Akhlak Rasulullah ﷺ terhadap istri-istri beliau ﷺ
Setelah kita mengetahui silsilah sejarah pernikahan Rasulullah ﷺ marilah kita menelusuri bagaimanakah akhlak dan perhatian beliau kepada istri-istri beliau.
Rasulullah ﷺ mencumbui seluruh istri beliau setiap hari
Mungkin saja engkau heran jika ternyata Nabi ﷺ mencumbui istri-istrinya setiap hari???, Dengarkanlah tuturan Aisyah sebagaimana berikut ini:
عن عَائِشَةَ t قَالَتْ : ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا ، وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا (امْرَأةً امْرَأةَ) فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا
Aisyah berkata, “Rasulullah ﷺ tidak mendahulukan sebagaian kami di atas sebagian yang lain dalam hal jatah menginap diantara kami (istri-istri beliau ﷺ), dan beliau selalu mengelilingi kami seluruhnya (satu persatu) kecuali sangat jarang sekali beliau tidak melakukan demikian. Maka beliau ﷺ pun mendekati (mencium dan mencumbui)[1] setiap wanita tanpa menjimaknya hingga sampai pada wanita yang merupakan jatah menginapnya, lalu beliau menginap ditempat wanita tersebut”[2]
عَنْ عَائِشَةَ t : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ إِذَا انْصَرَفَ مِنَ الْعَصْرِ دَخَلَ عَلَى نِسَائِهِ فَيَدْنُوْ مِنْ إِحْدَاهُنَّ فَدَخَلَ عَلَى حَفْصَةَ t فَاحْتَبَسَ أَكْثَرَ مَا كَانَ يَحْتَبِسُ فَغِرْتُ فَسَأَلْتُ عَنْ ذَلِكَ فَقِيْلَ لِي أَهْدَتْ لَهَا امْرَأَةٌ مِنْ قَوْمِهَا عُكَّةَ مِنْ عَسَلٍ فَسَقَتِ النَّبِيَّ ﷺ مِنْهُ شَرْبَةً فَقُلْتُ أَمَا وَاللهِ لَنَحْتَالَنَّ لَهُ !!! …
Dari Aisyah berkata, “Rasulullah ﷺ jika selesai sholat ashar maka beliau masuk menemui istri-istrinya lalu mencium dan mencumbui salah seorang diantara mereka. Maka (pada suatu hari) beliau masuk menemui Hafshoh putri Umar (bin Al-Khotthob) lalu beliau berlama-lamaan di tempat tinggal Hafshoh, maka akupun cemburu. Lalu aku menanyakan sebab hal itu maka dikatakan kepadaku bahwasanya seorang wanita dari kaum Hafshoh menghadiahkan kepadanya sebelanga madu, maka ia (Hafshoh)pun meminumkan Nabi ﷺ dari madu tersebut. Aku (Aisyah)pun berkata, “Demi Allah aku akan membuat hilah (semacam sandiwara) dengan Nabi ﷺ…!!!”[3]
Rasulullah ﷺ tatkala hendak sholat mencium istri beliau
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَبَّلَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ قَالَ قُلْتُ مَنْ هِيَ إِلاَّ أَنْتِ قَالَ فَضَحِكَتْ
Dari Urwah[4] dari Aisyah bahwsanya Nabi ﷺ mencium salah seorang istrinya kemudian keluar untuk sholat dan beliau tidak berwudhu. Maka akupun berkata, ‘Siapa lagi istri Nabi ﷺ tercebut kalau bukan engkau” maka Aisyahpun tertawa[5]
Faedah: Hadits ini diantara dalil-dalil yang menunjukan bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu
Yang sungguh disayangkan sebagian suami terkadang bukan hanya tidak mencumbui istrinya bahkan yang lebih parah dari itu ia tidak menjimaki istrinya dan membiarkannya memendam kerinduan hingga waktu yang lama, bahkan sebagian suami meninggalkan istrinya hingga lebih dari sebulan tanpa alasan…atau bahkan lebih daripada itu. Terlebih lagi jika sang suami memiliki istri lebih dari satu kemudian ia terbuai dan terlena dengan salah satu istrinya dan meninggalkan istrinya yang lain tersiksa menantinya dengan penuh kerinduan dan tersiksa dengan penuh kecemburuan…!!!, lebih baik baginya untuk tidak diberi makan sebulan dari pada memendam kerinduan selama sebulan, kebutuhannya kepada sentuhan suaminya lebih dari kebutuhannya terhadap makanan dan minuman..!!!
