Hikmah Pernikahan Nabi[1]
Sesungguhnya seluruh pernikahan yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ bukanlah untuk memuaskan syahwat beliau ﷺ akan tetapi memiliki tujuan yang mulia dan menghasilkan kemaslahatan yang banyak[2]. Jika memang Nabi ﷺ ingin memuaskan syahwatnya maka tentu beliau akan menikahi para gadis sebagaimana inilah yang beliau anjurkan kepada para sahabat beliau untuk menikahi para gadis perawan. Namun ternyata diantara istri-istri beliau hanya Aisyah saja yang masih gadis tatkala dinikahi[3].
Diantara kemaslahatan-kemaslahatan yang diperoleh dari poligaminya Rasulullah ﷺ adalah sebagai berikut:
- Kemaslahatan yang berkaitan dengan nilai kemanusiaan
Lima istri Nabi ﷺ umur mereka berkisar antara 40 sampai 60 tahun tatkala dinikahi oleh Nabi ﷺ.[4] Beliau menikahi mereka dan mereka dalam keadaan sulit, tidak ada yang memperhatikan dan membantu urusan perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Rasulullah ﷺ menikahi mereka dan memelihara anak-anak mereka, terlebih lagi mereka adalah termasuk para wanita yang pertama kali masuk Islam dan suami-suami mereka telah wafat tatkala berjihad fi sabilillah. Ini merupakan sifat Nabi ﷺ dan para sahabatnya yang menikahi para wanita yang suami mereka telah wafat di medan pertempuran.
A. Nabi ﷺ menikahi Zainab binti Khuzaimah dan umurnya mendekati 60 tahun setelah suaminya Ubaidah bin Al-Harits mati syahid di perang Badar, maka Rasulullah ﷺpun mengayomnya setelah Zainab bersabar tatkala kehilangan suaminya. Dan selang beberapa bulan kemudian Zainabpun wafat
B. Sebagaimana Nabi ﷺ menikahi Hindun binti Abi Umayyah (Ummu Salamah) setelah suaminya mati syahid di perang Uhud. Ia meninggalkan lima orang anak dan tidak ada orang yang mengayom mereka dan Ummu Salamah telah mencapai masa tua. Sampai-sampai tatkala Rasulullah ﷺ ingin melamarnya maka Ummu Salamah menyampaikan kekurangan-kekurangannya kepada Rasulullah ﷺ, namun Rasulullah ﷺ tetap bersikeras menikahinya untuk mengayomnya.
Ummu Salamah bercerita tentang dirinya :
Abu Salamah mendatangiku pada suatu hari dari Rasulullah ﷺ lalu berkata, “Aku telah mendengar dari Rasulullah ﷺ sebuah perkataan yang menggembirakanku. Rasulullah ﷺ berkata,
لاَ تُصِيْبُ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ مُصِيْبَةٌ فَيَسْتَرْجِعُ عِنْدَ مُصِيْبَتِهِ ثُمَّ يَقُوْلُ اَللَّهُمَّ آجِرْنِي فِي مُصِيْبَتِي وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ فَعَلَ ذَلكِ َبِهِ
“Tidaklah seorang muslimpun yang ditimpa musibah kemudian ia beristirjaa’ (yaitu mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun) lalu mengucapkan (berdoa), “Ya Allah berilah aku pahala pada musibah yang menimpaku ini dan gantikanlah bagiku yang lebih baik darinya” kecuali Allah akan mengabulkannya”[5].
Maka aku (Ummu Salamah) pun menghapalkan doa itu dari Abu Salamah. Tatkalah Abu Salamah wafat akupun beristrijaa’ dan aku berkata “Ya Allah berilah aku pahala pada musibah yang menimpaku ini dan gantikanlah bagiku yang lebih baik dari Abu Salamah”. Kemudian aku kembali merenungkan diriku, aku berkata, “Dari mana aku bisa memperoleh yang lebih baik dari Abu Salamah”. Tatkala selesai masa iddahku Rasulullah ﷺ meminta izin kepadaku (untuk menemuiku) dan aku sedang menyamak kulit.
