28. يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
yā ayyuhan-nabiyyu qul li`azwājika ing kuntunna turidnal-ḥayātad-dun-yā wa zīnatahā fa ta’ālaina umatti’kunna wa usarriḥkunna sarāḥan jamīlā
28. Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.
Tafsir :
Sebagaimana disebutkan di dalam Sahih Al-Bukhari bahwa pada saat istri-istri Nabi Muhammad ﷺ bersepakat untuk meminta tambahan nafkah dari Nabi Muhammad ﷺ. Padahal, sebelum itu mereka tidak pernah memintanya dari beliau ﷺ.
Thahir Ibnu ‘Asyur menyebutkan bahwa pada saat itu Bani Nadzir telah ditaklukkan dan diusir oleh Nabi Muhammad ﷺ dari kota Madinah. Sehingga mereka meninggalkan banyak harta, sehingga menjadi fai’([1]) bagi Rasulullah ﷺ dan pasukannya. Setelah itu, Rasulullah ﷺ juga memerangi Bani Quraizhah dan mereka juga meninggalkan banyak ghanimah bagi beliau ﷺ dan pasukannya. Ghanimah tersebut dibagi-bagikan kepada para sahabat dan beliau ﷺ juga mendapatkannya.([2])
Selain itu juga Allah ﷻ mengabarkan bahwa pada saat perang Khaibar di Khaibar, Rasulullah ﷺ akan memenangkan perang tersebut dan akan mendapatkan banyak harta di sana. Berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَأَوْرَثَكُمْ أَرْضَهُمْ وَدِيَارَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ وَأَرْضًا لَمْ تَطَئُوهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرًا
“Dan Dia mewariskan kepadamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan Allah Mahakuasa terhadap segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 27)
وَأَرْضًا لَمْ تَطَئُوهَا ‘dan (begitu pula) tanah yang belum kalian injak’, maksudnya adalah Khaibar. Pada saat itu, istri-istri Nabi Muhammad ﷺ berubah pikiran. Mereka bermaksud meminta tambahan rezeki atau nafkah dari beliau ﷺ untuk diri mereka sendiri. Dari sinilah akhirnya istri-istri Nabi ﷺ meminta tambahan nafkah kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Bisa jadi ketika para sahabat mendapatkan ghanimah dari peperangan melawan Bani Quraizhah, mereka memberikannya kepada istri-istri mereka. Sementara bagi kaum wanita, berita-berita seperti itu akan cepat beredar di antara mereka. Akhirnya, hal itu membuat istri-istri Nabi Muhammad ﷺ bersepakat ingin meminta tambahan dari beliau ﷺ.
Padahal, setiap kali Nabi Muhammad ﷺ memiliki rezeki, maka beliau ﷺ selalu menyedekahkannya. Beliau ﷺ tidak terbiasa hidup dengan kehidupan yang berlebih-lebihan. Itulah di antara sosok pribadi dari Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ bersabda,
مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apa urusanku dengan dunia? Aku di dunia tidak lain seperti pengendara yang bernaung di bawah pohon yang setelah itu pergi dan meninggalkannya.”([3])
Perumpamaan seseorang yang hidup di dunia ini adalah seperti pengendara yang bernaung di bawah pohon. Dia bernaung hanya dalam waktu yang sebentar. Begitu juga dengan kehidupan dunia ini, sejatinya hanya sebentar saja.
Oleh karenanya, Nabi Muhammad ﷺ tidak peduli dengan hal duniawi. Ketika istri-istri beliau ﷺ bersepakat untuk meminta dari beliau ﷺ, maka beliau ﷺ merasa terganggu. Akhirnya, beliau ﷺ meninggalkan mereka selama sebulan. Beliau memiliki sebuah tempat yang disebut dengan Al-Masyrubah, yaitu suatu tempat yang sedikit tinggi menyerupai kamar yang ukurannya kecil. Di situlah beliau ﷺ tinggal selama meninggalkan istri-istri beliau ﷺ selama sebulan.
Setelah itu, ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menemui beliau ﷺ di tempat tersebut, sedangkan beliau ﷺ dalam keadaan berbaring di atas tikar yang dianyam dari daun-daun kurma. Tikar tersebut meninggalkan bekas di perut Nabi ﷺ. ‘Umar t melihat isi kamar tersebut, sedangkan di dalamnya tidak ada apa pun, kecuali beberapa kulit saja yang tergantung. Umar t berkata kepada Nabi ﷺ,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ، فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّومَ قَدْ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا، وَهُمْ لاَ يَعْبُدُونَ اللَّهَ
“Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar memberikan kelapangan harta kepada umatmu. Sungguh Persia dan Romawi telah diberikan (harta) kenikmatan dunia, padahal mereka tidak menyembah Allah .”
Mendengar hal itu, Nabi ﷺ masih dalam keadaan berbaring seraya bersabda,
أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الخَطَّابِ أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Apakah kau ragu, wahai ‘Umar, mereka adalah suatu kaum yang disegerakan kenikmatan mereka di kehidupan dunia ini.” ([4])
Adapun di akhirat kelak, mereka tidak mendapatkan apa-apa.
