41. ۞ يَٰٓأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ لَا يَحْزُنكَ ٱلَّذِينَ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْكُفْرِ مِنَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓا۟ ءَامَنَّا بِأَفْوَٰهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِن قُلُوبُهُمْ ۛ وَمِنَ ٱلَّذِينَ هَادُوا۟ ۛ سَمَّٰعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّٰعُونَ لِقَوْمٍ ءَاخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ ۖ يُحَرِّفُونَ ٱلْكَلِمَ مِنۢ بَعْدِ مَوَاضِعِهِۦ ۖ يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَٰذَا فَخُذُوهُ وَإِن لَّمْ تُؤْتَوْهُ فَٱحْذَرُوا۟ ۚ وَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ فِتْنَتَهُۥ فَلَن تَمْلِكَ لَهُۥ مِنَ ٱللَّهِ شَيْـًٔا ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَمْ يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ ۚ لَهُمْ فِى ٱلدُّنْيَا خِزْىٌ ۖ وَلَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
yā ayyuhar-rasụlu lā yaḥzungkallażīna yusāri’ụna fil-kufri minallażīna qālū āmannā bi`afwāhihim wa lam tu`ming qulụbuhum, wa minallażīna hādụ sammā’ụna lil-każibi sammā’ụna liqaumin ākharīna lam ya`tụk, yuḥarrifụnal-kalima mim ba’di mawāḍi’ihī, yaqụlụna in ụtītum hāżā fa khużụhu wa il lam tu`tauhu faḥżarụ, wa may yuridillāhu fitnatahụ fa lan tamlika lahụ minallāhi syai`ā, ulā`ikallażīna lam yuridillāhu ay yuṭahhira qulụbahum, lahum fid-dun-yā khizyuw wa lahum fil-ākhirati ‘ażābun ‘aẓīm
41. Hari Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: “Kami telah beriman”, padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: “Jika diberikan ini (yang sudah di rubah-rubah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini maka hati-hatilah”. Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
Tafsir :
Pada ayat ini Allah ﷻ berfirman tentang kisah orang-orang Yahudi dan sifat-sifat mereka. Ketika itu terjadi perzinaan di antara mereka, sehingga mereka ingin berhukum kepada Nabi Muhammad ﷺ. Padahal, hukum tersebut telah tertulis di dalam kitab Taurat mereka.([1])
Dari Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
مُرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَهُودِيٍّ مُحَمَّمًا مَجْلُودًا، فَدَعَاهُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «هَكَذَا تَجِدُونَ حَدَّ الزَّانِي فِي كِتَابِكُمْ؟»، قَالُوا: نَعَمْ، فَدَعَا رَجُلًا مِنْ عُلَمَائِهِمْ، فَقَالَ: «أَنْشُدُكَ بِاللهِ الَّذِي أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ عَلَى مُوسَى، أَهَكَذَا تَجِدُونَ حَدَّ الزَّانِي فِي كِتَابِكُمْ» قَالَ: لَا، وَلَوْلَا أَنَّكَ نَشَدْتَنِي بِهَذَا لَمْ أُخْبِرْكَ، نَجِدُهُ الرَّجْمَ، وَلَكِنَّهُ كَثُرَ فِي أَشْرَافِنَا، فَكُنَّا إِذَا أَخَذْنَا الشَّرِيفَ تَرَكْنَاهُ، وَإِذَا أَخَذْنَا الضَّعِيفَ أَقَمْنَا عَلَيْهِ الْحَدَّ، قُلْنَا: تَعَالَوْا فَلْنَجْتَمِعْ عَلَى شَيْءٍ نُقِيمُهُ عَلَى الشَّرِيفِ وَالْوَضِيعِ، فَجَعَلْنَا التَّحْمِيمَ، وَالْجَلْدَ مَكَانَ الرَّجْمِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَوَّلُ مَنْ أَحْيَا أَمْرَكَ إِذْ أَمَاتُوهُ»، فَأَمَرَ بِهِ فَرُجِمَ، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: {يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ} إِلَى قَوْلِهِ {إِنْ أُوتِيتُمْ هَذَا فَخُذُوهُ} ، يَقُولُ: ائْتُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنْ أَمَرَكُمْ بِالتَّحْمِيمِ وَالْجَلْدِ فَخُذُوهُ، وَإِنْ أَفْتَاكُمْ بِالرَّجْمِ فَاحْذَرُوا، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ} فِي الْكُفَّارِ كُلُّهَا
