat pada riwayat sahabat lain yang menghafal dan menetapkannya”. ([54])
Keenam : Qunut Subuh Digabung Dengan Qunut Maghrib, Tapi Qunut Maghrib Tidak Dilakukan, Berarti Qunut Subuh Juga Tidak Disyariatkan
Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan jawabannya:
ولا يضر ترك الناس القنوت في صلاة المغرب لأنه ليس بواجب أو دل الاجماع على نسخه فيها
“Dan tidak masalah orang-orang meninggalkan qunut maghrib, karena memang tidak wajib atau ada ijma’ yang menunjukkan bahwa qunut maghrib sudah dimansukh”. ([55])
Kesimpulan:
Para ulama sepakat bahwa:
- Disyariatkan qunut Nazilah dalam shalat lima waktu.
- Selain qunut nazilah maka para ulama sepekat bahwa tidak ada qunut di 4 sholat (dzuhur, ashar, maghrib, dan isya).
Kemudian para ulama berbeda pendapat dalam:
- Qunut Subuh (selain qunut nazilah) tetapi qunut harian.
- Qunut Witir
Berdasarkan dalil-dalil dan penjelasan para ulama di atas, wallahu a’lam yang nampak kuat bagi kami adalah qunut subuh disyariatkan, akan tetapi tidak dilakukan terus-menerus. Pendapat ini dipilih oleh beberapa ulama:
- Imam Ad-Dzahabi rahimahullah dari kalangan Syafiiyah, lalu dinukil oleh Imam Ibnu Abdil Hadi rahimahullah dari kalangan Hanabilah.
Beliau memberikan keterangan setelah menyebutkan hadits Abu Malik Al-Asyja’i:
فهذا الحديث ما فيه أنهم ما قنتوا قط، بل اتفق أن طارقاً صلى خلفَ كل منهم، وأخبرَ بما رأى، فحديثه في الجملة يدل على أنهم ما كانوا يحافظون على قنوتٍ راتبٍ.
Hadits ini bukan berarti mereka tidak qunut sama sekali, bakan disepakati bahwa Thariq shalat bermakmum di belakang seluruh mereka, lalu beliau menceritakan apa yang ia saksikan, sehingga hadits beliau secara umum menunjukkan bahwa mereka tidak terus-menerus melakukan qunut ratib. ([56])
- Ucapan At-Thabari, yang dinukil oleh Ibnu Batthal rahimahullah dari kalangan Malikiyah.
وذلك أنه كان يقنت أحيانًا، ويترك القنوت أحيانًا، فأخبر أنس عنه أنه لم يزل يقنت على ما عهده من فعله ذلك بالقنوت فيها مرةً وترك القنوت أخرى معلمًا بذلك أمته أنهم مخيرون في العمل بأي ذلك شاءوا من فعله. وأخبر طارق أنه صلى معه، فلم يره قنت، وغير منكر أن يكون صلى معه في الأوقات التي لم يقنت فيها، فأخبر عنه بما رأى وشاهد.
Demikian karena beliau terkadang melakukan qunut dan terkadang meninggalkan qunut, sehingga Anas menceritakan dari beliau bahwa kebiasaan beliau adalah terkadang melakukan qunut dan terkadang meninggalkannya, karena mengajarkan umatnya bahwa mereka mendapat pilihan dalam mengerjakannya. Sedangkan Thariq menceritakan bahwa ia shalat bersama beliau, ia melihat sedang tidak qunut, dan tidak mengingkari bahwa beliau shalat bersamanya di waktu-waktu tidak mengerjakan qunut, sehingga ia menceritakan apa yang ia lihat dan ia saksikan. ([57])
- Ibnul Qayyim rahimahullah dari kalangan Hanabilah.
نَعَمْ صَحَّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ: «وَاللَّهِ لَأَنَا أَقْرَبُكُمْ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ بَعْدَمَا يَقُولُ: (سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَيَدْعُو لِلْمُؤْمِنِينَ، وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ» ) .
