10. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا جَآءَكُمُ ٱلْمُؤْمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰتٍ فَٱمْتَحِنُوهُنَّ ۖ ٱللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَٰنِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَءَاتُوهُم مَّآ أَنفَقُوا۟ ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا۟ بِعِصَمِ ٱلْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوا۟ مَآ أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوا۟ مَآ أَنفَقُوا۟ ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ ٱللَّهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
yā ayyuhallażīna āmanū iżā jā`akumul-mu`minātu muhājirātin famtaḥinụhunn, allāhu a’lamu bi`īmānihinna fa in ‘alimtumụhunna mu`minātin fa lā tarji’ụhunna ilal-kuffār, lā hunna ḥillul lahum wa lā hum yaḥillụna lahunn, wa ātụhum mā anfaqụ, wa lā junāḥa ‘alaikum an tangkiḥụhunna iżā ātaitumụhunna ujụrahunn, wa lā tumsikụ bi’iṣamil-kawāfiri was`alụ mā anfaqtum walyas`alụ mā anfaqụ, żālikum ḥukmullāh, yaḥkumu bainakum, wallāhu ‘alīmun ḥakīm
10. Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Tafsir :
Telah disebutkan sebelumnya bahwa pada tahun 6 hijriyah terjadi Perjanjian Hudaibiyah. Diantara kesepakatan antara Nabi dengan Suhail bin ‘Amr dalam perjanjian tersebut adalah barang siapa yang lari dari Makkah menuju Madinah, maka harus dikembalikan ke Makkah. Dan barang siapa yang lari dari Madinah menuju Makkah, maka harus dibiarkan([1]). Inilah salah satu point yang membuat para sahabat tidak menyetujuinya pada waktu itu. Karena hal itu menunjukkan bahwa setiap orang yang kabur dari Makkah menuju ke Madinah, harus dipulangkan ke Makkah. Dan setiap orang yang kabur dari Madinah menuju Makkah, tidak boleh dipulangkan. Artinya, orang-orang kafir ingin menang sendiri (banyak mendapatkan keuntungan)di dalam perjanjian tersebut.
Sebelum perjanjian tersebut ditanda tangani, datanglah Abu Jandal bin Suhail bin Amr. Abu Jandal adalah putra dari Suhail bin Amr yang kabur dari Makkah dalam keadaan kedua kakinya terbelenggu. Maka, ayahnya pun menahannya. Dia adalah orang pertama yang melarikan diri dari Makkah, namun karena perjanjian tersebut dia diperintahkan untuk kembali ke Makkah. Inilah yang membuat para sahabat tidak menerima keputusan tersebut dan berharap Nabi merubah pendapat beliau. Apalagi mereka dalam kondisi ihram. Namun, karena perjanjian tersebut telah disepakati, akhirnya mereka diperintahkan untuk pulang ke Madinah sehingga timbul sedikit kegaduhan diantara mereka. Singkat cerita, akhirnya semua para sahabat setuju dengan ketidakseimbangan pada perjanjian tersebut.
Yang menjadi masalah adalah ketika Nabi sudah kembali menuju Madinah ada beberapa orang wanita yang kabur dari Makkah menuju Madinah. Diantaranya adalah Subai’ah binti Al-Harits, dia lari dari suaminya yang bernama Shaifiyyu bin Ar-Rahib yang berada di Makkah. Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abu Mu’aith yang lari dari suaminya, yaitu ‘Amr bin Al-‘Ash yang waktu itu masih kafir mengejar istrinya dan memerintahkannya untuk kembali ke Makkah. Dan Umaimah binti Bisyr yang kabur dari suaminya, Tsabit bin Asy-Syamrah. ([2])
Tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah dalam menghadapi permasalahan ini terdapat khilaf di kalangan para ulama. Pertama, ada yang mengatakan bahwa Nabi menerima mereka. Karena yang berlaku dalam perjanjian Hudaibiyyah hanyalah kaum laki-laki yang kabur dari Makkah, adapun kaum perempuan tidak tercatat dalam perjanjian tersebut. Pendapat kedua, menurut para ahli tafsir bahwa yang disebutkan di dalam perjanjian Hudaibiyyah baik laki-laki maupun perempuan yang kabur dari Makkah menuju Madinah harus dikembalikan. Akan tetapi Allah me-mansukh-kan aturan tersebut([3]). Karena kondisi para wanita yang memberatkan, apabila mereka dikembalikan akan menimbulkan sesuatu yang membahayakan. Karena itulah, Nabi pun menerima mereka. Akan tetapi, Allah memerintahkan agar kaum perempuan yang kabur tersebut agar diuji terlebih dahulu. Apakah mereka benar-benar beriman?
