5. ٱلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
al-yauma uḥilla lakumuṭ-ṭayyibāt, wa ṭa’āmullażīna ụtul-kitāba ḥillul lakum wa ṭa’āmukum ḥillul lahum wal-muḥṣanātu minal-mu`mināti wal-muḥṣanātu minallażīna ụtul-kitāba ming qablikum iżā ātaitumụhunna ujụrahunna muḥṣinīna gaira musāfiḥīna wa lā muttakhiżī akhdān, wa may yakfur bil-īmāni fa qad ḥabiṭa ‘amaluhụ wa huwa fil-ākhirati minal-khāsirīn
5. Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
Tafsir :
Ada dua permasalah hukum fikih di dalam ayat ini, yaitu masalah makanan ahli kitab dan masalah menikahi wanita ahli kitab.
Firman Allah ﷻ,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
“Pada hari ini, dihalalkan bagimu segala yang baik-baik.”
Ketika Allah ﷻ menyebutkan kenikmatan pada hari ini, yaitu hari Arafah. Di dalam ayat ini Allah ﷻ menghalalkan perkara-perkara baik, di antaranya adalah dua kenikmatan yang penting: makanan dan pernikahan, sebagaimana penjelasan setelahnya.
Selanjutnya Allah ﷻ menjelaskan tentang makanan,
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
“Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka.”
Makanan sifatnya umum. Ada buah-buahan, biji-bijian dan lain sebagainya. Namun pembahasan makanan dalam ayat ini berkaitan masalah sembelihan.([1])
Firman Allah ﷻ “Makananmu halal bagi mereka” maka ini perkara yang jelas. Namun pada kalimat “Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu” maka kondisi orang-orang kafir bermacam-macam. Ada orang kafir Ahli Kitab, seperti Yahudi dan Nasrani. Ada pula orang kafir non Ahli Kitab, seperti: Budha, Hindu, kaum musyrik Arab, Majusi, Konghucu, ateis dan lain-lain.
- Sembelihan orang kafir non Ahli Kitab
Sembelihan yang berasal dari orang kafir non Ahli Kitab, hukumnya adalah haram.([2]) Contohnya ketika seseorang pergi ke luar negeri, lalu dia mendapati orang-orang kafir di negeri tersebut ternyata adalah dari kalangan ateis, yang kemudian menyembelih hewan sembelihan dan menghidangkannya kepadanya, maka tidak boleh baginya untuk memakannya, karena orang kafir itu bukan dari golongan Ahli Kitab.
Sembelihan yang dihalalkan adalah sembelihan yang berasal dari orang-orang kafir Yahudi dan Nasrani. Bahkan, terdapat khilaf tentang Nasrani Arab dari Bani Taghlib. Sebagian Sahabat mengatakan bahwa sembelihan mereka adalah haram, karena mereka tidak menjalankan syariat Nasrani. Meskipun mereka beragama Nasrani, tetapi mereka tidak menjalankan syariat Nasrani kecuali minum khamar saja.
Dari sini terdapaf khilaf, sebagian mereka mengatakan halal sembelihannya dan sebagian lainnya mengatakan haram, karena Nasrani Bani Taghlib tidak dihukumi sebagai orang Nasrani.([3])
Perhatikan, para Sahabat khilaf tentang sembelihan Nasrani Bani Taghlib hanya karena mereka dinilai tidak menjalankan syariat Nasrani, maka bagaimana jika para Sahabat tersebut melihat kondisi umumnya Nasrani di zaman kita ini?. Meskipun -wallahu a’lam- ayat bersifat umum mencakup semua orang yang beragama ahlul kitab, apakah menjalankan syari’at atau tidak, karena ayat tidak mengkhususkan sebagian Ahlul Kitab dari sebagian Ahlul Kitab yang lain.
Bagaimana dengan orang kafir ateis?
Di Eropa banyak orang beragama Nasrani, yang sejatinya dia adalah seorang ateis. Jika seseorang dengan tahu benar bahwa mereka adalah ateis, maka tidak boleh baginya memakan sembelihan mereka. Hukumnya adalah haram, meskipun secara lahir dan identitas dia beragama Nasrani.
- Sembelihan orang kafir Ahli Kitab
Adapun sembelihan orang-orang kafir Yahudi dan Nasrani, ada khilaf di antara para ulama, apakah disyaratkan mereka menyembelih dengan menyebut nama Allah ﷻ atau boleh jika menyembelih tanpa menyebut nama Allah ﷻ sama sekali?