Lalu aku mencuci tanganku dari daun Qorzh (yaitu daun khusus yang digunakan untuk menyamak kulit) dan aku mengizinkannya. Aku meletakkan sebuah bantal yang didalamnya terdapat kulit yang digulung maka Nabi ﷺpun duduk di atasnya lalu melamarku.
Tatkala beliau selesai dari ucapannya maka aku berkata kepadanya,
يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا بِي أَنْ لاَ تَكُوْنَ بِكَ الرَّغْبَةُ فِي وَلَكِنِّي امْرَأَةٌ فِي غَيْرَةٍ شَدِيْدَةٍ فَأَخَافُ أَنْ تَرَى مِنِّى شَيْئًا يُعَذِّبُنِىَ اللهُ بِهِ وَأَنَا امْرَأَةٌ قَدْ دَخَلْتُ فِي السِّنِّ وَأَنَا ذَاتُ عِيَالٍ
“Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak pingin denganmu, akan tetapi aku adalah seorang wanita yang sangat pencemburu maka aku khawatir engkau akan melihat dariku sesuatu (sikap) yang menyebabkan Allah mengadzabku, dan aku adalah seorang wanita yang telah masuk masa tua, serta aku memiliki banyak anak”.
(Dalam riwayat yang lain ia berkata, مِثْلِي لاَ يُنْكَحُ أَمَّا أَنَا فَلاَ وَلَدَ فِيَّ “Wanita yang seperti aku tidaklah dinikahi. Adapun aku maka aku tidak melahirkan..”[6])
Rasulullah ﷺ berkata,
أَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْغِيْرَةِ فَسَوْفَ يُذْهِبُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْكِ وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ السِّنِّ فَقَدْ أَصَابَنِي مِثْلُ الَّذِي أَصَابَكِ وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْعِيَالِ فَإِنَّمَا عِيَالُكِ عِيَالِي
“Adapun rasa cemburu yang amat sangat yang telah engkau sebutkan maka Allah akan menghilangkannya darimu. Adapun umur yang tua maka akupun telah tua seperti kamu. Dan adapun anak-anakmu yang banyak maka mereka adalah tanggunganku”. Ummu Salamah berkata, “Akupun menyerahkan diriku pada Rasulullah ﷺ”, lalu Rasulullah ﷺ menikahinya dan berkata Ummu Salamah, فَقَدْ أَبْدَلَنِيَ اللهُ بِأَبِي سَلَمَةَ خَيْرًا مِنْهُ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ “Allah telah menggantikan untukku yang lebih dari Abu Salamah yaitu Rasulullah ﷺ”
Renungkanlah para pembaca yang budiman…apakah orang yang senengnya hanya menikah untuk memenuhi hawa nafsunya menikahi wanita seperti Ummu Salamah yang telah tua, telah mencapai masa monepous, pencemburu, dan memiliki banyak anak??. Apakah Rasulullah ﷺ tidak mampu untuk menikahi para gadis perawan yang cantik jelita jika dia menghendaki demikian??. Akan tetapi Rasulullah ﷺ adalah orang yang lebih utama untuk menikahi Ummu Salamah karena Ummu Salamah adalah janda dari saudara sepersusuan Rasulullah ﷺ sekaligus anak bibi Rasulullah ﷺ (yaitu Barroh binti Abdul Muttholib) yang telah mati syahid di jalan Allah yaitu Abdullah bin Abdu Asad Al-Makhzumi.
C. Rasulullah ﷺ juga menikahi Saudah binti Zam’ah yang tatkala itu telah berumur 55 tahun setelah meninggalnya suaminya Sukron bin ‘Amr t. Dan Saudah merasa takut fitnah yang akan menimpa agamanya jika ia kembali ke keluarganya sepeninggal suaminya. Bahkan bisa jadi keluarganya akan membunuhnya karena ia telah keluar dari agama nenek moyang mereka dan masuk Islam. Tatkala Rasulullah ﷺ memahami kondisinya yang dia adalah wanita mukminah yang telah berhijrah bersama suaminya ke negeri Habasyah yang sabar dengan segala ujian yang dihadapinya demi menempuh jalan Allah, maka Rasulullah ﷺ bertekad untuk menikahinya demi menjaga kemuliaannya dan melindunginya dari gangguan orang-orang musyrik serta mentarbiahnya.
