16. وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِۦ نَفْسُهُۥ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ ٱلْوَرِيدِ
wa laqad khalaqnal-insāna wa na’lamu mā tuwaswisu bihī nafsuh, wa naḥnu aqrabu ilaihi min ḥablil-warīd
16. Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.
Tafsir :
Terkait firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini yang menyebutkan bahwa Dia mengetahui apa yang dibisikkan dalam hati setiap manusia ini selaras dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (apa yang Dia ciptakan)?” (QS. Al-Mulk : 14)
Karena kita diciptakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, baik itu hati, mata, dan lisan, maka setiap gerak-gerik dari anggota tubuh kita tersebut diketahui oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan karena seluruh apa yang ada di alam semesta ini diciptakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, maka seluruh khabar-khabar tentang alam semesta juga diketahui oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An’am : 59)
Adapun firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa kata نَحْنُ dalam penggalan ayat ini maksudnya adalah malaikat dan bukan Dzat Allah Subhanahu wa ta’ala([1]). Dan ini juga telah dijelaskan oleh Syiakhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Sebelumnya, para Ahli Tafsir menyikapi tafsir ayat ini dengan dua metode,
Metode pertama mengartikan kata نَحْنُ sebagai Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga maknanya adalah Allah lebih dekat kepada hamba-Nya melebihi dekatnya urat leher seorang hamba. Akan tetapi metode ini juga memberikan dua kemungkinan, yaitu ‘Kami’ bisa bermakna Dzat Allah Subhanahu wa ta’ala atau bermakna ilmu Allah.
- Kemungkinan pertama, jika yang dimaksud adalah Dzat Allah, maka hal tersebut melazimkan pemahaman wahdatul wujud (bersatunya Tuhan dengan manusia). Maka jika demikian, tafsir yang menyebutkan bahwa ‘Kami’ itu adalah Dzat Allah Subhanahu wa ta’ala adalah tafsiran yang keliru.
- Kemungkinan kedua, jika yang dimaksud ‘Kami’ adalah ilmu Allah, artinya Allah Subhanahu wa ta’ala tahu segala hal yang terjadi pada diri seorang hamba, bahkan kedekatan ilmu Allah Subhanahu wa ta’ala tersebut lebih dekat daripada urat nadi seorang hamba. Penafsiran seperti inilah yang banyak dipilih oleh para Ahli Tafsir seperti Imam Al-Qurthubi dan yang lainnya.
Metode kedua mengartikan kata نَحْنُ sebagai malaikat. Tafsiran dengan metode kedua ini adalah tafsiran yang lebih tepat. Karena tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata نَحْنُ dalam firman-Nya, terkadang maknanya itu adalah Allah Subhanahu wa ta’ala, dan terkadang maknanya adalah malaikat. Dan dalam banyak ayat di Alquran Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata نَحْنُ sebagai kata ganti untuk malaikat. Di antara contoh Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata نَحْنُ untuk menunjukkan malaikat adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah : 18)
Yang membacakan Alquran kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah malaikat Jibril. Maka yang dimaksud ‘Kami’ dalam ayat ini adalah malaikat. Contoh yang lain adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ، وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ، وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ
“Maka kalau begitu mengapa (tidak mencegah) ketika (nyawa) telah sampai di kerongkongan, dan kamu ketika itu melihat, Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat.” (QS. Al-Waqi’ah : 83-85)
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan bahwa ‘Kami’ yang dimaksud disini adalah malaikat, karena malaikatlah yang hadir tatkala hendak mencabut nyawa seorang yang sedang sakratul maut dan bukan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Oleh karenanya tafsiran yang benar dari firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini maksudnya adalah malaikat. Dan tafsiran ini didukung oleh firman Allah Subhanahu wa ta’ala setelah ayat ini,
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيد
“(Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri.” (QS. Qaaf : 17)
Artinya kedekatan yang dimaksud pada ayat ini berkaitan dengan kedekatan tatkala ada dua malaikat yang sedang berada di kanan dan kiri setiap orang. Firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini menunjukkan bahwa kedekatan tersebut tidaklah mutlak terus menerus, melainkan pada waktu-waktu tertentu. Sebagaimana dalam ayat ini bahwa malaikat tersebut dekat ketika dua malaikat hendak mencatat apa yang diperbuat oleh seseorang. Adapun jika ayat ini ditafsirkan dengan ilmu Allah Subhanahu wa ta’ala, maka harusnya kedekatan tersebut harusnya mutlak.
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan ada beberapa dalil mengapa kata نَحْنُ dalam ayat ini disebut sebagai malaikat dan bukan Allah Subhanahu wa ta’ala.
- Dalil pertama, karena kedekatan tersebut muqayyad (lafalnya memberikan batasan), yaitu terkait dengan duduknya dua malaikat. Dan kedekatan tersebut bukanlah mutlak, karena jika ditafsirkan dengan ilmu Allah Subhanahu wa ta’ala, maka barulah kedekatan tersebut mutlak.
- Dalil kedua, karena jika diartikan dengan ilmu Allah Subhanahu wa ta’ala, maka tidak perlu menggunakan kata أَقْرَبُ (lebih dekat), karena ilmu Allah itu semuanya dekat kepada hamba-hamba-Nya.([2])
Dan penjelasan ini menunjukkan contoh tafsir dengan khilaf tadhad (khilaf yang saling bertentangan). Pada dasaranya khilaf ini jarang terjadi dalam ilmu tafsir, karena lebih sering yang terjadi adalah khilaf tanawwu’ (khilaf yang tidak saling bertentangan). Akan tetapi jika kita mendapati ada khilaf tadhad dalam hal ini, maka kita harus mencari pendapat mana yang paling rajih. Dan disini kita merajihkan pendapat Ibnu Katsir rahimahullah.
________________
Footnote :