Saat itu para istri beliau ﷺ ada sembilan, yaitu: ‘Aisyah, Saudah, Hafshah, Ummu Salamah, Juwairiyah binti al-Harits, Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyah, Zainab binti Jahsyi, Shafiyah binti Huyai, dan Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhunna. Adapun Zainab binti Khuzaimah telah meninggal dunia ketika turun ayat ini. Inilah sembilan istri beliau ﷺ yang meminta kepada beliau untuk memberikan tambahan nafkah. Setelah itu, Allah ﷻ menurunkan ayat ini.([5])
Bagi kita yang memandang peristiwa ini, tentu seakan-akan yang dilakukan oleh istri-istri Nabi Muhammad ﷺ tampak buruk. Namun, tentu saja ada hikmah di balik peristiwa ini. Allah ﷻ ingin mereka bersih dan bisa beradaptasi dengan Rasulullah ﷺ. Oleh karenanya, turunlah ayat ini. Ayat ini disebut ayat At-Takhyir التَّخْيِيْرُ, yaitu untuk memberikan pilihan.([6])
Firman Allah ﷻ,
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah agar kuberikan kepadamu mut‘ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.”
Lafal أَزْوَاج adalah bentuk jamak dari زَوْج ‘pasangan’, penggunaannya bisa disebutkan dengan istri maupun suami. Adapun penggunaan زَوْجَة ‘istri’ jarang dipakai.
Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk memberikan pilihan kepada istri-istri beliau antara senantiasa hidup bersama beliau ﷺ dengan susah payah atau perceraian. Jika mereka memilih Allah ﷻ dan Rasul-Nya, maka hendaknya mereka bersabar dengan menjalani kehidupan bersama Nabi Muhammad ﷺ. Adapun jika tidak bersabar menjalani kehidupan yang sulit tersebut bersama Rasulullah ﷺ, maka beliau ﷺ bisa menceraikan mereka, agar mencari suami yang lain selain beliau ﷺ. Secara sekilas ayat ini menegur istri-istri Nabi Muhammad ﷺ, tetapi sebaliknya mengangkat derajat mereka.
مُتْعَة adalah sebuah ‘pemberian’ yang diberikan oleh seorang lelaki jika menceraikan istrinya. Hal ini bertujuan untuk memberikan rasa senang kepada istrinya. Selain itu, ketika dia dicerai, maka dia tidak terlalu merasa sedih, dan sekaligus menjadi hiburan baginya.
Ini termasuk sunah ketika seseorang hendak menceraikan istrinya dan merupakan sunah yang ditinggalkan. Perceraian tidak dibangun di atas kemarahan, keributan, balas dendam atau kebencian. Namun, hendaknya dasar dari perceraian adalah سَرَاحًا جَمِيلًا ‘cerai dengan cara yang baik’.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa di antara adab menceraikan adalah dengan cara yang baik, tidak menghantam isi hatinya, mengucapkan kata-kata kotor, kata-kata kasar atau merendahkannya([7]). Rasulullah ﷺ ketika hendak menceraikan istri-istrinya, beliau ﷺ tidak memaki-maki mereka. Bahkan beliau berkata,
فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Maka kemarilah agar kuberikan kepadamu mut‘ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.”
Jika seseorang mampu menggunakan cara ini ketika menceraikan istrinya, maka dia bisa melepaskan istrinya dengan cara yang baik.
سَرَاحًا ‘melepaskan’. Sebagaimana di dalam firman Allah ﷻ,
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
“Maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula)” (QS. Al-Baqarah: 231)
سَرَاحًا جَمِيلًا ‘cerai dengan cara yang baik’ yaitu tanpa melukai hati, tanpa berbuat zalim, tanpa menahan hak, tanpa menekan anak-anak untuk menyakiti hati istrinya atau dengan menceraikannya dengan cara yang buruk, seperti memberikan tekanan dan ketakutan kepada istri hingga dia meminta cerai dari suami. Intinya, tidak melakukan hal-hal yang buruk yang dapat menyakiti hati di dalam perpisahan atau perceraian tersebut. Demikianlah cara mencerai dalam agama Islam, yaitu dengan cara yang baik. Islam telah mengajarkan adab dalam masalah perceraian.
Yang namanya perceraian adalah perkara yang sangat sulit, di mana saat itu bisa saja seseorang dalam keadaan emosi atau marah. Bahkan, betapa banyak setelah suami istri bercerai, ternyata suami menyimpan dendam kepada istri dan istri pun menyimpan dendam kepada suaminya. Mereka meninggalkan adab-adab yang diajarkan Islam. Padahal, Islam tidak mengajarkan yang demikian, karena Islam mengajarkan kepada siapa pun yang hendak menceraikan istrinya, maka hendaknya dia menceraikan dengan cara yang baik.
Jika kita memiliki masalah dengan orang lain, maka hendaknya kita keluar dari permasalahan tersebut dengan cara yang baik, tanpa harus menyimpan dendam. Setiap orang tidak selalu nyaman dalam kebersamaan dengan orang lain. Terkadang akan ada ketidakcocokan pada kemudian hari. Ini sangat mungkin terjadi. Di samping itu, kita hidup hanya sebentar. Jangan sampai waktu yang sebentar ini dihabiskan dengan banyak menyimpan dendam kepada orang lain. Suatu saat akan ada balasan di dunia, belum lagi dengan kehidupan di akhirat kelak.
_____________________
Footnote :
([1]) Harta yang didapatkan tanpa ada peperangan.
([2]) At-Tahrir wa at-Tanwir, (21/315).
([3]) HR. At-Tirmidzi No. 2377, dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([4]) Lihat redaksi lengkap hadits di dalam kitab Sahih Bukhari 3/133 no. 2468.
([5]) Lihat: At-Tahrir wa at-Tanwir, (21/315).
([6]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi, (14/162) dan Tafsir Ibnu Katsir, (6/402).