D. Pernikahan Nabi ﷺ dengan Ummu Habibah Romlah binti Abi Sufyan. Ia termasuk para wanita yang pertama kali masuk Islam. Ayahnya Abu Sufyan dan juga Ibunya termasuk gembong-gembong kekafiran tatkala itu dan yang paling keras terhadap Islam. Maka iapun meninggalkan mereka berdua berhijroh bersama suaminya (Abdullah bin Jahsy) ke negeri Habasyah. Namun di negeri Habasyah suaminya Abdullah bin Jahsy murtad dan masuk dalam agama Nasrani. Meskipun demikian ia tetap tegar menghadapi ujian ini meskipun ia tahu bahwa ia akan kehilangan seluruh keluarganya, ayahnya, ibunya, bahkan suaminya, tinggallah ia sendiri jauh di tempat yang asing. Jika ia kembali ke orang tuanya di Mekah maka mereka pasti akan memaksanya kembali ke kesyirikan, jika ia pergi ke Madinah maka kemanakah ia harus pergi…?? Ia tidak memiliki keluarga di sana..??!!. Tatkala Rasulullah ﷺ (yang tatkala itu di Madinah) mengetahui kondisinya dan musibah yang menimpanya dan tegarnya ia menghadapi segala ujian maka Rasulullah ﷺpun ingin menikahinya. Beliau ﷺ mengirim utusan kepada Najasyi (raja negeri Habasyah) agar menjadi wakilnya untuk menikahkan Ummu Habibah dengannya ﷺ. Maka Ummu Habibahpun sangat gembira dan dia mengetahui bahwa Allah telah mengganti musibahnya dengan yang lebih baik, serta jadilah ia termasuk salah satu dari Ummahaatul Mukminin. Maka hikmah dari pernikahan Rasulullah ﷺ dengan Ummu Habibah adalah untuk memuliakan Ummu Habibah, menyelamatkannya dari fitnah, untuk tetap menegarkan agamanya, serta untuk mengambil hati bani Abdu Syams. Hingga tatkala pernikahan ini diketahui oleh ayahnya –yaitu Abu Sufyan dan masih kafir- ia berkata, “Rasulullah adalah memang pantas buat putrinya”
- Kemaslahatan yang berkaitan dengan syari’at.
Pernikahan Nabi ﷺ dengan Aisyah dan Zainab binti Jahsy mengandung kemaslahatan syari’at.
A. Rasulullah ﷺ menikahi Aisyah dengan wahyu dari Allah[7] untuk menghapuskan adat mengikat tali persaudaraan yang berlaku diantara bangsa Arab sebelum Islam, dimana jika telah terjalin persaudaraan antara dua orang jadilah mereka sama dalam nasab. Oleh karena itu haram bagi salah satunya untuk menikahi putri sahabatnya yang telah mengikrarkan tali persaudaraan dengannya. Antara Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar t telah terjalin tali persaudaraan namun Rasulullah ﷺ menikahi putri Abu Bakar t untuk menjelaskan kepada umat bahwa adat yang berlaku di kalangan bangsa Arab adalah adat yang batil dan bertentangan dengan syari’at Islam.
Selain itu pernikahan Nabi ﷺ dengan Aisyah yang berumur muda dan cerdas mendatangkan maslahat yang sangat penting yaitu Aisyah meriwayatkan banyak hadits dari Rasulullah ﷺ serta meriwayatkan hadits-hadits yang berkaitan dengan kegiatan Rasulullah ﷺ di dalam rumah yang sulit untuk diketahui oleh para sahabat pada umumnya. Dan ini merupakan salah satu bentuk penjagaan keutuhan syari’at Islam (sunnah-sunnah Nabi ﷺ)
B. Rasulullah ﷺ menikahi Zainab binti Jahsy, inipun untuk menghapus adat yang berlaku dikalangan bangsa Arab sebelum datanganya Islam, dimana jika seseorang mengangkat seorang anak maka anak angkat tersebut mengambil hukum seperti anak keturunannya asli sehingga sang anak angkat dinasabkan kepadanya.
