3. أَمْ يَقُولُونَ ٱفْتَرَىٰهُ ۚ بَلْ هُوَ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّآ أَتَىٰهُم مِّن نَّذِيرٍ مِّن قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ
am yaqụlụnaftarāh, bal huwal-ḥaqqu mir rabbika litunżira qaumam mā atāhum min nażīrim ming qablika la’allahum yahtadụn
3. Tetapi mengapa mereka (orang kafir) mengatakan: “Dia Muhammad mengada-adakannya”. Sebenarnya Al-Quran itu adalah kebenaran dari Rabbmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu; mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk.
Tafsir :
Dalam ayat ini Allah ﷻ membuat sebuah pertanyaan untuk mereka “apakah mereka (orang kafir) mengatakan, “Dia (Muhammad) telah mengarang (Al-Quran)”. Dalam ayat ini Allah ﷻ bertanya untuk menunjukkan sikap takjub Allah ﷻ atas pernyataan mereka([1]). Seharusnya mereka tahu bahwasanya Al-Quran dari sisi Allah ﷻ karena mereka tidak mampu untuk mengarang sama seperti Al-Quran sedangkan mereka adalah orang-orang yang ahli dalam syair. Mereka juga tahu bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ adalah ummi (tidak bisa baca dan tidak bisa menulis). Sehingga ketika mereka menuduh bahwa Al-Quran adalah karangan Nabi Muhammad maka ini adalah sesuatu yang patut dipertanyakan. Syaikh As-Sa’di mengatakan dalam tafsirnya bahwa seakan-akan mereka menuduh Nabi Muhammad ﷺ berdusta dengan kedustaan yang sangat besar ketika mengatakan Al-Quran dari Tuhan. Padahal selama ini mereka menganal Nabi Muhammad ﷺ adalah seorang Al-Amin (yang terpercaya), maka sangat aneh ketika mereka menuduh Nabi ﷺ mengarang Al-Quran. Juga mereka seakan-akan menuduh bahwasanya manusia bisa meniru firman Tuhan([2]). Berdasarkan hal-hal ini maka sangatlah pantas Allah takjub dengan pernyataan-pernyataan mereka dan berfirman اَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرٰىهُ “apakah mereka (orang kafir) mengatakan, “Dia (Muhammad) telah mengarang (Al-Quran)”. Padahal mereka tahu bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak bisa menulis, tidak bisa membaca, dan bukan penyair. Mereka tahu bahwa mereka tidak mampu untuk mengarang seperti Al-Quran. Mereka tahu bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah orang yang terpercaya namun mereka tetap menuduhnya berdusta. Mereka tahu bahwa Al-Quran tidak bisa ditiru dan mereka menuduh seakan-akan manusia bisa membuat seperti firman Allah ﷻ.
Firman Allah ﷻ,
بَلْ هُوَ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ
“Tidak, Al-Qur’an itu kebenaran (yang datang) dari Tuhanmu,
Yaitu Al-Quran isinya benar dan Al-Quran benar-benar berasal dari Allah ﷻ. Mereka semua sebenarnya mengetahui hal tersebut akan tetapi mereka hanya membangkang dan keras kepala. Mereka sudah tahu bahwa mereka salah akan tetapi mereka tetap keras kepala. Akhirnya Allah membantah mereka dengan mengatakan bahwa Al-Quran benar-benar dari sisi Allah ﷻ.
Firman Allah ﷻ,
لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَّآ اَتٰىهُمْ مِّنْ نَّذِيْرٍ مِّنْ قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُوْنَ
“agar engkau memberi peringatan kepada kaum yang belum pernah didatangi orang yang memberi peringatan sebelum engkau; agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. As-Sajdah: 3)
Ada dua pendapat dalam penafsiran kata kaum dalam ayat ini([3]):
Pertama: Arab (Quraisy). Artinya di Arab belum pernah ada rasul yang diutus. Akan tetapi pendapat ini dikritiki, karena bukankah sebelumnya ada Nabi Ismail n? Bukankah sebelumnya ada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang membangun Ka’bah? Maka ulama yang berpendapat dengan pendapat ini membantah krtikan ini dengan 2 jawaban:
- Nabi Ismail hanya berdakwah kepada keluarganya dan kabilah Jurhum. Oleh karenanya Allah berfirman,
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا، وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
“Dan ceritakanlah (Muhammad), kisah Ismail di dalam Kitab (Al-Qur’an). Dia benar-benar seorang yang benar janjinya, seorang rasul dan nabi. Dan dia menyuruh keluarganya untuk (melaksanakan) salat dan (menunaikan) zakat, dan dia seorang yang diridai di sisi Tuhannya.” (QS. Maryam: 54-55)
Jadi Nabi Ismail tidak dikenal dengan dakwahnya yang pergi ke beberapa tempat, akan tetapi dia tinggal di Makkah kemudian dia menikah dan memiliki anak lalu mendakwahi anak-anak dan keluarganya.
