4. وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
wa ṡiyābaka fa ṭahhir
4. dan pakaianmu bersihkanlah.
Tafsir :
Secara umum, makna ayat ini bisa diartikan dengan makna hakiki atau makna majazi.
Makna hakiki adalah perintah kepada seseorang untuk membersihkan pakaiannya ketika hendak shalat. Karena sebagaimana telah disebutkan bahwa ayat sebelumnya ditafsirkan sebagian ulama sebagai perintah shalat, maka maksud ayat ini adalah hendaknya seseorang bersih dari najis sebelum shalat. ([1])
Makna majazi adalah perintah kepada seseorang untuk membersihkan amalannya dari kedustaan, akhlak yang buruk, ikhlaskan amalan, dan keburukan lainnya. Karena ungkapan orang-orang Arab dahulu ketika melihat orang yang amalannya buruk, pengkhianat, dan suka bohong, maka mereka akan mengatakan dengan ungkapan ثِيَابُهُ نَجِسٌ “Bajunya najis”. ([2])
Inilah dua makna yang dibawakan oleh para Ahli Tafsir tentang ayat ini, dan hampir seluruh Ahli Tafsir juga menyebutkan demikian.
Imam Al-Qurthubi ketika menjelaskan makna hakiki ayat ini dalam tafsirnya, beliau membantah orang-orang yang bermudah-mudah dalam isbal bahwa di antara cara agar seseorang tidak mudah terkena najis adalah dengan tidak isbal. Kemudian beliau membawakan dalil-dalil yang di antaranya perkataan ‘Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu kepada seorang anak,
ارْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّهُ أَتْقَى وأنقى وأبقى
“Naikkan kainmu, karena sesungguhnya itu lebih bertakwa, lebih bersih, dan lebih jauh (daripada najis).”
Setelah itu beliau juga membawakan hadits dari Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ! إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ؟ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu dari sarungku terkadang turun sendiri, kecuali jika aku selalu menjaganya?” lalu Nabi ﷺ bersabda, ‘Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”
Kemudian Imam Al-Qurthubi mengatakan,
فَأَرَادَ الْأَدْنِيَاءُ إِلْحَاقَ أَنْفُسِهِمْ بِالرُّفَعَاءِ
“Kemudian ada orang-orang rendahan menyamakan dirinya dengan Abu Bakar (sehingga membolehkan isbal dengan alasan tidak sombong seperti Abu Bakar).”([3])
Dan ini menunjukkan bahwa Imam Al-Qurthubi adalah salah satu ulama yang mengharamkan isbal secara mutlak selain Ibnu Hajar, Ibnul ‘Arabi, dan Adz-Dzahabi. Akan tetapi ini adalah masalah khilafiyah setelah para ulama sepakat bahwa sebaiknya seseorang itu tidak isbal baik dengan kesombongan atau tidak, karena isbal dengan kesombongan itu adalah haram dengan ijma’ para ulama. Hanya saja pendapat yang lebih kuat bahwasanya isbal haram secara mutlak.
_________________________________
Footnote :
([1]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/296