19. فَقَالُوا۟ رَبَّنَا بَٰعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا وَظَلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ فَجَعَلْنَٰهُمْ أَحَادِيثَ وَمَزَّقْنَٰهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
fa qālụ rabbanā bā’id baina asfārinā wa ẓalamū anfusahum fa ja’alnāhum aḥādīṡa wa mazzaqnāhum kulla mumazzaq, inna fī żālika la`āyātil likulli ṣabbārin syakụr
19. Maka mereka berkata: “Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami”, dan mereka menganiaya diri mereka sendiri; maka Kami jadikan mereka buah mulut dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur.
Tafsir :
Kaum Saba’ tidak beryukur dengan kenikmatan yang Allah ﷻ berikan kepada mereka. Mereka tidak puas dengan apa yang Allah ﷻ berikan kepada mereka. Mereka tidak puas dengan dekatnya jarak negeri mereka dengan negeri yang diberkahi. Mereka tidak puas dengan jarak perjalanan yang ditempuh dengan waktu yang cepat. Mereka membandingkan diri mereka dengan nenek moyang mereka dahulu, di mana mereka kuat berjalan dengan jarak yang jauh di tengah padang pasir yang luas dan menempuh perjalanan hingga berhari-hari.
Perbuatan mereka tentu sangat aneh. Sikap mereka sama halnya dengan sikap orang-orang Yahudi, di mana mereka dahulu diberikan nikmat berupa makanan lezat yang turun dari langit berupa manna (makan yang langsung turun dari langit) dan salwa (daging burung yang siap untuk dimakan). Akan tetapi, mereka mengeluh kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, sebagaimana Allah ﷻ kisahkan di dalam firman-Nya,
يَا مُوسَى لَنْ نَصْبِرَ عَلَى طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ مِنْ بَقْلِهَا وَقِثَّائِهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ
“Wahai Musa! Kami tidak tahan hanya (makan) dengan satu macam makanan saja, maka mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan bumi, seperti: sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah. Dia (Musa) menjawab, “Apakah kamu meminta sesuatu yang buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik? Pergilah ke suatu kota, pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta.” (QS. Al-Baqarah: 61)
Inilah sikap orang-orang Yahudi, sudah diberikan kenikmatan yang besar, tetapi tidak puas dan meminta kenikmatan yang lain. Seperti itu pula yang dahulu dilakukan oleh orang-orang Saba’. Oleh karenanya, kita heran dengan sikap kaum yang mendapatkan kenikmatan semacam ini, sehingga ada ahli tafsir yang menakwilkannya bukan dengan tafsir secara lahir. Secara lahir mereka berkata,
رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا
“Ya Tuhan kami, jauhkanlah jarak perjalanan kami.”
Perkataan mereka menggambarkan bahwa mereka tidak puas dan mereka merasa rendah jika membandingkan diri mereka dengan kaum sebelum mereka. Perkataan mereka ini menunjukkan bahwa mereka tidak bersyukur atas nikmat yang telah Allah ﷻ berikan kepada mereka. ([1])
Thahir Ibnu ‘Asyur rahimahullah menafsirkan bahwa sejatinya mereka hendak menantang orang-orang saleh atau nabi-nabi yang diutus kepada mereka. Nabi-nabi mereka mengingatkan agar mereka banyak bersyukur kepada Allah ﷻ, karena telah diberikan kenikmatan-kenikmatan dengan jarak negeri yang berdekatan. Namun, mereka menolak dan merasa tidak butuh dengan kenikmatan tersebut. Bahkan, mereka menantang nabi-nabi mereka agar Allah ﷻ membuat jauh jarak negeri mereka. Inilah yang dirajihkan oleh Thahir Ibnu ‘Asyur rahimahullah.
Sebagian ahli tafsir menyebutkan qiraah yang lain pada ayat ini, sehingga menjelaskan bahwa mereka berkata,
رَبَّنَا بَاعَدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا
“Tuhan kami telah menjauhkan jarak perjalanan kami.”