Pendapat pertama: disyaratkan bagi mereka menyebut nama Allah ﷻ ketika menyembelih dan tidak boleh menyebut selain nama Allah ﷻ. Pendapat kedua: tidak disyaratkan bagi mereka menyebut nama Allah ﷻ, bahkan jika mereka menyebut nama Yesus, atau Bunda Maria, atau Ruhul Kudus, atau pendeta, maka hukumnya tetap halal. Karena ini semua masuk ke dalam kategori rukhsah/keringanan. Begitu pula jika tidak menyebut apapun, maka hukumnya tetap halal. Allah mengetahui keyakinan mereka dan perkataan mereka -yang menyembelih dengan selain nama Allah- akan tetapi Allah tetap menghalalkan sembelihan mereka tanpa memperinci dan tanpa mempersyaratkan.([4])
Pendapat kedua itulah yang dipilih dan dianggap lebih tepat oleh penulis. Bahwa tidak disyaratkan bagi mereka untuk menyebut nama Allah ﷻ saat menyembelih, atau bahkan jika mereka menyebut nama Tuhan mereka, maka tidak mengapa, karena ini merupakan keringanan dari syariat. Syariat memberikan keringanan kepada kita untuk makan dari sembelihan Ahli Kitab. Ini adalah pendapat yang kuat sekaligus meringankan.
Pertanyaan: Bagaimana jika tidak disembelih? Apalagi ahli kitab pada zaman sekarang mereka tidak peduli dengan segala hal itu.
Jawaban: Jika hewan yang berasal dari orang kafir ahli kitab itu mati bukan karena disembelih, melainkan karena ditusuk, ditembak, ditikam bagian perutnya atau digiling dan lain sebagainya, maka ada khilaf di antara ulama.
Sebagian ulama berpendapat boleh/halal. Alasannya adalah karena ayat tersebut datang secara mutlak dan untuk memberikan keringanan. Karena itu, bagaimanapun cara yang dilakukan oleh Ahli Kitab, maka halal bagi muslim. Ketika Nabi ﷺ diberi hadiah oleh wanita Yahudi berupa daging kambing, beliau ﷺ tidak bertanya bagaimana wanita Yahudi itu menyembelih kambing tersebut. Nabi ﷺ langsung memakannya.
Sebagian ulama lainnya memilih pendapat yang lebih berhati-hati dalam masalah ini. Mereka berpendapat itu haram. Mereka berdalil dengan qiyas aulawi, bahwa apabila sembelihan yang berasal dari orang Islam dengan cara yang tidak syar’i itu diharamkan, maka terlebih lagi apabila sembelihan tersebut berasal dari Ahli Kitab. Pendalilannya sederhana. ([5])
Di antara ulama yang memilih pendapat yang mengharamkan tersebut adalah Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Allahu a’lam bis-shawab. Tentu saja pendapat demikian adalah pendapat yang lebih sejalan dengan prinsip kehati-hatian.([6])
Namun sebagian ulama seperti Syaikh Bin Baaz dan Syaikh Ibnu Útsaimin berpendapat bahwa hukum asal sembelihan ahlul kitab adalah halal, dan kita tidak perlu bertanya apakah hewan tersebut disembelih atau tidak, sebagaiamana kita juga tidak perlu bertanya apakah disembelih dengan nama Allah atau dengan nama selain Allah?. Bahkan seharusnya tidak bertanya, karena Nabi g ketika diberi hadiah makanan dari wanita Yahudi Nabi g tidak bertanya-tanya kepada wanita Yahudi tersebut tentang status makanan itu. ([7])
Hukum menikah dengan wanita kafir
- Menikahi wanita kafir non Ahli K
Hukum bagi seorang muslim yang menikahi seorang wanita kafir non Ahli Kitab adalah haram. Hal ini berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah: 221)
Ayat ini menjadi dalil bahwa menikahi wanita kafir non Ahli Kitab hukumnya haram.([8]) Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini juga mencakup Ahli Kitab, namun kemudian di-mansukh-kan atau dikhususkan oleh ayat ini (QS Al-Maidah: 5):
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.”
- Menikahi wanita kafir ahli kitab.
Hukum menikahi wanita kafir Ahli Kitab adalah halal, dengan syarat :
- Wanita tersebut termasuk dalam الْمُحْصَنَاتُ “perempuan-perempuan yang menjaga diri”, bukan wanita pezina. Hukum seorang muslim yang menikahi seorang wanita Yahudi/Nasrani pezina adalah haram.
- Wajib memberikan mahar.
- Tidak bermaksud berzina dengannya, berdasarkan firman Allah ﷻ,
إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
“Apabila kamu membayar mahar mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan.”
