21. لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا
laqad kāna lakum fī rasụlillāhi uswatun ḥasanatul limang kāna yarjullāha wal-yaumal-ākhira wa żakarallāha kaṡīrā
21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Tafsir :
Para ulama seperti Imam al-Alusi rahimahullah dan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah menafsirkan bahwa pada ayat ini terdapat 3 penekanan, yaitu : Pertama, Al-Qasam al-Muqaddar berupa وَاللَّهِ menjadi وَاللَّهِ لَقَدْ كَانَ … ‘Demi Allah, sungguh ada ….’. Kedua, لَقَدْ yang terdiri dari ‘Lam taukid’ (huruf lam yang berfungsi sebagai penekanan). Adapun yang ketiga adalah huruf قَدْ, di mana huruf ini juga memiliki fungsi penekanan. Seakan-akan Allah ﷻ berfirman, “Demi Allah, sungguh benar-benar ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik”.([1])
Pada dasarnya ayat ini turun berkaitan dengan perang Ahzab, sehingga banyak dari para ahli tafsir menafsirkan uswah hasanah yang dimaskudkan di dalam ayat ini adalah uswah hasanah Nabi Muhammad ﷺ di dalam peperangan([2]). Di antara sebabnya adalah karena sebelum ayat ini Allah ﷻ telah menyebutkan tentang sifat-sifat orang-orang munafik. Allah ﷻ berfirman,
يَحْسَبُونَ الْأَحْزَابَ لَمْ يَذْهَبُوا وَإِنْ يَأْتِ الْأَحْزَابُ يَوَدُّوا لَوْ أَنَّهُمْ بَادُونَ فِي الْأَعْرَابِ يَسْأَلُونَ عَنْ أَنْبَائِكُمْ وَلَوْ كَانُوا فِيكُمْ مَا قَاتَلُوا إِلَّا قَلِيلًا
“Mereka mengira (bahwa) golongan-golongan (yang bersekutu) itu belum pergi, dan jika golongan-golongan (yang bersekutu) itu datang kembali, niscaya mereka ingin berada di dusun-dusun bersama-sama orang Arab Badui, sambil menanyakan berita tentang kamu. Dan sekiranya mereka berada bersamamu, mereka tidak akan berperang, melainkan sebentar saja.” (QS. Al-Ahzab: 20)
Allah ﷻ mencela orang-orang munafik dan menyebutkan ciri-ciri mereka. Setelah itu Allah ﷻ menegaskan kepada orang-orang beriman agar mereka tidak meniru sifat orang-orang munafik, karena sungguh pada diri Rasulullah ﷺ ada uswah hasanah di dalam peperangan.
Maksudnya adalah ketika di dalam peperangan Nabi Muhammad ﷺ memberikan teladan yang sangat luar biasa kepada para sahabat. Nabi Muhammad ﷺ bersabar, memberikan strategi, ikut serta dalam menggali parit (Khandaq), mengikat perut beliau ﷺ karena rasa lapar, berdoa kepada Allah ﷻ, bertawakkal kepada Allah, berbaik sangka kepada Allah, mengerjakan salat malam pada saat peristiwa perang Khandaq, dan banyak contoh-contoh kebaikan lainnya yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Oleh karenanya, dalam hal ini Allah ﷻ memerintahkan orang-orang beriman untuk meneladani Nabi Muhammad ﷺ.
لَكُمْ ‘bagi kalian’, yang dimaksud kalian adalah orang-orang beriman seluruhnya. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
يَسْأَلُونَ عَنْ أَنْبَائِكُمْ
“Orang-orang munafik menanyakan berita tentang kalian (orang-orang beriman).”
Meskipun ayat keteladanan ini asalnya turun berkaitan dengan teladan Nabi ﷺ di dalam peperangan, namun syariat memiliki kaidah yang berbunyi,
الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang menjadi acuan adalah keumuman lafal bukan kekhususan sebab.”
Oleh karenanya, para ulama membawakan ayat لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ sebagai lafal umum berkaitan dengan keteladanan Nabi ﷺ dalam segala hal.
Ahli usul mengatakan bahwa hukum asal apapun yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad ﷺ adalah disyariatkan bagi umatnya hingga datang dalil yang mengkhususkannya.([3])
Apa saja yang kita dapatkan dari hadits yang menerangkan tentang segala amalan-amalan yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad ﷺ, maka hukum asalnya juga disyariatkan bagi umatnya, sampai ada dalil yang menunjukkan tentang kekhususan bagi Nabi Muhammad ﷺ, seperti Nabi Muhammad ﷺ memiliki istri lebih dari empat wanita, maka sejatinya hukum tersebut dikhususkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Begitu juga dengan seorang wanita yang ingin dinikahi Nabi Muhammad ﷺ tanpa ada mahar, maka ini juga termasuk kekhususan beliau ﷺ. Berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 50)
Adapun jika tidak ada dalil yang mengkhususkannya, maka kembali kepada hukum asal bahwa semua yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad ﷺ adalah sunah bagi umatnya, berdasarkan firman Allah ﷻ,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
Allah ﷻ mendatangkan sifat kerasulan sebagai ‘illah/sebab, artinya Nabi Muhammad ﷺ menjadi sosok uswah yang baik, karena beliau adalah utusan Allah ﷻ. Oleh karenanya, amalan apa pun yang dikerjakan oleh beliau ﷺ adalah sunah.
