150. قُلْ هَلُمَّ شُهَدَآءَكُمُ ٱلَّذِينَ يَشْهَدُونَ أَنَّ ٱللَّهَ حَرَّمَ هَٰذَا ۖ فَإِن شَهِدُوا۟ فَلَا تَشْهَدْ مَعَهُمْ ۚ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَ ٱلَّذِينَ كَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِٱلْءَاخِرَةِ وَهُم بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ
qul halumma syuhadā`akumullażīna yasy-hadụna annallāha ḥarrama hāżā, fa in syahidụ fa lā tasy-had ma’ahum, wa lā tattabi’ ahwā`allażīna każżabụ bi`āyātinā wallażīna lā yu`minụna bil-ākhirati wa hum birabbihim ya’dilụn
150. Katakanlah: “Bawalah kemari saksi-saksi kamu yang dapat mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan (makanan yang kamu) haramkan ini” Jika mereka mempersaksikan, maka janganlah kamu ikut pula menjadi saksi bersama mereka; dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan mereka.
Tafsir :
Ketika orang-orang musyrikin berdalil dengan takdir untuk melegalkan kemaksiatan dan kesyirikan yang mereka lakukan, maka Allah ﷻ membantah mereka dengan ayat ini. Ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ meminta dalil dan saksi dari orang-orang musyrikin, sedangkan mereka sendiri tidak mampu mendatangkannya. Allah ﷻ menantang mereka agar mereka berhenti berdalil, karena mereka sama sekali tidak memiliki bukti untuk itu.([1])
Dengan ayat ini, Allah ﷻ kembali menegaskan larangan keras dari mengharamkan dan menghalalkan tanpa landasan dalil, seperti apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin Arab terkait beberapa jenis hewan, sebagaimana yang telah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya.
Ibnu Katsir ﷺ dalam Tafsir-nya mengatakan bahwa tujuan mereka adalah baik. Kaum musyrikin Arab melakukan pengharaman tanpa dalil atas hewan-hewan tersebut, demi menghargai dan menghormatinya. Seperti keputusan mereka untuk mengharamkan menunggang unta yang telah mengandung dan beranak berkali-kali([2]). Niat mereka baik, tetapi mereka mengekspresikannya dengan cara yang salah fatal, yaitu dengan mengubah hukum Allah .
Ini merupakan peringatan keras bagi kita agar senantiasa berhati-hati dalam berbicara tentang syariat Allah ﷻ. Hendaknya setiap orang waspada atas apa yang hendak diucapkannya, tidak seenaknya sendiri menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Jangan sampai ia menghalalkan atau mengharamkan sesuatu tanpa dalil, bahkan dengan perasaan.
Firman Allah ﷻ,
﴿فَإِن شَهِدُوا فَلَا تَشْهَدْ مَعَهُمْۚ﴾
Jika mereka mempersaksikan, maka janganlah kamu ikut pula menjadi saksi bersama mereka.
Sejatinya, Allah ﷻ Mahatahu bahwa mereka sama sekali tidak mampu mendatangkan saksi-saksi yang mendukung pengharaman tanpa dalil yang mereka lakukan. Hanya saja ayat ini adalah bentuk sindiran ta’jiiz dari Allah ﷻ, untuk semakin menegaskan kelemahan dan ketidakmampuan mereka untuk menghadirkan saksi atas apa yang mereka putuskan. Seandainya pun ada di antara mereka yang nekat bersaksi, maka dia tidak lain kecuali seorang pendusta. ([3])
Firman Allah ﷻ,
﴿وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَهُم بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ﴾
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan mereka.”
Allah ﷻ melarang Nabi Muhammad ﷺ untuk mengikuti orang-orang musyrikin, karena hukum-hukum yang mereka terapkan bersumber dari hawa nafsu. Di antara indikator yang menunjukkan bahwa mereka mengikuti hawa nafsu adalah:
- Mereka mendustakan ayat-ayat Allah ﷻ.
- Tidak beriman dengan Hari Akhirat.
- Berbuat syirik kepada Allah ﷻ.
Semua indikator tersebut menunjukkan bahwa mereka ini murni mengikuti nafsu. Sehingga hukum-hukum yang mereka buat bersumber dari hawa nafsu. Oleh karenanya, Allah ﷻ melarang Nabi Muhammad ﷺ untuk mengikuti mereka.
_________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir ar-Razi (13/176-177).