Mayoritas ulama membolehkan hal tersebut.([9])
Namun, sebagian ulama berpendapat tidak boleh, berdasarkan ucapan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
لَا أَعْلَمَ شِرْكًا أَعْظَمَ مِنْ أَنْ تَقُولَ: إِنَّ رَبَّهَا عِيسَى
“Aku tidak mengetahui ada kesyirikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi ‘Isa.” ([10])
Mereka memasukkannya ke dalam kategori wanita dari kaum musyrik.
Namun, pendapat yang lebih tepat dan dipilih oleh penulis adalah yang membolehkan. Perhatikan ketika Allah ﷻ menjelaskan tentang makanan,
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
“Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka.”
Ada timbal balik bahwa makanan orang kafir Ahli Kitab halal bagi muslim, dan makanan muslim juga halal bagi mereka. Namun, dalam masalah pernikahan tidak ada timbal balik sebagaimana tentang makanan. Allah ﷻ menjelaskan bahwa wanita-wanita muslimah tidak boleh menikah dengan pria Ahli Kitab. Namun, yang dibolehkan hanyalah seorang mukmin menikahi wanita kafir Ahli Kitab. ([11])
Kenapa? Karena masalah makanan tidak berkaitan dengan masalah wilayah/kekuasaan. Lain halnya dengan masalah pernikahan. Suami menjadi pemimpin keluarga, sementara posisi wanita lebih lemah, bisa diatur oleh suaminya, bahkan bisa dijadikan murtad oleh suaminya.
Pada zaman sekarang pun cukup sering terjadi pria Nasrani menikah dengan wanita-wanita beriman, yang akhirnya mereka pun dimurtadkan. Apalagi jika mereka telah memiliki anak, sementara hati istri telah bergantung kepada suami, dan anak-anak bergantung kepada ayah mereka, maka potensi pemurtadan sangat besar. Bahkan, banyak pria kafir berpura-pura masuk Islam, lalu menikah dengan wanita muslimah. Ketika keduanya telah memiliki anak, lelaki tersebut memaksa istrinya untuk murtad.
Oleh karena itu, tidak boleh bagi lelaki kafir baik Yahudi atau Nasrani menikah dengan wanita muslimah. Yang dibolehkan adalah lelaki beriman menikah dengan wanita kafir Ahli Kitab.
Perhatikanlah! Ketika Allah ﷻ membolehkan lelaki beriman menikah dengan wanita Ahli Kitab, maka pembolehan tersebut bukanlah bermakna penganjuran. Allah ﷻ berfirman,
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.”
- Allah ﷻ mendahulukan penyebutan wanita-wanita yang beriman.
Ketika Allah ﷻ menjelaskan tentang makanan, maka Allah ﷻ menyebutkan makanan Ahli Kitab terlebih dahulu, kemudian makanan orang-orang beriman. Namun sebaliknya, ketika Allah ﷻ menyebutkan tentang pernikahan, maka Allah ﷻ menyebutkan tentang wanita beriman terlebih dahulu. Jadi, hendaklah mencari istri dari kalangan wanita beriman, karena dia yang kelak mengasuh dan merawat anak-anak, sedangkan sebagai seorang suami wajib menjaga agama keluarganya.
Jangan sampai karena keimanan seseorang yang lemah, sehingga ketika dia menikah dengan wanita Nasrani, kemudian dia membagi hak asuh anak-anak di antara keduanya.
Oleh karena itu, Allah ﷻ menyebutkan wanita-wanita beriman terlebih dahulu. Bukankah Nabi ﷺ telah bersabda terkait pria,
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوه
“Jika telah datang kepada kalian orang yang kalian rida terhadap agama dan akhlaknya maka nikahkanlah (anak perempuan kalian) dengannya.”([12])
Beliau ﷺ juga bersabda terkait wanita,
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Maka, pilihlah perempuan yang memilki agama, niscaya engkau akan beruntung.” ([13])
- Pada akhir ayat tersebut Allah ﷻ menjelaskan tentang bahaya kesyirikan.
Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Siapa yang kafir setelah beriman, maka sungguh sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Al-Maidah: 5)
Setelah Allah ﷻ menjelaskan tentang dibolehkannya menikah dengan wanita Ahli Kitab, maka Allah ﷻ menutupnya dengan firman-Nya tersebut. Ini menunjukkan beberapa faedah, di antaranya:
- Jangan sampai takjub dan condong hati kepada wanita Ahli Kitab sehingga kemudian takjub dengan agamanya. Seorang istri yang beragama Yahudi/Nasrani, maka kelak dia akan masuk ke dalam n
- Allah ﷻ menjelaskan bahwa hukum dunia berbeda dengan hukum akhirat. Artinya, di dunia seorang suami muslim dan istri kafir boleh tinggal bersama, tetapi tidak demikian untuk kehidupan akhirat.
