Untuk Versi Cetak Silahkan Pesan dengan Klik Gambar Diatas!
Sejarah Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab
Tulisan ini merupakan sejarah singkat seorang alim ulama yang memiliki jasa yang besar dalam dakwah, di antaranya berdirinya negara Arab Saudi. Negara yang senantiasa berusaha untuk menjalankan syariat Islam dengan kelebihan dan kekurangannya. Beliau adalah sosok yang senantiasa menyeru kepada tauhid secara terperinci serta memerangi kesirikan dan kebid’ahan secara terperinci. Baca Selengkapnya
Kata Pengantar (Syarah Kitab At Tauhid)
Tidak diragukan bahwasanya tauhid adalah landasan bagi setiap amal. Amal sebesar dan sehebat apapun jika tidak dibangun di atas tauhid maka akan sia-sia dan sirna. Selengkapnya...
Kitab Tauhid كِتَابُ التَّوْحِيْدِ
Judul "Kitab Tauhid" menunjukkan bahwa tujuan dari penulisan kitab ini, bahwasanya dari awal hingga akhirnya adalah berkaitan dengan tauhid al-Uluhiyah. Penjelasan tentang definisinya, syarat-syaratnya, keutamaannya, dalil-dalilnya, buahnya, konsekuensinya, dan penyempurnanya. Baca selengkapnya...
(BAB-1) Keutamaan Tauhid dan Dosa-dosa yang Digugurkannya
Kaitan bab ini dengan bab sebelumnya sangat jelas. Jika di bab pertama dijelaskan tentang kewajiban tauhid disertai dengan menyinggung akan makna dan hakikat tauhid maka pada bab ini menjelaskan tentang keutamaannya, agar memotivasi untuk mempelajari dan menerapkan tauhid. Baca Selengkapnya...
(BAB-2) Memurnikan Tauhid Menyebabkan Masuk Surga Tanpa Hisab
Kaum mukminin masuk surga dengan beberapa model ;
Pertama : Masuk surga tanpa hisab, dan tentu tanpa adzab
Kedua : Masuk surga dengan dihisab terlebih dahulu dengan حِسَابًا يَسِيْرًا (hisab yang mudah).
(BAB-3) Takut Kepada Syirik
Keterkaitan bab ini dengan bab-bab sebelumnya adalah ketika penulis menyebutkan bab-bab sebelumnya tentang tauhid, keutamaan tauhid, dan secara khusus tentang keutamaan memurnikan tauhid maka setelah itu sangat tepat untuk menyebutkan tentang hakikat kesyirikan. Karena tauhid seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan mengenal lawannya yaitu kesyirikan.
(BAB-4) Dakwah Kepada Syahadat "LA ILAHA ILLALLAH"
Urutan bab-bab yang disebutkan oleh penulis adalah tertib yang sangat baik. Setelah seseorang memahami akan kewajiban bertauhid, lalu memahami keutamaan tauhid, lalu mengerti akan bahaya kesyirikan, setelah ia memahami tauhid untuk dirinya, maka tidak sempurna imannya dan tauhidnya kecuali setelah ia mendakwahkan tauhid kepada orang lain.
(BAB-5) Penjelasan Tentang Makna Tauhid dan Syahadat “LA ILAHA ILLALLAH”
Bab ini merupakan bab yang sangat penting, karena seluruh bab-bab sebelumnya dibangun di atas bab ini. Keutamaan tauhid bisa menggugurkan dosa-dosa, dan bahwasanya memurnikan tauhid bisa memasukkan seorang ke surga tanpa hisab, ini semua hanya bisa diraih jika mengamalkan tauhid dengan maknanya yang benar.
(BAB-6) Diantara Kesyirikan: Memakai Gelang, Benang Dst. Untuk Menghilangkan dan Menangkal Bencana
Masalah memakai gelang dengan tujuan untuk menolak bencana pada asalnya adalah syirik kecil. Penulis mendahulukan penyebutan syirik kecil sebelum menyebutkan tentang syirik besar, karena syubhat yang ada pada syirik kecil (dalam hal ini adalah menggunakan jimat berupa gelang dan yang semisalnya untuk menolak bala/bencana) lebih ringan dibandingkan dengan syubhat-syubhat yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang meminta dan berdoa kepada para wali yang telah meninggal dunia. Apabila telah diketahui bahwasanya ketergantungan kepada jimat merupakan kesyirikan maka bagaimana lagi jika itu ketergantungan dengan wali-wali dan mayat orang-orang shalih yang telah meninggal dunia?
