6. وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ
wa lā tamnun tastakṡir
6. dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
Tafsir :
Kata الْمَن dari kata تَمْنُنْ maknanya adalah تَذْكِيْرُ الْمُنْعَمِ عَلَيْهِ بِإِنْعَامِهِ, yaitu mengingatkan kebaikan orang yang berbuat baik kepadanya tentang kebaikan-kebaikannya.
Terdapat beberapa pendapat Ahli Tafsir terkait makna ayat ini.
Tafsiran pertama, janganlah seseorang memberikan sesuatu dengan harapan agar diberi balasan yang lebih banyak.
Tafsiran kedua, jangan seseorang melakukan dakwah ini, kemudian menganggap bahwa dirinya telah berbuat banyak dalam dakwah ini. Dan sebagian ulama telah mengingatkan bahwa jika seorang anak cucu Adam beribadah selama hidupnya tanpa futur atau malas, dia tetap belum bisa bersyukur kepada Allah ﷻ atas segala apa yang Allah berikan kepadanya. Maka jangan seseorang telah merasa melakukan amalan yang besar di hadapan Allah ﷻ. Anggaplah amalan yang dilakukan itu kecil sehingga semangat beribadah dan berdakwah itu akan terus ada. Dan sikap menganggap amalan masih sedikit atau kecil akan menghalangi seseorang dari sikap ujub. ([1])
Tafsiran ketiga, janganlah seseorang berbuat baik kepada orang lain dan menganggap orang tersebut berhutang budi kepadanya. Tafsiran ketiga ini adalah tafsiran yang dibawakan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dan beberapa riwayat dari para salaf ([2]). Maka seharusnya tatkala seseorang telah melakukan kebaikan, hendaknya dia melupakan kebaikannya. Karena pada dasarnya muamalah yang dia lakukan bukan terhadap orang tersebut, melainkan dia bermuamalah dengan Allah ﷻ. Sehingga orang yang diberikan kebaikan mau bersyukur atau tidak, itu tidak bukan urusannya melainkan menjadi urusan Allah ﷻ. Dan ini akan menutup pintu untuk seseorang mengungkit-ungkit kebaikan-kebaikan di masa lalu. Dan Allah ﷻ telah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah : 264)
Dan ini tentunya peringatan bagi kita, tatkala kita berdakwah hendaknya kita ikhlas kepada Allah ﷻ, dan jangan pernah merasa telah berjasa besar dalam dakwah. Serahkan urusan pahala kepada Allah ﷻ, karena lagi pula kita sendiri tidak tahu apakah pahala kita besar atau kecil, atau bahkan kita tidak tahu apakah kita ikhlash sehingga mendapatkan pahala atau sebaliknya?
________________________________
Footnote :
([1]) Dua penafsiran ini banyak dicantumkan di kitab-kitab tafsir ulama salah satunya di kitab Tafsir Al-Qurthubi 19/67 yang beliau mencantumkan sebelas penafsiran dalam ayat ini.