16. قُل لَّن يَنفَعَكُمُ ٱلْفِرَارُ إِن فَرَرْتُم مِّنَ ٱلْمَوْتِ أَوِ ٱلْقَتْلِ وَإِذًا لَّا تُمَتَّعُونَ إِلَّا قَلِيلًا
qul lay yanfa’akumul-firāru in farartum minal-mauti awil-qatli wa iżal lā tumatta’ụna illā qalīlā
16. Katakanlah: “Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja”.
Tafsir :
Ayat ini berbicara tentang orang-orang munafik. Allah ﷻ memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk mengatakan kepada mereka bahwa larinya mereka dari perang Ahzab tidak akan bermanfaat. Karena bagaimanapun mereka akan merasakan kematian. Walaupun mereka selamat dari kematian, maka sesungguhnya mereka hanya akan menikmati hidup di dunia ini hanya sedikit saja.
Allah ﷻ selalu menyifati nikmat dunia dengan sedikit. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat ini. Juga seperti firman Allah ﷻ,
﴿ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا
“Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” (QS. Al-Baqarah: 41)
Allah ﷻ berfirman,
﴿ مَتَاعٌ قَلِيلٌ ﴾
“(Dunia) hanyalah kesenangan yang sedikit.” (QS. Ali Imran: 197)
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
وَمَوْضِعُ سَوْطِ أَحَدِكُمْ مِنَ الجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا
“Tempat cemeti seorang diantara engkau semua dari surga itu lebih baik daripada dunia dan segala sesuatu yang ada di atasnya.” ([1])
Semua yang di surga merupakan keindahan dan di dalamnya terdapat kenikmatan yang sempurna. Berbeda dengan dunia, seindah apa pun dunia, Allah ﷻ tetap menyifatinya dengan sesuatu yang sedikit. Sedikit dari sisi hakikatnya dan hanya sebentar jangka waktu menikmatinya.
Lari dari medan perang merupakan dosa besar. Orang-orang munafik lari darinya dalam rangka mencari kenikmatan dunia yang sedikit dan meninggalkan kenikmatan surga yang abadi. Itulah bodohnya mereka.
Meskipun pada dasarnya takut kepada kematian, takut kepada musuh dalam peperangan adalah takut thabi’i (yang merupakan tabi’at manusia), seperti halnya takut kepada singa, macan, atau ketinggian, akan tetapi, takut tersebut tidak boleh menyebabkan seseorang meninggalkan perkara syar’i.
Ketakutannya orang-orang munafik adalah takut yang menjadikan mereka meninggalkan kewajiban berperang. Mereka menempuh sebab yang diharamkan oleh Allah ﷻ untuk menghindari kematian dengan cara lari dari medan pertempuran.
Seandainya seseorang lari dari keburukan dengan metode yang syari maka tidak mengapa. Seperti Nabi Musa ‘alaihissalam yang kabur dari kejaran bala tentara Firaun, Allah ﷻ berfirman,
﴿ فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ ﴾
“Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut nan waspada (kalau ada yang menyusul atau menangkapnya).” (QS. Al-Qasas: 21)
Maka ini tidak mengapa karena beliau tidak diwajibkan untuk berjihad ketika itu. Bahkan Allah memerintahkan Nabi Musa untuk lari membawa bani Isra’il keluar dari Mesir untuk menyelamatkan diri mereka dari Fir’aun dan bala tentaranya.
Adapun rasa takut yang menyebabkan seseorang melanggar syariat maka itu hukumnya haram. Contoh lainnya, seperti seorang wanita yang takut diejek jika berjilbab. Takut diejek merupakan perbuatan yang diperbolehkan. Namun, jika takut tersebut menyebabkannya melanggar syariat dengan tidak berjilbab, maka rasa takut ini harus dilawan.
_________________
Footnote :