Para ulama khilaf, apakah hukum asal menjadikan Nabi Muhammad ﷺ sebagai uswah wajib atau sunah?
Imam Al-Qurthubi menyebutkan bahwa pendapat pertama adalah wajib hingga ada dalil yang membawakannya kepada sunah. Pendapat kedua adalah sunah hingga ada dalil yang membawakannya kepada hukum wajib.([4])
Yang benar adalah -wallahu a’lam- dibedakan antara perkataan (أَقْوَالُ) Nabi ﷺ dengan perbuatan (أَفْعَالُ) Nabi ﷺ. Bentuk perkataan Nabi Muhammad ﷺ ada yang berbentuk perintah, contohnya: ‘Kerjakanlah!’, atau berbentuk larangan, seperti: ‘Janganlah melakukannya!’. Jika perkataan beliau dalam bentuk perintah, maka hukum asalnya adalah wajib hingga ada qorinah (indikasi) yang merubahnya menjadi mustahab (tidak wajib). Jika perkataan beliau dalam bentuk larangan, maka hukum asalnya adalah haram hingga ada qorinah (indikasi) yang menunjukan bahwa larangan tersebut hanya makruh tidak sampai haram.
Adapun hukum asal perbuatan Nabi Muhammad ﷺ adalah sunah, sampai ada qarinah yang menunjukkan hukum tersebut berubah menjadi wajib. Contohnya perbuatan Nabi ﷺ merupakan penjelasan dari perintah Nabi ﷺ yang wajib, maka perbuatan tersebut adalah wajib.
Jika kita memperhatikan dengan baik dari contoh Nabi Muhammad ﷺ, maka kita akan tahu betapa menakjubkannya agama Islam. Ketika Allah ﷻ menjelaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah uswah yang baik, ternyata beliau ﷺ memberikan contoh di dalam segala hal. Rasulullah ﷺ telah memberikan contoh kebaikan di dalam setiap sisi kehidupan manusia, baik dalam kehidupan rumah tangga, ketika beliau ﷺ menjadi kepala negara, ketika posisi beliau ﷺ sebagai seorang sahabat, sikap beliau ﷺ ketika sakit atau mengalami musibah, ketika istri atau anak-anak beliau meninggal dunia, adab beliau ketika tidur atau makan, bagaimana ibadah beliau, bagaimana beliau menghadapi musuh-musuhnya baik di dalam peperangan maupun di luar peperangan, bagaimana beliau menghadapi orang-orang Yahudi yang berada di Madinah dan segala hal yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Dan kita sebagai orang yang beriman sudah seharusnya mencontoh beliau di dalam segala hal.
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata,
إِنِ اسْتَطَعْتَ أَلَّا تَحُكَّ رَأْسَكَ إِلَّا بِأَثَرٍ؛ فَافْعَلْ
“Jika engkau mampu menggaruk kepalamu sesuai dengan dalil, maka lakukanlah.”([5])
Artinya adalah amalan kebaikan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ sangat banyak. Tentu saja, ini tidak bisa ditemukan di dalam ajaran agama-agama lain. Sungguh benar Allah ﷻ berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
Dalam hal ini Allah ﷻ telah membuat skenario tentang kehidupan Nabi Muhammad ﷺ dengan skenario yang lengkap, baik dari masa kecil hingga beliau ﷺ wafat. Semua yang dibutuhkan oleh masyarakat Islam sudah ada pada amalan-amalan yang telah dikerjakan dan disabdakan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Bahkan, dalam hal berhubungan dengan musuh, baik dalam keadaan berperang, mengirim utusan atau damai, semuanya Nabi Muhammad ﷺ telah memberikan uswah yang baik bagi umatnya. Semuanya telah lengkap datang dari Allah ﷻ.
Firman Allah ﷻ,
لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
“(Yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan (kedatangan) hari Kiamat.”
Menurut kaidah bahasa Arab, lafal لِمَنْ berkedudukan sebagai badal yang menggantikan لَكُمْ,([6]) sehingga ayat tersebut memiliki makna sebagai berikut:
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu orang yang mengharap pahala dari Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.
يَرْجُو اللَّهَ ‘mengharap Allah’ maksudnya adalah mengharap pahala dari Allah ﷻ. وَالْيَوْمَ الْآخِرَ ‘ganjaran pada hari akhirat’. Hari itu disebut dengan الْآخِرَ, karena saat itu adalah tahap terakhir dari seluruh kehidupan dan saat itu merupakan hari terakhir, di mana tidak ada hari setelahnya.
