4. قَدْ عَلِمْنَا مَا تَنقُصُ ٱلْأَرْضُ مِنْهُمْ ۖ وَعِندَنَا كِتَٰبٌ حَفِيظٌۢ
qad ‘alimnā mā tangquṣul-arḍu min-hum, wa ‘indanā kitābun ḥafīẓ
4. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang dihancurkan oleh bumi dari (tubuh-tubuh) mereka, dan pada sisi Kamipun ada kitab yang memelihara (mencatat).
Tafsir :
Sebagian para ulama menjelaskan bahwa ayat ini adalah jawaban dari sumpah Allah Subhanahu wa ta’ala di ayat yang pertama([1]).
Ada khilaf di kalangan para ulama tentang apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala ingin tekankan pada sumpahnya di ayat pertama tersebut. Ketika Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ
“Demi Alquran yang mulia.” (QS. Qaaf : 1)
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang Allah Subhanahu wa ta’ala ingin tekankan dari firman ini adalah sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah yang mulia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat yang lain,
يس، وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ، إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ
“Yasin. Demi Alquran yang penuh hikmah, sungguh engkau (Muhammad)n adalah salah seorang dari para rasul.” (QS. Yasin : 1-3)
Akan tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa yang Allah Subhanahu wa ta’ala ingin tekankan dalam sumpahnya adalah ayat ini,
قَدْ عَلِمْنَا مَا تَنْقُصُ الْأَرْضُ مِنْهُمْ وَعِنْدَنَا كِتَابٌ حَفِيظٌ
“Sungguh, Kami telah mengetahui apa yang ditelan bumi dari (tubuh) mereka, sebab pada Kami ada kitab (catatan) yang terpelihara baik.”
Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya ini untuk membantah persangkaan orang-orang musyrikin yang meyakini bahwa mereka tidak bisa dibangkitkan. Maka melalui ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menekankan dua hal yang sekaligus menjadi bantahan bagi orang-orang musyrikin; Pertama, sungguh Allah tahu kemana perginya jasad mereka ketika telah dikubur, bahkan dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan مَا تَنْقُصُ الْأَرْضُ artinya jasad mereka yang hancur sedikit demi sedikit itu berubah menjadi apa diketahui oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, dan Allah mampu untuk mengembalikan itu semua; Kedua, Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki catatan yang menerangkan kemana dan/atau berubah jadi apa jasad mereka. Artinya secara ilmu Allah Subhanahu wa ta’ala tahu, dan secara catatan juga Dia punya.
Kemudian ketika Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata مَا تَنْقُصُ الْأَرْضُ dalam ayat ini, artinya jasad akan terkurangi. Dan arti dikurangi dan habis itu berbeda. Oleh karenanya Thahir Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa kalimat terkurangi memberi kesan bahwasanya orang yang telah mati jasadnya tidak akan habis sepenuhnya dimakan oleh tanah, melainkan ada yang tersisa. Dan sebagaimana dalam hadits disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّ ابْنِ آدَمَ يَأْكُلُهُ التُّرَابُ، إِلَّا عَجْبَ الذَّنَبِ مِنْهُ خُلِقَ وَفِيهِ يُرَكَّبُ
“Setiap (jasad) anak cucu Adam dimakan oleh tanah kecuali tulang ekor. Dari situlah ia diciptakan dari dari situlah ia disusun (kembali).”([2])
Kemudian para dari sini para ulama membahas bagaimana cara pengembalian jasad. Secara umum ada tiga pendapat yang menyebutkan tentang cara pengembalian jasad pada hari kiamat kelak.
Pendapat pertama, mereka menyebutkan bahwasanya seluruh jasad manusia yang telah meninggal itu habis tidak bersisa, yang tersisa hanyalah ruh. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan jasad baru, kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala masukkan ruh mereka ke jasad tersebut. Artinya jasad tersebut berbeda dengan jasad yang dimiliki ketika di dunia. Ini adalah pendapat orang-orang mu’tazilah. Mereka menganggap bahwa jika jasad yang dibangkitkan adalah jasad yang dahulu di bumi maka akan susah. Contoh logika mereka adalah seperti jasad seseorang yang dimakan oleh binatang buas. Kemudian dagingnya telah menjadi bagian dari jasad binatang buas tersebut. Maka tidak masuk di akal mereka tentang bagaimana jasad tersebut bisa kembali utuh pada hari kiamat kelak. Oleh karenanya mereka berpendapat bahwa seluruh jasad hancur dan yang tersisa hanyalah ruh, kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala ciptakan jasad yang baru dan memasukkan ruh ke dalamnya.
