42. سَمَّٰعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّٰلُونَ لِلسُّحْتِ ۚ فَإِن جَآءُوكَ فَٱحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ ۖ وَإِن تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَن يَضُرُّوكَ شَيْـًٔا ۖ وَإِنْ حَكَمْتَ فَٱحْكُم بَيْنَهُم بِٱلْقِسْطِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ
sammā’ụna lil-każibi akkālụna lis-suḥt, fa in jā`ụka faḥkum bainahum au a’riḍ ‘an-hum, wa in tu’riḍ ‘an-hum fa lay yaḍurrụka syai`ā, wa in ḥakamta faḥkum bainahum bil-qisṭ, innallāha yuḥibbul-muqsiṭīn
42. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
Tafsir :
Pada ayat ini, Allah ﷻ menyebutkan lagi sifat-sifat orang Yahudi Bani Israil, di antaranya adalah:
Firman Allah ﷻ,
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ
“Mereka sangat suka mendengar berita bohong.”
Orang-orang Yahudi suka mendengarkan berita bohong tentang Rasulullah ﷺ dan agama Islam. Imam Al-Qurthubi rahimahullah menafsirkan bahwa mereka suka mendengar ceramah Nabi ﷺ dalam rangka untuk mencari-cari celah kesalahan untuk mendustakan beliau.([1]) Seperti itu sifat mereka.
Firman Allah ﷻ,
أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
“Banyak memakan (makanan) yang haram.”
Di antara ciri mereka adalah suka memakan makanan yang haram. Di dalam bahasa Arab السُّحْتِ bermakna الاِستِئْصَال “menghabiskan”, tidak menyisakan sesuatu atau menghancurkan.([2]) Kata itu sebagaimana firman Allah ﷻ tentang ucapan Nabi Musa ‘alaihissalam kepada para penyihir,
لَا تَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ كَذِبًا فَيُسْحِتَكُمْ بِعَذَابٍ
“Celakalah kamu! Janganlah kamu mengada-adakan kedustaan terhadap Allah, nanti Dia membinasakan kamu dengan azab.” (QS Taha: 62)
Kenapa harta haram disebut السُّحْت?
Disebutkan dalam hadis Nabi ﷺ:
إِنَّهُ لَا يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Tidaklah bertambah daging yang tumbuh dari harta yang haram kecuali neraka lebih layak untuknya.”([3])
Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan bahwa harta haram disebut dengan السُّحْتِ, karena harta tersebut akan menghabiskan ketaatan-ketaatan kepada Allah ﷻ.([4])
Sungguh mengerikan perbuatan orang yang suka memakan harta yang haram. Karena jika seseorang sering memakan makanan atau harta yang haram, maka ketaatannya berpotensi tidak diterima oleh Allah ﷻ. Bahkan, doanya tidak diterima oleh Allah ﷻ. Hal ini sebagaimana hadis populer dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, yang beliau berkata,
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Kemudian Rasulullah r menyebutkan tentang seseorang yang melakukan perjalanan yang jauh. Keadaannya kusut dan berdebu. Lalu dia menengadahkan kedua tangannya ke arah langit dan berkata, ‘Wahai Rabbku, Wahai Rabbku.’ Ternyata makanannya dari hasil yang haram, minumannya adalah haram dan pakaiannya dari hasil yang haram dan dia kenyang dari hasil yang haram. Maka bagaimana akan dikabulkan doanya?”([5])
Rasulullah ﷺ menegaskan tentang doa yang tidak dikabulkan oleh Allah ﷻ karena makanan yang haram. Seperti itu pula halnya orang yang hendak pergi menunaikan haji atau umrah dari sumber harta yang haram, memakai baju dari harta yang haram, juga hal lainnya dari sumber yang haram. Hasil yang haram ini dinamakan السُّحْتِ, karena mampu menghabiskan ketaatan-ketaatan seorang hamba.
Sebagian ulama menafsirkan makna السُّحْت dengan الرِّشْوَة “suap” atau sogokan. Artinya, orang-orang Yahudi suka memakan uang suap.([6]) Sedangkan Nabi ﷺ bersabda,
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Allah melaknat orang yang menyuap dan disuap.”([7])
Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan tentang السُّحْت,
وَذَلِكَ أَنْ يَكُونَ لَهُ جَاهٌ عِنْدَ السُّلْطَانِ فَيَسْأَلُهُ إِنْسَانٌ حَاجَةً فَلَا يَقْضِيهَا إِلَّا بِرِشْوَةٍ يَأْخُذُهَا وَلَا خِلَافَ بَيْنَ السَّلَفِ أَنَّ أَخْذَ الرِّشْوَةِ عَلَى إِبْطَالِ حَقٍّ أَوْ مَا لَا يَجُوزُ سُحْتٌ حَرَامٌ
“Contohnya seperti seseorang yang punya kedudukan di sisi penguasa, kemudian ada yang meminta keperluan dengannya. Tetapi dia tidak mau mengurus keperluan itu, kecuali dengan sejumlah uang suap yang diambilnya. Tidak ada khilaf di kalangan para salaf bahwa mengambil risywah (suap) untuk membatalkan sesuatu yang benar atau untuk perkara yang tidak dibolehkan adalah haram.”([8])
Apakah semua risywah itu haram?
Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata,
وَرُوِيَ عَنْ وَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ قِيلَ لَهُ: الرِّشْوَةُ حَرَامٌ فِي كُلِّ شي؟ فَقَالَ: لَا، إِنَّمَا يُكْرَهُ مِنَ الرِّشْوَةِ أَنْ تَرْشِيَ لِتُعْطَى مَا لَيْسَ لَكَ، أَوْ تَدْفَعَ حَقًّا قَدْ لَزِمَكَ، فَأَمَّا أَنْ تَرْشِيَ لِتَدْفَعَ عَنْ دِينِكَ وَدَمِكَ وَمَالِكَ فَلَيْسَ بِحَرَامٍ
“Diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih, bahwa beliau ditanya, ‘Apakah uang suap itu haram?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, hanya saja yang diharamkan adalah engkau menyuap agar sesuatu yang bukan menjadi hakmu itu diberikan atau engkau bebas dari kewajiban yang harus engkau tunaikan. Adapun jika engkau menyuap agar engkau bisa meraih hakmu yang berkaitan dengan agamamu, hak diri dan hartamu, maka ini tidaklah haram.”([9])
Di antara contoh risywah (suap) adalah dalam kasus pendaftaran sekolah yang terbuka untuk umum, dengan cara seleksi. Lalu ada yang sebenarnya tidak lolos seleksi namun karena dia menyuap pihak sekolah, maka dia diloloskan dan diterima. Begitu pula halnya dalam hal melamar kerja.
Termasuk pula dalam hal pembuatan SIM (Surat Ijin Mengemudi). Jika seseorang tidak mampu mengemudi dengan benar, maka seharusnya ia tidak berhak menerima SIM tersebut. Namun, karena dia menyuap, akhirnya dia memperoleh SIM.
Contoh lainnya seseorang dikenai kewajiban membayar yang nilainya mahal untuk ia mendapatkan hak tertentu. Supaya nilainya berkurang atau bahkan tidak membayar sama sekali, maka dia pun memberi uang suap kepada pihak tertentu sehingga dia mendapat hak tersebut. Ini juga termasuk perbuatan suap yang diharamkan.
Semua tindakan untuk mengambil sesuatu yang bukan termasuk haknya itu tidak diperbolehkan.
Praktik suap termasuk ciri orang Yahudi. Mengonsumsi dari hasil yang demikian ini sangat berpengaruh dalam kehidupan seseorang, termasuk dalam hal ibadahnya. Bisa jadi sebagian orang rajin beribadah, salat, berhaji, umrah dan lainnya, tetapi ternyata dari hasil suap atau hal haram lainnya. Wal-‘iyadzu billah.
Adapun bentuk suap yang tidak haram adalah misalnya seseorang mengurus sesuatu/perizinan, yang dia telah memenuhi seluruh syarat dan aturannya, tetapi ternyata dia dipersulit. Ada pihak yang sengaja mencari kesempatan, menambahkan syarat-syarat yang mengada-ada dengan tujuan sengaja mempersulit, sehingga tidak ada jalan yang lain untuk mendapat haknya tersebut kecuali dengan suap. Khusus dalam kondisi semacam ini, suap dibolehkan. Bahkan itu termasuk praktik pemerasan, yang tidak diridai olehnya, tapi dipaksakan oleh pihak lain. Namun, apabila dia bisa menghindari untuk tidak terlibat dengan hal tersebut, maka itu lebih baik.
Hendaknya seseorang bersikap jujur di hadapan Allah ﷻ. Jika dia memang tidak mampu memenuhi persyaratannya, maka janganlah dia menyuap. Lain halnya kalau itu memang sejatinya merupakan haknya.
Firman Allah ﷻ,
فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ
“Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (Muhammad untuk meminta putusan), maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka, dan jika engkau berpaling dari mereka maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Tetapi jika engkau memutuskan (perkara mereka), maka putuskanlah dengan adil.”
Allah ﷻ memberitahukan kepada Nabi ﷺ bahwa jika orang-orang Yahudi datang dalam suatu perkara agar beliau memberikan putusan hukuman kepada mereka, maka terserah beliau ﷺ untuk memberikan putusan hukuman kepada mereka atau tidak. Jika Nabi Muhammad ﷺ berpaling dan tidak memberikan putusan hukuman kepada mereka, maka mereka sama sekali tidak akan memudaratkan beliau ﷺ. Mereka hanyalah orang-orang Yahudi yang tidak beriman kepada Nabi ﷺ.
Namun, jika Nabi Muhammad ﷺ mau memberikan putusan hukuman bagi mereka, maka Allah ﷻ memerintahkan beliau agar memberikan hukuman yang adil, benar dan tidak mengikuti hukum mereka. Orang-orang Yahudi mempunyai hukum sendiri, tapi jika mereka datang kepada Nabi ﷺ meminta putusan hukuman, maka hendaknya mereka dihukum sesuai dengan syariat Allah ﷻ.([10])
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”
_______________
Footnote :
([1]) Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 182.
([2]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, 183.
([3]) HR Al-Tirmidzi no. 614 dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([4]) Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 183.
([6]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 183.
([7]) HR Ahmad No. 9023. Hadis ini shahih lighairih (valid dengan adanya penguat-penguatnya).
([8]) Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 183.