“Suatu ketika seorang Yahudi yang wajahnya dicat hitam arang dan dicambuk lewat di hadapan Nabi ﷺ. Maka beliau ﷺ memanggil mereka seraya bersabda, ‘Beginikah hukuman zina yang kalian dapati dalam kitab Taurat kalian?’ Mereka menjawab, ‘Ya, benar.’ Lalu beliau ﷺ memanggil seorang laki-laki yang tergolong dari ulama mereka, beliau bertanya, ‘Aku mengharap kamu mau bersumpah dengan nama Allah yang telah menurunkan kitab Taurat kepada Musa, betulkah begini caranya hukuman zina yang kalian dapati dalam kitab Tauratmu?’ Dia menjawab, ‘Tidak, seandainya engkau tidak menyumpahku dengan nama Allah, aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya kepada engkau. Yang kami ketahui dalam kitab Taurat, hukumannya adalah rajam, akan tetapi biasanya hukuman itu tidak berlaku bagi pembesar-pembesar kami. Jika yang tertangkap itu dari pembesar, maka kami biarkan begitu saja. Namun jika yang tertangkap adalah rakyat kecil, maka kami tegakkan hukum sesuai Taurat. Akhirnya kami bermusyawarah, membicarakan hukum yang dapat kami tegakkan bagi pembesar dan rakyat biasa. Lalu kami putuskan untuk menghitamkan wajahnya dengan arang (tahmim)([2]) dan mencambuk pelaku zina sebagai pengganti hukum rajam.’ Setelah laki-laki itu selesai bicara, maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ya Allah, sesungguhnya akulah orang yang pertama-tama menghidupkan kembali perintah-Mu yang telah mereka hapuskan.’ Setelah itu, beliau memerintahkan supaya Yahudi yang berzina itu dihukum rajam, lalu Allah ﷻ menurunkan ayat, ‘(Wahai rasul, janganlah kamu merasa sedih, karena orang-orang yang bersegera menuju kekafiran … Jika diberikan ini kepadamu, maka terimalah).’ (QS Al-Maidah: 41). Orang-orang Yahudi berkata, ‘Datanglah kalian kepada Muhammad ﷺ. jika beliau memutuskan hukuman kepadamu dengan (tahmim) dan cambuk, maka terimalah. Namun, jika dia memutuskan kepadamu dengan hukuman rajam, maka waspadalah. Maka Allah ﷻ menurunkan ayat, “Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Dan siapa tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Dan siapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al–Maidah: 44-47). Hal ini juga berlaku untuk seluruh orang kafir.”([3])
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata,
زَنَى رَجُلٌ مِنَ الْيَهُودِ وَامْرَأَةٌ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: اذْهَبُوا بِنَا إِلَى هَذَا النَّبِيِّ، فَإِنَّهُ نَبِيٌّ بُعِثَ بِالتَّخْفِيفِ، فَإِنْ أَفْتَانَا بِفُتْيَا دُونَ الرَّجْمِ قَبِلْنَاهَا، وَاحْتَجَجْنَا بِهَا عِنْدَ اللَّهِ، قُلْنَا: فُتْيَا نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَائِكَ، قَالَ: فَأَتَوُا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ جَالِسٌ فِي الْمَسْجِدِ فِي أَصْحَابِهِ، فَقَالُوا: يَا أَبَا الْقَاسِمِ، مَا تَرَى فِي رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ زَنَيَا؟ فَلَمْ يُكَلِّمْهُمْ كَلِمَةً حَتَّى أَتَى بَيْتَ مِدْرَاسِهِمْ، فَقَامَ عَلَى الْبَابِ، فَقَالَ: «أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ عَلَى مُوسَى مَا تَجِدُونَ فِي التَّوْرَاةِ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ؟» قَالُوا: يُحَمَّمُ، وَيُجَبَّهُ، وَيُجْلَدُ، وَالتَّجْبِيهُ: أَنْ يُحْمَلَ الزَّانِيَانِ عَلَى حِمَارٍ، وَتُقَابَلُ أَقْفِيَتُهُمَا، وَيُطَافُ بِهِمَا، قَالَ: وَسَكَتَ شَابٌّ مِنْهُمْ، فَلَمَّا رَآهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَكَتَ، أَلَظَّ بِهِ النِّشْدَةَ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ إِذْ نَشَدْتَنَا، فَإِنَّا نَجِدُ فِي التَّوْرَاةِ الرَّجْمَ
