53. وَكَذَٰلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لِّيَقُولُوٓا۟ أَهَٰٓؤُلَآءِ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنۢ بَيْنِنَآ ۗ أَلَيْسَ ٱللَّهُ بِأَعْلَمَ بِٱلشَّٰكِرِينَ
wa każālika fatannā ba’ḍahum biba’ḍil liyaqụlū a hā`ulā`i mannallāhu ‘alaihim mim baininā, a laisallāhu bi`a’lama bisy-syākirīn
53. Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?” (Allah berfirman): “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?”
Tafsir :
Tema ayat ini adalah lanjutan dari ayat sebelumnya. Setelah menyebutkan permintaan zalim mereka kepada Rasulullah ﷺ untuk menyingkirkan kalangan miskin yang beriman dari majelis beliau, kali ini Allah ﷻ menyebutkan bahwa memang Dia ﷻ hendak menguji kalangan kaya dari kaum kafir Quraisy dengan kalangan miskin dari sahabat Rasulullah ﷺ ([1]). Jika memang benar mereka mencari kebenaran, seharusnya mereka beriman meskipun harus bersama orang-orang yang miskin. Allah ﷻ menegaskan bahwa Islam perbedaan kemuliaan dalam Islam bukanlah ditinjau dari status sosial atau pun kemapanan ekonomi seseorang, melainkan dari ketakwaan yang ada di hatinya. Allah ﷻ berfirman,
﴿إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ﴾
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.” [QS. Al–Hujurat: 13)
Firman Allah ﷻ,
﴿لِّيَقُولُوا أَهَٰؤُلَاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّن بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ﴾
“yang akibatnya (orang-orang yang kaya itu) berkata: “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?” (Allah berfirman): “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?”
Huruf ل pada kata لِّيَقُولُوا bukanlah lam ta’lil yang bermakna “untuk/agar”, melainkan ia merupakan lam shairurah atau lam ‘aqibah([2]) yang artinya “akhirnya/akibatnya”.[3] Sehingga makna ayat ini, adalah bahwa Allah ﷻ menjadikan sebagian mereka sebagai ujian bagi sebagian lainnya, yang kemudian kesudahan dari ujian tersebut adalah mereka mengatakan, “Mungkinkah Allah ﷻ memberikan hidayah pada kalangan miskin itu, sedangkan kalangan kaya nan terhormat seperti kami malah tidak mendapatkannya?!”
Logika mereka mengatakan bahwa seandainya Allah ﷻ ingin memilih niscaya Allah ﷻ akan memilih mereka, karena mereka memiliki kedudukan yang tinggi dan harta yang banyak.
Allah ﷻ pun membantah logika picik tersebut dengan menyatakan bahwa Dialah ﷻ Yang lebih mengetahui siapa di antara hamba-hambaNya yang bersyukur. Artinya, Allah ﷻ lebih mengetahui bahwa orang-orang miskin tersebut lebih bersyukur daripada orang-orang kaya. Allah ﷻ lebih mengetahui mana hati yang bersyukur, sehingga pantas dan berhak untuk dianugerahi hidayah, dan mana hati yang dipenuhi kecongkakan dan keangkuhan, sehingga tidak pantas menjadi wadah keimanan yang suci.
_______________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir al-Baghawi (2/127).
([2]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir (2/136).
[3] Seperti huruf ل pada firman Allah ﷻ,
﴿فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا﴾
“Maka dipungutlah ia oleh keluarga Firaun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.” (QS. Al-Qashash: 8)
Huruf ل pada ayat di atas adalah laam shairurah atau laam aqibah, sehingga makna ayat di atas adalah, bahwa keluarga Firaun memungut bayi Musa (AS), dan akhirnya tanpa mereka sadari beliau (AS) kelak malah menjadi musuh dan kesedihan bagi Firaun.
Adapun jika huruf ل pada ayat di atas dianggap sebagai laam ta’lil, maka maknanya menjadi bahwa keluarga Fir’aun secara sengaja memungut bayi Musa (AS) untuk kemudian menjadi musuh dan kesedihan mereka bagi mereka. Dan makna ini tidaklah benar.