(BAB-7) Tentang Ruqyah dan Tamimah
Diantara perkara yang tersebar di banyak penjuru dunia Islam adalah menggantungkan atau memakai jimat, baik pada anak-anak, maupun lelaki dewasa. Bahkan jimat juga digantungkan/dipakaikan pada rumah, mobil, dan hewan. Semua ini dilakukan dengan niat agar terhindar dari gangguan, bencana, atau penyakit ‘ain, dan yang lainnya. Ternyata aqidah yang mengakar di sebagian masyarakat Islam tentang jimat bukanlah aqidah yang baru muncul, akan tetapi sudah ada sejak zaman jahiliyah. Tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diutus, beliau mengingatkan akan bahayanya jimat bahwasanya jimat merupakan kesyirikan yang berbahaya.
(BAB-8) Barangsiapa yang Mengharapkan Berkah Dari Pohon, Batu dll
Tidak diragukan lagi bahwasanya keberkahan adalah perkara yang dicintai dan dicari-cari. Akan tetapi sebagian orang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mencarinya, sehingga mencari pada yang bukan sumber keberkahan. Bahkan terjerumus dalam praktik-praktik kesyirikan, dikarenakan kebodohan dan kejahilan.
(BAB-9) Menyembelih Binatang untuk Selain Allah
Penulis (As-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab) mengkhususkan pembahasan tentang kesyirikan menyembelih kepada selain Allah karena begitu tersebarnya kesyirikan ini di negeri-negeri kaum muslimin. Begitu banyak orang yang menyembelih untuk jin dengan berbagai bentuknya, seperti dalam rangka membangun rumah (agar tidak diganggu oleh jin penunggu tanahnya) atau untuk membangun jembatan, untuk membelah atau mengebor gunung (bukit), untuk dilepaskan ke laut agar penjaga laut tidak marah, untuk dewi padi, untuk syarat pengobatan, untuk memenuhi persyaratan dukun, dll.
(BAB-10) Dilarang Menyembelih Binatang Karena Allah di Tempat Penyembelihan Kepada Selain Allah
Pembahasan pada bab ini sangat erat kaitannya dengan bab sebelumnya. Kalau bab sebelumnya (tentang larangan menyembelih kepada selain Allah) berkaitan dengan al-maqoshid (tujuan), adapun bab ini berkaitan dengan al-wasail yaitu sarana-sarana yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan.
(BAB-12) Termasuk Kesyirikan Meminta Perlindungan Kepada Selain Allah
Pada bab sebelumnya penulis membawakan beberapa bentuk kesyirikan seperti menyembelih untuk selain Allah yang secara dzhahir merupakan amal perbuatan tubuh, kemudian bernadzar untuk selain Allah yang berkaitan dengan perkataan. Pada bab ini penulis membawakan kesyirikan isti’adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah yang secara dzhahir berkaitan dengan hati. Meskipun Isti’adzah terkadang terucap dengan perkataan.
(BAB-13) Termasuk Kesyirikan Beristighotsah dan Berdoa Kepada Selain Allah
Salah satu bentuk kesyirikan adalah beristighasah atau berdoa kepada selain Allah. Istighootsah adalah meminta pertolongan tatkala dalam kondisi sangat mendesak, ia lebih khusus dari pada al-istiáanah yang berarti meminta pertolongan secara mutlak.
(BAB-14) Tidak Seorangpun Yang Berhak Disembah Selain Allah
Bab ini menjelaskan tentang dalil-dalil tauhid. Yang mana menunjukkan akan kejelasannya dan gamblangnya perkara tersebut, sampai-sampai orang awam pun tidak akan merasa samar dengan hal tersebut.
(BAB-15) Malaikat Makhluk Yang Agung Saja Begitu Takut Kepada Allah
Berikut Diantara keistimewaan dan karakteristik yang ada pada diri malaikat namun itu tidak dijumpai pada diri manusia. Baca selengkapnya...
