149. قُلْ فَلِلَّهِ ٱلْحُجَّةُ ٱلْبَٰلِغَةُ ۖ فَلَوْ شَآءَ لَهَدَىٰكُمْ أَجْمَعِينَ
qul falillāhil-ḥujjatul-bāligah, falau syā`a lahadākum ajma’īn
149. Katakanlah: “Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya”.
Tafsir :
Allah ﷻ mempunyai hujah yang kuat dan jelas, yang dengannya akan terpatahkan seluruh argumentasi kaum musyrikin kelak di Hari Kiamat.
Banyak sekali pertanda keesaan-Nya, serta kebenaran syariat-Nya. Di antaranya adalah kitab-kitab suci, wahyu, dan berbagai mukjizat yang Allah ﷻ berikan kepada para nabi dan rasul. Bahkan akal sehat, naluri yang bersih, serta fitrah yang lurus, seluruhnya dapat membimbing dan menuntun kepada kebenaran dari Allah ﷻ. Ini semua menunjukkan bahwa hujah Allah ﷻ sangat kuat, dan tidak bisa dipatahkan oleh kaum musyrikin yang berdalil dengan takdir.([1])
Firman Allah ﷻ,
﴿فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ﴾
“Maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu.” semuanya”. (QS. Al-An’am: 149)
Ayat ini menjelaskan bahwa jika Allah ﷻ berkehendak, maka Allah ﷻ akan memberikan hidayah kepada para hamba seluruhnya. Namun, Allah ﷻ tidak menghendaki untuk memberikan petunjuk kepada orang-orang kafir([2]).
Allah ﷻ juga berfirman,
﴿وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةًۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ﴾
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (QS. Hud: 118)
Perlu diketahui perbedaan antara al-iradah asy-syar’iyah dengan al-iradah al-kauniyyah.
Al-iradah asy-syar’iyah adalah kehendak Allah ﷻ yang terkhusus pada hal-hal yang Dia cintai, dan ia bisa saja terjadi atau pun tidak. Sebagai contoh, tauhid dan penegakan shalat adalah al-iradah asy-syar’iyah. Keduanya merupakan hal yang Allah ﷻ cintai, namun ada hamba yang mengerjakannya, dan ada pula hamba yang tidak mengerjakannya.
Al-Iradah al-kauniyyah adalah kehendak Allah ﷻ yang pasti terjadi di alam semesta, dan ia dapat berupa sesuatu yang Allah ﷻ cintai atau pun tidak. Terkadang Allah ﷻ menghendaki sesuatu yang tidak Ia ﷻ cintai, berdasarkan suatu hikmah yang Diaﷻ kehendaki dan cintai. Sebagai contoh, Allah ﷻ menciptakan Iblis, Fir’aun, dan gembong-gembong kekafiran lainnya. Ini semua merupakan perkara-perkara yang buruk, tetapi di balik keburukan tersebut terdapat hikmah yang Allah ﷻ kehendaki, yang tidak ada yang mengetahuinya dengan detail kecuali Allah ﷻ. Seorang mukmin wajib meyakini bahwa tidak ada yang terjadi kecuali atas kehendak Allah ﷻ, dan setiap kehendak-Nya pastilah mengandung hikmah agung nan luar biasa.
Allah ﷻ menghendaki segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, dengan iradah syar’iyyah dan juga iradah kauniyyah. Jika ternyata sebuah keburukan yang Allah ﷻ kehendaki, maka seorang mukmin wajib meyakini bahwa pasti ada hikmah yang agung di balik itu. Contoh sederhananya adalah firman Allah ﷻ,
﴿ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ﴾
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)
Kerusakan yang Allah ﷻ ciptakan di langit dan di bumi adalah sesuatu yang tidak Allah ﷻ sukai, berdasarkan firman-Nya di ayat lainnya,
﴿وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ﴾
“Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS. Al-Baqarah: 205)
Allah ﷻ tidak menyukai kerusakan, tetapi Allah ﷻ menciptakannya, karena ada hikmah di balik itu. Di antaranya adalah agar manusia merasakan akibat sebagian perbuatan mereka, sehingga mereka tersadar dan segera kembali kepada Allah ﷻ.