Seakan-akan mereka mengatakan, ‘Wahai Rabb, jarak perjalanan menuju negeri tertentu sangat jauh, dekatkanlah lagi kepada kami’.
Ada pula sebagian ahli tafsir yang berusaha mengkompromikan dua qiraah tersebut dengan menjelaskan bahwa pada awalnya kaum Saba’ meminta untuk dijauhkan jarak negeri mereka, maka Allah ﷻ pun menjauhkannnya. Ketika mereka menempuh negeri tersebut dengan jarak yang jauh dan kelelahan, akhirnya mereka meminta agar Allah ﷻ mendekatkan lagi jarak negeri mereka. ([2])
Dalam banyak tafsir tersebut menunjukkan bahwa sikap mereka menggambarkan tidak adanya rasa syukur mereka kepada Allah ﷻ dan mereka telah menzalimi diri mereka sendiri.
Firman Allah ﷻ,
فَجَعَلْنَاهُمْ أَحَادِيثَ
“Maka Kami jadikan mereka bahan pembicaraan.”
Al-Alusi rahimahullah menyebutkan bahwa lafal أَحَادِيثَ bukanlah bentuk jamak dari lafal حَدِيثَ, tetapi dari lafal أُحْدُوْثَة ‘pembicaraan yang disertai dengan keanehan’. ([3])
Akhirnya kaum Saba’ menjadi buah bibir orang-orang setelah mereka yang bercerita tentang mereka. Sebagaimana dengan kita yang sekarang sedang bercerita tentang mereka dengan dipenuhi rasa aneh terhadap peristiwa yang terjadi pada diri mereka. Sungguh satu hal yang aneh, di mana mereka meminta dijauhkan jarak negeri mereka, setelah itu mereka meminta agar didekatkan kembali.
Firman Allah ﷻ,
وَمَزَّقْنَاهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ
“Dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya.”
Kaum Saba’ tercerai berai dan berpencar, sehingga kekuatan diri mereka hilang dari negeri tersebut.
Firman Allah ﷻ,
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
“Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sabar dan bersyukur.”
Allah ﷻ mengingatkan kepada kita agar jangan seperti kaum Saba’ yang enggan untuk bersabar dan bersyukur terhadap nikmat Allah ﷻ. Mereka tidak bersyukur dengan menggunakan nikmat tersebut untuk taat kepada Allah ﷻ. Namun sebaliknya, mereka menggunakan kenikmatan tersebut hal-hal yang dilarang oleh Allah ﷻ.
Sebagian ulama menafsirkan bahwa mereka tidak bersabar untuk melakukan kemaksiatan. Mereka tidak sabar dengan kenikmatan tersebut, sehingga menjadikan mereka sombong. Seharusnya mereka bersabar dengan kenikmatan tersebut dan tidak membuatnya sombong. Allah ﷻ memberikan nikmat bukan untuk disombongkan. Hendaknya mereka menahan diri mereka terhadap nikmat tersebut dari perbuatan sombong.
Sebagian ulama yang lain menafsirkan bahwa mereka tidak bersabar. Karena setelah diberi hukuman oleh Allah ﷻ berupa hancurnya bendungan mereka, seharusnya mereka bersabar dan kembali kepada Allah ﷻ, agar Allah ﷻ mengembalikan kenikmatan tersebut. Akan tetapi, mereka tidak bersabar, sehingga mereka meninggalkan negeri mereka.([4])
Hendaknya kita mengambil pelajaran dari kisah tersebut dengan menjadi orang yang bersabar ketika diberi musibah dan hamba yang sangat bersyukur ketika diberi kenikmatan oleh Allah ﷻ.
________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir al-Alusi, (11/304).
([2]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi, (14/290-291).
([3]) Tafsir al-Alusi, (11/305).
([4]) Lihat: Tafsir al-Alusi, (11/307) dan At-Tahrir wa at-Tanwir, (22/181).