(BAB-16) Syafa'at الشَّفَاعَةُ
Kata الشَّفَاعَةُ Syafaat diambil dari kata الشَّفْعُ yang artinya genap. Orang yang meminta syafaat dia meminta kepada pemberi syafaat agar sang pemberi syafaat ini meminta bantuan kepada pihak ketiga. Sehingga yang awalnya dia sendiri, sekarang digenapkan oleh pemberi syafaat.
(BAB - 18) Penyebab Utama Kekafiran Adalah Berlebihan Dalam Mengagungkan Orang Shaleh
Sesungguhnya dalil-dalil tentang tauhid sangatlah banyak, yang menunjukkan akan ke-Esa-an Allah dan bahwasanya Dia-lah Dzat satu-satunya yang berhak disembah. Meskipun demikian, kesyirikan di tengah manusia tetap saja terjadi, diantara salah satu sebabnya adalah sikap berlebih-lebihan terhadap orang shalih. Bahkan berlebihan-lebihan terhadap orang shalih merupakan sebab kesyirikan yang paling pertama terjadi di muka bumi, sebagaimana yang akan datang penjelasannya. Baca selengkapnya...
(BAB-19) Tentang Sikap Keras Rasulullah terhadap Orang yang Beribadah kepada Allah di Sisi Kuburan Orang Shalih maka Bagaimana Pula jika Orang Shalih itu Disembah?
Diantara bentuk kasih sayang Nabi kepada ummatnya adalah Nabi menjelaskan sekaligus memperingatkan dari segala wasilah (sarana) yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan. Jika perbuatan-perbuatan yang di bawah kesyirikan saja, seluruh sarana-sarana yang dapat mengantarkan kepadanya dilarang oleh Nabi, apalagi jika perbuatan-perbuatan itu adalah sarana-sarana menuju kesyirikan, tentu lebih dilarang.
(BAB-20) Tentang Sikap Berlebihan terhadap Kuburan Orang-Orang Shalih Akan Menjadikan (Kuburan) Itu Sebagai Berhala yang Disembah Selain Allah
Sangat disayangkan ternyata realita yang terjadi di masyarakat adalah justru pengagungan-pengagungan terhadap kubur sangat marak terjadi. Bahkan di sebagian kuburan-kuburan disediakan tempat khusus untuk beribadah disitu, yang tidak lain semua itu diambil dari tradisi orang-orang Syiah yang gemar berlebih-lebihan terhadap kuburan-kuburan orang shalih.
(BAB-21) Bab Tentang Penjagaan Nabi Pada Sisi-Sisi Tauhid dan Bagaimana Nabi Menutup Segala Jalan Menuju Kesyirikan
Di dalam syariat dikenal kaidah سَدُّ الذَّرِيْعَةِ (saddudz dzari’ah), yaitu menutup segala sarana yang bisa mengantarkan kepada keharaman. Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat agung dan telah dijelaskan panjang lebar oleh para ulama.
(BAB-22) Tentang Keterangan Bahwa Sebagian Umat Ini Ada yang Menyembah Berhala
Di dalam masalah mengkafirkan kaum muslimin, manusia terbagi ke dalam tiga golongan, sebagai berikut.
(BAB-23) Sihir مَا جَاءَ فِي السِّحْرِ
Ahlussunnah berkeyakinan bahwa sihir itu adalah hal yang hakiki dan bisa berpengaruh secara nyata pada anggota tubuh. Hal ini ditetapkan berdasarkan dalil dari Al-Quran, Hadits, dan realita.
(BAB-24) Penjelasan Dari Sebagian Macam-Macam Sihir
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan bab ini dengan maksud untuk menjelaskan bahwa nash-nash yang berkaitan dengan sihir bukan hanya datang membahas tentang kategori sihir secara syar’i yaitu sihir yang sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa pelaku sihir itu melakukan perbuatan syirik akbar serta murtad dan hukumnya adalah dibunuh dengan cara dipenggal, akan tetapi ada juga hal-hal yang disebut dengan sihir namun hukumnya tidak seperti itu, melainkan sihirnya masuk dalam kategori sihir secara bahasa. Baca selengkapnya...
