75. قُلْ مَن كَانَ فِى ٱلضَّلَٰلَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ ٱلرَّحْمَٰنُ مَدًّا ۚ حَتَّىٰٓ إِذَا رَأَوْا۟ مَا يُوعَدُونَ إِمَّا ٱلْعَذَابَ وَإِمَّا ٱلسَّاعَةَ فَسَيَعْلَمُونَ مَنْ هُوَ شَرٌّ مَّكَانًا وَأَضْعَفُ جُندًا
qul mang kāna fiḍ-ḍalālati falyamdud lahur-raḥmānu maddā, ḥattā iżā ra`au mā yụ’adụna immal-‘ażāba wa immas-sā’ah, fa saya’lamụna man huwa syarrum makānaw wa aḍ’afu jundā
75. Katakanlah: “Barang siapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya; sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan kepadanya, baik siksa maupun kiamat, maka mereka akan mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah penolong-penolongnya”.
Tafsir:
Kalimat Barangsiapa berada dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pengasih memperpanjang (waktu) baginya…” memiliki dua penafsiran di kalangan para ulama.
Pertama, kalimat di atas bermakna doa, sehingga ia seakan ajakan untuk bermubahalah[1] dari Nabi ﷺ kepada orang-orang kafir Quraisy([2]).
Seakan-akan beliau ﷺ mengatakan, “Wahai kaum musyrikin, jika kalian merasa bahwa kalian paling benar karena kondisi kalian yang serba mewah, marilah kita berdoa ‘Ya Allah, siapa di antara kami yang berada di atas kesesatan, maka panjangkanlah umurnya, agar ia bisa melihat akibat dari kesesatannya, baik berupa azab yang disegerakan atau pun datangnya Hari Kiamat’.”
Kedua, kalimat di atas adalah sebagai pemberitaan dan pemberian maklumat, bahwasanya Allah ﷻ biasa memberi tenggang waktu yang panjang kepada orang-orang zalim agar kezaliman dan dosa mereka semakin bertumpuk, sehingga semakin pedih pula azab yang menanti mereka. Hukuman semacam ini biasa disebut dengan istidraj. ([3]) Allah ﷻ berfirman,
﴿سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ، وَأُمْلِي لَهُمْ ۚ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ﴾
“Kelak akan Kami hukum mereka berangsur-angsur dari arah yang tidak mereka ketahui, dan Aku memberi tenggang waktu kepada mereka. Sungguh, rencana-Ku sangat teguh.” (QS. Al-Qalam : 44-45)
Walaupun ayat di atas terdengar seperti tantangan, namun sebenarnya ia adalah celaan dan jaminan tegas dari Allah ﷻ, bahwa sejatinya kaum kafirlah yang lebih buruk kedudukannya dan lebih lemah pasukan serta penolongnya, yakni ketika azab telah menimpa mereka, baik di dunia, maupun di Neraka Jahannam.
[1] Mubahalah atau disebut juga dengan mulaa’anah, adalah upaya terakhir yang diusahakan dalam rangka menegakkan kebenaran atau hak di antara kedua belah pihak yang berselisih. Masing-masing dari kedua belah pihak yang saling ber-mubahalah akan mendoakan laknat dan kecelakaan bagi pihak lainnya, dengan mengatakan, “Ya Allah ! Jika memang mereka salah dan apa mereka akui adalah kesalahan dan kedustaan, maka laknat dan binasakanlah mereka!”
Mubahalah hukumnya diperbolehkan jika memang pihak lawan tetap bersikeras memperjuangkan kesalahan mereka, padahal bukti telah tegak dan terjelaskan. Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW mengajak kaum Nasrani ber-mubahalah karena mereka ngotot mengatakan bahwa Isa AS adalah tuhan. Allah SWT berfirman:
﴿فَمَنۡ حَآجَّكَ فِيهِ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ فَقُلۡ تَعَالَوۡاْ نَدۡعُ أَبۡنَآءَنَا وَأَبۡنَآءَكُمۡ وَنِسَآءَنَا وَنِسَآءَكُمۡ وَأَنفُسَنَا وَأَنفُسَكُمۡ ثُمَّ نَبۡتَهِلۡ فَنَجۡعَل لَّعۡنَتَ ٱللَّهِ عَلَى ٱلۡكَٰذِبِينَ ٦١﴾
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali Imran: 61)
________
Footnote: