52. وَنَٰدَيْنَٰهُ مِن جَانِبِ ٱلطُّورِ ٱلْأَيْمَنِ وَقَرَّبْنَٰهُ نَجِيًّا
wa nādaināhu min jānibiṭ-ṭụril-aimani wa qarrabnāhu najiyyā
52. Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami).
Tafsir:
Makna an-nidaa’ dalam bahasa Arab adalah seruan dengan suara dari kejauhan([1]). Sehingga ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwasanya Allah ﷻ berbicara dengan Nabi Musa ‘Alaihissalam dengan suara. Dalam ayat yang lain Allah ﷻ berfirman,
﴿وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا﴾
“Dan Allah ﷻ telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (QS. An-Nisa: 164)
Kesempatan berbicara langsung dengan Allah ﷻ tidak pernah diperoleh oleh manusia lain selain Nabi Musa ‘Alaihissalam, dan karenanya beliau AS digelari dengan Kalimullah. Allah ﷻ berfirman,
﴿تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۘ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ ۖ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ ۚ﴾
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah ﷻ meninggikannya beberapa derajat.” (QS. Al-Baqarah: 253)
Seandainya Allah ﷻ berbicara kepada Nabi Musa tanpa suara dan hanya sekedar wahyu, maka tidak ada bedanya antara Nabi Musa dengan nabi dan rasul lainnya. Mengatakan bahwa Allah ﷻ berbicara tanpa suara dan tanpa huruf adalah akidah Asyairah yang tidak tepat dan salah. Banyak sekali dalil yang menjelaskan bahwasanya Allah ﷻ berbicara dan didengar oleh para malaikat dan para nabi, seperti Allah ﷻ berbicara dengan Nabi Adam ‘Alaihissalam di Surga, dan selainnya. Di antaranya adalah firman Allah ﷻ,
﴿وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَىٰ﴾
“Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).”
Kemudian firman-Nya,
﴿مِنْ جَانِبِ الطُّورِ الْأَيْمَنِ﴾
“dari sebelah kanan gunung Thur.”
Terdapat dua tafsiran terkait kata الْأَيْمَنِ:([2])
Pertama: Makna al-ayman adalah arah kanan. Maksudnya ketika Nabi Musa berjalan dari Madyan menuju ke Mesir, beliau melewati bukit Thursina yang berada di sebelah kanan beliau AS.
Kedua: Makna al-ayman adalah sesuatu yang diberkahi. Artinya bukit Thursina adalah bukit yang penuh dengan keberkahan. Makna ini didukung oleh firman-Nya,
﴿إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى﴾
“sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa.” (QS. Thaha: 12)
Kemudian firman-Nya,
﴿وَقَرَّبْنَاهُ نَجِيًّا﴾
“Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami).”
Ada yang menafsirkan bahwa Nabi Musa diangkat ke langit sehingga Allah ﷻ berbicara lebih dekat kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam([3]). Tentunya bermunajat (نَجِيًّا) lebih dekat dibandingkan dengan seruan (وَنَادَيْنَاهُ). Jadi Allah ﷻ berbicara kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam dengan 2 cara, dengan seruan dari jarak yang jauh dan dengan munajat. Ini juga dalil bahwasanya Allah ﷻ tidak “di mana-mana”, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang. Karena jika Allah ﷻ dimana-mana, lalu apa gunanya Allah ﷻ mendekatkan Nabi Musa ‘Alaihissalam? Lalu apa istimewanya Nabi Musa ‘Alaihissalam, bukankah semua benda dekat dengan Allah ﷻ yang berada di mana-mana?
________
Footnote:
([1]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 16/127