(BAB-25) Tentang Para Dukun dan Yang Semisal
Pembahasan bab ini penting karena kita tahu bahwa di tanah air kita terdapat banyak dukun. Bahkan berita yang beredar adalah dukun-dukun di negeri kita di ekspor ke luar negeri karena saking banyaknya. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab membawakan bab tentang dukun setelah bab penyihir adalah karena antara dukun dan penyihir memiliki keterkaitan yang sangat erat, meskipun terdapat perbedaan antara sihir dan perdukunan. Baca selengkapnya...
(BAB-26) An-Nusyrah مَا جَاءَ فِي النُّشْرَةِ
Nusyrah memiliki dua model:
Model yang pertama adalah nusyrah dengan cara yang syar’i, yaitu dengan menggunakan ruqyah syar’iyah, obat-obatan, dan doa-doa yang dibolehkan. Pengobatan dengan model pertama dibolehkan bahkan dianjurkan.
Model yang kedua adalah nusyrah dengan sihir (sihir dihilangkan dengan sihir).
(BAB-27) Tathayyur ما جاء في التطير
At-Tathayyur atau Thiyarah adalah mengait-ngaitkan nasib sial dengan sesuatu yang dilihat, didengar, atau dengan angka-angka tertentu, yang dengan hal-hal tersebut dianggap mendatangkan kesialan.
(BAB-28) Ilmu Perbintangan مَا جَاءَ فِيْ التَّنْجِيْمِ
Dalam sebuah hadis, “Barangsiapa mempelajari sebagian dari ilmu nujum (perbintangan), maka ia telah mempelajari bagian dari sihir. Semakin bertambah ilmu yang dia pelajari, semakin bertambah sihir yang dia pelajari."
Lantas bagaimana sebenarnya Ilmu perbintangan itu?
(BAB-29) Mengisbatkan Turunnya Hujan Kepada Bintang
Pada bab sebelumnya kita telah membahas tentang mengaitkan gerakan-gerakan bintang dengan masa depan yang merupakan bagian dari ilmu perdukunan, dan hukumnya adalah syirik akbar. Adapun kaitan bab sebelumnya dengan bab ini adalah juga sama-sama kesyirikan, namun bab ini hanya sampai pada derajat syirik kecil, karena mengisbatkan turunnya hujan dengan bintang-bintang tertentu. Namun kita akan bahas beberapa bentuk kesyirikan yang terjadi dengan mengisbatkannya turunnya hujan terhadap bintang. Baca selengkapnya...
(BAB-30) Cinta Kepada Allah
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mulai membawakan pada bab ini ibadah-ibadah hati yang sangat agung, dan beliau memulai dengan bab Al-Mahabbah (cinta).
(BAB-32) Tawakkal Kepada Allah
Tawakkal (التَّوَكُّلُ) dibangun di atas dua perkara, yaitu menyerahkan urusan sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan melakukan sebab. Apabila seseorang hanya bersandar pada salah satunya, maka tawakkalnya telah keliru.
(BAB-33) Merasa Aman Dari Makar Allah
Bab ini merupakan kelanjutan dari bab tentang takut kepada Allah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam bab ini membawakan dua penyakit yang sangat berbahaya, yaitu merasa aman dari makar Allah dan putus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa ta'ala.
(BAB-34) Bersabar Akan Takdir Allah
Sabar merupakan ibadah yang sangat mulia. Terlalu banyak dalil yang menunjukkan tentang keutamaan sabar. Dalam artikel ini kita akan menyibak apa itu sabar, macam-macam sabar, dan pahala sabar. Simak selengkpanya...
(BAB-35) Riya' ما جاء في الرياء
Riya’ berasal dari kata رَاءى – يُرَائِي – مُرَاءاةً ، رِئَاء ، رِيَاءً yang artinya memperlihatkan. Apa yang diperlihatkan? Yaitu memperlihatkan amal saleh kepada orang lain agar mendapat pujian atau pengakuan mereka. Baca selengkapnya...
