32. وَإِذَا غَشِيَهُم مَّوْجٌ كَٱلظُّلَلِ دَعَوُا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ فَلَمَّا نَجَّىٰهُمْ إِلَى ٱلْبَرِّ فَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ ۚ وَمَا يَجْحَدُ بِـَٔايَٰتِنَآ إِلَّا كُلُّ خَتَّارٍ كَفُورٍ
wa iżā gasyiyahum maujung kaẓ-ẓulali da’awullāha mukhliṣīna lahud-dīn, fa lammā najjāhum ilal-barri fa min-hum muqtaṣid, wa mā yaj-ḥadu bi`āyātinā illā kullu khattāring kafụr
32. Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.
Tafsir :
Pada ayat ini Allah ﷻ melanjutkan penyebutan tentang kebesaran-Nya melalui sisi yang lain.
Firman Allah ﷻ,
وَإِذَا غَشِيَهُمْ مَوْجٌ كَالظُّلَلِ
“Dan apabila mereka diliputi ombak yang besar seperti gunung.”
Makna dari الغَشَاءُ adalah الغِطَاءُ yaitu menutupi. Adapun مَوْجٌ maknanya adalah ombak. Allah ﷻ datangkan kata مَوْجٌ dalam bentuk nakirah. Dalam bahasa Arab, suatu kata datang dalam bentuk nakirah, maka bisa memberikan dua faedah. Pertama adalahلِلتَّعْظِيْمِ (menunjukkan pengagungan), dan yang kedua adalah لِلتَّكْثِيْرِ (menunjukkan banyak).([1]) Maka maksudnya di sini adalah Allah ﷻ ingin menjelaskan bahwasanya ombak yang sedang menimpa mereka adalah bukan ombak yang biasa, akan tetapi ombak yang besar dan bertumpuk-tumpuk.
Oleh karenanya, Allah sebutkan kata مَوْجٌ dalam bentuk mufrod (tunggal), sedangkan setelahnya Allah ﷻ datangkan kata dalam bentuk jamak (plural) yaitu ظُّلَلٌ yang merupakan jamak dari الظُّلَّةُ. Makna الظُّلَّةُ di kalangan para salaf ada dua makna, yaitu gunung atau awan.([2]) Jadi di sini Allah ﷻ menggandengkan sesuatu yang tunggal dengan sesuatu yang jamak.
Menjadi pertanyaan, mengapa suatu yang tunggal digandengkan atau disamakan dengan suatu yang jamak? Jika diartikan secara bahasa, maknanya adalah “Dan apabila mereka diliputi ombak seperti gunung-gunung”. Allah ﷻ tidak katakan “Dan apabila mereka diliputi ombak seperti gunung”. Jawabannya adalah sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwasanya مَوْجٌ jika didatangkan dalam bentuk nakirah, maka ia memiliki arti jamak (plural). Bisa diartikan dengan ombak yang besar atau ombak yang banyak. Sehingga penggandengan antara keduanya adalah pas, meskipun مَوْجٌ datang dalam bentuk mufrod (tunggal).
Oleh karena itu, makna dari مَوْجٌ كَالظُّلَلِ adalah ombak-ombak seperti gunung-gunung atau seperti awan-awan. Mengapa dikatakan demikian? Para ulama menjelaskan bahwa ombak itu datang secara berurutan, ombak satu diikuti oleh ombak kedua, ombak kedua diikuti oleh ombak ketiga dan seterusnya.([3]) Bisa jadi sebuah kapal di atas lautan, ia ditimpa dengan ombak-ombak yang bertumpuk-tumpuk. Dan bisa jadi ombak tersebut setinggi gunung seperti awan di atas. Ini menjelaskan bahwa ombak yang menimpa mereka orang-orang musyrik adalah ombak yang sangat besar, bukan ombak yang biasa.
Firman Allah ﷻ,
دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.”
Orang-orang musyrik dahulu ketika mendapatkan azab yang pedih, mereka kembali kepada Allah ﷻ. Contohnya adalah pada ayat ini. Ketika Allah ﷻ mengazab mereka dengan ombak yang besar seperti gunung, maka mereka pun tiba-tiba berdoa ikhlas kepada Allah ﷻ.
Al-Alusi ﷺ mengatakan bahwa orang-orang musyrik ketika dalam kondisi genting, fitrah mereka keluar mendominasi dan mengalahkan logika dan taklid mereka selama ini yaitu melakukan syirik kepada Allah ﷻ.([4]) Tidak hanya dialami oleh orang-orang musyrik saja, bahkan orang-orang ateis pun mengalami hal tersebut. Maka ada pepatah mengatakan bahwa “dalam kondisi genting tidak ada ateism”. Sebab orang-orang ateis pun ketika berada dalam kondisi genting mereka mencari pertolongan kepada Zat yang Maha kuasa.
Firman Allah ﷻ,
فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ فَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ
“Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus.”
Berkaitan dengan makna مُقْتَصِدٌ, maka di kalangan para ulama secara umum ada dua pendapat:
- Kembali dalam kesyirikan.
Setelah orang-orang musyrikin diselamatkan oleh Allah ﷻ dari ombak yang besar, maka ketika kembali ke daratan mereka kembali melakukan kesyirikan.
- Menuju jalan yang lurus (jalan Allah ﷻ).([5])
Maksudnya adalah sadar. Setelah orang-orang musyrikin diselamatkan oleh Allah ﷻ dari ombak yang besar, maka ketika kembali ke daratan mereka pun sadar dan kembali ke jalan Allah.
Kedua tafsiran di atas tidak saling berlawanan. Sebab jika memilih pendapat yang kedua, pada ayat selanjutnya pun menjelaskan bahwa di antara mereka juga ada yang berbuat syirik.
Firman Allah ﷻ,
وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا كُلُّ خَتَّارٍ كَفُورٍ
“Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.”
خَتَّارٍ berasal dari kata الخَترُ yang maknanya adalah الغَدرُ yaitu berkhianat. Adapun كَفُورٍ maknanya adalah ingkar. Kata خَتَّارٍ dan كَفُورٍ adalah lawan dari صَبَّارٍ dan شَكُورٍ. خَتَّارٍ (berkhianat) lawan kata dari صَبَّارٍ (sabar) dan كَفُورٍ (ingkar) lawan kata dari adalah شَكُورٍ (bersyukur).
Pada ayat sebelumnya ketika berbicara tentang orang mukmin, Allah ﷻ menyifati mereka dengan صَبَّارٍ (sabar) dan شَكُورٍ (bersyukur). Kemudian pada ayat ini ketika berbicara tentang orang-orang yang menyimpang, Allah ﷻ menyifati mereka dengan orang-orang yang خَتَّارٍ (berkhianat) dan كَفُورٍ (ingkar). Allah ﷻ menyifati mereka dengan itu karena perlakuan mereka kepada Allah ﷻ, bukannya terima kasih dan bersyukur kepada Allah ﷻ setelah mendapat pertolongan, malah berkhianat dan kufur kembali melakukan kesyirikan.
________________
Footnote :
([2]) Lihat Ruh Al-Ma’ani, 11/112.
([3]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 14/80.