Rasulullah ﷺ selalu memperhatikan penampilannya jika bertemu dengan istri-istrinya
Memperhatikan penampilan tubuh dan penampilan pakaian memiliki dampak positif yang cukup besar dalam menjaga kelestarian kehidupan rumah tangga. Sang istri berusaha berpenampilan menarik dengan pakaian yang menawan dan wewangian yang menggoda, demikian juga sang suami berusaha berpenampilan menawan di hadapan sang istri… maka sungguh indah kehidupan ini. Bayangkan lagi jika setiap hari demikian pemandangan kehidupan rumah tangga….apalagi jika kedua sejoli berusaha dalam kondisi seperti ini tatkala setiap kali bersua…sungguh romantis…!!!???.
Namun kenyataan yang terjadi di zaman ini, para wanita banyak yang berpenampilan untuk orang lain, bahkan terkadang sebagian suami yang bejat merasa bangga jika istrinya berpenampilan ayu dihadapan orang lain agar ia mengiklankan ia mempunyai istri yang ayu…demikian juga sebaliknya dengan sang suami yang hanya berpenampilan dan berwewangian jika bersua dengan sahabat-sahabatnya…rekan bisnisnya… Adapun jika bertemu dengan istrinya maka ia tidak peduli dengan pakaiannya yang kusut, aroma tubuhnya yang bau…dan….dan… maka bagaimankah kehidupan rumah tangga langgeng dengan penuh keromantisan jika kondisinya seperti ini..???!!!.
Sebagian para suami yang lalai, mereka menyangka bahwa istri-istri mereka saja yang wajib untuk menghias diri dan beraroma sedap dihadapan mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka. Adapun mereka, maka tidak perlu untuk menghias diri dan merapikan tubuh…!!!!
Apakah mereka lupa bahwa istri-istri mereka juga butuh dengan ketampanan mereka…??, butuh untuk memandang pemandangan yang indah…???, butuh untuk menghirup aroma yang segar dan wangi…???.
Ibnu Katsir berkata tatkala menafsirkan firman Allah
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (النساء : 19 )
Dan bergaullah dengan mereka dengan baik (QS. 4:19)
“….Indahkanlah penampilan kalian semampu kalian. Sebagaimana engkau menyenangi ia (istrimu) berhias diri maka hendaknya engkau juga berbuat demikian dihadapannya. Allah berfirman
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ (البقرة : 228 )
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya. (QS. 2:228)[1]
Ibnu Abbas berkata,
إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَتَزَيَّنَ لِلْمَرْأَةِ كَمَا أُحِبُّ أَنْ تَتَزَيَّنَ لِي لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Sesungghnya aku senang untuk berhias untuk istri sebagaimana aku suka ia berhias untukku karena Allah berfirman “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya”[2]
Nabi ﷺ selalu memperhatikan penampilannya jika bertemu dengan istri-istrinya.
عن عائشة رضي الله عنها قالت : أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ
Dari Aisyah berkata, “Nabi ﷺ jika masuk ke rumahnya maka yang pertama kali beliau lakukan adalah bersiwak”[3]
عن عائشة رضي الله عنها قالت : … كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَشْتَدُّ عَلَيْهِ أَنْ تُوْجَدَ مِنْهُ الرِّيْحُ … فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِسَوْدَةَ إِذَا دَخَلَ عَلَيْكَ فَإِنَّهُ سَيَدْنُوْ مِنْكَ فَقُوْلِي لَـهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَكَلْتَ مَغَافِيْرَ ؟ فَإِنَّهُ سَيَقُوْلُ لاَ ، فَقُوْلِي لَـهُ مَا هَذِهِ الرِّيْحُ ؟ … فَلَمَّا دَخَلَ عَلَى حَفْصَةَ قَالَتْ لَهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلاَ أَسْقِيْكَ مِنْهُ ؟ قَالَ لاَ حَاجَةَ لِي بِهِ ، قَالَتْ تَقُوْلُ سَوْدَةُ سُبْحَانَ اللهِ لَقَدْ حَرَمْنَاهُ قَالَتْ قُلْتُ لَهَا اُسْكُتِي
Dari Aisyah berkata, (yaitu dalam kisah pengharaman madu) “…Nabi ﷺ sangat merasa berat jika ditemukan darinya bau (yang tidak enak)…”, maka Aisyah berkata kepada Saudah, “Jika Nabi ﷺ menemuimu maka ia akan mendekatimu (mencumbuimu) maka katakanlah kepadanya, “Wahai Rasulullah ﷺ apakah engkau makan magofir (yaitu tumbuhan yang memiliki bau yang tidak enak)?, maka ia ﷺ akan berkata, “Tidak”, lalu katakanlah, “Kalau begitu ini bau apaan?”….tatkala Rasulullah ﷺ menemui Hafshoh maka Hafshohpun berkata keapadanya, “Aku tuangkan madu buatmu?”, Rasulullah berkata, “Aku tidak pingin madu tersebut”. Saudah berkata, “Mahasuci Allah, kita telah menjadikannya mengharamkan madu”. Aisyah berkata kepada Saudah, “Diamlah!!!”[4]
Bahkan tidaklah mengapa jika seorang suami sengaja untuk memiliki pakaian yang agak mahal sedikit demi menjaga penampilannya di hadapan istrinya selama tidak sampai derajat pemborosan.
