Mendulang Faedah dari Kisah Pengorbanan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam
(Khotbah Idul Adha)
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَبَعْدُ
فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةِ فِي النَّارِ
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ
Ma’asyiral muslimin, hari ini adalah hari kebahagiaan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, hari lebaran, hari raya, hari bersuka cita.
Semakin menjadi indah hari tersebut tatkala kaum muslimin membukanya dengan bersujud di hadapan Sang Pencipta alam semesta ini. Semakin bertambah indah tatkala hari tersebut dipenuhi dengan gema takbiran dan sanjungan kepada-Nya.
Hari ini adalah hari Idul Adha, hari an-nahr, yang disebut oleh Allah sebagai al-hajju al-akbar. Hari ini adalah hari terbaik sepanjang tahun. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنَّ أَعْظَمَ الْأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَوْمُ النَّحْرِ
“Sesungguhnya hari teragung di sisi Allah tabaraka wa ta’ala adalah hari an-nahr.”([1])
Hari ini menjadi hari teragung karena pada hari ini terkumpulkan banyak sekali ibadah-ibadah yang agung. Bagi para jamaah haji, mereka pada hari ini melempar jamarat, mencukur rambut mereka, menyembelih hewan hadyu mereka, melakukan tawaf ifadhah dan sa’i. Adapun bagi yang tidak berhaji maka pada hari ini mereka melakukan salat Idul Adha dan sebagian mereka menyembelih al-udhiyah (kurban).
Hari agung yang kita lalui setiap tahun ini, selalu mengingatkan kita akan sebuah pengorbanan besar yang dilakukan oleh seorang ayah dan anaknya, yaitu Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘Alaihissalam. Pengorbanan yang luar biasa yang menunjukkan ketundukan luar bisa kepada Allah, pengorbanan yang menunjukkan kecintaan yang luar biasa kepada Allah. Kisah pengorbanan mereka berdua Allah abadikan dalam Al-Qur’an.
Tatkala Nabi Ibrahim tegak mendakwahkan tauhid, beliau dimusuhi oleh seluruh penduduk negeri -bahkan oleh ayah beliau sendiri-. Tatkala beliau hendak menegakkan argumen di hadapan mereka, maka beliau pun menghancurkan berhala-berhala sembahan mereka. Akhirnya, kaumnya pun murka dan hendak membakar Ibrahim hidup-hidup, dengan melemparkan beliau ke lautan api. Akan tetapi, Allah menolongnya dan menjadikan api menjadi dingin dan penuh keselamatan. Ketika beliau merasa bahwa kaumnya tidak akan beriman, maka beliau pun meninggalkan kaumnya dan memohon kepada Allah agar diberi keturunan yang saleh. Allah ﷻ berfirman,
﴿وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ، رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ، فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ﴾
“Dan Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh’. Maka kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (QS. Ash-Shaffat: 97-101)
Allah ﷻ akhirnya mengabulkan doa beliau, sebagai ganti atas pengorbanan beliau. Beliau meninggalkan kaum dan kampung halamannya, maka Allah menggantikan dengan anak yang sangat saleh dan menghilangkan kesepiannya. Akan tetapi, anugerah anak tersebut -yaitu Nabi Ismail- baru Allah berikan setelah Nabi Ibrahim sangat tua. Sebagian ulama menyatakan yaitu tatkala umur Nabi Ibrahim di atas 80 tahun. Kita bisa bayangkan betapa sangat bernilainya anak yang baru lahir setelah penantian puluhan tahun. Kita bisa bayangkan betapa besar kasih sayang Nabi Ibrahim u terhadap Ismail. Sungguh menanti lahirnya seorang anak hingga puluhan tahun itu merupakan ujian tersendiri.
Namun, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama, Allah menguji Ibrahim tatkala sang anak -yaitu Ismail- benar-benar dalam kondisi remaja, dan mulai membantu sang ayah. Pada saat umur itulah biasanya puncak kecintaan seorang ayah kepada sang anak. Allah berfirman,
﴿فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ﴾
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Saat itu, kira-kira umur Ismail belasan tahun, dan umur Ibrahim sekitar 100 tahun, dan tentu ia mulai lemah dan mulai bertumpu kepada sang anak. Saat itulah puncak kecintaan seorang ayah kepada sang anak. Namun ternyata Allah memerintahkan sang ayah -yaitu Ibrahim- untuk menyembelih sang anak.
