6. وَيَرَى ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ هُوَ ٱلْحَقَّ وَيَهْدِىٓ إِلَىٰ صِرَٰطِ ٱلْعَزِيزِ ٱلْحَمِيدِ
wa yarallażīna ụtul-‘ilmallażī unzila ilaika mir rabbika huwal-ḥaqqa wa yahdī ilā ṣirāṭil-‘azīzil-ḥamīd
6. Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.
Tafsir :
Ayat ini merupakan ayat yang diperselisihkan oleh para ulama apakah ia termasuk Makkiyah atau Madaniah. Pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa secara umum surat saba’ adalah surat Makkiyah yang mana di antara ciri-ciri surat Makkiyah adalah disebutkan tentang pembangkangan terhadap hari kebangkitan, Al-Qur’an dan kerasulan Nabi Muhammad ﷺ.([1])
Sebagian mufasir yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan أُوتُوا الْعِلْمَ ‘orang-orang yang diberi ilmu’ di sini adalah orang-orang yang beriman dari kalangan Ahli Kitab, seperti Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya. Maka mereka mengambil kesimpulan bahwa ayat ini adalah Madaniah karena Abdullah bin Salam baru masuk Islam ketika Nabi Muhammad ﷺ berhijrah.
Adapun ulama yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang diberi ilmu’ pada ayat ini sifatnya umum, mencakup para sahabat Nabi Muhammad ﷺ, para ulama serta ahli kitab yang masuk Islam seperti Abdullah bin Salam dan yang lainnya. Sehingga status ayat ini adalah Makkiyah, dan ini merupakan pendapat yang lebih kuat karena tidak adanya dalil yang mengkhususkan bahwa أُوتُوا الْعِلْمَ adalah Abdullah bin Salam, wallahu a’lam.([2])
Pada ayat ini Allah ﷻ berhujah dengan membandingkan kondisi orang-orang yang berilmu bahwasanya mereka memilih untuk beriman kepada Allah dan meyakini kebenaran Al-Qur’an. Hal yang sama juga pernah disebutkan oleh Allah ﷻ ketika berfirman,
﴿شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِۙ قَائِمًا بِالْقِسْطِۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ﴾
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imram: 18)
Di sini Allah menjadikan persaksikan para ulama untuk menguatkan tentang agungnya tauhid. Dengan menjadikan orang-orang yang berilmu sebagai tolak ukur maka akan semakin menguatkan hujah akan kebenaran agama Allah ﷻ dan apa yang diturunkan oleh-Nya.
Di antara faedah yang disebutkan oleh syekh Utsaimin ketika menjelaskan kata أُوتُوا الْعِلْمَ yaitu ‘orang-orang yang diberi ilmu’ (yaitu diberi ilmu oleh Allah) bahwa hendaknya orang-orang yang berilmu tidak merasa ujub dengan ilmunya. Hendaknya mereka sadar bahwasanya ilmu yang mereka dapatkan merupakan karunia dari Allah ﷻ.([3])
Firman Allah ﷻ, هُوَ الْحَقَّ ‘itulah yang benar’ , terdapat padanya dua pendapat sebagaimana dijelaskan oleh Thahir bin Asyur dalam tafsirnya. Pendapat pertama menyebutkan bahwa pembatasan kebenaran hanya ada pada Al-Qur’an di datangkan dengan tujuan القَصْرُ الإِضَافِي yaitu bahwa Al-Qur’an lah yang benar ditinjau dari pernyataan batil kaum Quraisy. Pendapat kedua menyebutkan bahwa pembatasan tersebut adalah القَصْرُ الْحَقِيْقِيُّ yaitu hanya Al-Qur’an saja yang kebenarannya datang dari segala sisi, tidak ada padanya kebatilan dan keraguan sama sekali. Lain halnya dengan kitab-kitab yang lain yang tercampur dengan kebatilan.([4])
Di antara alasan yang menjadikan para ahli ilmu menyatakan kebenaran Al-Qur’an dikarenakan kebenaran Al-Qur’an dapat ditinjau dari beberapa sisi, di antaranya ; karena Al-Qur’an dibawa oleh Muhammad ﷺ yang tatkala itu digelari sebagai Al-Amin dikarenakan kemuliaan akhlaknya yang tak pernah berbohong dan selalu amanah. Di tinjau dari sisi kandungannya, ternyata Al-Qur’an membenarkan kitab-kitab yang telah lalu dan sesuai dengan apa yang dikabarkan oleh kitab-kitab sebelumnya, inilah yang menjadikan sebagian ahli kitab masuk Islam. Dari sisi syariat yang dibawa oleh Al-Qur’an, tidak terdapat padanya kontradiksi, Al-Qur’an juga senantiasa menyeru kepada perbuatan baik seperti, silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga, keluarga, anak yatim, menganjurkan untuk bersedekah, berinfak dll. Al-Qur’an juga melarang perbuatan-perbuatan buruk seperti berzina, mencuri, berbohong, durhaka kepada orang tua dst. Dari beberapa sisi ini saja orang yang cerdas tentu tahu bahwa Al-Qur’an datang dengan membawa kebenaran.([5])
Firman Allah ﷻ, إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ ‘kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji’ di sini Allah ﷻ menjelaskan bahwasanya siapa saja yang menjalankan ajaran Al-Qur’an niscaya ia akan mendapatkan kejayaan dan akan menjadi pribadi yang terpuji karena ia telah menjalankan akhlak yang mulia dan meninggalkan akhlak yang buruk. Sebaliknya sejauh mana kita meninggalkan Al-Qur’an maka akan semakin rendah, terhina dan tidak bernilai.
_________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir (22/145)
([2]) Tafsir al-Utsaimin surat Saba’ hlm. 57-58, Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir (22/145)
([3]) Tafsir al-Utsaimin surat Saba’ hlm. 64