86. فَرَجَعَ مُوسَىٰٓ إِلَىٰ قَوْمِهِۦ غَضْبَٰنَ أَسِفًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ أَلَمْ يَعِدْكُمْ رَبُّكُمْ وَعْدًا حَسَنًا ۚ أَفَطَالَ عَلَيْكُمُ ٱلْعَهْدُ أَمْ أَرَدتُّمْ أَن يَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبٌ مِّن رَّبِّكُمْ فَأَخْلَفْتُم مَّوْعِدِى
fa raja’a mụsā ilā qaumihī gaḍbāna asifā, qāla yā qaumi a lam ya’idkum rabbukum wa’dan ḥasanā, a fa ṭāla ‘alaikumul-‘ahdu am arattum ay yaḥilla ‘alaikum gaḍabum mir rabbikum fa akhlaftum mau’idī
86. Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa: “Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, dan kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?”.
Tafsir:
Mengetahui keadaan kaumnya dari Allah ﷻ, Nabi Musa ‘Alaihissalam pun segera beranjak pulang kembali kepada mereka. Betapa terkejutnya beliau AS ketika melihat perbuatan mereka. Kemurkaan dan kesedihan berkecamuk menjadi satu dalam hati Nabi Musa ‘Alaihissalam saat itu. Beliau AS murka melihat Bani Israil yang dengan lancangnya melakukan kesyirikan sepeninggalnya, sekaligus bersedih karena teringat bahwa Bani Israil adalah kaumnya sendiri, yang selama ini beliau AS didik, sayangi, dan lindungi([1]). Namun para ulama mengatakan, bahwa konteks ayat-ayat yang mengisahkan momen ini menunjukkan bahwa kemarahan dan kemurkaan ketika itu lebih mendominasi hati Nabi Musa ‘Alaihissalam, dibandingkan kesedihan.([2]) Wallahu a’lam.
Seakan Nabi Musa ‘Alaihissalam berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, bukankah Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang baik? Bukankah Allah ﷻ telah menjanjikan akan menurunkan syari’at Taurat kepada kalian melalui Nabi Musa ‘Alaihissalam, serta menjanjikan Surga bagi mereka yang taat kepadaNya di antara kalian?! Sungguh saya sangat heran melihat kalian! Apa yang terjadi dengan kalian?! Apakah kalian merasa janji-janji itu terlalu lama bagi kalian?!”
Terdapat beberapa tafsiran terkait pertanyaan Nabi Musa ‘Alaihissalam, “…apakah kalian merasa janji-janji itu terlalu lama bagi kalian?!”
Pertama: Maksudnya adalah, “Apakah kalian tidak sabar menunggu pemenuhan janji tersebut dari Allah, sehingga kalian malah memilih untuk menyimpang dan berbuat kesyirikan?!”([3])
Padahal perkaranya tidak demikian, karena Allah ﷻ telah memenuhi janjinya yaitu memberikan kepada mereka taurat dan syari’at melalui Nabi Musa ‘Alaihissalam.
Kedua: Maksudnya adalah, “Apakah kepergianku terlalu lama, sehingga membuat kalian begitu cepat menyimpang?!”
Padahal kepergian Nabi Musa ‘Alaihissalam dari mereka untuk pergi ke bukit Tursina hanyalah sebentar.
Ketiga: Maksudnya adalah, “Apakah sedemikian jauhnya kalian dari masa kenabian (yaitu antara zaman kenabian Nabi Yusuf dan Nabi Musa ‘Alaihissalam), sehingga kalian tidak mengetahui apa-apa tentang kenabian dan pengaruhnya, maka dengan mudahnya kalian terjatuh pada kerusakan seperti ini?!”
Padahal perkaranya tidak demikian, karena jelas-jelas Nabi Musa ‘Alaihissalam sudah bersama mereka semenjak waktu yang lama. Mereka telah menerima pengajaran langsung dari beliau AS selama bertahun-tahun.([4])
Pada dasarnya mereka tidak punya alasan apa pun untuk berpaling dan malah berbuat kesyirikan. Karenanya Nabi Musa ‘Alaihissalam menutup ucapannya dengan mengatakan, “Atau kah kalian ingin kemurkaan Allah ﷻ menimpa kalian?!” Sebagian ulama mengatakan bahwa ucapan di atas maksudnya adalah, “Bahkan yang sebenarnya kalian inginkan adalah kemarahan Allah yang akan menimpa kalian!” ([5])
Nabi Musa ‘Alaihissalam menyebut bahwa Bani Israil telah menyelisihi janji mereka kepadanya. Sebagian ulama mengatakan bahwa janji tersebut adalah janji untuk menyusul beliau AS menuju bukit Tursina, dan sebagian lagi mengatakan bahwa yang dimaksud adalah janji mereka untuk tetap istikamah selama kepergian beliau AS.([6])
Namun seperti biasa, Bani Israil pun mencari-cari alasan untuk menjawab pertanyaan Nabi Musa ‘Alaihissalam.
_______
Footnote:
([1]) Lihat at-Tahrir wa at-Tanwir 9/114
([2]) Sebagaimana dalam firman Allah,
﴿وَأَلْقَى الْأَلْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ﴾
“Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya.” (QS Al-A’rof: 150)
(Lihat Adhwaaul Bayaan, Asy-Syingqithy 4/79-80)
([3]) Lihat Tafsir as-Sa’di hal 511
([4]) Lihat Tafsir as-Sa’di hal 511
([5]) Lihat at-Tahrir wa at-Tanwir, Ibnu Ásyur 16/283
([6]) Lihat kedua tafsiran di atas di Tafsir al-Qurthubi 11/234