وَلَا رَيْبَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ ذَلِكَ ثُمَّ تَرَكَهُ، فَأَحَبَّ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنْ يُعَلِّمَهُمْ أَنَّ مِثْلَ هَذَا الْقُنُوتِ سُنَّةٌ، وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَهُ، وَهَذَا رَدٌّ عَلَى أَهْلِ الْكُوفَةِ الَّذِينَ يَكْرَهُونَ الْقُنُوتَ فِي الْفَجْرِ مُطْلَقًا عِنْدَ النَّوَازِلِ وَغَيْرِهَا، فأهلُ الحديث متوسطون بين هؤلاء وبين من استحبه عند النوازل وغيرها، وهم أسعدُ بالحديث من الطائفتين، فإنهم يقنُتون حيثُ قنت رسولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ويتركُونه حيث تركه، فيقتدون به في فعله وتركه، ويقولون: فِعله سنة، وتركُه لسنة، ومع هذا فلا يُنكرون على من داوم عليه، ولا يكرهون فعله، ولا يرونه بدعة، ولا فاعِلَه مخالفاً للسنة، كما لا يُنكِرون على من أنكره عند النوازل، ولا يرون تركه بدعة، ولا تارِكه مخالفاً للسنة، بل من قنت، فقد أحسن. وَمَنْ تَرَكَهُ فَقَدْ أَحْسَنَ، وَرُكْنُ الِاعْتِدَالِ مَحَلُّ الدُّعَاءِ وَالثَّنَاءِ، وَقَدْ جَمَعَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ.
وَدُعَاءُ الْقُنُوتِ دُعَاءٌ وَثَنَاءٌ، فَهُوَ أَوْلَى بِهَذَا الْمَحَلِّ، وَإِذَا جَهَرَ بِهِ الْإِمَامُ أَحْيَانًا لَيُعَلِّمَ الْمَأْمُومِينَ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ
“Benar, telah valid dari Abu Hurairah bahwasanya ia berkata, “Demi Allah sungguh aku yang paling mirip shalatnya dengan shalat Rasulullah”. Maka Abu Hurairah melakukan qunut di rakaát yang terakhir di sholat subuh setelah beliau berkata, “Samiállahu liman hamidah” lalu beliau berdoa untuk kaum mukminin dan melaknat orang-orang kafir.
Dan tidak diragukan bahwasanya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam melakukan hal tersebut lalu meninggalkannya. Maka Abu Hurairah ingin mengajarkan kepada mereka bahwa qunut yang seperti ini adalah sunnah, dan bahwasanya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam melakukannya. Dan ini bantahan terhadap ahlul Kuufah (dari madzhab Hanafi-pen) yang membenci qunut pada shalat subuh secara Mutlaq, baik tatkala dalam kondisi nazilah (adanya musibah) atau selainnya.
Adapun ahlul hadits maka mereka pertengahan antara mereka dan yang menjadikannya mustahab ketika nawazi dan selainnya, mereka juga lebih dekat ke hadits daripada dua kelompok, karena mereka qunut dimana Rasulullah qunut, dan meniggalkan dimana beliau meninggalkan, mereka mengikuti beliau ketika mengerjakan dan meninggalkan. Mereka mengatakan: mengerjakannya sunnah dan meniggalkannya sunnah. Sekalipun demikian mereka tidak mengingkari orang yang melakukannya terus menerus dan mereka juga tidak membenci pelaksanaannya, mereka juga tidak menganggapnya bid’ah dan pelakunya menyelisihi sunnah, sebagaimana mereka tidak mengingkari orang yang mengingkarinya pada saat ada nazilah, mereka pun tidak beranggapan meninggalkannya bid’ah dan yang meninggalkannya menulisihi sunnah, akan tetapi yang melakukan qunut telah melakukan perbuatan yang bagus. Dan siapa yang meninggalkannya maka ia telah berbuat baik. Dan rukun iktidal adalah tempatnya doa dan memuji Allah, dan sungguh Nabi shallallahu álaihi wasallam telah mengumpulkan keduanya (doa dan pujian) pada iktidal. Dan doa qunut adalah doa dan pujian, maka ia lebih utama di tempat ini (iktidal). Dan jika imam mengeraskan bacaan qunut terkadang untuk mengajarkan para makmum maka tidak mengapa” ([58])
Kemudian beliau mengatakan:
فإذا قلنا: لم يكن مِن هديه المداومةُ على القنوت في الفجر، ولا الجهرُ بالبسملة، لم يدلَّ ذلك على كراهية غيره، ولا أنه بدعة، ولكن هديُه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أكملُ الهدي وأفضلُه، والله المستعان.
