33. وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ ٱلْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعْنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
wa qarna fī buyụtikunna wa lā tabarrajna tabarrujal-jāhiliyyatil-ụlā wa aqimnaṣ-ṣalāta wa ātīnaz-zakāta wa aṭi’nallāha wa rasụlah, innamā yurīdullāhu liyuż-hiba ‘angkumur-rijsa ahlal-baiti wa yuṭahhirakum taṭ-hīrā
33. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Tafsir :
Lafal قَرْنَ lebih dalam maknanya dari pada lafal ابْقَيْنَ ‘menetaplah’. Lafal قَرْنَ sama dengan اقْرَرْنَ berasal dari kata قَرَّ يَقِرُّ artinya ‘menetap’ dengan tenang dan dalam kondisi benar-benar betah di rumah. ([1])
Thahir Ibnu ‘Asyur rahimahullah berkata,
فَقَرَارُهُنَّ فِي بُيُوتِهِنَّ عِبَادَةٌ
“Menetapnya para wanita di rumah-rumah mereka adalah ibadah.”([2])
Sangat menakjubkan jika kaum wanita menetap dan betah di rumahnya, sehingga Allah ﷻ mencatatnya sebagai ibadah. Bagi kaum laki-laki ketika beribadah, maka dia harus ke luar rumahnya, mendatangi masjid, melaksanakan salat berjamaah, mencari nafkah atau kegiatan ibadah yang lain. Adapun bagi kaum wanita ketika mereka di rumah saja, maka sejatinya diamnya di rumah adalah ibadah. Karena Allah ﷻ telah memerintahkan dengan berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.”
Ayat ini merupakan perintah kepada istri-istri Nabi Muhammad ﷺ agar mereka selalu menetap di rumah mereka. Sejatinya ayat ini juga ditujukan kepada para wanita muslimah pada umumya.
Janganlah setiap muslimah berpikir bahwa jika mereka menetap di rumah saja menunjukkan akan keterbelakangan, kurang pergaulan dan persepsi negatif lainnya. Justru, ketika seorang wanita menetap berada di rumahnya saja, maka sejatinya dia telah menjalankan perintah Allah ﷻ. Dia selalu berada di rumahnya dan tidak pernah ke luar darinya, kecuali jika ada hal-hal yang diperlukan. Jika dia mempunyai keperluan di luar rumahnya, maka diperbolehkan. Apalagi, jika dia niatkan untuk mencari pahala, dengan berbakti kepada kedua orang tuanya atau membantu urusan suami atau anak-anak, maka yang demikian ini diperbolehkan.
Namun, jika seorang wanita tidak ada keperluan sama sekali di luar rumahnya, maka hendaknya dia di rumah saja, karena menetapnya seorang wanita di rumah adalah ibadah. Ibadah yang Allah ﷻ perintahkan kepada setiap wanita muslimah.
Sebagian ulama berpendapat bahwa lafal tersebut sama dengan اقْرِرْنَ yang berasal dari قُرَّة عَيْن ‘penyejuk mata’([3]). Artinya jadikanlah rumah kalian penyejuk diri kalian, sehingga merasa betah, tenteram dan nyaman. Maka, hendaknya setiap orang wanita selalu berusaha membuat rumahnya adalah surganya. Dia bisa menyiapkan kondisi rumahnya dengan ibadah, tempat yang nyaman untuk membaca Al-Quran, menyibukkan diri dengan berbakti kepada suaminya, mengurus anak-anaknya dan kegiatan lainnya, sehingga seorang wanita merasa tenteram dan betah di rumahnya tanpa ada rasa ingin keluar darinya.
Jadi, menetapnya seorang wanita di dalam rumahnya merupakan ibadah. Jika diniatkan karena Allah ﷻ dan menjalankan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, maka nilai pahala akan terus berjalan meskipun dia hanya berada di dalam rumah.