“Seorang laki-laki Yahudi berzina dengan seorang wanita. Lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, ‘Mari kita mendatangi Nabi ini (Muhammad ﷺ), karena ia adalah seorang Nabi yang diutus dengan membawa kemudahan-kemudahan dalam syariat. Jika nanti ia memberi fatwa kepada kita dengan hukuman selain rajam, hendaklah kita terima, lalu kita gunakan sebagai hujah di sisi Allah ‘Ini adalah fatwa dari seorang Nabi di antara para Nabi-Mu.’ Akhirnya mereka mendatangi Nabi ﷺ yang sedang duduk-duduk di masjid bersama para sahabatnya. Mereka mengatakan, ‘Wahai Abu Al-Qasim, apa pendapatmu jika laki-laki dan perempuan melakukan perzinaan?’ Beliau tidak memberi mereka jawaban sepatah kata pun sampai beliau mendatangi tempat mereka mengaji. Beliau lalu berdiri di depan pintu seraya bersabda, ‘Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, hukuman apa yang kalian dapati dalam Kitab suci kalian bagi pezina yang telah menikah?’ Mereka menjawab, ‘Wajahnya dilumuri arang, lalu dinaikkan himar (dengan saling membelakangi), lalu diarak dan dicambuk.’ Seorang pemuda dari mereka terdiam. Ketika Nabi ﷺ melihat pemuda itu diam, beliau menguatkan sumpah kepadanya agar ia memberi jawaban. Ia pun berkata, ‘(Ya Allah), jika engkau (Muhammad) bersumpah kepada kami, maka sesungguhnya kami mendapati dalam kitab Taurat adalah hukuman rajam’.”([4])
Allah ﷻ mengawali ayat ini dengan firman-Nya,
يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ
“Wahai Rasul (Muhammad), Janganlah engkau disedihkan.”
Ini adalah panggilan Allah ﷻ kepada nabi-Nya, يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ “Wahai Rasul” atau يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ “Wahai Nabi”.
Rasulullah ﷺ melihat ada sebagian orang yang memeluk agama Islam, tetapi ternyata dia adalah seorang munafik, lalu menampakkan kekufurannya. Tentu saja, hal ini membuat Rasulullah ﷺ merasa sedih. Begitu cepatnya orang itu menampakkan kekufurannya. Padahal Rasulullah ﷺ menyangka bahwa dia telah memeluk agama Islam dengan sepenuhnya.([5]) Rasulullah ﷺ merasa sedih karena sebagian orang yang mungkin salat di belakang beliau ﷺ ternyata adalah orang munafik.
Wajar jika Rasulullah ﷺ merasa sedih. Karena itu Allah ﷻ menegur beliau ﷺ, لَا يَحْزُنْكَ “Janganlah engkau sedih”. Syaikh Al-Sa’di rahimahullah berkata,
أَرْشَدَهُ اللهُ تَعَالَى، إِلَى أَنَّهُ لَا يَأْسَى وَلَا يَحْزَنْ عَلَى أَمْثَالِ هَؤُلَاءِ. فَإِنَّ هَؤُلَاءِ لَا فِيْ الْعِيْرِ وَلَا فِيْ النَّفِيْرِ. إِنْ حَضَرُوْا لَمْ يَنْفَعُوْا، وَإِنْ غَابُوْا لَمْ يَفْقَدُوْا
“Allah ﷻ menegur Nabi Muhammad ﷺ agar beliau tidak berduka dan merasa sedih terhadap orang-orang yang semisal dengan mereka (orang-orang munafik). Karena mereka tidak ada kedudukannya. Kehadiran mereka sama sekali tidak memberikan manfaat dan ketiadaan mereka sama sekali tidak memberikan pengaruh.”([6])
Tidak ada faedahnya bersedih terhadap orang-orang munafik. Yang pantas disedihkan adalah jika ada orang yang beriman, lalu terjerumus kepada kemaksiatan. Beda halnya dengan mereka, yang sejak mulanya memang munafik.