Jika kita katakan: terus menerus melakukan qunut subuh adalah tidak termasuk petunjuk beliau, begitupula mengeraskan basmalah, ini tidak menunjukkan bahwa selainnya dibenci, tidak juga bid’ah, akan tetapi petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah petunjuk paling sempurna dan paling utama, wallahu’ musta’an. ([59])
Akhirnya, bagaimanapun juga, qunut subuh adalah masalah yang sudah diperselisihkan oleh para ulama kita semenjak dahulu. Jika ada yang berpendapat hukumnya sunnah telah ada salafnya (dari madzhab malikiyah, syafiíyah, dan dzohiriyah), jika ada yang bependapat bidáh maka juga telah ada salafnya (dari madzhab hanafiyah), dan jika ada yang menyatakan dikerjakan sesekali juga ada salafnya. Yang terpenting bagi kita menghormati dan toleransi terhadap pendapat yang lain selama ada salafnya.
Apa yang dilakukan oleh makmum?
Dalam madzhab hanabilah disebutkan, jika seorang shalat dibelakang imam yang melakukan qunut subuh maka dia ikut qunut imam, sehingga mengaminkan dan berdoa.([60])
____________________________________________
FOOTNOTE:
([1]) Majma’ Al-Anhar 1/129 cet. Dar Sa’adat, teksnya adalah: قَالَ الإِمَامُ: الْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ بِدْعَةٌ (Al-Imam Abu Hanifah berkata : Qunut subuh bidáh)
([2]) Syarh Muntaha Al-Iradat 1/228 cet. Dar Al-Fikr, Kassyaf Al-Qina’ 1/421 cet. Dar Al-Fikr
([3]) Masaail al-Imaam Ahmad, riwayat ibnihi Ábdillah hal 92 no 324
([4]) Masaail al-Imaam Ahmad, riwayat ibnihi Ábdillah hal 99 no 347, Lihat juga Masaail al-Imaam Ahmad riwayat Ishaaq dan Ahmad 2/648 no 295
([5]) Lihat Al-Inshaf, Al-Mardaawi 2/124.
([6]) Perbedaan qunut subuh antara Malikiyah dan Syafi’iyah:
Malikiyah: (Al-Mudawwanah Al-Kubra 1/192)
- Qunut boleh dilakukan sebelum ruku’ atau setelahnya pada rakaat kedua, tapi yang lebih utama dilakukan sebelum ruku’ setelah membaca surat, tanpa didahului takbir. (Lihat : Kifayat At-Thalib Ar-Rabbani 1/239, Mawahibul Jalil 1/539, Al-Muntaqa Syarh Muwattha 2/290). Hikmahnya adalah karena lebih memudahkan bagi makmum masbuq dan tidak memisahkan antara dua rukun shalat serta itulah amalan Umar radhiyallahu ‘anhu yang ditetapkan dengan hadirnya para sahabat lain.
- Jika meninggalkan qunut baik dengan sengaja maupun karena lupa maka tidak mengapa, dan tidak perlu sujud sahwi. Bahkan jika sujud sahwi karenanya sebelum salam maka shalatnya batal.
- Tidak ada doa qunut tertentu, hendaklah berdoa sesuai kebutuhannya, tapi dianjurkan membaca: (Lihat : Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no 4978, Lihat Syarh Ma’ani Al-Atsar no 1475, Al-Kafi oleh Ibnu Abdil Barr 1/207)
اللهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِينُكَ ونَسْتَهْدِيْكَ، وَنُثْنِي عَلَيْكَ الْخَيْرَ كُلَّهُ وَنَشْكُرُكَ وَلَا نَكْفُرُكَ وَنَخْلَعُ وَنَتْرُكُ مَنْ يَفْجُرُكَ. اللهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّي، وَنَسْجُدُ وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ إِنَّ عَذَابَكَ بِالْكُفَّارِ مُلْحِقٌ.