Firman Allah ﷻ,
﴿ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى ﴾
“dan janganlah kalian berhias sebagaimana berhiasnya orang-orang Jahiliah yang pertama”
Kata تَبَرُّجَ secara bahasa diambil dari kata بُرْج yang artinya tampak atau terlihat. Sebagaimana di dalam firman Allah ﷻ,
﴿ أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ ﴾
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An-Nisa: 78).([4])
Adapun makna تَبَرُّجَ secara syar’i adalah,
إِظْهَارُ الْمَرْأَةِ مَحَاسِنَ ذَاتِهَا وَثِيَابِهَا وَحُلِيِّهَا بِمَرْأَى الرِّجَالِ
“Wanita yang menampakkan keindahan dirinya, pakaiannya, dan perhiasannya di hadapan para lelaki (yang bukan mahramnya).” ([5])
Kata tabarruj disandarkan kepada kata Jahiliah karena hal tersebut merupakan perbuatan kebodohan.
Adapun maksud dengan jahiliah yang pertama maka terdapat dua pendapat:([6])
- Jahiliah bertingkat-tingkat, dan tabarruj adalah tingkatan jahiliah yang pertama
- Maksudnya jahiliah pertama dari segi waktu. Tabarruj adalah jahiliah yang dilakukan pada zaman pertama (dahulu). Para ulama juga berbeda pendapat berkaitan dengan zaman dahulu tersebut. Zaman manakah yang dimaksud? Ada yang mengatakan maksudnya adalah jahiliah setelah zaman Nabi Nuh. Ada yang mengatakan maksudnya adalah jahiliah pada zaman Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Ada yang mengatakan maksudnya adalah jahiliah pada zaman Nabi Musa ‘alaihissalam. Intinya para ulama sepakat bahwa wanita di zaman tersebut menampakkan keindahannya.
Allah ﷻ melarang wanita tabarruj untuk lelaki lain karena hal tersebut bertentangan dengan tujuan pernikahan. Pada asalnya, para wanita ber-tabarruj untuk para suami mereka agar mereka merasa tenteram. Sedangkan wanita yang ber-tabarruj untuk lelaki lain justru membuat gelisah suaminya. Allah ﷻ menyebutkan tujuan pernikahan,
﴿ وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا ﴾
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (QS. Ar-Rum: 21)
Syaikh Utsaimin mengatakan bahwa bentuk tabarruj umum. ([7])
- Aurat tubuh yang terlihat
- Baju yang tidak syar’i. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat. Kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang dipergunakannya untuk memukul orang. Wanita-wanita berpakaian, namun bertelanjang, berjalan dengan berlenggok-lenggok, menarik perhatian, rambut mereka bagaikan punuk unta. Wanita-wanita tersebut tidak dapat masuk surga, bahkan tidak dapat mencium bau surga. Padahal bau surga itu dapat tercium dari begini dan begini.” ([8])
Para ulama menjelaskan bahwa “rambut mereka bagaikan punuk unta” maka ini hanya sekedar bentuk cara mencari perhatian para lelaki di zaman dahulu([9]). Cara menarik perhatian sangat banyak. Jika ada pakaian yang semakin menarik perhatian lelaki maka sesungguhnya pakaian tersebut tidak syar’i.
Sehingga jangan sampai para wanita muslimat menggunakan jilbab yang modelnya menarik perhatian. Jika model jilbab tersebut malam menimbulkan menarik perhatian, maka jilbab tersebut salah.
- Memakai riasan wajah untuk selain suaminya
Tabarruj bertingkat-tingkat, dimulai dari yang menampakkan auratnya, tabarruj dalam pakaiannya, dan riasan wajahnya. Kita berharap semua wanita salihah berlepas diri dari segala bentuk tabarruj. Bahkan, Syaikh Utsaimin mengatakan wanita bercadar yang memakai celak di matanya hingga menarik lawan jenisnya, maka ini termasuk tabarruj.
Tabarruj bertentangan dengan tujuan pernikahan. Seharusnya wanita bertabarruj di hadapan suaminya, bukan untuk selain suaminya. Namun, sebaliknya kita dapati sebagian wanita muslimat ketika keluar rumah mereka bertabarruj, sedangkan jika di dalam rumah tidak ada sama sekali persiapan menyambut suami. Bahkan, sebagian suami sangat bejat. Dia memerintahkan istrinya untuk berhias di hadapan laki-laki lain.
Apa faedah dari dipuji oleh lelaki selain suami? Jika semua lelaki memuji namun membuat suami marah maka ini percuma. Yang terpenting adalah bagaimana suami senang meskipun lelaki lain tidak suka. Oleh karenanya tabarruj bertentangan dengan hikmah dari pernikahan.