فَامْتَحِنُوهُنَّ
“maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.”
Kata المِحْنَة bermakna ujian. Para ulama berbeda pendapat mengenai apa ujian tersebut?. Diantaranya apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya Nabi bertanya kepada mereka, “Apakah kalian beriman atau tidak? ucapkanlah Asy-hadu an laa ilaa ha illa Allah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah” Jika mereka mengucapkan demikian, maka Nabi akan melindungi mereka([4]). Pendapat yang kedua, Nabi bertanya kepada mereka atau beliau memerintahkan salah seorang sahabat seperti Umar bin Al-Khaththab untuk bertanya kepada mereka, “Kalian lari dari Makkah menuju Madinah apakah karena beriman kepada Allah dan RasulNya ataukah karena perkara duniawi?” Jika ternyata disebabkan perkara duniawi, maka mereka diperintahkan untuk pulang ke Makkah. Karena perintah Allah kepada Nabi untuk menguji mereka. Dan ternyata setelah diuji, menunjukkan bahwa mereka adalah wanita-wanita yang beriman([5]).
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ
“Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman.”
Artinya jika kalian sudah mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman sebelum mereka diuji, maka tidak perlu diuji lagi([6]). Artinya sebelum mereka kabur dari kota Makkah ke kota Madinah telah diketahui keislaman dan keimanan mereka, maka tidak perlu diuji. Yang perlu diuji adalah mereka yang diragukan keimanannya. Apakah mereka lari menuju Madinah karena Allah dan Rasul-Nya atau karena perkara duniawi.
فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ
“Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka)”
Jika kalian tahu mereka adalah orang-orang yang beriman, maka janganlah kalian kembalikan kepada suami-suami mereka, karena hal itu akan membahayakan bagi mereka.
لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ
“Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu.”
Dan Allah menekankan lagi,
وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka.”
Dari ayat ini janganlah dipahami bahwa pengharaman ini hanya berlaku kalau istri tinggal di Makkah. Namun, jika dia dan suaminya ikut tinggal di Madinah menjadi halal. Tidaklah demikian. Maka dari itu, Allah menekankan bahwa keduanya adalah haram. Meskipun suami dan istri tinggal di Makkah atau di Madinah, hukumnya tetap haram. Karenanya, Allah menjelaskan bahwa “Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka.” Artinya sang wanita haram untuk suaminya. Dan sang suamipun haram pula untuk istrinya. Maka permasalahannya bukan karena perbedaan tempat tinggal. Akan tetapi, karena masalah perbedaan agama.([7])
Namun, Allah bersikap adil sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya,
وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا
“Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan.”
Hendaknya perlu diingat, tatkala kaum mukminin menerima kaum wanita beriman yang kabur dari suami-suami mereka yang kafir. Sebagai bentuk keadilan, mereka pasti akan menuntut kepada kaum muslimin. Maka, Nabi dan kaum muslimin mengganti mahar atau biaya pernikahan yang dulu mereka bayarkan kepada istri-istri mereka.([8])
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.”
Wanita-wanita yang sudah terpisah dari suaminya yang kafir boleh dinikahi oleh kaum muslimin dengan syarat memberikan mahar kepada mereka sebagaimana akad pernikahan baru([9]). Oleh karenanya, para wanita yang kabur tersebut dinikahi oleh para sahabat. Contohnya adalah Subai’ah Al-Aslamiyah akhirnya dinikahi oleh Umar bin khaththab. Ummu Kultsum binti ‘Uqbah binti Abu Mu’aith dinikahi oleh Zaid bin Haritsah dan Umaimah binti Bisyr yang lari dari suaminya, Tsabit bin Asy-Syamrah, akhirnya dinikahi oleh Sahl bin Hunaif.
Maka penulis jika membaca sejarah Nabi dan para sahabat hampir tidak ada janda yang jomblo. Setiap kali ada janda, maka langsung dinikahi oleh para sahabat. Karena mereka mempunyai kepekaan yang sangat besar dalam tolong menolong kepada sesama. Apalagi yang meninggal dunia adalah teman mereka sendiri, maka istrinya akan ditolong oleh sahabat-sahabatnya yang masih hidup. dikarenakan mereka memiliki perhatian kepada para janda. Sebenarnya orang-orang pada zaman sekarang juga mempunyai perhatian kepada para janda, hanya saja mereka penakut. Jadi, para sahabat yang menolong para janda dengan menikahinya, bukan hanya karena sekedar kesenangan belaka. Akan tetapi, karena mengingat jasa para sahabat yang telah meninggal, menolong sesama dan yang lainnya.
