2. قُمِ ٱلَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا
qumil-laila illā qalīlā
2. bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya).
Tafsir :
Jika sekiranya waktu antara shalat isya dan subuh adalah delapan jam, maka ayat menjelaskan kepada kita bahwa kita diperintahkan shalat malam kurang lebih enam jam (lebih sedikit dari sepenuhnya), atau empat jam (setengahnya), atau tiga jam (lebih sedikit dari setengah), atau lima jam (lebih dari setengahnya). Intinya adalah ayat ini merupakan dalil diperintahkannya shalat malam.
Sebagian ulama kontemporer menamakan surah Al-Muzzammil ini adalah surah زَادُ الدَّاعِيَةِ (bekal seorang Da’i). Karena ayat-ayat ini turun di awal-awal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah, dimana di siang hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan berdakwah menghadapi berbagai macam cobaan dan gangguan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus memulihkan kembali imannya di malam hari. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan beliau untuk shalat dengan lama, karena untuk “mencharger” iman juga membutuhkan waktu yang lama, agar di siang hari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mudah berbagai macam problematika kehidupan dan dakwah. Maka orang yang ingin dimudahkan urusannya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, maka sisihkanlah waktu untuk bangun malam dan bermunajat kepada Rabb-Nya. Barangsiapa yang merelakan dirinya untuk melawan kantuk dan rasa nikmat dari tidurnya karena Allah Subhanahu wa ta’ala, maka tentu usahanya akan menjadi perhatian Allah Subhanahu wa ta’ala, terlebih lagi jika dia bermunajat di sepertiga malam yang terakhir.
Berdasarkan ayat ini, sebagian para ulama berdalil bahwasanya yang menjadi patokan seseorang dalam shalat malam bukanlah jumlah rakaat, melainkan adalah berapa lama seseorang shalat malam. Karena para ulama telah Ijma’ bahwasanya shalat malam boleh lebih dari 11 rakaat, dan ini juga merupakan pendapat yang dipraktikan sebagian sahabat dan tabi’in, dan juga pendapat empat imam mazhab, dan tidaklah menyelisihi hal ini kecuali ulama muta’akhirin seperti Ash-Shan’ani yang mengatakan bahwa barangsiapa yang melanggengkan shalat tarawih 20 rakaat maka itu adalah bid’ah. Akan tetapi sebenarnya shalat malam lebih dari sebelas rakaat adalah boleh menurut ijma’ para ulama, dan banyak tulisan dalam masalah ini, karena yang menjadi patokan seseorang dalam ibadah di malam hari adalah waktunya dan bukan jumlah rakaatnya sebagaimana dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang masalah waktu. Oleh karenanya dalam suatu hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ، وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَيَصُومُ يَوْمًا، وَيُفْطِرُ يَوْمًا
“Shalat yang paling Allah cintai adalah shalatnya Nabi Daud ‘alaihissalam. Nabi Daud ‘alaihissalam tidur hingga pertengahan malam lalu shalat pada sepertiganya kemudian tidur kembali pada seperenam akhir malamnya.” (Muttafaqun ‘alaih)([1])
Dan Allah Subhanahu wa ta’ala juga memuji orang-orang bertakwa dalam firman-Nya,
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam.” (QS. Adz-Dzariyat : 17)
Maka yang menjadi patokan adalah waktunya dan bukan masalah jumlah rakaat. Oleh karenanya dahulu para salaf berusaha untuk shalat malam dengan waktu yang lama. Adapun untuk mencapai shalat malam yang lama ini, bisa ditempuh dengan dua metode, yaitu mempersedikit rakaat dan memperpanjang berdiri sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau dengan memperpendek berdiri dan memperbanyak rakaat sebagaimana yang diterapakn oleh para salaf. Adapun metode yang tepat bagi seseorang maka kembali kepada orang tersebut, yang terpenting adalah waktu habis dengan shalat.
_______________________________
Footnote :