Firman Allah ﷻ,
﴿ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا ﴾
“dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai ahlulbait dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.”
Perbedaan penafsiran Ahlusunah dan Syiah terhadap ayat ini:
Orang-orang Syiah berpendapat ayat ini tidak berkaitan dengan istri-istri Rasulullah ﷺ sehingga mereka tidak masuk dalam ahlulbait. Menurut mereka ahlulbait adalah yang disebut dalam hadis al-kisa (kain). Dari Aisyah,
خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةً وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مُرَحَّلٌ، مِنْ شَعْرٍ أَسْوَدَ، فَجَاءَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ فَأَدْخَلَهُ، ثُمَّ جَاءَ الْحُسَيْنُ فَدَخَلَ مَعَهُ، ثُمَّ جَاءَتْ فَاطِمَةُ فَأَدْخَلَهَا، ثُمَّ جَاءَ عَلِيٌّ فَأَدْخَلَهُ، ثُمَّ قَالَ: ” {إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا}
“Nabi ﷺ keluar di suatu pagi, beliau memakai sebilah kain yang bergambar pelana onta yang terbuat dari bulu/rambut hewan yang berwarna hitam. Maka datanglah Al-Hasan bin ‘Ali lalu Nabi pun memasukkannya di kain tersebut, lalu datang Al-Husain maka ia pun masuk bersama Al-Hasan, lalu datang Fathimah maka Nabi memasukkannya ke kain tersebut, lalu datang Ali maka Nabi pun juga memasukkannya, kemudian Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai ahlulbait dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.” ([10])
Berdasarkan hadis ini, menurut mereka ahlulbait hanya berjumlah lima orang, yaitu Nabi Muhammad ﷺ, Ali, Fathimah, al-Hasan, dan al-Husain. Mereka menganggap istri-istri Rasulullah ﷺ tidak masuk ke dalam ahlulbait. Padahal hadits al-kisa’ yang meriwayatkan adalah Aisyah yang mereka anggap pezina dan tuduhan lainnya. Sehingga sangat aneh jika mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang mereka benci.
Adapun Ahlusunah mengatakan bahwa istri-istri Rasulullah ﷺ adalah yang paling pertama masuk dalam ahlulbait. Hal ini dikarenakan konteks sebelum dan setelahnya berkaitan dengan istri-istri Rasulullah ﷺ.
Syiah tidak menganggap istri-istri Rasulullah ﷺ sebagai ahlulbait. Oleh karenanya kita dapati mereka sangat membenci istri-istri Rasulullah ﷺ. Di antara bukti-buktinya adalah mereka mengatakan bahwa ayat takhyir diturunkan karena sebab perkataan istri Rasulullah ﷺ, Zainab binti Jahsyin.
Ayat takhyir yaitu firman Allah ﷻ,
﴿ يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا﴾
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: “Jika kalian sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepada kalian mut’ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 28)
Pada saat itu, istri-istri Nabi Muhammad ﷺ meminta tambahan nafkah karena mereka tahu bahwa Rasulullah ﷺ baru saja mendapatkan ganimah dan harta lainnya. Mungkin mereka melihat para sahabat memberikan harta tambahan kepada istri-istri mereka, sehingga istri-istri Rasulullah ﷺ juga menginginkan hal yang serupa. Namun, Allah ﷻ menegur dan mendidik mereka sehingga mereka menjadi wanita-wanita yang mulia. Balasannya adalah Allah ﷻ melarang Rasulullah ﷺ untuk menikah setelah mereka. Allah ﷻ berfirman,
﴿ لَا يَحِلُّ لَكَ النِّسَاءُ مِنْ بَعْدُ وَلَا أَنْ تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنْ أَزْوَاجٍ وَلَوْ أَعْجَبَكَ حُسْنُهُنَّ إِلَّا مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ رَقِيبًا ﴾
“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 52)
Orang-orang Syiah mengatakan bahwa ayat takhyir turun karena Zainab binti Jahsyin dengan sesumbar mengatakan, “Apakah jika Muhammad menceraikan kita, tidak ada yang akan menikahi kita?”. Jadi, mereka menuduh Zainab binti Jahsyin mengatakan demikian di hadapan Nabi Muhammad ﷺ.