Anas bin Malik berkata
كَانَ أَحَبُّ الثِّيَابِ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ أَنْ يَلْبَسَهَا الْحِبَرَةَ
Pakaian yang paling senang dipakai oleh Rasulullah ﷺ adalah Hibaroh[5]
Berkata Ibnu Baththol, “Hibaroh adalah pakaian dari negeri Yaman yang terbuat dari kain Quthn. Dan ia merupakan pakaian termulia di sisi mereka”[6]
Berkata Al-Qurthubi, “Dinamakan Hibaroh karena pakaian tersebut تُحَبِّرُ yaitu menghias dan mengindahkan (pemakainya)”[7]
Bahkan tatkala Rasulullah ﷺ wafat beliau tidak meninggalkan kain yang indah ini. Aisyah berkata
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ حِيْنَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرَدِ حِبَرَةٍ
Bahwasanya Rasulullah ﷺ tatkala wafat beliau ditutupi dengan kain hibaroh[8]
Oleh karena itu Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk berhias dan berpenampilan rapi dan bersih. Tatkala beliau melihat seseorang memakai pakaian yang usang maka beliau berkata kepadanya, “Apakah engkau memiliki harta?”, orang itu berkata, “Iya Rasulullah, aku memiliki seluruh jenis harta (yaitu yang dikenal saat itu[9])”. Maka Rasulullah ﷺ berkata kepadanya
فَإِذَا آتَاكَ اللهُ مَالاً فَلْيُرَ أَثَرُهُ عَلَيْكَ
Jika Allah memberikan harta kepadamu maka hendaknya terlihat tanda harta tersebut pada dirimu[10]
Ibnu Hajar mengomentari hadits ini, “Yaitu hendaknya ia memakai pakaian yang sesuai dengan kondisinya yaitu baju yang indah dan bersih agar orang-orang yang membutuhkan tahu keadaannya untuk meminta kepadanya. Dengan tetap memperhatikan niat (yang baik dan tidak untuk bersombong ria-pen) serta tidak sampai pada derajat pemborosan”[11]
________
Penulis: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema: Suami Sejati (Kiat Membahagiakan Istri) – Series
________
Footnote:
[1] Tafsir Ibnu Katsir I/467
Faedah:
Wajib bagi sang suami untuk memenuhi keinginan istrinya jika istrinya menghendakinya berhubungan dengannya. Dalilnya adalah firman Allah
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ (البقرة : 228 )
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya. (QS. 2:228). (Lihat Bada’i’ As-Shonai’ II/334)
[2] Atsar riwayat At-Thobari di tafsirnya II/453, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro VII/295 no 14505, dan Ibnu Abi Syaibah di Mushonnafnya IV/196 no 19263
[3] HR Muslim I/220 no 253
[4] HR Al-Bukhari VI/2556 no 6571
[5] HR Al-Bukhari no 5476 dan Muslim no 2079
[6] Fathul Bari X/277
[7] Fathul Bari X/277
[8] HR Al-Bukhari no 5477
[9] Hasyiah As-Sindi VIII/181
[10] HR An-Nasai no 5223 dan dshahihkan oleh Syaikh Al-Albani
[11] Fathul Bari X/260