52. فَتَرَى ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ يُسَٰرِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَىٰٓ أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةٌ ۚ فَعَسَى ٱللَّهُ أَن يَأْتِىَ بِٱلْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِۦ فَيُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَآ أَسَرُّوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ نَٰدِمِينَ
fa tarallażīna fī qulụbihim maraḍuy yusāri’ụna fīhim yaqụlụna nakhsyā an tuṣībanā dā`irah, fa ‘asallāhu ay ya`tiya bil-fat-ḥi au amrim min ‘indihī fa yuṣbiḥụ ‘alā mā asarrụ fī anfusihim nādimīn
52. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana”. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.
Tafsir :
Firman Allah ﷻ,
فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya.”
Maksud “mereka” pada ayat ini adalah orang-orang munafik.([1]) Pada ayat sebelumnya kita dilarang untuk berloyalitas kepada orang kafir, dalam kaitannya dengan urusan dan kemaslahatan kaum muslimin. Maka pada ayat ini disebutkan tentang orang munafik yang berusaha untuk mendekat kepada orang-orang kafir. Ini dikarenakan hati mereka dipenuhi dengan penyakit.
Firman Allah ﷻ,
يُسَارِعُونَ فِيهِمْ
“Bersegera mendekati mereka.”
Tidak disebutkan dalam rangka apa orang munafik itu bersegera kepada orang-orang kafir. Kaidahnya, jika suatu objek tidak disebutkan maka itu memberikan faedah keumuman. Artinya, orang munafik berusaha dekat dengan orang-orang kafir dalam segala hal. Mereka menjalin hubungan dengan orang-orang kafir hingga melampaui batas.
Firman Allah ﷻ,
يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ
“Seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana.’”
Terdapat setidaknya dua tafsiran terkait maksud perkataan orang-orang munafik ini:([2])
Pertama: jika kaum muslimin dikalahkan orang-orang kafir, maka jangan sampai orang munafik itu ikut binasa.
Kedua: jika kaum musyrikin mengalahkan Nabi ﷺ dan para Sahabat maka orang munafik itu masih memilik tempat perlindungan dari kalangan Yahudi dan Nasrani.
Firman Allah ﷻ,
فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ
“Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya.”
Ketika orang-orang munafik takut dengan kekalahan kaum muslimin, sehingga mereka pun membangun relasi dengan Ahli Kitab, maka Allah ﷻ menjawab ketakutan mereka bahwa Allah ﷻ akan memberikan kemenangan kepada kaum muslimin dengan penaklukkan kota Makkah atau dengan mengalahkan orang-orang Yahudi. Semua ini kemudian terbukti dengan pengusiran Bani Nadhir, Bani Qainuqa’, perang dengan Bani Quraizhah dan penaklukan kota Makkah.
Maksud dari firman-Nya أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ “atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya” adalah selain Allah ﷻ memenangkan kaum muslimin, maka Allah ﷻ juga membongkar rahasia orang-orang munafik. Hal ini sebagaimana Allah ﷻ mempermalukan mereka dalam surah Al-Munafiqun dan Al-Taubah. Allah ﷻ membongkar rahasia mereka dan menyebutkan nama-nama mereka kepada Rasulullah ﷺ. Hal ini menyebabkan mereka semakin takut.([3])
Firman Allah ﷻ
فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ
“Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.”
Upaya mereka membangun relasi dengan Ahli Kitab menjadi penyesalan bagi orang-orang munafik. Terdapat dua tafsiran terkait penyesalan tersebut:
- Penyesalan di dunia, karena ternyata yang menang adalah kaum muslimin. Adapun kaum Yahudi justru terusir dari kota Madinah karena pengkhianatan mereka. Juga orang-orang Quraisy dikalahkan dalam penaklukan kota Makkah. Mereka pun menyesal karena kemunafikan mereka terbongkar.
Penyesalan ketika datang kematian kepada mereka, disebabkan kemunafikan selama hidupnya. Mereka diberi kabar dengan azab yang akan menimpa mereka ketika nyawa mereka akan dicabut.([4])
________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 217.
([2]) Lihat: Tafsir Al-Baghawi, vol. II, hlm. 59.