Hari-hari di dunia, selalu ada hari-hari yang datang setelahnya. Selama ada pagi, siang, sore dan malam, maka akan ada hari yang datang setelahnya. Namun, pada hari kiamat tidak ada hari setelahnya. Hari-hari di dunia telah selesai dan berakhir, tidak ada matahari, rembulan maupun bintang. Allah ﷻ berfirman,
وَجُمِعَ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ
“Lalu matahari dan bulan dikumpulkan.” (QS. Al-Qiyamah: 9)
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ يُكَوَّرَانِ فِي النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya matahari dan rembulan digulung di neraka pada hari kiamat.”([7])
Pada hari itu tidak ada hari lagi setelahnya, sedangkan hari itu tidak berujung.
Iman kepada Allah ﷻ sering digandengkan dengan hari akhir. Sebagaimana disebutkan di dalam banyak ayat yang di antaranya adalah firman Allah ﷻ,
ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. Al-Baqarah: 232)
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. At-Taubah: 18)
Kenapa Allah ﷻ menggandengkan iman kepada Allah dan hari akhir di dalam banyak ayat? Karena beriman dengan hari akhirat inilah yang memotivasi banyak orang untuk beramal saleh dan meninggalkan kemaksiatan. Barang siapa yang beriman kepada hari akhir dengan keimanan yang kuat, maka semestinya baginya untuk banyak melakukan amal saleh dan berani meninggalkan kemaksiatan. Tidaklah dia malas dalam beribadah dan melakukan banyak pelanggaran-pelanggaran, kecuali karena imannya kepada hari akhirat -secara hakikat- sangat kurang.
Bisa saja secara teori keimanannya sangat luar biasa, dia banyak menghafal Al-Quran, mengerti tentang perincian surga dan neraka dan kejadian-kejadian hari akhir lainnya. Namun secara hakikat, iman yang berada di hatinya sangat lemah dan kurang, karena dia telah berani melakukan kemaksiatan. Sejauh mana imannya berkurang, maka sejauh itu pula dia berani melakukan kemaksiatan.
Firman Allah ﷻ,
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Dan yang banyak mengingat Allah.”
Lafal كَثِيرًا kedudukannya sebagai maful mutlak, dengan makna ذِكْرًا كَثِيرًا‘banyak mengingat Allah.’ Zikir yang disebutkan di dalam ayat ini bersifat umum. Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa semua perkara yang mendekatkan diri seseorang kepada Allah ﷻ adalah zikir. Zikir bukan hanya mengucapkan tasbih, takbir, tahlil dan lain sebagainya. Bahkan, semua hal yang mendekatkan diri seseorang kepada Allah ﷻ adalah zikir.([8])
Oleh karenanya, Allah ﷻ berfirman,
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali ‘Imran: 191)
Mengingat Allah ﷻ bisa dengan menuntut ilmu dan bisa juga dengan merenungkan tentang penciptaan langit dan bumi dan ayat-ayat Allah ﷻ yang lain. Barang siapa yang melihat matahari atau rembulan di mana selalu berputar atau berotasi sesuai dengan orbitnya, tidak terlambat atau terlalu cepat barang sedetikpun, melihat bagaimana agungnya penciptaan Allah ﷻ, sejatinya semua ini sama saja dengan berzikir dan mengingat Allah ﷻ.
Barang siapa yang mempelajari ilmu agama, ayat-ayat Allah ﷻ dan hadits, sejatinya dia telah berzikir. Mengucapkan subhanallah, alhamdulillah dan lain sebagainya juga termasuk dari berzikir. Menuntut ilmu juga termasuk berzikir kepada Allah ﷻ. Menghadiri majelis ilmu atau pengajian termasuk juga ke dalam berzikir kepada Allah ﷻ. Oleh karenanya Allah ﷻ berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Ahli zikir yang dimaksud di dalam ayat tersebut adalah ahli ilmu, karena ilmu tentang agama adalah zikir kepada Allah ﷻ.([9]) Oleh karenanya, semua perkara yang mendekatkan diri seseorang kepada Allah ﷻ adalah zikir.
Di dalam kondisi apa pun, hendaknya seseorang selalu ingat kepada Allah ﷻ. Janganlah memahami bahwa zikir itu hanya sebatas mengucapkan tasbih, hamdalah, takbir, tahlil dan lain sebagainya. Meskipun itu semua termasuk ke dalam zikir, tetapi sejatinya zikir kepada Allah ﷻ banyak sekali macam-macamnya.
__________________
Footnote :
([1]) Tafsir al-Alusi, (11/164) dan Tafsir al-‘Utsaimin, (33/161).
([2]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi, (14/155).
([3]) Lihat: Tafsir as-Sa’di, (1/660).
([4]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi, (14/156).
([5]) Al-Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adab As-Sami, karya Al-Khatib Al-Baghdadi, (1/142).
([6]) Lihat: At-Tahrir wa at-Tanwir, (21/303).
([7]) Al-Ibanah Al-Kubra, karya Ibnu Batthah, (1/239).