- Maksud dari Arab (kaum Quraisy) adalah setelah mereka menjadi satu kabilah yang kuat, maka tidak pernah ada Rasul yang datang diutus kepada mereka. Bukankah ketika Nabi Ismail di Makkah beliau menikah dengan seorang wanita dari Jurhum yang kemudian memiliki anak? Dari anak-anak keturunannya itulah kemudian muncul Quraisy. Jadi Nabi Ismail memiliki anak-anak keturunan, dari Adnan hingga Nabi Ismail nasabnya tidak begitu jelas yang didapati dari para penulis nasab, akan tetapi dari Adnan hingga Nabi Muhammad nasabnya jelas. Dari keturunan Adnan muncullah seorang yang bernama Fihr bin Malik, dia adalah nenek moyang Quraisy. Setelah itu barulah terbentuk kabilah Quraisy. Setelah terbentuk kabilah Quraisy belum pernah ada rasul yang datang. Sehingga jika kita maknakan kata “kaum” pada ayat ini dengan kaum Quraisy atau kaum Arab yaitu dengan maksud setelah terbentuknya kabilah Quraisy maka memang belum pernah ada rasul yang datang kepada mereka. Karena Ismail datang jauh sebelum terbentuknya kabilah Quraisy.
Kedua: seluruh umat manusia. Maksudnya setelah rusaknya manusia belum ada lagi rasul yang diutus. Sebelum rusaknya manusia maka rasul yang terakhir yang diutus adalah nabi Isa n. Kita tahu bahwa Nabi Isa diangkat ke langit sekitar pada tahun 30 M sedangkan Nabi Muhammad dilahirkan sekitar tahun 571 M. Jadi jarak antara Nabi Isa dengan Nabi Muhammad sekitar 500 tahun. Di tengah jarak tersebut terjadi kerusakan di alam semesta. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam sebuah hadits di Shahih Muslim,
وَإِنَّ اللهَ نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ، فَمَقَتَهُمْ عَرَبَهُمْ وَعَجَمَهُمْ، إِلَّا بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
“sesungguhnya Allah murka kepada penduduk bumi baik yang Arab maupun non-Arab kecuali segelintir dari Ahli Kitab yang berpegang teguh dengan ajaran tauhid.” ([4])
Intinya pendapat mayoritas ulama adalah pendapat yang pertama bahwa yang dimaksud dengan kaum dalam ayat ini adalah kaum Arab (Quraisy). Mengapa dikhususkan penyebutan mereka? Hal ini dikarenakan kondisi mereka yang benar-benar rusak baik secara moral maupun agama. Jadi Nabi ﷺ diutus kepada kaum yang benar-benar rusak, di mana kaum tersebut benar-benar butuh kepada diutusnya rasul untuk memberi hidayah. Oleh karenanya Allah berfirman,
لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُوْنَ
“agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. As-Sajdah: 3)
Hal ini dikarenakan mereka benar-benar dalam kegelapan dalam sisi: tidak pernah ada rasul yang datang kepada mereka. Tidak seperti Yahudi dan Nasrani yang pernah ada rasul yang diutus kepada mereka dan mereka memiliki kitab suci yaitu Taurat dan Injil meskipun telah terjadi penyimpangan akan tetapi masih tersisa nilai-nilai kerasulan untuk mereka. Adapun Arab Quraisy tidak pernah ada nabi yang pernah memberi kepada mereka ajaran-ajaran agama dan juga mereka berada di puncak kerusakan. Sehingga mereka sangat butuh untuk datangnya seorang rasul untuk memberi peringatan kepada mereka.
_________________
Footnote :
([1]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 21/207
([2]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal: 653