Setelah itu Allah berfirman,
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kalian minta kembali mahar yang telah kalian berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
Kebalikan dari penjelasan sebelumnya, pada ayat ini Allah menjelaskan “dan kalian para lelaki yang beriman jangan berpegang dengan istri-istri yang kafir”. Kata العِصَم adalah bentuk jamak dari kata العِصْمَة dan الْكَوافِرjamak dari kata الْكَافِرة. Janganlah kalian berpegang teguh dengan عِصْمة الْكَوَافِرِ. Artinya Allah memerintahkan kepada para lelaki yang beriman untuk menceraikan istri-istri mereka yang masih kafir. Dan ini dipraktekkan oleh para sahabat seperti ‘Umar bin Al-Khaththab yang masih memiliki dua istri di Makkah, sedangkan keduanya adalah musyrik. Maka tatkala turun ayat ini ‘Umar pun menceraikan mereka berdua([10]). Karena Allah telah melarangnya,
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.”
Ibnu Taimiyyah menyebutkan di dalam Majmu’ Al-Fatawa bahwa ada tiga ayat yang berkaitan dengan masalah pernikahan beda agama ini. Adapun urutan-urutannya sebagaimana berikut:
Pertama: Ayat yang ada di surah Al-Mumtahanah ini,
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.”
Ini menunjukkan bahwa pernikahan beda agama termasuk kebiasaan kaum muslimin dahulu, hingga setelah perjanjian Hudaibiyyah. Oleh karenanya, Nabi menikahkan putri beliau, Zainab binti Muhammad dengan Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi’. ‘Umar juga menikah dengan wanita musyrik. Dan pernikahan beda agama seperti ini adalah hal yang biasa terjadi dan terus berlanjut hingga turunnya ayat ini.
Kedua: Firman Allah yang terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221)
Surah al-baqarah ini berisi larangan menikahi wanita-wanita musyrik. Entah itu dari Yahudi, Nasrani, Majusi atau penyembah berhala. Pelarangan ini bersifat umum, hingga dia beriman. Begitu juga larangan menikahkan wanita yang beriman dengan laki-laki musyrik hingga lelaki tersebut beriman. Dan tidak mungkin ayat ini turun sebelum ayat yang terdapat pada surah Al-Mumtahanah. Karena seandainya ayat ini turun terlebih dahulu, tentunya tidak akan terjadi pernikahan beda agama. Ini menunjukkan bahwa urutan turunnya ayat yang menjelaskan pernikahan beda agama adalah surah Al-Mumtahanah dahulu, lalu Al-Baqarah dan terakhir surah Al-Maidah([11]).
Ketiga: yaitu Firman Allah yang terdapat pada surah Al-Maidah ayat 5
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah: 5)
Ternyata yang berlaku pada ayat ini adalah pemberian keringanan kepada orang-orang yang beriman dengan dibolehkannya menikahi wanita-wanita dari kalangan Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dengan syarat wanita tersebut adalah الْمُحْصَنَاتُ yaitu wanita yang menjaga diri, bukan pelaku zina. Ini semua menunjukkan bahwasanya wanita yang beriman dilarang untuk menikah dengan lelaki yang berbeda agama dan untuk lelaki yang beriman boleh baginya untuk menikahi wanita yang berbeda agama dengan syarat dia dari golongan ahli kitab yang menjaga dirinya.
Tentunya ada hikmah kenapa Allah melarang wanita yang beriman menikah dengan laki-laki yang berbeda agama. Karena, biasanya tabiat seorang wanita selalu mengikuti lelaki.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri).” (QS. An-Nisa’ : 34)
Oleh karenanya Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut bahwa laki-laki (suami) adalah raja-raja di dalam rumah, mereka yang harus mengatur wanita([12]). Apabila seorang suami adalah orang kafir sedangkan istrinya adalah wanita yang beriman, maka sangat mudah bagi wanita untuk menjadi kafir. Berbeda halnya tatkala seorang suami adalah orang yang beriman sedangkan istrinya adalah wanita ahli kitab. Maka, bisa jadi istrinya mampu dipengaruhi untuk masuk islam pada suatu saat. Atau bisa jadi dia memiliki kemampuan untuk mengatur anak-anaknya dan itu merupakan bentuk tugas sebagai seorang suami. Intinya Allah menghalalkan hal tersebut dengan banyak hikmah. Terutama pada zaman sekarang ini, banyak kaum lelaki muslim yang belajar atau bekerja di beberapa negeri kafir, sehingga apabila mereka terpaksa harus menikah dengan wanita-wanita nasrani atau yahudi, maka hal itu dibolehkan di dalam syariat. Daripada mereka terjerumus dalam perzinahan. Dan siapa tahu istri-istri mereka suatu saat masuk kepada agama islam. Dan kenyataannya memang banyak dari mereka yang masuk kepada agama Islam.