- Tidak mengangkat kedua tangan. (Mawahibul Jalil 1/540, Hasyiah Al-Adawi ‘Ala Kifayat At-Thalib Ar-Rabbani 1/239)
- Dianjurkan tidak mengeraskan bacaan (baik untuk imam, makmum maupun orang yang shalat sendiri), karena itu adalah doa, sehingga lebih baik tidak dikeraskan agar tidak timbul riya’. (Mawahibul Jalil 1/539, Hasyiah Al-Adawi ‘Ala Kifayat At-Thalib Ar-Rabbani 1/239)
Syafiiyah:
- Tempatnya adalah setelah bangkit dari ruku’ pada rakaat kedua, seandainya qunut sebelum ruku’ maka tidak dianggap menurut pendapat yang dikuatkan, sehingga tetap harus mengulang qunut setelah ruku’ dan sujud sahwi setelah salam. (Majmu’ Syarh Al-Muhadzab 3/495, Al-Adzkar Nawawi hlm. 86, Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah Ibnu ‘Allan 2/293)
- Jika ditinggalkan maka shalatnya tidak batal, akan tetapi disunnahkan melakukan sujud sahwi, baik ditinggalkan karena sengaja maupun lupa. (Majmu’ Syarh Al-Muhadzab 3/495, Al-Adzkar Nawawi hlm. 86)
- Bacaannya, diutamakan membaca ucapan yang diriwayatkan Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan padaku beberapa kalimat yang aku baca ketika witir: ( Ibnu Majah no 1427, Nasa’I no 1745)
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَأَنَّهُ لا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa tidak mengapa dengan tambahan وَلا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ sebelum تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ dan tambahan setelahnya dengan فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ Abu Hamid dan Al-Bandaniji dan lainnya bahwa ini dianjurkan. (Lihat : Raudhatut Thalibin 1/254, Al-Majmu’ 3/496)
Disunnahkan juga setelah itu membaca:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan: “ketahuilah bahwa dalam qunut tidak ada doa tertentu dalam pendapat yang terpilih, sehingga doa apa saja bisa dijadikan qunut, sekalipun qunut dengan membaca satu atau beberapa ayat Al-Qur’an yang mengandung doa maka dianggap qunut, tapi yang lebih utama adalah yang terdapat dalam sunnah” (Lihat : Al-Majmu’ 3/497, Raudhatut Thalibin 1/254, Al-Adzkar hlm. 88).
- Dalam mengangkat tangan ada dua pendapat yang masyhur, yang lebih kuat adalah dianjurkan mengangkat tangan. (Lihat : Al-Adzkar hlm. 88) Adapun mengusap wajah dengan dua tangan seusai berdoa maka ada dua pendapat, pendapat yang terkuat adalah tidak dianjurkan mengusap wajah. (Lihat : Al-Majmu’ 3/500-501)
- Mengeraskan bacaan qunut bagi imam dalam pendapat yang paling benar, dan tidak mengeraskan jika shalat sendiri tanpa ada khilaf, adapun makmum maka qunut dengan tidak mengeraskan seperti bacaan lainnya jika imam tidak mengeraskan bacaan dan jika imam mengeraskan bacaan maka makmum yang mendengar mengaminkan doanya, jika makmum tidak mendengar qunutnya imam maka qunut makmum juga dengan tidak keras. (Lihat : Al-Adzkar hlm. 86-89, Raudhatut Thalibin 1/253-255, Al-Majmu’ 3/492-511)
([7]) Mawahibul Jalil Syarh Mukhtashar Khalil 1/539, Syarh Minahul Jalil Ala Mukhtashar Khalil. 1/157, Syarh Al-Adawi ‘Ala Kifayat At-Thalib Ar-Rabbani 1/239, Al-Mudawwanah Al-Kubra 1/193.
Catatan: Ali bin Ziyad, salah satu murid Imam Malik rahimahumallah dan ulama madzhab Maliki (w. 183 H) berpendapat wajibnya qunut subuh, orang yang meninggalkannya maka shalatnya batal. (Lihat Hasyiah Al-Bunani ‘Ala Az-Zurqani 1/212, Minahul Jalil 1/157, Mawahibul Jalil 1/539)
([8]) Al-Adzkar hlm. 86. Adapun ucapan Imam Syafi’i sendiri, beliau berkata dalam Al-Umm 1/205:
وَلاَ قُنُوتَ في شَيْءٍ من الصَّلَوَاتِ إلاَّ الصُّبْحَ إلاَّ أَنْ تَنْزِلَ نَازِلَةٌ فَيُقْنَتَ في الصَّلَوَاتِ كُلِّهِنَّ إنْ شَاءَ الإِمَامُ.
“Dan tidak ada qunut dalam satu shalatpun kecuali shalat subuh, kecuali ada nazilah maka dilakukan qunut di semua shalat, jika imamnya menginginkannya”.