(BAB-36) Termasuk Kesyirikan Beramal Saleh Untuk Kepentingan Dunia
Pembahasan ini merupakan kelanjutan dari pembahasan pada bab sebelumnya yaitu tentang riya’. Perlu untuk kita ketahui sebelumnya bahwa keinginan seseorang terhadap dunia itu ada dua, pertama adalah mengharapkan pujian, dan yang kedua adalah selain pujian. Maka dari itu kita ketahui bahwa riya’ merupakan salah satu bentuk dimana seseorang beramal saleh untuk dunia, yaitu ingin meraih pujian. Akan tetapi yang dimaksud dalam pembahasan pada bab ini adalah menginginkan bentuk dunia yang lain, yaitu dimana seseorang ingin meraih dunia selain riya’ dengan cara beramal saleh, seperti ingin meraih harta dan yang lainnya. Maka yang demikian juga termasuk dalam syirik. Baca selengkapnya...
(BAB-37) Barangsiapa Yang Menaati Ulama dan Umara Dalam Mengharamkan Yang Allah Halalkan atau Menghalalkan Yang Allah Haramkan Maka Dia Telah Menjadikan Mereka Tuhan-Tuhan Selain Allah
Pada bab ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyinggung tentang salah satu jenis kesyirikan yang disebut dengan Syirk At-Tha’ah, yaitu ketaatan yang sampai mengantarkan kepada kesyirikan. Baca selengkapnya...
(BAB-38) Berhukum Dengan Hukum Selain Allah
Pada bab sebelumnya kita membahas tentang orang yang mengambil hukum dengan selain hukum Allah, adapun pada bab ini kita akan membahas tentang orang yang dia tidak membuat hukum, akan tetapi dia ingin berhukum dengan hukum yang ada, tetapi hukum tersebut bukan hukum Allah Subhanahu wa ta'ala. contohnya seperti seseorang yang di keluarganya terjadi kematian dan pembagian warisan, maka kemudian ada ahli waris tidak membagi warisan dengan hukum Islam karena mungkin merasa bahwa dia akan dapat sedikit bagian, sehingga dia mau berhukum dengan hukum negara yang hakikatnya bertentangan dengan hukum Islam.
(BAB-39) Orang Yang Menolak Sebagian Dari Al-Asma’ wa Shifat
Pembahasan pada bab ini berkaitan tentang tauhid Asma’ wa Shifat, bahwasanya ada sebagian orang yang mengingkari atau menyimpang dalam tauhid Asma’ wa Shifat dengan mengingkari sebagian nama-nama atau sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta'ala. Pengingkaran dan penyimpangan dalam hal ini dimulai dari Kebid'ahan yang dilakukan oleh Ja'ad bin Dirham, kemudian Jahm bin Shafwan, kemudian diikuti oleh orang-orang Mu'tazilah, kemudian diikuti oleh Kullabiyyah, kemudian diikuti oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah.
(BAB-40) Mereka Mengetahui Nikmat Allah Kemudian Mengingkarinya
Maksud dari bab ini dan bab-bab setelahnya adalah tentang bagaimana seorang berhati-hati dalam berkata-kata, agar jangan sampai dia menodai tauhidnya dengan perkataan yang salah. Di antara perkataan yang bisa menodai tauhid kita adalah menyandarkan nikmat kepada selain Allah Subhanahu wa ta'ala, atau menyandarkan nikmat kepada sebab dan bukan kepada Al-Musabbib (yang menciptakan sebab) yaitu Allah Subhanahu wa ta'ala. Pembahasan ini menjadi pembahasan yang juga penting karena tauhid harus bersih dan jangan sampai ternodai dengan sedikit noda pun. Oleh karena itu dalam berkata-kata pun kita harus berhati-hati karena salah berkata bisa menodai kemurnian tauhid kita.
(BAB-41) Jangan Menjadikan Bagi Allah Tandingan-tandingan
Bab ini adalah penyempurna dari bab sebelumnya, dimana bab sebelumnya membahas tentang orang-orang yang menyandarkan suatu nikmat kepada sebab dan bukan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, yang itu merupakan syirik yang berkaitan dengan lafal. Maka pembahasan pada bab ini juga berkaitan hal tersebut, yaitu perkara yang termasuk syirik lafal.
(BAB-42) Orang Yang Tidak Puas Terhadap Sumpah Dengan Nama Allah
Maksud dari bab ini adalah tentang seorang yang tidak mau menerima atau puas dengan sumpah orang lain kepadanya, meskipun orang tersebut telah bersumpah dengan nama Allah. Sikap seperti ini adalah sikap yang mencoreng kemurnian tauhid seseorang.