Penulis sering ditanya, “Apakah wanita yahudi dan nasrani pada zaman dahulu sama dengan zaman sekarang?” Jawabannya adalah “iya sama-sama kafir.” Tidak ada perbedaan diantara mereka. Karena dahulu mereka kafir, sekarangpun mereka juga kafir. Maka, hukum menikahinya pun sama. Namun, dengan syarat wanita tersebut bukan seorang pezina.
Pada kesempatan yang lain ada juga yang bertanya, “Bolehkah seorang lelaki mukmin menikah dengan seorang wanita nasrani?” Jawabannya adalah boleh. Akan tetapi, perbuatan itu disayangkan, dikarenakan banyak wanita muslimah yang belum menikah. Apalagi banyak juga wanita muslimah yang menjanda. Hendaknya dia jangan berspekulasi dan jangan mengambil resiko, apabila dia tidak bisa menjadi pemimpin di rumah, bahkan dia yang malah dipimpin, maka bagaimana dengan nasib anak-anaknya dan agama mereka pada suatu saat. Apakah istrinya akan mengikutinya? Atau sebaliknya dia yang mengikuti istrinya yang beragama nasrani? Apalagi sebagian orang mengambil tindakan dengan membagi dua anak-anak mereka, dengan menjadikan sebagian muslim dan sebagian yang lain nasrani. Hal inipun sudah terjadi pada sebagian orang. Dan bahkan, terjadi pada sebagian orang bahwa semua anak-anaknya menjadi kafir. Sang ayah tidak mampu berbuat apapun. Maka, hal itu akan berdampak buruk baginya. Oleh karenanya, tidak mengapa bagi seorang muslim menikahi wanita yahudi mapun nasrani, jika memang dia memiliki kekuatan dan kemampuan, dan hal itupun tidaklah dilarang di dalam syariat.
Masalah berikutnya adalah bagaimana jika:
- Suami dan istri adalah orang-orang kafir, lalu salah satu dari mereka masuk Islam.
- Atau sebaliknya keduanya beragama Islam, lalu salah satu dari mereka murtad. Apakah dengan sebab itu pernikahan mereka menjadi batal saat itu juga. Artinya mereka cerai atau terpisahkan secara otomatis ataukah tidak?
Jawabannya:
Apabila masalahnya adalah suami istri sama-sama kafir, kemudian keduanya masuk agama Islam. Dalam syariat islam, pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang kafir dengan cara kekafiran atau menurut tradisi mereka sah, maka dianggap sah pula oleh syariat. Karenanya, apabila ada suami istri yang dahulu sama-sama kafir, lalu sama-sama masuk Islam. Maka tidak perlu memperbaharui pernikahan. Karena pernikahan mereka sah. Misalnya seperti seorang lelaki yang menikahi seorang wanita yang keduanya sama-sama beragama Nasrani atau Buddha atau agama lainnya. Entah mereka menikah dengan seorang wali maupun tidak, jika menurut agama mereka pernikahan tersebut sah, maka menurut agama Islam juga sah. Dan apabila mereka masuk Islam, maka mereka tidak perlu mengulangi lagi pernikahan mereka.
- Kemudian di dalam suatu kasus, apabila salah satu dari mereka, baik suami ataupun istri itu masuk agama Islam. Apakah yang terjadi? Apakah pernikahannya batal atau tidak? Ada khilaf dalam hal ini.
- Menurut sebagian ulama mengatakan bahwasanya pernikahan tersebut batal, apabila salah satu dari keduanya masuk agama Islam. Artinya dengan otomatis keduanya terceraikan.
- Menurut Imam Asy-Syafi’i, selama sang istri masih berada pada masa iddah. Maka pihak yang belum masuk islam disuruh masuk Islam. Jika dia masuk agama Islam, maka pernikahan tetap dilanjutkan. Misalnya ada sepasang suami istri yang kafir, kemudian sang istri masuk Islam, namun suaminya belum masuk Islam. Artinya mereka terceraikan. Akan tetapi, syariat memandang bahwa selama sang istri masih berada pada masa iddah([13]), maka dia boleh merayu suaminya untuk masuk agama Islam. Apabila suaminya masuk Islam di masa iddahnya tersebut, maka pernikahan tidak perlu diulangi. Akan tetapi, jika suaminya tidak mau masuk Islam hingga masa iddahnya selesai, maka mereka harus pisah. Dan wanita tersebut boleh dinikahi oleh kaum muslimin.