Ujian ini tentu lebih berat daripada ujian tatkala Ibrahim dilemparkan ke lautan api. Betapa sering seorang ayah lebih mencintai anaknya dari pada dirinya sendiri. Ibrahim berkata dengan penuh ketenangan,
يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ
“Wahai anakku sesungguhnya aku sedang melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.”
Perhatikanlah, mimpi telah berlalu, namun Ibrahim mengungkapkannya seakan-akan beliau sedang melihat mimpi tersebut, padahal mimpi telah selesai. Ini menunjukkan bahwa mimpi tersebut benar-benar hadir dalam benak beliau tatkala beliau menyampaikannya kepada putranya Ismail.
Derajat wahyu para nabi yang paling rendah adalah melalui mimpi, lebih rendah derajatnya dari pada datangnya malaikat atau ilham langsung dari Allah, apalagi bertemu langsung dengan Allah. Meskipun perintah menyembelih sang anak datang melalui derajat wahyu yang terendah, namun Nabi Ibrahim u sama sekali tidak ragu, tidak menanti mimpi datang untuk kedua atau ketiga kali, dan sama sekali tidak memberi penawaran kepada Allah dengan berkata, “Apakah ada perintah yang lain selain ini ya Allah?”. Sama sekali tidak! Nabi Ibrahim u langsung menunaikan perintah Allah.
Ibrahim tatkala menyampaikan perintah ini kepada sang anak, beliau menyampaikan juga bukan dengan keras, beliau tidak berkata, “Sesungguhnya Allah telah memerintahku untuk menyembelihmu, maka kamu harus taat”. Akan tetapi, Ibrahim menyampaikannya dalam bentuk penawaran,
فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى
“Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?”
Tujuannya tidak lain agar Ismail juga bisa menjalankan ketaatan tanpa ada keterpaksaan, akan tetapi benar-benar karena tunduk kepada Allah, dan agar Ismail juga meraih pahala yang besar dari Allah.
Ternyata, sang anak tidak kalah sabarnya dengan sang ayah. Beliau dengan serta merta menjawab,
يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ
Sungguh menakjubkan iman sang ayah, dan tidak kalah menakjubkan juga adalah iman sang anak. Allah telah menguji Ibrahim dengan ujian yang sangat berat, karena Ibrahim telah meraih predikat yang sangat tinggi, yaitu Khalilurrahman (kekasih Allah). Allah berfirman,
﴿وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا﴾
“Dan Allah mengambil Ibrahim sebagai kesayangan-Nya.” (QS. An-Nisa’: 125)
Ini adalah predikat spesial yang tidak dimiliki oleh para nabi yang lain kecuali Nabi Muhammad ﷺ. Oleh karenanya, Ibrahim diuji pada perkara yang sangat ia cintai, yaitu putra semata wayang yang telah ditunggu kehadirannya puluhan tahun. Semua ini agar membuktikan bahwa kecintaannya kepada Allah lebih daripada segalanya.
Sungguh betapa sering seorang hamba diuji pada perkara-perkara dunia yang sangat ia cintai, apakah berkaitan dengan istrinya, atau putranya, atau mobilnya, atau rumahnya, atau perkara-perkara yang lainnya, agar membuktikan bahwa kecintaannya kepada Allah lebih dari segalanya, agar hati sang hamba tersebut tidak terikat kepada perkara-perkara dunia tersebut.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ
Ma’asyiral muslimin, bagaimanakah proses penyembelihan Ismail? Allah berfirman,
﴿فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ﴾
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya).” (QS. Ash-Shaffat: 103)
Allah memuji keduanya, bahwasanya keduanya telah berserah diri. Inilah Islam yang sesungguhnya, yaitu tunduk dan pasrah dengan perintah Allah.