(BAB-43) Ucapan Seseorang “Atas Kehendak Allah dan Kehendakmu”
Pada bab sebelum-sebelumnya telah kita sebutkan berbagai macam bentuk orang-orang yang mengambil tandingan-tandingan bagi Allah. Di antara bentuk mengambil tandingan bagi Allah adalah dengan mengatakan, “Atas kehendak Allah dan kehendakmu”.
(BAB-44) Barangsiapa Yang Mencela Masa (zaman) Maka Dia Telah Mengganggu Allah
Pada bab ini, kita masih melanjutkan pembahasan tentang syirik-syirik yang berkaitan dengan lafal, sebagaimana yang telah kita bahas pada beberapa bab-bab sebelumnya. Di antara syirik lafal tersebut yang akan kita bahas dalam bab ini adalah mencela masa. Akan tetapi perlu kembali untuk kita ingatkan bahwa syirik lafal hukum asalnya adalah syirik kecil, namun dia bisa berubah menjadi syirik akbar jika memenuhi persyaratan tertentu.
(BAB-45) Penggunaan Gelar Qadhil Qudhat (Hakimnya para hakim) dan yang Semisalnya
Bab ini dibawakan oleh penulis Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk menjelaskan bahwasanya di antara kesempurnaan tauhid adalah menjauhi ungkapan seperti “Rajanya para raja”, “Hakimnya para hakim”, atau “Pemimpin seluruh manusia”. Ungkapan gelar-gelar seperti ini perlu untuk dihindari karena mengandung dua hal, yang pertama adalah gelar tersebut adalah kebohongan karena rajanya para raja atau hakimnya para hakim adalah Allah Subhanahu wa ta'ala, yang kedua adalah karena gelar-gelar tersebut berisi pengagungan dan menunjukkan kesempurnaan yang seharusnya hal itu hanya dimiliki oleh Allah Subhanahu wa ta'ala.
(BAB-46) Memuliakan Nama-nama Allah dan Mengganti Nama Demi Tujuan Tersebut
Bab ini masih berkaitan dengan pembahasan pada bab sebelumnya. Pada bab sebelumnya telah kita sebutkan bahwa tidak boleh seseorang menamakan dirinya dengan Malikal Amlak atau Qadhil Qudhat, adapun pada bab ini adalah orang-orang yang telah telanjur menamakan dirinya dengan nama-nama tersebut dan dia telah tahu bahwa itu terlarang maka hendaknya dia mengubahnya.
(BAB-47) Mengejek Allah, Al-Quran Atau Rasulullah Sebagai Candaan
Bab ini menjelaskan tentang hukum mengolok-olok atau mengejek atau menjadikan Allah, Rasul-Nya, atau Al-Quran sebagai candaan. Hukum akan hal ini adalah bisa mengeluarkan seseorang dari Islam, karena tidaklah dia melakukan hal tersebut kecuali itu menunjukkan bahwa tidak ada iman di dalam hatinya. Baca selengkapnya..
(BAB-48) Mensyukuri Nikmat Allah
Manusia terkadang diuji sehingga akhirnya mereka bersabar, dan terkadang diberi kenikmatan sehingga mereka bersyukur. Maka barangsiapa yang bisa menggabungkan keduanya hal tersebut maka imannya sempurna.
(BAB-49) Nama Yang Diperhambakan Kepada Selain Allah
Pembahasan kita tentang pada bab ini adalah tentang bagaimana hukum pemberian nama kepada selain Allah Subhanahu wa ta'ala. Kita tahu bahwa terkadang ada nama yang disandarkan kepada tempat seperti Abdul Ka'bah, kepada sesembahan seperti Abdul ‘Uzza. Maka para ulama memberikan perincian terkait hukum tersebut. Baca selengkapnya...
