18. وَهُوَ ٱلْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْحَكِيمُ ٱلْخَبِيرُ
wa huwal-qāhiru fauqa ‘ibādih, wa huwal-ḥakīmul-khabīr
18. Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Tafsir :
Al-Qahir yakni Maha Kuasa atas hamba-hamba-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang mampu keluar dari ketundukan kepada Allah ﷻ dan aturan-Nya. Ketundukan mutlak segala sesuatu selainNya kepadaNya ini, hanya dimiliki oleh Allah (SWT).
Jika kita perhatikan para raja dan pemimpin dunia, memang mereka memiliki wewenang untuk membuat aturan, akan tetapi wewenang tersebut sarat akan keterbatasan. Ketundukan yang ia dapatkan pun sangat minim dan terbatas, belum lagi sederet pengkhianatan yang sangat mungkin akan ia jumpai dari para pengikutnya. Ini sangat-sangat berbeda dengan sifat Allah (SWT) sebagai Al-Qahir, Dzat satu-satunya yang ketundukan mutlak hanya tertuju padaNya.
Setelah menyebut diri-Nya sebagai Al-Qahir, Allah ﷻ menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Bijaksana. Yakni ketika Allah ﷻ membuat aturan dan syari’at, menakdirkan, menciptakan, dan seterusnya, sungguh itu semua diiringi dengan ilmu-Nya dan hikmah-Nya yang sempurna. Tidak satu pun dari perbuatan Allah (SWT) yang zalim, sia-sia, serampangan, atau asal-asalan, namun seringkali akal dan wawasan manusia tidak mampu untuk mengetahui dan menjangkau itu semua. Di antara ulama yang telah menjelaskan topik ini dengan sangat baik adalah Imam Ibnul Qayyim (RH) dalam karyanya, Syifaa’ al-Aliil, silahkan merujuk kepadanya[1].
Kemudian Allah ﷻ menyebut diri-Nya sebagai Al-Khabir, yakni Maha Mengetahui secara detail. Adapun Al-‘Alim maknanya adalah mengetahui secara umum.
Demikianlah pada ayat ini Allah (SWT) kembali menjelaskan rububiyyah dan asma’ washshifaat-Nya, agar kaum musyrikin kembali tersadar bahwa hanya Allah (SWT) lah yang berhak disembah.
________________
Footnote :
[1] Syifaul ‘Alil, (hlm.222).