29. وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ فَإِنَّ ٱللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَٰتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا
wa ing kuntunna turidnallāha wa rasụlahụ wad-dāral-ākhirata fa innallāha a’adda lil-muḥsināti mingkunna ajran ‘aẓīmā
29. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.
Tafsir :
Pada ayat ini, Allah ﷻ tidak menyebutkan فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لَكُنَّ ‘Sesungguhnya Allah menyediakan bagi kalian’. Namun, Allah ﷻ menyebutkannya dengan فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ ‘Sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi para wanita yang ihsan di antara kalian’. Para ulama memperinci hal ini menjadi beberapa bagian, di antaranya adalah:
- مِنْ pada lafal مِنْكُنَّ pada ayat ini bukan menunjukkan tab’idhiyah, tetapi memiliki fungsi al-bayaniyah, yaitu menunjukkan bahwa istri-istri Nabi Muhammad ﷺ seluruhnya berbuat baik. Sehingga mereka lebih memilih kehidupan akhirat, bukan memilih kehidupan dunia.([1])
- Sebagian ulama -seperti Thahir Ibnu ‘Asyur rahimahullah- menyebutkan bahwa Allah ﷻ menyebut mereka sebagai مُحْسِنَات, karena derajat dan tingkatan pahala mereka berdasarkan ihsan yang mereka lakukan.
- Allah ﷻ menyebut istri-istri mereka dengan مُحْسِنَات ‘para wanita yang berbuat ihsan’, karena keinginan mereka untuk Allah ﷻ, Rasul-Nya dan surga adalah keinginan yang baik. ([2])
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa Islam, Iman dan Ihsan bertingkat-tingkat. Begitu juga dengan surga yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar tingkatan Islam, Iman dan Ihsan.
Ketika ayat ini turun, pertama kali yang di datangi oleh Rasulullah ﷺ adalah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri beliau yang sangat beliau cintai. Rasulullah ﷺ berkata kepadanya,
يَا عَائِشَةُ، إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَعْرِضَ عَلَيْكِ أَمْرًا أُحِبُّ أَنْ لَا تَعْجَلِي فِيهِ حَتَّى تَسْتَشِيرِي أَبَوَيْكِ، قَالَتْ: وَمَا هُوَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ فَتَلَا عَلَيْهَا الْآيَةَ، قَالَتْ: أَفِيكَ يَا رَسُولَ اللهِ، أَسْتَشِيرُ أَبَوَيَّ؟ بَلْ أَخْتَارُ اللهَ وَرَسُولَهُ، وَالدَّارَ الْآخِرَةَ
“‘Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya aku hendak menawarkan satu urusan kepadamu, tetapi aku lebih suka agar engkau tidak tergesa-gesa memutuskannya hingga engkau bermusyawarah dengan kedua orang tuamu’. ‘Aisyah berkata, ‘Apa itu wahai Rasulullah?’. Maka, beliau ﷺ membaca ayat ini. ‘Aisyah pun berkata, Apakah karenamu wahai Rasulullah aku harus bermusyawarah dengan kedua orang tuaku? Bahkan, aku memilih Allah, rasul-Nya dan negeri akhirat.”([3])
Imam Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan bahwa ini menunjukkan Rasulullah ﷺ sangat cinta kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Nabi Muhammad ﷺ merasa khawatir dengan sikap yang timbul dari diri ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang saat itu merupakan usia mudanya, sehingga dikhawatirkan membuatnya marah. Oleh karenanya, Rasulullah ﷺ memintanya agar bermusyawarah dengan kedua orang tuanya.([4])
Setelah mendengar penuturan Rasulullah ﷺ, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menentukan pilihannya kepada Allah ﷻ, Rasul-Nya dan hari akhirat. Dia sendiri tidak menginginkan kepada perkara duniawi.
Ini menjadi dalil bahwa jika masalah rumah tangga dalam keadaan genting, maka diperbolehkan bagi suami atau istri mengikutsertakan kedua orang tua istri atau walinya untuk berdiskusi dalam masalah tersebut. Berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ,
أَنْ لَا تَعْجَلِي فِيهِ حَتَّى تَسْتَشِيرِي أَبَوَيْكِ
“Agar engkau tidak tergesa-gesa memutuskannya hingga engkau bermusyawarah dengan kedua orang tuamu.” ([5])
Hukum asal bagi suami istri yang memiliki masalah di dalam rumah tangganya adalah tidak membawa masalah tersebut keluar dari rumah mereka. Hendaknya masing-masing dari suami istri menghadapinya sendiri dan berusaha agar tidak membawanya kepada orang lain. Jika, memang keadaan memaksa untuk membawa masalah tersebut kepada orang maka hendaknya dibwawa kepada orang yang dapat mengatasi masalah tersebut atau jika diperlukan mengajak orang tua untuk bermusyawarah.
Setelah itu, Rasulullah ﷺ pergi kepada istri-istri beliau yang lain dan mereka semua memilih Allah ﷻ, Rasul-Nya dan negeri akhirat.
Setelah itu, turunlah firman Allah ﷻ yang menjelaskan bahwa Allah ﷻ memberikan balasan kepada istri-istri Nabi Muhammad ﷺ. Allah ﷻ memberikan balasan yang besar bagi mereka karena mereka rela hidup bersusah payah menemani Nabi Muhammad ﷺ. Bahakn setelah itu Allah ﷻ melarang Nabi Muhammad ﷺ untuk menikah dengan wanita lain. Allah ﷻ berfirman,
لَا يَحِلُّ لَكَ النِّساءُ مِنْ بَعْدُ وَلا أَنْ تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنْ أَزْواجٍ وَلَوْ أَعْجَبَكَ حُسْنُهُنَّ إِلاَّ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ وَكانَ اللَّهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ رَقِيباً، وَما كانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْواجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَداً إِنَّ ذلِكُمْ كانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيماً
“Tidak halal bagimu (Muhammad) menikahi perempuan-perempuan (lain) setelah itu, dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang engkau miliki. Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. Dan tidak boleh kalian menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah (Nabi wafat). Sungguh, yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 52-53)
Allah ﷻ mencukupkan bagi Nabi Muhammad ﷺ sembilan istri beliau tersebut, karena mereka semua telah siap untuk menemani beliau ﷺ dengan kesulitan hidup yang mereka hadapi. Rasulullah ﷺ dilarang untuk menikah dengan wanita lain untuk menggantikan salah satu dari sembilan istri beliau, karena sejatinya mereka semua telah memilih Allah, rasul-Nya dan negeri akhirat. Ini merupakan balasan duniawi bagi semua istri Nabi g.
Di antara balasan Allah ﷻ kepada istri-istri Nabi Muhammad ﷺ adalah Allah ﷻ mengagungkan mereka, di mana tidak diperbolehkan bagi siapapun menikahi istri-istri Nabi ﷺ setelah Nabi Muhammad ﷺ wafat. Allah ﷻ menceritakan kisah ini dalam rangka untuk mengangkat derajat istri-istri Nabi Muhammad ﷺ. Allah ﷻ ingin agar derajat dan kedudukan mereka lebih tinggi, maka Allah ﷻ memberikan cobaan bagi mereka. Allah ﷻ berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Bermula ketika istri-istri Nabi ﷺ meminta tambahan nafkah dari Nabi Muhammad ﷺ. Setelah itu, beliau ﷺ menghajr (meninggalkan) mereka selama sebulan, dimana selama itu beliau tinggal di al-Masyrubah. Akhirnya, Allah ﷻ menurunkan wahyu berupa ayat ini, di mana Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk memberikan pilihan kepada istri-istri beliau ﷺ antara memilih hidup bersama beliau ﷺ dalam keadaan susah payah atau memilih dunia dengan cara beliau ﷺ menceraikan mereka, sehingga dapat menikah dengan laki-laki lain.
Dan ternyata istri-istri Nabi Muhammad ﷺ memilih untuk hidup bersama Rasulullah ﷺ, sehingga Allah ﷻ meninggikan derajat mereka. Bahkan, buah dari hal itu Allah ﷻ mencukupkan Rasulullah ﷺ dengan sembilan istri beliau dan beliau dilarang untuk menikahi wanita lain selain mereka. Selain itu, ketika Nabi Muhammad ﷺ wafat, maka tidak boleh bagi seorangpun untuk menikah dengan istri-istri beliau ﷺ, karena mereka adalah istri-istri Nabi Muhammad ﷺ di dunia dan juga di akhirat.
Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu berkata,
إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّهَا زَوْجَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
“Sungguh aku tahu bahwa ‘Aisyah adalah istri Nabi ﷺ di dunia dan di akhirat.”([6])
Setelah itu, para istri Nabi Muhammad ﷺ hidup dalam kondisi yang sangat sulit. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Urwah bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
إِنْ كُنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى الهِلاَلِ، ثُمَّ الهِلاَلِ، ثَلاَثَةَ أَهِلَّةٍ فِي شَهْرَيْنِ، وَمَا أُوقِدَتْ فِي أَبْيَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَار فَقُلْتُ يَا خَالَةُ: مَا كَانَ يُعِيشُكُمْ؟ قَالَتْ الأَسْوَدَانِ
“‘Sungguh kami benar-benar melihat hilal, kemudian hilal, tiga hilal berturut-turut selama dua bulan, namun tidak ada api yang dinyalakan di rumah istri-istri Rasulullah ﷺ’. Setelah itu ‘Urwah berkata, ‘Wahai bibiku, apa yang kalian makan?’. ‘Aisyah berkata, ‘Kurma dan air putih’.”([7])
Renungkanlah bagaimana kehidupan Nabi Muhammad ﷺ. Kekayaan bukanlah tanda bahwa Allah ﷻ memuliakan seseorang. Tidak berarti orang yang dilapangkan rezekinya, menandakan bahwa dia memiliki derajat tinggi di sisi Allah ﷻ.
Lihatlah bagaimana para salaf hidup dalam keadaan susah. Kekayaan tidak berarti pemuliaan. Ada orang yang diberikan kekayaan, menjadi mulia di mata manusia, tetapi tidak menjadi tanda bahwa Allah ﷻ memuliakan mereka. Rasulullah ﷺ mengingatkan hal ini dengan sabda beliau,
أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Mereka adalah suatu kaum yang disegerakan kenikmatan mereka di kehidupan dunia ini.” ([8])
Begitu juga dengan kisah dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dia berkata,
دَخَلَتْ امْرَأَةٌ مَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ
“Seorang ibu bersama dua putrinya menemuiku meminta makanan, akan tetapi ia tidak mendapati sedikit makanan pun yang ada padaku kecuali sebutir kurma. Maka aku pun memberikan kurma tersebut kepadanya, lalu ia membagi sebutir kurma tersebut untuk kedua putrinya, dan ia tidak makan kurma itu sedikit pun. Setelah itu ibu itu berdiri dan pergi keluar.” ([9])
__________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir al-Alusi, (11/178).
([2]) At-Tahrir wa at-Tanwir, (21/317).
([4]) Tafsir al-Qurthubi, (14/163).
([8]) Lihat redaksi lengkap hadits di dalam kitab Sahih Bukhari 3/133 no. 2468.