Ibrahim membaringkan Ismail di atas pelipisnya agar ia tidak melihat wajah anaknya yang kesakitan tatkala proses penyembelihan berlangsung, khawatir ia mundur dari ujian berat ini. Tatkala Ibrahim benar-benar akan menyembelih sang anak, dan sang anak benar-benar telah pasrah untuk disembelih, maka Allah telah mengetahui kesungguhan mereka berdua. Maka tatkala itu Allah berkata,
﴿وَنَادَيْنَاهُ أَن يَاإِبْرَاهِيمُ، قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ﴾
“Dan Kami panggillah dia: ‘Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ash-Shaffat: 104-105)
Artinya yaitu, “Wahai Ibrahim angkatlah tanganmu, hentikanlah penyembelihan tersebut. Sungguh engkau telah menjalankan perintah dalam mimpimu, dan Aku tidak perlu dengan darah anakmu.”
﴿إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ﴾
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (QS. Ash-Shaffat: 106)
Akhirnya, Allah menurunkan tebusannya. Allah berfirman,
﴿وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ﴾
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 107)
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ
Kaum muslimin yang berbahagia, sungguh banyak sekali pelajaran dan ibrah yang bisa kita dapatkan dari kisah pengorbanan ini. Di antaranya:
Pertama: Disyariatkannya untuk meninggalkan tempat yang merupakan konsentrasi musuh Islam di tempat tersebut. Sebagaimana Nabi Ibrahim u yang meninggalkan kampung halamannya karena seluruh kaumnya memusuhi dakwahnya.
Kedua: Dianjurkan untuk berdoa kepada Allah agar menganugerahkan anak yang saleh. Sungguh di antara anugerah terbesar kepada seseorang adalah memperoleh anak yang saleh.
Ketiga: Para nabi mereka berdoa kepada Allah, karena mereka adalah hamba, sehingga mereka beribadah dan berdoa kepada sang Pencipta. Karenanya, tidak boleh seseorang meminta kepada nabi -sebagaimana kaum Nasrani yang meminta dan berdoa kepada Nabi Isa-, apalagi meminta kepada mayat-mayat di kuburan, ini semua adalah kesyirikan.
Keempat: Disyariatkannya bermusyawarah antara seorang ayah dan anak dalam menghadapi permasalahan berat, terutama jika sang anak adalah seorang anak yang saleh dan permasalahan yang dihadapi berkaitan juga dengan sang anak.
Kelima: Orang yang beriman pasti diuji, dan semakin tinggi keimanan seseorang maka semakin berat ujiannya. Allah berfirman tentang ujian yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim dan Ismail ‘Alaihissalam,
﴿إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ﴾
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (QS. Ash-Shaffat: 106)
Ujian ini sangat berat dan sangat nyata menampakkan kuatnya akidah Ibrahim dan Ismail ‘Alaihissalam. Sungguh benar sabda Nabi Muhammad ﷺ,
أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الصَّالِحُوْنَ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ
“Orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang-orang saleh, lalu orang saleh selanjutnya dan selanjutnya.”([2])
Ujian Nabi Ibrahim u tampak pada perkara-perkara berikut:
- Ibrahim sudah sangat tua tatkala ujian tersebut, dan beliau tentu sangat butuh dengan bantuan anaknya, akan tetapi justru sang anak diperintahkan untuk disembelih.
- Orang yang diperintahkan untuk disembelih adalah buah hatinya yang telah dinanti kehadirannya puluhan tahun.
- Tatkala itu Ismail adalah anak semata wayang.
- Seseorang tatkala terkena ujian dan musibah yang lain ia masih bisa kuat menghadapinya, akan tetapi begitu terasa berat tatkala yang terkena musibah adalah buah hatinya.
- Ismail tatkala diperintahkan untuk disembelih bukan tatkala masih kecil, akan tetapi tatkala sudah remaja, sementara saat itu merupakan puncak kecintaan seorang ayah kepada anaknya.
- Hilang dan wafatnya seorang anak karena kecelakaan atau tanpa kesengajaan tentu sudah menjadi suatu perkara yang berat, lantas bagaimana lagi jika ternyata sang ayah yang diperintahkan untuk menyembelih sang anak?
- Terlebih lagi anak yang diperintahkan untuk disembelih adalah anak yang sangat taat kepada orang tuanya. Sedangkan kehilangan seorang anak yang kurang taat saja sangat menyedihkan hati apalagi anak yang taat kepada orang tuanya.
