17. وَإِن يَمْسَسْكَ ٱللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِن يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
wa iy yamsaskallāhu biḍurrin fa lā kāsyifa lahū illā huw, wa iy yamsaska bikhairin fa huwa ‘alā kulli syai`ing qadīr
17. Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Tafsir :
Ayat ini juga termasuk di antara dalil yang menegaskan rububiyyah Allah ﷻ, yang merupakan bukti dan dalil akan uluhiyyah-Nya, bahwasanya hanya Dialah semata yang berhak untuk disembah.
Firman Allah ﷻ,
﴿وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ﴾
“Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu...”
Perhatikan bahwa kata ‘ضُرٍّ’ datang dalam bentuk nakirah (bertanwin) dan dibawakan dalam kalimat berkonteks syarat. Susunan semacam ini dalam tata bahasa Arab memberikan makna keumuman. Sehingga yang dimaksud adalah bahwa kemudaratan dan marabahaya apa pun yang menimpa seorang hamba, maka sungguh tidak ada yang bisa menghilangkannya darinya kecuali Allah ﷻ.
Seseorang yang ditimpa dengan kegelisahan pandemi yang menimpa seluruh manusia di muka bumi ini, siapakah yang bisa menghilangkannya? Hanya Allah ﷻ. Meskipun semua negara di muka bumi ini bersatu padu untuk melenyapkannya, tetapi tetap saja telah berlalu satu tahun mereka tidak mampu berbuat apa pun. Bahkan, ketika ada penawaran tentang vaksin untuk wabah tersebut, malah terjadi perdebatan yang sengit di antara ilmuwan kesehatan tentang masalah vaksin. Apakah vaksin tersebut berhasil atau tidak? Apakah ada efek sampingnya atau tidak? Intinya, kegelisahan tetap ada, karena ketika telah ditemukan vaksin pun, manusia tetap merasa gelisah.
Tidak ada yang mampu menghilangkan kegelisahan, kesedihan, kekhawatiran, penyakit, dan segala kemudaratan, kecuali Allah ﷻ Rabb semesta alam. Oleh karenanya, hanya Allah ﷻ yang berhak untuk disembah.
Firman Allah ﷻ,
﴿وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ﴾
“Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu...”
Tidak ada yang mampu mencegah Allah ﷻ jika Dia hendak memberikan sesuatu. Meskipun seluruh manusia satu dunia ini berkumpul untuk mencegah satu kebaikan tersebut, maka tidak ada yang bisa menghalangi-Nya. Oleh karenanya di antara doa Nabi ﷺ adalah:
اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ
“Ya Allah, tidak ada yang dapat menahan apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau tahan.”[1]
Firman Allah ﷻ,
Ini adalah penegasan bahwa hanya Allah ﷻ yang Maha Esa yang mengatur semua yang ada di alam semesta, dan bahwa seluruh kebaikan dan keburukan berada di bawah kehendak dan kuasa Allah ﷻ.
Kita semua beriman kepada takdir. Iman kepada takdir adalah beriman bahwasanya semua sudah ditakdirkan oleh Allah ﷻ, yang baik maupun yang buruk. Kita tahu bahwasanya semua yang ada di alam semesta baik maupun buruk tidak ada yang keluar dari kehendak Allah ﷻ. Karenanya Dia-lah yang berhak untuk disembah.
Maka, sungguh tidak logis bagaimana jika seseorang membaca surah Al-An’am, kemudian dia sendiri menyembah wali, patung atau mayat. Bagaimana mereka menyembah hal-hal tersebut, padahal sembahan tersebut tidak memiliki sedikit pun sifat-sifat Allah ﷻ yang disebutkan di dalam surah Al-An’am. Sembahan tersebut tidak mampu berbuat apa-apa. Nabi Muhammad ﷺ dan para nabi yang lain saja ketika merasa khawatir, gelisah dan gundah gulana, maka beliau ﷺ kembali kepada Allah ﷻ. Semuanya berdoa kepada Allah ﷻ.
Pada Perang Badar, Nabi Muhammad ﷺ merengek memohon, berdoa dan beristigasah kepada Allah ﷻ untuk keselamatan para sahabatnya dengan mengangkat kedua tangan beliau setinggi-tingginya ke arah langit, sampai-sampai selendang yang tersampir di pundak beliau pun terjatuh. Lalu apakah masuk akal jika kemudian ada seorang yang malah berdoa kepada Nabi Muhammad (SAW)?! Atau malah berdoa kepada jin, wali, mayat, dan sembaha-sembahan lainnya selain Allah?!
Kemudian Allah ﷻ melanjutkan lagi penyebutan sifat-sifat ketuhanan dan keesaannya.
________________
Footnote :
[1] HR. Bukhari no. 844