Pendapat kedua, mereka menyebutkan bahwa seluruh jasad dikembalikan persis seperti ketika orang tersebut meninggal, dan Allah Subhanahu wa ta’ala Mahakuasa untuk mengembalikannya. Hal ini karena Allah mengatakan كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ “Sebagaimana Kami memulai penciptaan maka Kami ulangi” (QS al-Anbiya’ : 104). Dan lafal “mengulangi” menunjukan sama dengan yang sebelumnya. Akan tetapi pendapat ini adalah pendapat yang kurang tepat. Hal ini karena pengulangan yang dimaksud adalah sesuai dengan pengulangan yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam, yaitu Nabi menjelaskan bahwa penciptaan yang kedua (ketika pengulangan) memiliki perbedaan dengan penciptaan yang pertama. Namun perbedaan ini tidak menjadikan perbedaan antara kedua penciptaan dari segala sisi, akan tetapi hanya menunjukan ada perbadaan di sebagian sisi, dan ada kesamaan pada sebagian sisi([3]). Karena jika yang dimaksud adalah dikembalikan secara persis dengan jasad yang ada ketika di dunia, maka lantas jasad yang manakah yang menjadi patokan untuk dikembalikan?, apakah ketika dia meninggal?, ataukah ketika masa mudanya?, ataukah ketika masa kecilnya?.
Pendapat ketiga, mereka menyebutkan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala mengembalikan jasad namun dengan modifikasi, sehingga jasad yang dibangkitkan sama namun ada perbedaan dari segi fungsi. Di antaranya jasad tersebut diciptakan bukan untuk sirna akan tetapi abadi, berbeda dengan jasad di dunia yang diciptakan untuk sirna. Jasad pertama diciptakan melalui proses nuthfah (air mani) lalu melalui tahapan hingga menjadi janin, lalu ketika lahir membutuhkan air susu dan makanan. Adapun jasad kedua tidak memerlukan semua proses tersebut. Kemudian jasad kedua tersebut dijadikan sangat kuat sehingga kuat berdiri di padang mahsyar selama lima puluh ribu tahu, dan pandangan dijadikan tajam sehingga mampu untuk melihat malaikat dan jin, jasad penghuni neraka dibuat tidak mati-mati meskipun dibakar secara hidup-hidup, dan yang lainnya. Jasad penghuni tidak mengeluarkan kotoran. Jasad tersebut tumbuh tanpa melalui rahim seorang wanita. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ النَّشْأَةَ الْأُولَى فَلَوْلَا تَذَكَّرُونَ
“Dan sungguh, kamu telah tahu penciptaan yang pertama, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Waqi’ah : 62)
Ayat ini merupakan isyarat bahwasanya penciptaan kedua (pada hari kebangkitan) itu ada perbedaan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah([4]). Dan sebagaimana hadits yang telah disebutkan sebelumnya,
كُلُّ ابْنِ آدَمَ يَأْكُلُهُ التُّرَابُ، إِلَّا عَجْبَ الذَّنَبِ مِنْهُ خُلِقَ وَفِيهِ يُرَكَّبُ
“Setiap (jasad) anak cucu Adam dimakan oleh tanah kecuali tulang ekor. Dari situlah ia diciptakan dari dari situlah ia disusun (kembali).”([5])
Ini menunjukkan adanya penyusunan kembali namun terdapat adanya perubahan dari proses penyusunan yang pertama. Dan demikian pula orang-orang yang masuk surga rupanya tidak seperti rupa manusia saat ini. Allah Subhanahu wa ta’ala kembalikan jasad mereka namun menjadi lebih tampan dan lebih cantik dari sebelumnya. Ini menunjukkan adanya perubahan fisik, dan memang hal tersebut sangat mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. Pendapat ketiga inilah yang lebih tepat, Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh karenanya ketika orang-orang musyrikin membantah bahwa jasad yang telah hancur tidak bisa kembali, maka Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini membantah mereka. Dan jika jasad itu tidak kembali, maka Allah Subhanahu wa ta’ala pasti akan membenarkan perkataan orang-orang musyrikin. Adapun bagaimana cara mengembalikannya maka itu adalah hak Allah Subhanahu wa ta’ala, bagaimana cara yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala maka itu terserah Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana dalam hadits yang menceritakan,