Faidah: Tersebar di kalangan muta’akhirin kisah Imam Syafi’i shalat subuh di dekat kuburan Imam Abu Hanifah, beliau tidak qunut sebagai bentuk adab kepada Abu Hanifah. Hikayat ini disebutkan oleh Ad-Dahlawi dalam kitab beliau Hujjatullah Al-Balighah 1/269 tanpa menyebutkan sanad bahkan disebutkan setelah itu ucapan Imam Syafi’i “Dan bisa jadi kita turun ke madzhab penduduk Iraq”, sementara ulama-ulama besar penulis sejarah, thabaqat dan biografi tidak menyebutkannya, sehingga kebenaran kisah ini masih menyimpan tanya tanya.
([9]) Al-Muhalla 3/54 cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah
([10]) HR. Bukhari no 4090 dan Muslim no 1586
([11]) Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab 3/504. Sedangkan haditsnya maka diriwayatkan oleh Ahmad 6/394, Tirmidzi 402, Nasa’I 2/204 dan Ibnu Majah 1241. Tirmidzi menilai hadits ini hasan shahih.
Adapun riwayat أَيْ بُنَيَّ فَحَدِّثْ “wahai anakku maka sampaikanlah hal ini” maka ini disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ 3/482 cet. Maktabah Al-Irsyar dan 4/493 cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, namun penulis belum menemukan keterangan yang jelas dari ulama dalam masalah ini, apakah ini tashif ataukah bagaimana? Wallahu a’lam.
([12]) Faedah: Al-Qadhi Abu Muhammad ketika menyatakan shalat wustha adalah shalat subuh berdalil dengan ayat وَقُوْمُوا للهِ قَانِتِيْنَ karena qunut tidak dilakukan kecuali pada shalat subuh, maka ini isyarat bahwa yang dimaksud dengan qunut dalam ayat tersebut adalah qunut subuh. (lihat Al-Muntaqa Syarh Al-Muwattha’ 2/223)
([13]) HR. Ahmad 12679, Daruquthni 1692, Abdurrazzaq 4969, Al-Baihaqi 2926 dan Al-Hakim dalam kitab Al-Arbain
([14]) Taqrib At-Tahdzib, Ibnu Hajar 2/629 nuskhah Muhammad Awwamah.
Catatan penting:
Sebagian penulis masalah qunut subuh ketika menyebutkan hadits ini hanya menyebutkan perkataan ulama yang melemahkan Abu Ja’far Ar-Razi lantas mengatakan haditsnya dhaif, maka ini bukanlah sikap yang ilmiah, alangkah baiknya mereka menyimak ucapan Ibnul Mulaqqin rahimahullah, beliau berkata menyayangkan apa yang dilakukan oleh Ibnul Jauzi:
“Adapun Ibnul Jauzi beliau menyebutkan kecacatannya dalam Al-Ilal Al-Mutanahiyah dan Tahqiq berkaitan dengan Abu Ja’far Ar-Razi, maka ini beliau lakukan untuk membela madzhabnya, karena beliau menukil ucapan yang melemahkannya saja dan ucapan yang tidak baik, beliau mencukupkan riwayat yang menyebutkan kelemahannya dari Ahmad, Ibnul Madini dan Yahya bin Ma’in, maka bukan seperti ini yang dilakukan seorang inshaf”.
Beliau melanjutkan: “Karena hadits Anas dengan jalur ini, Isa bin Mahan tidak menyendiri, tapi ada jalur-jalur lain yang telah aku sebutkan dengan jelas dalam takhrij-ku pada hadits-hadits Al-Muhadzab,engkau harus merujuk padanya”. (Al-Badrul Munir, Ibnul Mulaqqin 3/627)
([15]) At-Taudhih li Syarhi Al-Jami’ As-Shahih
([16]) Al-Ilmam bi Ahadits Ahkam 1/173
([17]) Al-Wasith fi Al-Madzhab, Al-Ghazali, dengan hamisy Syarh Musykilul Wasith oleh Ibnu Shalah 2/131, senada dengan ucapan Imam Nawawi juga dalam Khulashatul Ahkam fi Muhimmatis Sunan wa Qawaid Al-Islam 1/450
([18]) Syarh Al-Bukhari Ibnu Batthal 2/586
([19]) Nata’ijul Afkar 2/94 hadits no 480
([20]) HR. Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya no 1716, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra no 3231, At-Tahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 1/243
([21]) Tentang Ismail Al-Makki disebutkan dalam Tahdzibut Tahdzib 1/289:
وقال ابن معين ليس بشيء وقال ابن المديني لا يكتب حديثه وقال الفلاس كان ضعيفا في الحديث يهم فيه وكان صدوقا يكثر الغلط يحدث عنه من لا ينظر في الرجال وقال الجوزجاني واه جدا، وقال أبو زرعة ضعيف الحديث وقال أبو حاتم ضعيف الحديث مختلط وقال ابن أبي حاتم قلت لابي هو أحب اليك أو عمرو ابن عبيد فقال جميعا ضعيفان واسماعيل ضعيف الحديث ليس بمتروك يكتب حديثه وقال البخاري تركه يحيى وابن مهدي وتركه ابن المبارك وربما ذكره، وقال النسائي متروك الحديث وقال مرة ليس بثقة وقال ابن عدى أحاديثه غير محفوظة إلا انه ممن يكتب حديثه.