Allah melarang hal ini dengan firmanNya
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ (الأحزاب : 5 )
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (QS. 33:5)
Termasuk akibat dari disamakannya hukum anak angkat dengan anak keturunan adalah penerapan hukum yang berkaitan dengan pernikahan dan hal warisan. Maka seseorang tidak boleh menikah dengan bekas istri anak angkatnya sebagaimana ia tidak boleh menikah dengan bekas istri anak keturunannya. Pernikahan Nabi ﷺ dengan Zainab adalah dengan perintah Allah untuk menghilangkan adat ini, karena diantara tujuan diturunkannya syari’at diantaranya adalah untuk meluruskan kesalahan-kesalahan yang berlaku di adat kaum muslimin. Oleh karena itu tatkala Zaid bin Haritsah (yang ia merupakan anak angkat Nabi ﷺ) menceraikan istrinya Zainab binti Jahsy maka Allah memerintah Nabi ﷺ untuk menikahi Zainab.
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَراً وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً (الأحزاب : 37 )
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (QS. 33:37)
- Kemaslahatan politik
Tidak diragukan lagi bahwa diantara sarana dakwah adalah mengambil hati orang yang didakwahi dan hal ini bisa ditempuh dengan jalur pernikahan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ﷺ.
A. Pernikahan Nabi ﷺ dengan Jauriyah binti Al-Harits
Jauriyah adalah seorang wanita Yahudi dari kabilah bani Mushtholiq. Ayahnya adalah pemimpin kaumnya. Oleh karena itu diantara kemaslahatan pernikahan Nabi ﷺ dengan Juariyah adalah untuk menarik hati ayahnya dan juga kaumnya. Siasat seperti bukanlah perkara yang aneh, diantaranya telah terbukti tatkala sahabat At-Thufail bin ‘Amr Ad-Dausi masuk Islam –dan dia adalah pemimpin kabilah Daus– maka tujuh puluh orang dari kabilah Dauspun ikut masuk Islam bersamanya. Demikian juga yang terjadi pada pernikahan Nabi ﷺ dengan Juairiyah dimana ayahnya, saudara laki-lakinya, dan banyak orang dari kaumnya akhirnya masuk dalam Islam dan kemudian mereka menjadi para pembela Islam, padahal dahulunya mereka adalah musuh yang paling keras dalam menentang Islam.
B. Pernikahan Nabi ﷺ dengan Maimunah binti Al-Harits
Pernikahan Rasulullah ﷺ dengan Maimunah memperkuat hubungan silaturahmi antara beliau ﷺ dengan paman beliau Abbas karena Maimunah adalah saudara seibu Asma’ binti ‘Umais, juga menarik Kholid bin Al-Walid untuk masuk Islam karena Maimunah adalah saudara seibu Kholid bin Al-Walid. Pernikahan ini juga menjalin hubungan kekeluargaan dengan kabilahnya Maimunah yaitu kabilah bani Hilal yang termasuk kabilah-kabilah Arab yang tinggi
________
Penulis: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema: Suami Sejati (Kiat Membahagiakan Istri) – Series
________
Footnote:
[1] Pembahasan tentang hikmah Nabi ﷺ berpoligami di bawah ini merupakan ringkasan dari tulisan ‘ilmiah yang berjudul “Al-Asaaliib Al-Mustambathoh min ta’aamul Rasulillah ﷺ ma’a Zaujaatihi wa Atsaaruha At-Tarbawiyah” dari halaman 40-50”, disertai tambahan dari penulis
[2] Lihat penjelasan Syaikh Utsaimin tentang hikmah poligaminya Nabi ﷺ dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/11
[3] Asy-Syarhul Mumti’ XII/11
[4] Hal ini jika kita mengambil pendapat Al-Waqidi bahwa Khadijah berumur 40 tahun tatkala dinikahi oleh Nabi ﷺ
[5] HR Ahmad IV/27 no 16388
[6] HR Ahmad VI/307 no 26661 dan Ibnu Hibban ( Al-Ihsaan IX/372 no 4065)
[7] Sebagaimana telah lalu bahwasanya Rasulullah ﷺ melihat wajah Aisyah dalam mimpinya dan dikatakan bahwa Aisyah adalah istrinya.