47. قَالَ سَلَٰمٌ عَلَيْكَ ۖ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّىٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ بِى حَفِيًّا
qāla salāmun ‘alaīk, sa`astagfiru laka rabbī, innahụ kāna bī ḥafiyyā
47. Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.
Tafsir:
Maksudnya, Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam menyatakan, “Jika anda tetap bersikeras wahai ayahanda, setelah saya mendakwahimu dengan berbagai cara, maka baiklah, saya akan membiarkanmu.” Demikianlah sikap hamba Allah ﷻ ketika menghadapi mereka yang bersikeras berkubang dalam kesesatan setelah didakwahi dengan baik, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya,
﴿وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا﴾
“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam,”.” (QS. Al-Furqan: 63)([1])
Terlebih lagi sang ayah tidak hanya bersikeras dan mengotot untuk tetap kafir dan ingkar, namun juga mengancam membunuh dan mengusir beliau AS. Bayangkan bagaimana kesedihan dan sakitnya hati Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam mendapati respon ayahnya ini. Namun demikian, beliau AS tetap mengatakan,
﴿سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا﴾
“Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.”
Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam tidak balik mengancam, atau mendoakan kecelakaan bagi sang ayah. Sebaliknya, beliau AS malah berjanji akan terus memohonkan ampunan untuknya. Tidak ada sedikit pun dendam dan kebencian pribadi yang bersarang dalam hati beliau AS terhadap sang ayah, walau beliau AS telah diperlakukan sedemikian kasarnya. Sebagian ulama bahkan menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam senantiasa memohonkan ampunan untuk ayahnya sejak beliau terusir dari Babil hingga setelah kelahiran putera beliau, Ishaq dan Isma’il([2]).
Namun akhirnya Allah ﷻ menegur beliau AS terkait hal ini. Allah ﷻ memberitahu Ibrahim ‘Alaihissalam bahwa terlarang bagi seorang muslim untuk memintakan ampunan bagi seorang kafir, siapa pun dia. Akhirnya Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam pun berhenti memintakan ampunan untuk sang ayah. Allah ﷻ berfirman,
﴿وَما كانَ اسْتِغْفارُ إِبْراهِيمَ لِأَبِيهِ إِلاَّ عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَها إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْراهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ﴾
“Adapun permohonan ampunan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sungguh, Ibrahim itu seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah: 114)
Ini adalah ujian yang sangat berat bagi beliau AS, yaitu beliau dilarang memohonkan ampunan untuk sang ayah yang mati dalam keadaan kafir.
Demikian pula larangan yang sama diberikan kepada Nabi Muhammad ﷺ yang memohonkan ampunan untuk Abu Thalib, sang paman yang amat mencintai beliau ﷺ, namun wafat dalam keadaan kafir. Allah ﷻ berfirman tentang ini,
﴿مَا كانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كانُوا أُولِي قُرْبى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحابُ الْجَحِيمِ﴾
“Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahanam.” (QS. At-Taubah: 113)
Ujian semacam ini juga dialami oleh nabi lainnya, seperti Nabi Nuh ‘Alaihissalam yang anak dan istrinya wafat dalam keadaan kafir, dan Nabi Luth AS yang istrinya juga wafat dalam keadaan kafir. Tak lupa pula kisah ketika Nabi Muhammad ﷺ hendak memohonkan ampunan kepada ibu beliau yang wafat dalam keadaan kafir, Allah ﷻ pun tidak mengijinkannya, hingga beliau menangis dan membuat orang yang berada di sekitar beliau menangis.([3])
________
Footnote:
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 11/111 dan Tafsir Ibnu Katsir 5/235
([2]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 5/235
([3]) Lihat redaksi hadisnya di Shahih Muslim no. 976 dan Musnad Ahmad no. 9688