Justru, apabila mereka berada di barisan Rasulullah ﷺ, maka mereka membahayakan kaum muslimin. Karena itulah Allah ﷻ menegur beliau ﷺ agar tidak sedih tatkala orang-orang munafik menampakkan kekufurannya.
Firman Allah ﷻ,
الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ
“Karena mereka berlomba-lomba dalam kekafirannya. Yaitu orang-orang (munafik) yang mengatakan dengan mulut mereka, ‘Kami telah beriman,’ padahal hati mereka belum beriman.”
Di antara orang-orang kafir, ada yang giat dan bersegera menampakkan kekufuran mereka dan ada juga yang sikapnya biasa saja di dalam kekufuran mereka. Kalangan pertama itulah termasuk golongan yang membuat Rasulullah ﷺ merasa sedih.
Selain itu, golongan yang membuat beliau sedih adalah orang-orang Yahudi yang hidup berdampingan dengan beliau ﷺ.
Firman Allah ﷻ,
وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا
“Dan juga orang-orang Yahudi.”
Rasulullah ﷺ disedihkan oleh orang-orang Yahudi, karena beliau ﷺ berharap mereka akan beriman. Namun ternyata mereka menentang Rasulullah ﷺ. Mereka tidak menunjukkan keimanan mereka, bahkan justru menampakkan pertentangannya kepada beliau ﷺ.
Sifat-sifat orang-orang Yahudi
Di antara sifat-sifat orang-orang Yahudi yang disebutkan di dalam ayat ini adalah,
Firman Allah ﷻ,
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ
“Yang sangat suka mendengar (berita-berita) bohong.”
Mereka sangat suka sekali mendengarkan tentang kedustaan-kedustaan dari orang-orang yang benci kepada Nabi ﷺ. Mereka sangat suka jika ada orang yang berkata bahwa Muhammad ﷺ bukanlah nabi. Sebab mereka tidak suka jika ada nabi yang berasal dari selain Bani Israil. Begitu ada yang berkata bahwa Muhammad ﷺ adalah seorang pendusta, maka mereka merasa sangat senang.
Di antara tafsiran سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ “mereka sangat suka dengan berita-berita bohong” adalah mereka sangat senang ketika mereka berdusta dengan menyatakan bahwa di dalam Taurat tidak ada hukum rajam. Sebagian ulama menafsirkan bahwa setiap kali mereka mendengar ceramah Nabi Muhammad ﷺ, maka mereka mendustakannya. Mereka sengaja mendengar ceramah Nabi hanya untuk mendustakan beliau ﷺ.([7])
Firman Allah ﷻ,
سَمَّاعُونَ لِقَوْمٍ آخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ
“Yang sangat suka mendengar (berita-berita) bohong dan sangat suka mendengar (perkataan-perkataan) orang lain yang belum pernah datang kepadamu.”
Di antara sifat-sifat orang-orang Yahudi adalah suka mendengar berita dusta dari orang-orang yang tidak pernah datang kepada Nabi ﷺ, yaitu para pembesar-pembesar Yahudi sekaligus ulama-ulama su’ (jahat) dari kalangan Yahudi.([8])
Firman Allah ﷻ,
يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ
“Mereka mengubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya.”
Pekerjaan mereka adalah suka mengubah-ubah tafsiran Taurat. مَوَاضِعِهِ adalah bentuk jamak dari مَوْضِع “tempat”. Artinya, mereka sebenarnya sudah mengetahui tempat/penafsirannya yang benar. Namun karena mereka mengikuti hawa nafsu, maka mereka pun menafsirkannya dengan penafsiran yang melenceng. Mereka tahu syariat hukum rajam dalam Taurat. Namun, mereka memalingkan dan menakwilnya dengan takwil yang tidak benar. Tentu, itu menjadi celaan bagi mereka, yang menyimpangkan tafsir Taurat setelah mereka mengetahui penafsirannya yang benar.([9])
Firman Allah ﷻ,
يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَذَا فَخُذُوهُ وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا
“Jika ini (yang sudah diubah) yang diberikan kepadamu terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah.”