([22]) Tentang Amr bin Ubaid disebutkan dalam Tahdzibut Tahdzib 8/62:
قال عمرو بن علي متروك الحديث صاحب بدعة وقال أيضا كان يحيى بن سعيد يحدثنا عنه ثم تركه وقال أيضا كان يحيى وعبد الرحمن لا يحدثان عنه وقال أبو حاتم متروك الحديث وقال الآجري عن أبي داود أبو حنيفة خير من ألف مثل عمرو بن عبيد وقال النسائي ليس بثقة ولا يكتب حديثه وقال في الكنى قال حفص بن غياث ما وصف لي أحد إلا رأيته دون الصفة إلا عمرو بن عبيد فإني رأيته فوق ما وصف لي وما لقيت أحدا أزهد منه وكان يضعف في الحديث وانتحل ما انتحل وقال الميموني عن أحمد بن حنبل ليس بأهل أن يحدث عنه وقال الدوري عن ابن معين ليس بشيء.
([23]) Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: hadits ini dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Kitabul Qunut, dan dicela oleh Ibnul Jauzi karenanya, disebabkan oleh Dinar ini. Akan tetapi Al-Allamah Abdurrahman Al-Mu’allimi membela Al-Khatib dalam kitab beliau At-Tankil dalam fasal khusus beliau membelanya dari tujuh segi, dan Al-Mu’allimi condong menguatkan hadits ini (Lihat Silsilah ad-Dhaifah 3/386).
([24]) At-Tankil 2/147, Syaikh Al-Albani rahimahullah pun menukil ucapan Al-Mu’allimi ini, akan tetapi beliau tidak sepakat dengannya, beliau mengatakan: “dan telah kami kumpulkan dalam tahqiq ini semua jalur yang ia isyaratkan, dan semuanya sangat lemah, kecuali jalur pertama, maka hanya lemah saja, akan tetapi dia munkar sebagaimana akan datang penjelasannya” (Lihat Silsilah ad-Dhaifah 3/386).
([25]) HR. Bukhari no 1001 dan Muslim 1578
([26]) Fathul Bari, Ibnu Hajar 2/490
([28]) Hal ini juga diakui oleh Ibnul Qoyyim, beliau berkata -mengomentari hadits Anas- :
وَالْقُنُوتُ الَّذِي ذَكَرَهُ قَبْلَ الرُّكُوعِ غَيْرُ الْقُنُوتِ الَّذِي ذَكَرَهُ بَعْدَهُ
“Dan qunut yang disebutkan oleh Anas sebelum ruku’ bukanlah qunut yang beliau sebutkan setelah ruku’” (Zaadul Maáad 1/273)
Akan tetapi beliau memandang bahwa qunut yang sebelum ruku’ maksudnya adalah lamanya berdiri dalam sholat bukan doa. Tentu ini adalah takwil yang jauh, karena Ashim ketika bertanya kepada Anas tentu bertanya tentang qunut yang berarti doa, bukan qunut yang berarti lama berdiri. Lalu tatkala Anas menjawab tentu sedang membandingkan antara dua hal yang mirip, yaitu doa, bukan membandingkan antara doa dan berdiri. Wallahu álam
([30]) Fathul Bari, Ibnu Hajar 2/491
([31]) HR. Tirmidzi no 401 dan beliau mengatakan hadits ini hasan shahih, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi, diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad no 18493 Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: sanadnya shahih sesuai syarat as-syaikhain.