(BAB-50) Menetapkan Al-Asma’ Al-Husna Hanya Untuk Allah dan Tidak Menyelewengkannya
Pembahasan pada bab ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memasukkan bahasan tentang tauhid Al-Asma’ wa Shifat. Dan kita tahu bahwasanya Kitab Tauhid ini pokok pembahasannya adalah tentang Tauhid Uluhiyah, namun dalam sebagian pembahasannya terkadang beliau menyebutkan tentang tauhid Al-Asma’ wa Shifat. Namun demikian, pembahasan ini pun masih ada hubungannya dengan Tauhid Uluhiyah, karena siapa yang menyimpang dalam tauhid Al-Asma wa Shifat maka dia pasti akan menyimpang dalam Tauhid Uluhiyah.
(BAB-51) Larangan Mengucapkan “Assalamu ‘alallah”
Pembahasan ini berkaitan dengan Kitab Tauhid karena diantara kesempurnaan tauhid adalah pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa ta'ala, baik dengan hati, baik dengan anggota tubuh, bahkan juga dengan lisan. Baca selengkapnya...
(BAB-52) Perkataan: Ya Allah Ampuni Aku Jika Engkau Berkehendak
Pembahasan ini berkaitan dengan Adab kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Pada pembahasan sebelumnya kita telah membahas tentang larangan mengucapkan “Assalamu ‘alallah”, karena hal itu di antara bentuk tidak beradab kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Dan di antara kesempurnaan tauhid seseorang adalah dia beradab kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, Tuhan pencipta alam semesta, dalam segala hal yang seluruhnya berkaitan dengan Allah Subhanahu wa ta'ala, baik itu beradab tatkala menyebut Allah Subhanahu wa ta'ala, beradab tatkala menyebut syariat Allah Subhanahu wa ta'ala, beradab tatkala menyebut aturan-aturan Allah Subhanahu wa ta'ala, beradab tatkala menyebut tentang kitab dan utusan Allah Subhanahu wa ta'ala, dan yang lainnya. Ini semua adalah konsekuensi dari tauhid, yaitu beradab kepada Allah dalam segala hal yang berkaitan dengan Allah Subhanahu wa ta'ala. Maka pembahasan kita pada bab ini adalah tentang beradab dalam berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. BACA SELENGKAPNYA..
(BAB-53) Larangan Mengucapkan “Abdi dan Amati” (Hambaku)
Pembahasan ini tentunya berkaitan zaman dahulu ketika masih ada perbudakan, yaitu seorang majikan tidak boleh memanggil budak laki-lakinya dengan عَبْدِي “Abdi” dan bagi budak perempuannya dengan mengatakan أَمَتِي “Amati”. Hadits di atas mengajarkan kepada kita untuk tidak sembarang mengucapkan lafal, karena lafal juga berkaitan dengan masalah tauhid.
(BAB-54) Larangan Menolak Permintaan Orang Yang Menyebut Nama Allah
Di antara bentuk pengagungan seseorang terhadap tauhid adalah tatkala seseorang meminta sesuatu kepada kita dengan menyebut nama Allah kita memberikan apa yang dia minta selama kita mampu. Baca selengkapnya...
(BAB-55) Tidak Meminta “Dengan wajah Allah” Kecuali Meminta Surga
Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk memohon dengan mengucapkan “Dengan wajah Allah” kecuali jika dia memohon untuk meminta surga. Adapun jika yang diminta adalah hal yang sifatnya duniawi baik meminta kepada Allah ﷻ atau kepada seseorang seperti ketika dia berkata kepada orang lain, “Aku meminta dengan wajah Allah berikan aku harta dan rumah!” atau hal lainnya yang bersifat dunia maka hukumnya haram.
(BAB-56) Hukum Mengucapkan “Seandainya”
Kata لَوْ “Seandainya” dalam bahasa Arab memiliki banyak fungsi. Lalau bagaimana ketika seseorang sering berucap seandainya. Simak selengkapnya...
(BAB-57) Larangan Mencaci Angin
Pembahasan tentang mencela angin merupakan pembahasan yang wajar sebab angin merupakan makhluk yang diperintahkan dan diatur oleh Allah ﷻ. Tidak seperti manusia yang memiliki kehendak, angin berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki dan diperintahkan oleh Allah ﷻ. Berdasarkan ini, siapa saja yang mencela angin maka seakan-akan secara tidak langsung ia mencela Allah ﷻ, sebab yang meniupkan dan menghembuskan angin tersebut adalah Allah ﷻ semata. Bermaksud atau tidak bermaksud untuk mencela Allah ﷻ, maka perbuatan tersebut tidak dibenarkan oleh syari’at islam, karena perbuatan tersebut mencerminkan tidak beradabnya seseorang kepada Allah ﷻ sehingga mengurangi kadar tauhidnya. Adapun jika mencela angin dengan bermaksud untuk mencela Allah ﷻ, maka tentu ini merupakan kekafiran. BACA SELENGKAPNYA...