Apakah pantas istri Rasulullah ﷺ mengatakan demikian? Tidak ada satu riwayat yang sahih tentang ini. Semua yang dituduhkan oleh orang-orang Syiah adalah dusta.
Zainab binti Jahsyin adalah istri Rasulullah ﷺ yang mulia. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
«أَسْرَعُكُنَّ لَحَاقًا بِي أَطْوَلُكُنَّ يَدًا» قَالَتْ: فَكُنَّ يَتَطَاوَلْنَ أَيَّتُهُنَّ أَطْوَلُ يَدًا، قَالَتْ: فَكَانَتْ أَطْوَلَنَا يَدًا زَيْنَبُ، لِأَنَّهَا كَانَتْ تَعْمَلُ بِيَدِهَا وَتَصَدَّقُ
“Di antara kalian yang lebih dahulu bertemu denganku kelak adalah yang paling panjang Iengannya. Aisyah berkata; “Lalu mereka, para istri Rasulullah ﷺ, mengukur tangan siapakah yang paling panjang.” Aisyah berkata; “Ternyata Zainablah yang paling panjang di antara kami, karena ia sering beramal dan bersedekah dengan tangannya.” ([11])
Begitu juga ketika terjadi haditsul ifki, Rasulullah ﷺ bertanya kepada Zainab tentang haditsul ifki,
يَا زَيْنَبُ، مَا عَلِمْتِ مَا رَأَيْتِ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَحْمِي سَمْعِي وَبَصَرِي، وَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَيْهَا إِلَّا خَيْرًا،
“Wahai Zainab! Apa yang kamu tahu terhadap apa yang kamu lihat? Zainab menjawab, wahai Rasulullah! Aku menjaga pendengaran dan pandanganku, demi Allah aku tidak mengetahui tentangnya (Aisyah) kecuali kebaikan.” ([12])
Aisyah juga berkata tentang Zainab,
وَهِيَ الَّتِي كَانَتْ تُسَامِينِي مِنْهُنَّ فِي الْمَنْزِلَةِ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dialah dari istri-istri Nabi yang menyaingiku dari sisi kedudukan di hati Rasulullah ﷺ” ([13])
Istri-istri Nabi Muhammad ﷺ yang sangat dibenci oleh Syiah adalah Aisyah dan Hafshah radhiyallahu ‘anhuma. Mereka menafsirkan firman Allah ﷻ,
﴿ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ﴾
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahanam bersama orang-orang yang masuk (jahanam)”.” (QS. At-Tahrim: 10)
Mereka mengatakan bahwa “istri Nuh dan istri Luth” hanyalah permisalan. Karena menurut mereka yang dimaksud dalam ayat ini sebenarnya adalah Aisyah dan Hafshah radhiyallahu ‘anhuma([14]). Mereka mengatakan bahwa keduanya kafir.
Padahal, kedua istri Nabi Muhammad ﷺ dengan kedua wanita yang disebutkan di dalam ayat ini sangat berbeda. Karena di dalam ayat ini disebutkan keduanya adalah istri dari dua nabi yang berbeda. Sedangkan Aisyah dan Hafshah radhiyallahu ‘anhuma adalah dua orang istri dari satu nabi.
Begitulah mereka memaksakan tafsiran ayat sekehendak mereka. Bahkan mereka menafsirkan firman-Nya فَخَانَتَاهُمَا ‘lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya’ maksudnya Aisyah dan Hafshah berzina. Semua ini tertulis dalam kitab-kitab tafsir mereka.
Mereka juga mengarang cerita, bahwa Aisyah sepeninggal Rasulullah ﷺ keluar rumah berjanji dengan Thalhah melakukan perzinaan. Wal’iyadzu billah.
Mereka melampaui batas dalam mencela istri-istri Nabi Muhammad ﷺ. Ketika Aisyah meninggal dalam keadaan tenang, mereka tidak menerima. Sehingga mereka membuat akidah raj’ah, yaitu meyakini bahwa akan muncul imam yang kedua belas di akhir zaman yang kemudian membangkitkan seluruh sahabat untuk disiksa. Di antaranya dia akan membangkitkan Aisyah dan menghukumnya.