Ketika terjadi perzinaan di antara orang-orang Yahudi, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Pergilah kepada Muhammad dan tanyakan kepadanya, jika ternyata hukuman bagi pezina menurut Muhammad lebih ringan dari rajam, maka terimalah. Namun, jika dia memberikan hukum lain yang sama dengan rajam, maka waspadalah!”
Ayat ini menunjukkan bahwa mereka sengaja mempermainkan ayat-ayat Allah ﷻ, karena mengikuti hawa nafsu mereka.([10])
Firman Allah ﷻ,
وَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Siapa yang dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikit pun engkau tidak akan mampu menolak sesuatu pun dari Allah (untuk menolongnya). Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat azab yang besar.”
Jika Allah ﷻ tidak memberikan hidayah kepada suatu kaum, maka siapa pun tidak akan mampu sedikit pun memberikan hidayah kepada mereka. Bahkan Nabi ﷺ sekalipun. Allah ﷻ mematikan hati mereka, karena mereka telah mengetahui kebenaran, lalu sengaja memalingkannya. Adapun Nabi ﷺ maka sangat ingin mereka mendapatkan hidayah, sehingga beliau ﷺ pun mendakwahi mereka.
Bahkan, sebagian ulama menyebutkan bahwa pada saat pertama kali tiba di Madinah, Nabi ﷺ ingin bersepakat dengan mereka. Beliau ﷺ pernah salat menghadap arah Baitul-Maqdis, yang ketika itu merupakan kiblat pertama, meskipun Rasulullah ﷺ pun ingin salat menghadap Ka’bah.([11]) Ada pula puasa kaum muslimin yang mirip dengan puasa mereka. Nabi ﷺ ingin hal-hal yang menjadi kesepakatan dengan mereka, termasuk dalam masalah ibadah, dapat membuat mereka memeluk agama Islam.
Tapi ternyata mereka adalah kaum yang buruk, yang suka mengubah-ubah ayat-ayat Allah ﷻ. Sehingga Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا
“Siapa yang dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikit pun engkau tidak akan mampu menolak sesuatu pun dari Allah (untuk menolongnya).”
Demikianlah, jika Allah ﷻ telah menakdirkan sesat terhadap suatu kaum, maka Nabi ﷺ pun tidak mampu memberikan hidayah bagi mereka.
Abu Thalib, yang merupakan paman Nabi ﷺ pun tidak mendapatkan hidayah. Rasulullah ﷺ telah menasihati dan mendakwahinya berulang-ulang, sementara Abu Thalib juga sangat sayang kepada beliau ﷺ, bahkan rela mati-matian membela Nabi ﷺ. Sampai menjelang wafatnya, Nabi ﷺ tetap mendakwahi Abu Thalib. Namun, karena Abu Thalib tidak ingin dipermalukan oleh kaumnya, akhirnya dia tetap tidak mau masuk Islam.
Karena itu, benarlah bahwa kita hanya mampu berusaha. Namun jika Allah ﷻ sudah menghendaki fitnah kepada seseorang, maka kita tidak akan mampu menolongnya sedikit pun.
Firman Allah ﷻ,
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat azab yang besar.”
Nabi menginginkan semua orang-orang munafik dan Yahudi untuk memeluk agama Islam, dikarenakan kelembutan hati beliau ﷺ. Karena itu orang munafik yang menampakkan kemunafikannya dan orang Yahudi yang bersikeras dalam kekufurannya itu menyebabkan Nabi ﷺ bersedih. Ini menunjukan bagaimana mulia akhlak Nabi ketika berdakwah. Beliau berdakwah dengan penuh rasa harapan agar mereka mendapatkan hidayah. Sehingga ketika mereka semakin membangkang maka beliaupun menjadi sedih. Hendaknya para daí bisa mencontohi Nabi g dalam hal ini, yaitu berdakwah dengan semangat dan harapan yang tinggi agar audiense bisa mendapatkan hidayah, bukan hanya sekedar berdakwah dalam rangka sekedar menegakan hujjah (argumentasi). Seseorang yang berdakwah dengan penuh harapan agar audiense mendapatkan hidayah maka ia akan berusaha berdakwah dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya. Berbeda dengan seseorang yang berdakwah hanya sekedar bertujuan menegakan hujjah, maka betapa sering ia tidak memperdulikan metode dakwah yang terbaik.