Demikian juga Allah ﷻ menciptakan Iblis. Sebagian ulama menjelaskan, bahwa memang Allah ﷻ menciptakan dua hal yang kontradiktif. Seperti Iblis dan Jibril ‘Alaihissalam, Firaun dan Nabi Musa ‘Alaihissalam, Abu Jahal serta Abu Lahab dan Nabi Muhammad ﷺ, orang baik dan orang jahat, Surga dan Neraka, para mujahid di jalan Allah ﷻ dan para mujahid di jalan setan, para dermawan dan kaum yang sangat kikir, dan seterusnya.
Dengan adanya Iblis, maka ada ujian di atas muka bumi, dan tampaklah orang-orang saleh yang rela mengorbankan jiwa dan harta mereka di jalan Allah ﷻ, sehingga mereka bisa melawan godaan Iblis dan para pengikutnya. Dengan adanya Iblis, sekian banyak manusia terjatuh dalam dosa, lalu mereka dapat bertaubat, sehingga tampaklah bagi mereka sifat Allah ﷻ sebagai At-Tawwab (Maha Penerima taubat) dan Al-Ghafur (Maha Pengampun). Bagaimana bisa manusia mengetahui kedua sifat agung tersebut, jika tidak ada di antara mereka yang bermaksiat?
Terkadang Allah ﷻ menghendaki keburukan dan menakdirkannya, tetapi di balik keburukan itu banyak sekali hikmah yang Allah ﷻ kehendaki dan menjadi rahasia Allah ﷻ. Maka dari itu, tidak diperbolehkan bagi seseorang berdalil dengan takdir, karena takdir ada yang baik dan ada yang buruk. Jangan sampai ketika terjadi keburukan pada seseorang -meskipun benar sesuai dengan takdir Allah ﷻ, lalu dia berdalil dengan takdir tersebut hanya untuk melegalkan keburukan yang dia lakukan.
Berdalil dengan takdir untuk melegalkan dosa dan maksiat yang diperbuat adalah kesalahan fatal, karena:
- Siapa di antara kita yang mengetahui kepastian detail tentang takdir-takdir Allah?!
- Fakta yang diakui oleh siapa pun yang berakal, bahwa setiap manusia memiliki kemampuan dan kehendak, tidak terpaksa.
- Mereka sendiri tidak komitmen dengan apa yang mereka utarakan sebagai dalih. Tidak seorang pun dari mereka yang rela jika takdir dijadikan justifikasi atas kezaliman atau kesengsaraan yang ditimpakan pihak lain kepadanya.
Hal ini sangat penting untuk digarisbawahi, karena sebagian dari dai Liberal berdalil dengan iradah kauniyyah, untuk menjustifikasi ajaran Pluralisme Agama ala mereka. Ketika kita mencoba menyampaikan kebenaran Islam, dan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang Allah ﷻ ridai, mereka pun lantas mengatakan bahwa semua agama benar, karena Allah ﷻ lah yang menghendaki keberadaan berbagai agama tersebut!
Memang benar semua terjadi atas kehendak Allah ﷻ, tetapi itu bukanlah dalil bahwa semua agama itu benar. Pendalilan mereka sama persis dengan pendalilan orang-orang musyrikin. Mereka berdalil dengan takdir untuk melegalkan keyakinan sesat mereka. Biasanya, mereka akan membacakan beberapa ayat sebagai penopang ideologi sesat mereka, seperti firman-Nya,
﴿وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةًۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ﴾
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (QS. Hud: 118)
Namun, alangkah baiknya jika mereka meneruskan membaca penggalan ayat di atas, yaitu firman-Nya,
﴿إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَۚ وَلِذَٰلِكَ خَلَقَهُمْۗ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ﴾
“…kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (QS. Hud: 119)
Maka, orang-orang yang senantiasa berselisih tidak mendapatkan rahmat Allah ﷻ.
Penulis seringkali mendengar kabar bahwa para dai liberal berargumentasi dengan dalil tersebut. Tentu saja ini merupakan pemikiran yang sangat berbahaya, karena pemikiran musyrikin telah diwarisi oleh sebagian dai-dai liberal seperti mereka di tanah air kita.
________________
Footnote :