قَالَ رَجُلٌ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ (وفي رواية أخرى: إلا التوحيد): فَإِذَا مَاتَ فَحَرِّقُوهُ وَاذْرُوا نِصْفَهُ فِي البَرِّ، وَنِصْفَهُ فِي البَحْرِ، فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ لَيُعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا لاَ يُعَذِّبُهُ أَحَدًا مِنَ العَالَمِينَ، فَأَمَرَ اللَّهُ البَحْرَ فَجَمَعَ مَا فِيهِ، وَأَمَرَ البَرَّ فَجَمَعَ مَا فِيهِ، ثُمَّ قَالَ: لِمَ فَعَلْتَ؟ قَالَ: مِنْ خَشْيَتِكَ وَأَنْتَ أَعْلَمُ، فَغَفَرَ لَهُ
“Ada seorang laki-laki yang sama sekali belum beramal (dalam riwayat yang lain ada tambahan: Kecuali tauhid) berpesan bahwa agar mereka (anak-anaknya) jika Ia mati membakarnya kemudian membuang sebagian dari abunya (jasadnya) ke daratan dan sebagian yang lain ke laut, seraya berkata ‘Sekiranya Allah menakdirkan baginya, maka Allah tentu akan menyiksanya dengan siksaan yang belum pernah dilakukan-Nya kepada seorang pun’. Maka Allah pun menyuruh laut untuk mengumpulkan jasadnya, dan laut pun melakukannya, kemudian Allah juga menyuruh bumi untuk mengumpulkan jasadnya, dan bumi pun melakukan. Setelah itu Allah bertanya kepada orang itu ‘Apa yang mendorongmu melakukan hal tersebut?’ Ia menjawab, ‘Ini karena takut kepada-Mu, dan Engkau adalah Dzat yang Mahatahu’. Maka Allah pun mengampuninya’.”([6])
Artinya untuk mengembalikan jasad yang telah berubah dan dimana pun letaknya itu sangat mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka dari sini kita tahu bahwasanya kembalinya jasad adalah dengan jasad seseorang ketika masih hidup, namun telah dimodifikasi. Oleh karenanya dalam Alquran Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan mereka berkata kepada kulit mereka, ‘Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?’ (Kulit) mereka men-jawab, ‘Yang menjadikan kami dapat berbicara adalah Allah, yang (juga) menjadikan segala sesuatu dapat berbicara, dan Dialah yang menciptakan kamu yang pertama kali dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan’.” (QS. Fushshilat : 21)
Ini dalil bahwasanya proses pengembalian jasad berkaitan dengan jasad kita saat ini, yang kemudian kelak akan berubah fungsi sesuai dengan yang dibutuhkan manusia sebagai penghuni surga atau sebagai penghuni neraka.
______________________
Footnote :
([1]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/281
([3]) Lihat: Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah 17/255-258 dan At-Tahrir wa At-Tanwir, Ibnu ‘Asyur 26/279
([4]) Majmu’al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah 17/249-253
Ibnu Taimiyyah berkata :
أَنَّ النَّشْأَتَيْنِ نَوْعَانِ تَحْتَ جِنْسٍ يَتَّفِقَانِ وَيَتَمَاثَلَانِ وَيَتَشَابَهَانِ مِنْ وَجْهٍ وَيَفْتَرِقَانِ وَيَتَنَوَّعَانِ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ … فَبِاعْتِبَارِ اتِّفَاقِ الْمَبْدَأِ وَالْمَعَادِ فَهُوَ هُوَ وَبِاعْتِبَارِ مَا بَيْنَ النَّشْأَتَيْنِ مِنْ الْفَرْقِ فَهُوَ مِثْلُهُ
“Sesungguhnya dua penciptaan (pencitaan manusia yang pertama dan penciptaan manusia yang kedua ketika hari kebangkitan) berada pada satu jenis, keduanya sepakat dan semisal serta mirip dari satu sisi, namun keduanya berbeda dan bervariasi dari sisi yang lain… jika ditinjau dari sisi permulaan (penciptaan) dan pengulangan penciptaan (kebangkitan) maka pengulangan itulah permulaan. Namun jika ditinjau dari peberdaan-perbadaan yang ada diantara kedua penciptaan maka pengulangan mirip dengan penciptaan”.