([33]) HR. Tirmidzi no 302, Ibnu Majah no 1241, Ahmad no 15920. Menurut Tirmidzi hadits ini hasan shahih, lalu beliau mengatakan: “Inilah yang diamalkan oleh mayoritas ulama”.
([34]) Al-I’tibar fi An-Nasikh wa Al-Mansukh min Al-Atsar hlm. 91-92
([35]) Al-I’tibar fi An-Nasikh wa Al-Mansukh min Al-Atsar hlm. 91-92
([36]) Al-Mudawwanah Al-Kubra 1/193
([37]) Tirmidzi dalam sunan beliau dalam hadits no 403
([38]) Al-Badrul Munir, Ibnul Mulaqqin 3/627
([39]) Disebutkan oleh Imam Tirmidzi dalam sunan beliau dalam hadits no 404
([40]) Di mana menemukan riwayat salaf tentang qunut subuh?
- Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, beliau menyebutkan dua bab:
Yang tidak qunut subuh: beliau menyebutkan 37 riwayat, dari no 7034 sampai 7071
Yang qunut subuh: beliau menyebutkan 12 riwayat, dari no 7072 sampai 7084
- Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra, Bab: Dalil bahwa beliau tidak meninggalkan asal qunut subuh, tetapi beliau hanya meninggalkan doa keburukan suatu kaum atau kaum lain dengan nama dan kabilah mereka. Dari no 2926 sampai 2941.
([43]) ‘Aridhatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi 1/163-164
([44]) Sunan Al-Kubra, Al-Baihaqi 2/213, lihat ungkapan senada di Al-Muhalla 3/57
([45]) Lima jawaban ini (no 2 sampai 6) disebutkan dalam Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qari tanpa menyebutkan siapa yang mengatakan demikian kecuali keempat adalah ucapan At-Thaibi. Lalu dikomentari penulisnya bahwa terlalu jauh (dalam takwil) dan yang kelima sangat aneh. 3/329
([46]) Siyar A’lam An-Nubala 6/184 berikut teksnya:
قال النسائي: ليس به بأس، وقال أحمد ويحيى: ثقة. وقال أبو حاتم: صالح الحديث، يكتب حديثه. وقال العقيلي: لا يتابع على حديثه في القنوت.
Catatan:
- Mutabaah adalah hadits dari jalur lain yang menguatkan hadits ini, menunjukkan bahwa Abu Malik sendiri yang mengingkari qunut subuh. Wallahu a’lam.
- Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Al-Khathib dalam kitab “Al-Qunut” mempermasalahkan Ayah Abu Malik apakah beliau sahabat atau bukan, akan tetapi Ibnu Hajar mengatakan bahwa ini keanehan dari Al-Khathib. (lihat Al-Ishabah fi Tamyiz As-Shahabah 3/412)
([47]) Tanqih At-Tahqiq, Ad-Dzahabi 1/225
([48]) Al-Badrul Munir 3/625-626, lihat juga Al-Majmu’ 3/505 dan Ma’alim As-Sunan lil Khatthabi 1/288
([49]) Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari 7/17
([50]) As-Sunan Al-Kubra nomor 2972
([53]) Al-Muhalla 3/57 dan beliau membahas jawaban ini dengan panjang lebar silahkan merujuk ke sana, lihat juga Al-Majmu’ 3/505
([56]) Tanqih At-Tahqiq fi Ahadits At-Ta’liq 1/219, lalu ucapan ini dinukil oleh Ibnu Abdil Hadi Al-Hanbali (w. 744 H) dalam kitab beliau Tanqih At-Tahqiq fi Ahadits At-Ta’liq 2/431
([57]) Syarh Shahih Bukhari 2/586-587
([60]) Sebagaimana ditegaskan dalam Ar-Ri’ayah As-Sughra dan Al-Hawiyain, dan ditegaskan dalam Al-Fushul untuk ikut. Dalam fatawa Ibnu Az-Zaghuni dianjurkan menurut Ahmad untuk ikut dalam doa yang diriwayatkan Al-Hasan bin Ali, jika ditambahi maka dibenci mengikutinya dan jika tidak ikut sampai sempurna shalat maka lebih utama, namun jika sabar dan ikut maka tidak mengapa. Lihat Al-Inshaf Al-Mardawi 2/124