27. وَٱحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِى
waḥlul ‘uqdatam mil lisānī
27. dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku.
Tafsir:
Para ulama bersilang pendapat tentang apa yang dimaksud dengan kekakuan dalam lisan Nabi Musa AS ini, yaitu sebagai berikut:
Pertama: Nabi Musa AS memang mengalami kesulitan berbicara sejak lahir.([1])
Kedua: Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa suatu ketika Musa AS pernah digendong oleh Fir’aun. Ketika dalam gendongannya, Musa AS pun memukul dan menarik janggutnya. Fir’aun lantas marah dan berkata kepada istrinya, “Wahai Istriku, lihatlah tingkah anak ini! Kecilnya saja sudah seperti ini, kalau sudah dewasa pasti ia akan membunuhku!”
Asiah pun menjawab, “Wahai Fir’aun, dia hanya anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Ujilah ia jika kamu tidak percaya.”
Fir’aun pun benar-benar menguji ketidakmengertian Musa AS saat itu dengan menyodorkan batu permata dan bara api padanya. Musa AS kecil pun lebih tertarik pada nyala bara api yang menarik, ia lalu mengambilnya dan memakannya, sehingga terbakarlah lidah beliau AS. Melihat itu, Fir’aun pun kembali tenang dan percaya bahwa Musa AS memang layaknya anak kecil seusianya yang belum mengerti apa-apa.([2])
Riwayat ini sangatlah populer, namun ia tidak pernah diriwayatkan secara marfu’ dari Rasulullah ﷺ, dan kemungkinan besarnya sumber kisah ini adalah kabar Isra’iliyyat. Kesahihan kisah di atas juga patut diragukan, karena tidak disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an keterangan bahwa beliau adalah seorang yang gagap dalam berbicara.
Pendapat yang lebih kuat, adalah bahwa kekakuan berbicara itu disebabkan karena ketakutannya menghadapi Fir’aun. Sebagaimana orang pada umumnya takut tatkala bertemu dengan orang berkedudukan, terkadang bicaranya menjadi terbata-bata lantaran rasa gerogi atau takut.
Apakah kekakuan tersebut hilang secara sempurna atau hanya hilang sebagian?
Sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi Musa AS hanya meminta agar dihilangkan sebagian kekakuan tersebut, tidak seluruhnya. Karenanya beliau AS berdoa dengan menyebut bentuk tunggal (عُقْدَةً), bukan bentuk jamak(عُقَدًا). Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Katsir RH dan juga Al-Qurthubi RH([3]). Oleh karenanya Allah ﷻ menyebutkan salah satu sindiran Fir’aun kepada Nabi Musa AS adalah,
﴿أَمْ أَنَا خَيْرٌ مِنْ هَٰذَا الَّذِي هُوَ مَهِينٌ وَلَا يَكَادُ يُبِينُ﴾
“Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)?” (QS. Az-Zukhruf: 52)([4])
Ini menunjukkan bahwa ketika mendakwahi Fir’aun, masih ada kekakuan lisan Nabi Musa AS yang tersisa, yang akhirnya dijadikan bahan ejekan oleh Firaun. Ibnu Katsir RH([5]) menegaskan bahwa Nabi Musa AS hanya meminta agar sebagian dari kekakuan lisannya dihilangkan, sehingga pembicaraan dan ucapan beliau AS dapat dipahami dengan baik oleh Fir’aun dan kaumnya. Demikianlah kebiasaan para nabi, mereka tidak pernah meminta kepada Allah ﷻ kecuali apa yang sesuai dengan keperluan mereka.
Ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua, agar hendaknya kita tidak meminta sesuatu yang di luar keperluan kita. Sadarilah bahwa semakin banyak kenikmatan yang kita dapatkan, maka tanggung jawab dan kewajiban untuk bersyukur akan semakin besar pula. Sementara, kita yang lemah ini belum tentu bisa mensyukuri dan mempertanggung jawabkan semua itu dengan baik.
Footnote:
_______
([1]) Lihat: Tafsir Al-Alusi 8/497
([2]) Lihat Tafsir Ath-Thabari: 18/ 299 dan tafsir Al-Qurthubiy: 13/ 254.
([3]) Tafsir Ibnu Katsir 5/282