- Bukankah kesempurnaan nikmat surga dikumpulkan bersama istri?([14]) Allah ﷻ berfirman,
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ
“(Yaitu) surga-surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang yang saleh dari nenek moyangnya, pasangan-pasangannya, dan anak cucunya, sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.” (QS Al-Ra’d: 23)
Oleh karenanya, jika seorang muslim memiliki istri dari ahli kitab, maka dia tidak akan bisa tinggal dengan istrinya tersebut di surga kelak.
Meskipun dibolehkan menikah dengan wanita ahli kitab dan hukum tersebut berlaku sampai sekarang, tetapi di penghujung ayat Allah ﷻ memberikan peringatan bahwa jika di dunia agama suami istri berbeda, maka di akhirat kelak pun tempat kembali mereka juga berbeda.
Intinya, dalam kondisi tertentu hukum ini masih tetap berlaku dan agama Islam memperhatikan maslahat. Boleh jadi seorang muslim menikah dengan wanita Yahudi/Nasrani dan jika dia memiliki ilmu agama, maka dia bisa mengajaknya untuk memeluk agama Islam dan mengajarkannya kepada mereka.
____________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 76.
([2]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 77.
([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 78.
([4]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 76.
([5]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, vol. VI, hlm. 77.
([6]) Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (20/2).
Adapun berdalil dengan keumuman ayat
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
“Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu”
maka sangat sulit karena keumuman ayat telah dikhususkan dengan dalil-dalil yang lain. Contohnya dikhususkan dengan firman Allah sebelumnya :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. (QS Al-Maidah : 3)
([7]) Syaikh Bin Baaz berkata, “Jike engkau tidak mengetahui bagaimana cara mereka (ahlul kitab) menyembelih maka makanlah dan alhamdulillah, serta tidak usah engkau tanya-tanya selama engkau tahu bahwasanya ini adalah dari sembelih ahlul kitab yahudi atau nashrani maka halal bagimu. Akan tetapi kapan engkau tahu bahwasanya mereka menyembelih dengan cara yang tidak syarí seperti dengan mencekik maka jangan makan. Karena mereka (ahlul kitab) tidak lebih mulia dari kaum muslimin. Jika seorang muslim yang mencekik maka haram, jika muslim memukul kepala hewan hingga mati maka haram dimakan, jika seorang muslim memukul perutnya hinnga mati maka haram dimakan, padahal ia soerang muslim. Lantas bagaimana lagi jika yahudi dan nashrani?” (lihat https://binbaz.org.sa/fatwas/13978/حكم-الاكل-من-ذباىح-اهل-الكتاب)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Dan tidak lazim untuk bertanya kepada apa yang disembelih seorang mulsim dan juga seorang ahlul kitab bagaimana cara ia menyembelih, apakah menyebut nama Allah atau tidak?. Bahkan tidak sepantasnya untuk bertanya, karena hal ini termasuk dari التَنَطًّع فِي الدِّيْنِ berlebih-lebihan dalam agama. Dan Nabi g ketika memakan makanan yang disembelih yahudi maka Nabi g tidak bertanya kepada mereka. Dan di Shahih al-Bukhari dan yang lainnya dari Aisyah radhiallahu ‘anhaa bahwasanya ada sekelompok orang berkata kepada Nabi g, “Sesungguhnya sebuah kaum membawakan kepada kami daging yang kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah atau tidak?”. Maka Nabi g berkata, سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوْهُ “Kalian sebutlah nama Allah atas daging tersebut dan makanlah !”. Aisyah berkata, “Dan mereka baru saja meninggalkan kekufuran, maka Nabi g memerintahkan mereka untuk memakan daging tersebut tanpa bertanya-tanya, padahal yang mendatangkan daging bisa saja tidak tahu hukum-hukum Islam karena baru saja meninggalkan kekufuran (baru saja masuk Islam)” (Talkhish Kitab Ahkaam al-Udhiyah wa adz-Dzakaat, Ibnu al-Útsaimin hal 39-40)
([8]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, vol. I, hlm. 582.
([9]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, vol. III, hlm. 42.
([10]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, vol. III, hlm. 42.
([11]) Lihat: At-Tahrir wat-Tanwir, vol. VI, hlm. 123.
([12]) HR Al-Tirmidzi, no. 1085 dan dinilai valid oleh Al-Albani.