Sebagaimana kondisi orang-orang Yahudi yang memiliki sebab keimanan yang tinggi (yaitu disebutkannya Nabi g di Taurat, namun mereka tetap tidak beriman), maka demikian pula halnya dengan orang-orang munafik, maka semua sebab hidayah juga sudah ada di depan mata mereka. Mereka melihat Nabi ﷺ dan akhlak beliau secara langsung. Mereka tahu bahasa Arab, mendengarkan ceramah beliau ﷺ, mengikuti perang bersama beliau ﷺ bahkan juga menyaksikan mukjizat-mukjizat beliau ﷺ. Namun, jika Allah ﷻ tidak memberikan hidayah kepada mereka, maka Nabi ﷺ pun tidak mampu memberikan hidayah sedikit pun kepada mereka.
Ayat ini menunjukkan pentingnya memperhatikan hati kita. Kalangan Yahudi dan munafik adalah orang-orang yang tidak ingin disucikan hatinya. Allah ﷻ berfirman tentang hati orang-orang munafik,
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ
“Dalam hati mereka ada penyakit.” (QS Al-Baqarah: 10)
Diriwayatkan bahwa ada sebagian Yahudi datang dan berkata kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma atau Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Kami adalah orang yang khusyuk di dalam salat kami.” Maka beliau berkata,
وَمَا يَصْنَعُ الشَّيْطَانُ بِقَلْبٍ خرَابٍ؟
“Untuk apa setan menggoda hati yang telah rusak?”([12])
Orang-orang kafir bisa jadi tidak digoda lebih lanjut oleh setan, karena toh mereka telah berkubang dalam kesyirikan dan kekufuran. Yang terus digoda oleh setan adalah orang-orang Islam dan bertauhid.
Allah ﷻ tidak ingin mensucikan hati orang-orang Yahudi dan munafik, karena mereka telah tahu kebenaran, namun sengaja menyimpangkannya.
Para ulama mengingatkan kita untuk senantiasa berhati-hati. Karena ada ahli bidah dan sebagian ulama sesat yang mengetahui makna yang benar dari ayat tertentu, namun sengaja dipalingkan maknanya karena tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka.([13]) Perbuatan mereka semacam ini memiliki kemiripan dengan perbuatan orang-orang Yahudi, yang mereka telah tahu kebenaran, namun sengaja menyimpangkannya sesuai keinginan mereka.
_________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 176.
([2]) Tahmim adalah wajah yang hitam karena arang, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul-Atsir. Lihat: Al-Nihayah fi Gharibil-Hadits wal-Atsar, vol. I, hlm. 444.
([4]) HR Abu Dawud no. 4450 dan dinyatakan shahih lighairihi oleh Al-Arnauth, namun dilemahkan oleh Al-Albani.
([5]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 181.
([6]) Lihat: Tafsir Al-Sa’di, vol.I, hlm. 231.
([7]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 181.
([8]) Lihat: Al-Tahrir wat-Tanwir, vol. VI, hlm. 199.
([9]) Lihat: At-Tahrir wat-Tanwir, vol. VI, hlm. 200.
([10]) Lihat: Tafsir Al-Sa’di, vol. I, hlm. 231.
([11]) Lihat: Tafsir Ibn Katsir, vol. I, hlm. 458. Ketika di Makkah, sebelum hijrah ke Madinah, Nabi ﷺ salat menghadap arah Baitul-Maqdis sekaligus menghadap Ka’bah.
([12]) Lihat: Syarh Riyadhis-Shalihin, Syaikh Ibn ‘Utsaimin, vol. IV, hlm. 135.