44. فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
fa qụlā lahụ qaulal layyinal la’allahụ yatażakkaru au yakhsyā
44. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
Tafsir:
Perlu diketahui bahwa kata (لَعَلَّ) dalam ayat ini dan semacamnya adalah bermakna (كَيْ) ‘agar’, bukan (التَّرَاجِي) pengharapan([1]). Jadi maknanya adalah, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya Fir’aun dengan lemah lembut, agar dia sadar atau takut.”, bukan “… semoga dia tersadar atau takut.” Penggunaan semacam ini sangat banyak ditemukan di dalam Al-Quran, seperti,
﴿يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)
Demikian juga,
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Dan juga,
﴿إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ﴾
“Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Qur’an berbahasa Arab, agar kamu mengerti.” (QS. Yusuf: 2)
Perhatikan pula bagaimana Allah ﷻ tidak memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk berkata kasar kepada Fir’aun, meskipun Fir’aun adala sosok yang sudah kita ketahui bersama.
Suatu ketika, Harun Ar-Rasyid didatangi oleh seorang ahli zuhud, yang tiba-tiba berkata kepadanya dengan nada tinggi, “Wahai Harun, bertakwalah kepada Allah!”
Mendengar ucapan tersebut, Harun pun membawanya kes suatu ruangan untuk berbicara empat mata dengannya. Harun berkata, “Wahai saudara, jawablah dengan jujur, apakah aku lebih buruk dari Fir’aun?” Orang itu berkata, “Tentu Fir’aun yang lebih buruk.” Lalu Harun berkata, “Baiklah, apakah engkau lebih baik dari Musa?” Orang zuhud itu pun menjawab, “Tentu Musa lebih baik.”
Harun pun berkata, “Tidakkah engkau tahu, bahwasanya ketika mengutus Musa dan saudaranya untuk mendakwahi Fir’aun, Allah SWT memerintahkan keduanya untuk berkata dengan lemah lembut kepada Fir’aun?! Sungguh engkau telah menghunjamkan padaku perkataan yang sangat kasar. Ketahuilah bahwa sikapmu itu bukanlah adab (yang diajarkan) Allah, dan bukan pula akhlaknya orang saleh.”
Orang zuhud itu pun lantas berkata, “Aku memang telah salah, dan aku memohon ampun kepada Allah.” Harun pun berkata, “Semoga Allah mengampunimu.” Lalu Harun memerintahkan agar orang ini diberi hadiah sebanyak 20 ribu dirham, akan tetapi orang tersebut enggan mengambilnya.([2])
Hukum asal dalam memberikan nasehat adalah berlemah lembut, baik di dalam sikap maupun perkataan. Memang terkadang diperlukan sikap yang tegas dalam berdakwah, namun ia memiliki momen-momen tertentu dan seharusnya bukanlah menjadi langkah awal dalam berdakwah. Sikap seorang da’i yang cenderung keras dan kasar, suka nyinyir dan menyindir, hobi menjatuhkan dan merendahkan, selalu mencaci dan memaki, adalah faktor utama tertolaknya dakwah dan larinya manusia dari kebenaran. Allah ﷻ berfirman,
﴿فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ﴾
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali ‘Imran: 159)
Kemudian Allah berfirman,
﴿لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى﴾
“…agar dia (Fir’aun) tersadar atau takut.”
Yakni, sebenarnya apa yang akan disampaikan kepada Fir’aun bukanlah hal yang benar-benar baru baginya. Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS diutus kepadanya, agar ia kembali menyadari bahwa dia adalah manusia biasa, yang seringkali keinginannya tidak bisa terpenuhi, yang seringkali dalam keadaan lemah tak berdaya, yang dahulu lahir sebagai makhluk lemah dari rahim ibunya, yang terkadang sakit dan selalu butuh makan dan istirahat, yang harus membuang hajatnya, dan seterusnya. Agar ia sadar, bahwa dia sama sekali bukanlah Tuhan seperti yang diakuinya.
Terkadang yang harus dilakukan oleh seorang da’i bukanlah mendikte para audiensnya, melainkan kembali menyadarkan mereka untuk kembali kepada jalan kebenaran yang dulu pernah mereka lalui, dengan penuh kelemah lembutan tentunya.([3])
Ayat ini juga merupakan bukti bahwa Allah ﷻ adalah Maha Pengasih nan Maha Penyayang. Kalau menuruti perasaan manusia, seharusnya orang sekafir dan sebengis Fir’aun tidak perlu lagi dikirimkan seorang juru dakwah padanya, akan tetapi langsung saja dibenamkan ke dalam bumi. Dia sudah melakukan perbuatan paling buruk, dengan mengakui dirinya sebagai tuhan, namun Allah ﷻ tetap mengirimkan kepadanya Nabi Musa dan Nabi Harun, serta memerintahkan keduanya untuk mendakwahinya dengan lemah lembut. Demikianlah kasih sayang Allah SWT kepada para hamba, namun seringkali mereka tidak menyadarinya dan tidak mensyukurinya.
Oleh karenanya, seorang mukmin seharusnya mengambil ibrah dari sifat Allah SWT yang mulia ini. Hendaknya ia berusaha berlapang dada dan memberikan uzur atas kesalahan orang lain. Dahulukanlah prasangka baik kepada saudara anda sesama muslim yang melakukan kesalahan.
Mengapa Nabi Musa AS diperintahkan untuk mendakwahi Fir’aun dengan lemah lembut?
Di antara faedah yang disebutkan oleh para ulama adalah:
- Jika Nabi Musa AS berkata kasar, khawatir Fir’aun yang sudah bengis akan bertambah bengis lagi, sehingga berdampak sangat buruk kepada Nabi Musa AS dan umatnya.
- Apabila Fir’aun sudah tersinggung dan marah terlebih dahulu, maka kebenaran akan semakin sulit untuk diterima olehnya. Dan juga, agar hujjah itu bisa tegak atas Fir’aun, sehingga tiada lagi alasan dan uzur baginya pada Hari Kiamat kelak.
- Sebagai balas budi duniawi Fir’aun, sebagai ayah angkat Musa AS dahulu.
Para ulama menambahkan, bahwa jika demikian sikap seorang anak kepada ayah angkatnya, maka bagaimana lagi seharusnya sikapnya kepada ayah kandungnya, terlebih lagi kepada ibu kandungnya?!
_______
Footnote
([1]) Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari di dalam tafsirnya (18/313)
([2]) Al-Muntadzom fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam, Ibnul Jauzi 8/328
([3]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir karya Thahir ibnu ‘Asyur 16/226