Dalam kasus tersebut berlaku apabila wanita tersebut sudah digauli oleh suaminya. Namun, jika wanita tersebut belum digauli oleh suaminya, maka tidak berlaku lagi masa iddah baginya.([14])
Banyak sekali dalil dalam masalah ini, diantaranya adalah jika yang memeluk agama Islam adalah sang suami terlebih dahulu, kemudian diikuti istrinya yaitu Abu Sufyan yang ketika masuk agama Islam pada tahun 8 hijriah, namun istrinya belum memeluk agam Islam. Namun, setelah beberapa waktu, akhirnya istrinya masuk agama Islam. Maka, mereka tidak perlu mengulangi pernikahan mereka. Pada masa itu mereka tidak dianggap telah cerai, karena sang istri telah memeluk Islam di masa iddahnya.
Adapun contohnya lain yang sebaliknya, yaitu jika yang memeluk agama Islam adalah sang istri terlebih dahulu, kemudian disusul oleh suaminya. Para ulama menyebutkan pernikahan antara Zainab dengan Abu Al-‘Ash. Zainab adalah putri Rasulullah yang telah memeluk agama Islam, namun suaminya saat itu belum masuk agama Islam. Dia memeluk agama Islam setelah beberapa waktu kemudian. Akan tetapi tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi menyuruh mereka untuk memulai dengan akad nikah yang baru. Ini menunjukkan bahwa selama di masa tersebut masih ada kesempatan untuk perbaikan, maka tidaklah mengapa.
- Kasus yang lain adalah apabila sepasang suami istri sama-sama muslim, kemudian salah satu dari keduanya murtad. Apakah otomatis terpisahkan? Hal ini pun terdapat khilaf yang sama sebagaimana dijelaskan pada point Yaitu ada pendapat yang mengatakan bahwa pernikahan tersebut otomatis terputus. Ada juga yang mengatakan bahwa pernikahan itu tidak terputus. Karena harus menunggu masa iddah istri terlebih dahulu. Artinya salah satu dari mereka harus mengajak yang lain untuk masuk kepada agama Islam terlebih dahulu. Jika salah satu dari keduanya yang murtad kembali kepada agama Islam, maka pernikahan tersebut tetap dilanjutkan. Akan tetapi, jika tidak. Maka, pernikahan tersebut terputus.
Dan pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i. Wallahu a’lamu bishshawab berdasarkan dalil yang ada pada zaman sahabat dahulu yaitu pada kasus yang terjadi pada Abu Sufyan dan Zainab putri Rasulullah. Baik suami yang lebih dahulu masuk islam ataupun istrinya. Dan itu sama halnya dengan salah satu dari mereka yang murtad, maka hendaknya dirayu terlebih dahulu untuk memeluk agama Islam. Jika di masa iddah mereka kembali masuk islam, maka pernikahan tersebut dilanjutkan. Dan jika tidak, maka mereka dianggap terpisah.
Berkaitan dengan ayat ini, As-Sa’diy mengatakan bahwa apabila ada seorang istri dari orang kafir yang kabur kepada kaum muslimin karena beriman. Maka, Allah memerintahkan untuk membayar mahar yang telah dikeluarkan oleh suaminya yang masih kafir. Inilah bentuk sikap keadilan. Suaminya sudah rugi, karena istrinya kabur darinya. Dan sebagai bentuk perdamaian diantara mereka, maka digantilah maharnya. Barang siapa yang merusak pernikahan seseorang yang membuat keduanya terpisahkan, maka dia harus membayar ganti rugi.([15])
__________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/61
([2]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/61
([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/62
([4]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/62
([5]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 28/156
([6]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/63
([7]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/63
([8]) Lihat: Ahkamul Qur’an Li Ibnu Al-‘Arabiy 4/230
([9]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/297
([10]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/65
([11]) Majmu’ Al-Fatawa Li Ibnu Taimiyyah 13/120
([12]) Tafsir Ibnu Katsir 2/292
([13]) Misalnya jika sang istri memiliki iddah tiga kali haid, maka dia memiliki masa tiga kali haid untuk merayu suaminya untuk masuk agama Islam.