Kita harus membela istri-istri Nabi Muhammad ﷺ. Bahkan, Rasulullah ﷺ menyebutkan keutamaan orang yang membela istri-istri Rasulullah ﷺ. Ummu Salamah mendengar Rasulullah ﷺ berkata kepada para istrinya,
إِنَّ الَّذِي يَحْنُو عَلَيْكُنَّ بَعْدِي لَهُوَ الصَّادِقُ الْبَارُّ
“Sesungguhnya orang yang mengurusi kalian setelahku adalah orang yang jujur lagi baik.” ([15])
Dalam riwayat lain,
إِنَّ الَّذِي يُحَافِظُ عَلَيْهِنَّ بَعْدِي
“sesungguhnya yang menjaga mereka setelahku…” ([16])
Ketika menjaga dan membela istri-istri Rasulullah ﷺ maka seakan-akan kita membela ibu kita sendiri.
Dalil Yang Menunjukkan Bahwa Istri-Istri Rasulullah ﷺ Termasuk Ahlulbait:
Pertama: secara bahasa أَهْلُ الرَّجُل adalah istrinya.
Kedua: secara urf juga demikian. Ketika dikatakan أَهْلُكَ, maka dipahami secara langsung maksudnya adalah ‘istrimu’.
Ketiga: di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa أَهْلُ maksudnya adalah istri. Allah ﷻ berfirman tentang perkataan malaikat kepada Sarah (Istri Nabi Ibrahim),
﴿ قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَتُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَجِيدٌ﴾
“Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kalian, hai ahlulbait (Sarah)! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah”.” (QS. Hud: 73)
Juga firman Allah ﷻ,
﴿ فَلَمَّا قَضَى مُوسَى الْأَجَلَ وَسَارَ بِأَهْلِهِ آنَسَ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ نَارًا قَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا ﴾
“Maka tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan dia berangkat dengan keluarganya, dilihatnyalah api di lereng gunung ia berkata kepada keluarganya: “Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api.” (QS. Al-Qasas: 29)
Maksud أَهْلُ dalam ayat ini adalah istri Nabi Musa ‘alaihissalam. Contoh lainnya tentang perkataan istri al-Aziz,
﴿ مَا جَزَاءُ مَنْ أَرَادَ بِأَهْلِكَ سُوءًا إِلَّا أَنْ يُسْجَنَ أَوْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴾
“Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” (QS. Yusuf: 25)
Jadi, kata أَهْلُ pada ayat-ayat di atas maksudnya adalah istri. Begitu juga Rasulullah ﷺ pernah mengucapkan salam kepada istrinya dengan menggunakan kata أَهْل,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ البَيْتِ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
“Semoga keselamatan dan rahmat Allah tercurahkan atasmu ahlulbait.” ([17])
Begitu juga ketika berselawat kita mengucapkan,
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
“Ya Allah, berilah selawat kepada Muhammad dan keluarganya.” ([18])
Dalam riwayat yang lain
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ
“Ya Allah berilah selawat kepada Muhammad, istri-istrinya dan anak keturunannya.” ([19])
Ini semua menunjukkan bahwa istri dan anak-anak termasuk ahlulbait.
Terdapat tiga lafal dalam bahasa Arab yang maknanya berkaitan dengan keluarga Nabi Muhammad ﷺ, yaitu أَهْلُ, آلِ, dan عِتْرَة. Para ulama Syiah berselisih tentang ketiga makna kata ini. Namun, mereka sepakat untuk mengeluarkan istri-istri Nabi dari ketiganya.
Orang-orang Syiah juga berdalil dalam mengeluarkan istri-istri Nabi Muhammad ﷺ dari ahlulbait dengan firman Allah ﷻ,
﴿ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا ﴾
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian hai ahlulbait dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.”
Dalam firman-Nya ini Allah ﷻ menggunakan kata ganti أَنْتُمْ (yaitu كُمْ) untuk jamak lelaki. Adapun sebelumnya Allah ﷻ menggunakan kata ganti أَنْتُنَّ (yaitu كُنَّ) untuk jamak wanita pada istri-istri Rasulullah ﷺ. Sehingga mereka mengatakan bahwa firman-Nya tentang ahlulbait adalah ayat baru yang tidak ada kaitannya dengan istri-istri Nabi.
