27. أَوَلَمْ يَرَوْا۟ أَنَّا نَسُوقُ ٱلْمَآءَ إِلَى ٱلْأَرْضِ ٱلْجُرُزِ فَنُخْرِجُ بِهِۦ زَرْعًا تَأْكُلُ مِنْهُ أَنْعَٰمُهُمْ وَأَنفُسُهُمْ ۖ أَفَلَا يُبْصِرُونَ
a wa lam yarau annā nasụqul-mā`a ilal-arḍil-juruzi fa nukhriju bihī zar’an ta`kulu min-hu an’āmuhum wa anfusuhum, a fa lā yubṣirụn
27. Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanaman yang daripadanya makan hewan ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?
Tafsir :
Allah yang menggiring awan yang berisi air hujan, atau mengalirkan sungai-sungai menuju keالْأَرْضِ الْجُرُزِ ‘bumi yang tandus, tidak ada tanaman sama sekali’, lalu keluarlah tumbuhan yang dimakan oleh hewan ternah dan juga manusia. Ayat ini menjelaskan bahwa para nabi itu haq, hari kebangkitan itu haq([1]). Karena jika kita mau berpikir, bagaimana bisa bumi yang kering lagi tandus, ternyata mampu menumbuhkan tanaman kembali.
______________
Footnote :
([1]) Lihat: At-Tahriir Wa At-Tanwir, Li Ibnu ‘Asyur, 21/241