Ibnu Taimiyyah ditanya tentang seorang lelaki yang tidak menjimaki istrinya hingga sebulan atau dua bulan maka apakah ia mendapat dosa atau tidak?, dan apakah seorang suami dituntut untuk menjimaki istrinya?
Beliau menjawab, “Wajib bagi seorang suami untuk menjimaki istrinya dengan yang sepatutnya. Bahkan ini termasuk hak istri yang paling ditekankan yang harus ditunaikan oleh suami, lebih daripada memberi makan kepadanya. Dan jimak yang wajib (dilakukan oleh suami) dikatakan bahwasanya wajibnya sekali setiap empat bulan, dan dikatakan juga sesuai dengan kebutuhan sebagaimana sang suami memberi makan kepada istri sesuai kadar kebutuhannya dan kemampuannya. Dan inilah pendapat yang paling benar diantara dua pendapat tersebut.” [6]
Bukankah menjimaki istri merupakan ibadah…???.
Rasulullah ﷺ bersabda
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
“Dan seseorang diantara kalian menjimaki istrinya maka hal itu merupakan sedekah”. Mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang diantara kita melepaskan syahwatnya lantas ia mendapatkan pahala?”. Rasulullah ﷺ berkata, “Bagaimana menurut kalian jika ia melepaskan syahwatnya pada tempat yang haram (zina) bukankah ia berdosa?, maka demikianlah jika ia melepaskan syahwatnya di tempat yang halal maka ia mendapatkan pahala”[7]
Nabi ﷺ menjelaskan bahwa menjimak istri merupakan ibadah yang pelakunya diberi ganjaran pahala. Barangsiapa yang kurang dalam melakukan ibadah ini (jimak) maka ia telah kurang dalam menunaikan kewajibannya. Oleh karena itu Nabi ﷺ bersabda
وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Sesungguhnya istrimu memiliki hak yang harus kau tunaikan[8]
Hal ini menunjukan bahwa jimak merupakan hak istri yang harus ditunaikan oleh seorang suami. Sikap kurang memperhatikan hak ini bisa menimbulkan banyak cek-cok dalam kehidupan keluarga, bahkan terkadang merupakan sebab terbesar timbulnya perceraian.
________
Penulis: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema: Suami Sejati (Kiat Membahagiakan Istri) – Series
________
Footnote:
[1] Makna dari فَيَدْنُو مِنْهَا (mendekati) adalah mencium dan mencumbunya sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath IX/379, dan ini sesuai dengan riwayat Ahmad وَيَلْمَسُ (lalu menyentuhnya)
[2] HR Abu Dawud no 2135, Al-Hakim di Al-Mustadrok no 2760, Ahmad VI/107. Dan tambahan yang terdapat dalam kurung merupakan tambahan dari riwayat Ahmad . Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (Ash-Shahihah no 1479)
[3] HR Al-Bukhari no V/2000 no 4918, V/2017 no 4968, VI/2556 no 6571, Muslim no 1474
[4] Ulama hadits berselisih pendapat, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Urwah di sini adalah Urwah Al-Muzani (dan kedudukannya adalah majhul sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar dalam At-Taqrib). Dan ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Urwah di sini adalah Urwah bin Az-Zubair. Dan kemungkinan kedua inilah yang dipilih oleh Syamsul Haq Al-Adzim Abadi (penulis ‘Aunul Ma’bud) dengan dalil bahwasanya dalam riwayat Ibnu Majah dan riwayat Imam Ahmad jelas disebutkan bahwa Urwah adalah Urwah bin Zubair. Berkata Syaikh Abbad –hafidzohullah-, “Dan kemungkinan yang nampak bahwasanya Urwah pada sanad hadits ini adalah Urwah bin Az-Zubair karena Aisyah adalah bibi (kholah)nya, dan pembicaraan yang terjadi antara Urwah dan Aisyah kemungkinannya adalah pembicaraan yang terjadi antara seseorang dengan bibinya” . Syaikh Abbad juga menjelaskan jika seandainya Urwah yang terdapat dalam isnad ini adalah Urwah Al-Muzani maka hadits ini tetap merupakan hujjah karena banyaknya jalan yang mendukungnya. (Syarh sunan Abu Dawud kaset no 20). Dan inilah pendapat Al-Mubarokfuuri, ia berkata, “Akan tetapi hadits ini diriwayatkan dari jalan yang banyak maka lemahnya hadits ini terangkat karena banyaknya jalan” (Tuhfatul Ahwadzi I/240). Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
[5] HR Abu Dawud no 179, At-Thirmidzi no 86 Ibnu Majah no 502, Ahmad VI/210 no 25807
[6] Majmu’ Fatawa XXXII/271
[7] HR Muslim no 1006
[8] HR Al-Bukhari II/696 no 1873