51. وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَٰبِ مُوسَىٰٓ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ مُخْلَصًا وَكَانَ رَسُولًا نَّبِيًّا
ważkur fil-kitābi mụsā innahụ kāna mukhlaṣaw wa kāna rasụlan nabiyyā
51. Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi.
Tafsir:
Kisah Nabi Musa ‘Alaihissalam disebutkan setelah kisah Nabi Ishaq ‘Alaihissalam dan Nabi Yaqub ‘Alaihissalam, karena Nabi Musa ‘Alaihissalam adalah nabi terbaik dari keturunan Ishaq ‘Alaihissalam dan Yaqub ‘Alaihissalam. Para nabi yang berasal dari keturunan Ishaq ‘Alaihissalam dan Yaqub ‘Alaihissalam, juga biasa disebut dengan para nabi Bani Israil. Jumlah merea sangatlah banyak, namun yang terbaik di antara mereka adalah Nabi Musa ‘Alaihissalam, yang mana beliau termasuk jajaran Ulul Azmi yang lima, yaitu: Nabi Nuh ‘Alaihissalam, Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, Nabi Musa ‘Alaihissalam, Nabi Isa ‘Alaihissalam, dan Nabi Muhammad ﷺ. Kelima rasul inilah, bersama Nabi Adam ‘Alaihissalam, yang kelak di Padang Mahsyar akan didatangi oleh seluruh manusia untuk meminta syafaat kepada mereka.([1])
Ada dua qiraah terkait kata (مخلصا) dalam ayat ini([2]). Qiraah pertama membacanya dengan meng-kasrahkan huruf laam (مُخْلِصًا), sehingga maknanya adalah seorang yang ikhlas kepada Allah ﷻ dalam segala hal. Qiraah kedua adalah membacanya dengan mem-fathahkan huruf laam (مُخْلَصًا), sehingga maknanya seorang yang terpilih. Dua qiraah ini semuanya benar.
Makna yang kedua, seperti disebutkan dalam firman Allah ﷻ,
﴿قَالَ يَا مُوسَىٰ إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالَاتِي وَبِكَلَامِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ﴾
“Allah ﷻ berfirman: “Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.” (QS. Al-A’raf: 144)
Begitu juga firman-Nya,
﴿وَاصْطَنَعْتُكَ لِنَفْسِي﴾
“dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku.” (QS. Thaha: 41)
Syaikh As-Sa’di RH menyimpulan bahwa makna dari masing-masing qiraah ini sejatinya berkaitan erat dengan makna qiraah lainnya([3]). Seorang yang sempurna keikhlasannya pastilah merupakan hamba yang spesial nan istimewa, maka akhirnya Allah ﷻ memilihnya. Maka tentu saja sebaliknya, seorang yang dipilih oleh Allah ﷻ pastilah seorang yang ikhlas.
Sebuah nasehat untuk diri saya pribadi dan juga untuk saudaraku pembaca, hendaknya kita senantiasa berusaha menjaga keikhlasan kita dalam segala perbuatan kita tanpa terkecuali. Hal yang seharusnya menjadi perhatian terbesarnya dalam setiap gerak-geriknya, adalah bagaimana niat hatinya, apakah ikhlas atau tidak.
Suatu ketika Nafi’ bin Jubair RH ditanya, “Tidakkah kamu ikut melayat jenazah bersama kami?” Nafi’ pun menjawab, “Tunggulah sebentar, aku hendak mengikhlaskan niatku terlebih dahulu.” Setelah merasa niatnya sudah baik dan ikhlas, barulah akhirnya beliau berangkat. ([4])
Terkadang momen renungan semacam ini tidaklah memakan waktu lama, hanya saja pengaruhnya sangatlah besar. Jika anda ingin menjadi orang yang Allah ﷻ pilih di dunia dan Akhirat, maka jadilah seorang yang ikhlas.
Kemudian Allah ﷻ juga menyifati Nabi Musa ‘Alaihissalam sebagai rasul dan nabi. Apa perbedaan antara nabi dan rasul? Berikut beberapa pendapat terkait hal ini:
Pertama: Rasul diperintahkan untuk berdakwah, sementara nabi tidak diperintahkan untuk berdakwah([5]). Namun pendapat ini tidak lepas dari kritikan, karena jangankan nabi, para ulama saja berdakwah, maka sudah tentu para nabi juga berdakwah. Nabi ﷺ bersabda,
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنَ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidaklah mewariskan dinar atau pun dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” ([6])
Tambah lagi Allah ﷻ memerintahkan untuk menyebarkan ilmu, bukan mencarinya kemudian menyimpannya saja.
Kedua: Rasul membawa syariat yang baru, sedangkan nabi meneruskan syariat rasul sebelumnya([7]). Pendapat ini juga memiliki kritikan, karena Nabi Ismail AS adalah seorang rasul, akan tetapi beliau meneruskan syariat ayahnya, yaitu Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam.
Ketiga: Rasul diutus kepada kaum yang menentang dan menyelisihinya, seperti Nabi Musa ‘Alaihissalam yang diutus kepada Firaun dan kaumnya, Nabi Ismail AS yang diutus kepada suku Jurhum yang menyelisihinya dan tidak bertauhid kepada Allah ﷻ. Adapun nabi tidak demikian. Perumpamaan mudahnya, nabi seakan ulama yang berdakwah di tengah kaumnya yang sudah beriman, namun masih membutuhkan berbagai perbaikan. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ta’ala dan ini adalah pendapat yang kuat.([8])
Keempat: Kerasulan adalah hubungan antara nabi dengan umatnya, sedangkan kenabian adalah hubungan antara dirinya dengan Allah ﷻ. Karenanya Muhammad ﷺ diangkat menjadi nabi dengan turunnya awal Surah Al-‘Alaq dan diutus menjadi seorang rasul dengan diturunkannya awal Surah Al-Muddattsir. Syaikh As-Sa’di condong kepada pendapat ini([9]). Namun pendapat ini juga memiliki kritikan, karena ia berarti menyatakan bahwa setiap nabi adalah rasul, karena setiap nabi pasti berdakwah kepada kaumnya dan mendapat wahyu dari Allah. Padahal faktanya, seorang rasul sudah pasti merupakan nabi, namun tidak mesti seorang nabi adalah rasul. Para ulama juga sepakat bahwasanya kedudukan rasul lebih tinggi daripada nabi, dan yang paling mulia di antara para rasul adalah Ulul Azmi yang lima. Urutannya adalah sebagai berikut:
- Ulul ‘Azmi. Yaitu: Nabi Nuh ‘Alaihissalam, Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, Nabi Musa ‘Alaihissalam, Nabi Isa ‘Alaihissalam, dan Nabi Muhammad ﷺ.
- Para rasul
- Para nabi
- Shiddiqun
- Syuhada’
- Sholihun
Shiddiqun, Syuhada’, dan Sholihun adalah wali-wali Allah ﷻ.
________
Footnote:
([1]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 3/398
([2]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 18/209
([3]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal: 495
([4]) Jamiúl Úlum wal Hikam, Ibnu Rojab al-Hanbali 1/70
([5]) Lihat: A’lamul Hadits 1/298
([6]) HR. Ibnu Majah no. 223. Al-Albani mengatakan hadits ini shohih
([7]) Lihat: Ar-Rusul War Risalat 1/15