Bantahan:
- Ini bukanlah ayat baru, ini masih termasuk dalam satu ayat. Bagaimana bisa kalian mengatakan bahwa ini (tentang ahlulbait) tidak ada kaitannya sebelumnya (istri-istri Nabi), sedangkan konteksnya masih dalam satu ayat.
- Dalam ayat ini menggunakan kata ganti أَنْتُمْ karena Rasulullah ﷺ masuk dalam hitungan rumah tersebut. Jika di antara wanita terdapat satu orang lelaki maka khitab-nya menggunakan kata ganti أَنْتُمْ.
- Kata ganti أَنْتُمْ untuk lafal أَهْلُ yang lafal أَهْلُ adalah mudzakkar. ([20])
Orang-orang Syiah juga mengatakan bahwa ahlulbait maksum([21]). Karena Allah ﷻ berfirman,
﴿ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا ﴾
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian hai ahlulbait dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.”
Sehingga mereka mengatakan bahwa yang berhak menjadi imam setelah Rasulullah ﷺ adalah Ali radhiallahu ‘anhu, kemudian al-Hasan, lalu al-Husain. Hal ini dikarenakan mereka maksum. Adapun para sahabat lainnya tidaklah maksum menurut mereka.
Apakah ayat ini menunjukkan kemaksuman? Tidak. Yang maksum hanyalah Nabi Muhammad ﷺ. Adapun selain para nabi tidak ada yang maksum.
Jika al-Hasan maksum, mengapa dia menyerahkan pemerintahan kepada Mu’awiyah yang mereka anggap kafir? Maka ini berkonsekuensi kelirunya perbuatan al-Hasan yang menyerahkan pemerintahan kepada orang kafir. Inilah yang tidak pernah bisa dijawab oleh orang-orang Syiah.
Di antara bantahan terbaik dalam masalah ini adalah yang ditulis oleh al-Alusi dalam tafsiran ayat ini. Al-Alusi adalah seorang mufassir yang merupakan seorang ahlul bait, dia keturunan al-Husain dan tinggal di kota Irak. Dia menyatakan bahwa ayat ini tidak membahas tentang maksumnya ahlulbait.
Dia berkata, jika ayat ini menjelaskan maksum disebabkan terdapat kata الرِّجْسَ dan وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا, maka dalam ayat yang lain juga terdapat hal yang serupa. Allah ﷻ berfirman,
﴿ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ ﴾
“Akan tetapi Allah menginginkan untuk menyucikan kalian.” (QS. Al-Maidah: 6) ([22])
Jika kata تَطْهِير menunjukkan maksum, maka para sahabat juga maksum berdasarkan ayat ini. Begitu juga dalam surah lain Allah ﷻ berfirman,
﴿ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ ﴾
“dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk menyucikan kalian dengan hujan itu dan menghilangkan dari kalian gangguan-gangguan setan” (QS. Al-Anfal: 11)
Yang benar, ayat Al-Ahzab ini tidak menunjukkan kepada kemaksuman. Karena ketika kita mengatakan ayat ini menunjukkan kemaksuman, maka berkonsekuensi maksumnya juga para sahabat.
__________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi, (14/179).
([2]) At-Tahrir wa at-Tanwir, (10/22).
([3]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi, (14/179).
([4]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi (12/309).
([5]) Lihat: at-Tahrir Wa at-Tanwir (22/11).
([6]) Lihat: Tafsir al-‘Utsaimin, surah Al-Ahzab hlm. 227.
([7]) Lihat: Tafsir al-‘Utsaimin, surah Al-Ahzab hlm. 229.
([9]) Lihat: Fath al-Mun’im Syarh Shahih Muslim (10/463).
([14]) Lihat: al-Mizan Fi Tafsir Al-Qur’an (19/425).
([15]) HR. Ahmad No. 26559, dinyatakan hasan lighairih oleh al-Arnauth.
([16]) Fadhail ash-Shahabah Libni Ahmad bin Hanbal No. 1252.
([20]) Lihat: Tafsir al-Alusi (11/194 dan 197).