(BAB-58) Larangan Berprasangka Buruk Terhadap Allah ﷻ
Dan kebanyakan manusia melakukan prasangka buruk kepada Allah ﷻ, baik dalam hal yang berkenaan dengan diri mereka sendiri, ataupun dalam hal yang berkenaan dengan orang lain, bahkan tidak ada orang yang selamat dari prasangka buruk ini, kecuali orang yang benar-benar mengenal Allah, Asma dan sifat-Nya, dan mengenal kepastian adanya hikmah dan keharusan adanya puji bagi-Nya sebagai konsekwensinya. BACA SELENGKAPNYA...
(BAB-59) Mengingkari Takdir
Pembahasan masalah takdir adalah pembahasan yang penting dalam masalah tauhid, bahwasanya di antara kesempurnaan tauhid seseorang adalah dia beriman kepada takdir Allah Subhanahu wa ta'ala. Kebanyakan orang yang menyimpang dalam takdir karena menggunakan akal yang berlebihan sebagaimana yang dilakukan oleh Ma’bad Al-Juhani, dia terlalu dalam menggunakan akalnya sampai memperdalam pada hal-hal di luar ranah akal tersebut. Oleh karenanya banyak orang yang mengingkari takdir dan terjerumus dalam penyimpangan takdir karena menggunakan akal di luar ranahnya. Baca selengkapnya...
(BAB-60) Ancaman Untuk Para Pembuat Patung atau Gambar
Adapun menggambar makhluk bernyawa, maka hukumnya haram secara muthlaq. Dan hukum menggambar itu berbeda dengan hukum menyimpan gambar atau menyimpan benda yang terdapat gambar. Baca selengkapnya...
(BAB-61) Tercelanya Kebanyakan Bersumpah
Maksudnya di antara adab kepada Allah ﷻ adalah seseorang tidak banyak bersumpah dengan menyebut nama-nama Allah ﷻ kecuali kepada perkara-perkara yang penting. Baca selengkapnya..
(BAB-65) Tentang Penjagaan Nabi ﷺ Terhadap Pagar Atau Sekitar Tauhid Dan Penutupan Pintu-Pintu Syirik
Apa perbedaan antara kedua bab ini? Perbedaannya adalah bahwa kata جَنَابَ “sisi” adalah bagian dari tauhid. Adapun حِمَى "pagar atau sekitar” bukan bagian dari substansi tauhid akan tetapi dia hanya bagian sekitar tauhid. Perbedaan ini dibahas agar tidak terjadi salah paham seakan-akan bab ini terulang. Sebenarnya kedua bab ini berbeda. Agar lebih jelas, perhatikan perbandingan tentang 2 hadits yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam dua bab tersebut. Baca selengkapnya...
(BAB-66) Keagungan Allah ﷻ
Bab ini adalah bab terakhir yang disusun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah ta’ala dengan penyusunan yang sangat indah dimana beliau menutup kitab tauhid yang berjumlah enam puluh enam bab ini dengan penjelasan sebab terjadinya kesyirikan yang tidak lain adalah perbuatan tidak mengagungkan Allah ﷻ sebagaimana mestinya. Seandainya seluruh manusia mengagungkan Allah ﷻ sebagaimana mestinya, maka tentu kesyirikan tidak akan pernah terjadi. Akan tetapi kenyataannya banyak manusia yang lalai dalam hal ini, sehingga mereka melakukan kesyirikan dengan menyamakan Allah ﷻ dengan makhluk. Maka pada bab ini akan dijelaskan bagaimana agungnya Allah ﷻ dan sebab terjadinya kesyirikan yaitu sikap tidak mengagungkan Allah ﷻ sebagaimana mestinya. Baca selengkapnya..