Keenam: Jika orang kafir saja diuji oleh Allah dalam kehidupan dunia ini, maka orang yang beriman pun pasti akan diuji. Justru Allah telah berjanji untuk menguji mereka. Allah ﷻ berfirman,
﴿أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ، وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ﴾
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi. Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta (QS. Al-‘Ankabut: 2-3)
﴿أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا﴾
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan).”(QS. Al-Baqarah: 214)
Kita tentu tidak berharap untuk diuji oleh Allah, akan tetapi kenyataannya kehidupan dunia ini adalah kehidupan yang memang diciptakan oleh Allah sebagai medan ujian.
Ketujuh: Betapa pun besar dan berat ujian yang dihadapi oleh seseorang, jika seseorang bertakwa kepada Allah maka pasti ada solusinya. Lihatlah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘Alaihissalam yang bertakwa dan bersabar, bahkan pasrah menghadapi ujian tersebut, maka Allah pun mengirim tebusan berupa seekor domba sebagai pengganti Nabi Ismail. Sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman,
﴿وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا﴾
“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan berikan jalan keluar (solusi) baginya.” (QS. Ath-Thalaq: 2)
Dengan takwa, maka pasti ada solusi, cepat atau lambat. Karenanya, jika seseorang menghadapi permasalahan dan ujian lantas ia tidak mendapatkan solusi, maka hendaknya ia mencurigai dirinya, jangan-jangan ia tidak atau bahkan belum bertakwa kepada Allah ﷻ.
Kedelapan: Terkadang solusi datang di puncak kesulitan. Tebusan domba tidaklah Allah ﷻ datangkan kecuali tatkala Ibrahim akan menyembelih putranya Ismail. Maka janganlah seseorang pernah putus asa dalam menghadapi ujian.
Lihatlah Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam tatkala putranya Yusuf hilang, lalu adiknya Binyamin tertahan, lalu kakak dari keduanya juga tertahan di Mesir, yaitu setelah ketiga anaknya tertahan, maka ia berkata,
﴿فَصَبْرٌ جَمِيلٌ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَنِي بِهِمْ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ﴾
“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku; sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Yusuf: 83)
Lalu Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam berkata,
﴿يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِن يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِن رَّوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِن رَّوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ﴾
“Wahai anak-anakku, pergilah kalian, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS Yusuf: 87)
Kesembilan: Perkataan Ismail u tatkala dikabarkan tentang perintah untuk disembelih,
﴿سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ﴾
“Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Ini adalah kalimat tawakal kepada Allah, di mana Ismail menyerahkan kesabarannya kepada kehendak Allah ﷻ. Kalimat ini sangat jauh dari sikap ujub, dan kalimat inilah yang menyebabkan datangnya kekuatan dan pertolongan dari Allah ﷻ.
Kesepuluh: Sikap Ibrahim tatkala hendak menyembelih putranya dengan membaringkan Ismail di atas pelipisnya di antaranya adalah untuk menghilangkan segala gangguan yang bisa menghalangi seseorang dalam menjalankan perintah Allah, karena jika Ibrahim melihat wajah Ismail yang kesakitan tatkala disembelih, bisa jadi hatinya menjadi kurang kuat dalam menjalankan perintah Allah ﷻ. Maka seseorang tatkala menjalankan perintah Allah ﷻ berusaha menghilangkan seluruh rintangan dan gangguan yang bisa memundurkannya dari menjalankan perintah Allah ﷻ.
Kesebelas: Kecintaan Ibrahim kepada anaknya tidak menghalangi beliau untuk menjalankan perintah Allah ﷻ kepada sang anak. Namun sebaliknya, ada sebagian orang tua yang terlalu cinta kepada anaknya sehingga kasihan untuk membangunkan sang anak dari tidurnya yang pulas untuk salat subuh. Ini adalah kecintaan yang keliru, yang justru merupakan bentuk pengkhianatan kepada agama sang anak. Justru kalau orang tua sayang kepada sang anak, maka seharusnya ia membangunkan sang anak untuk salat subuh.
Kedua belas: Karena kisah pengorbanan Ibrahim inilah disyariatkannya kurban setiap tahun. Kisah ini hampir semua kaum muslimin mengetahuinya. Akan tetapi, apakah semua kaum muslimin tatkala menyembelih kurban menghadirkan kisah pengorbanan ini dalam hatinya?
Ketiga belas: Menyembelih sembelihan karena Allah adalah ibadah yang mulia. Allah ﷻ menggandengkannya dengan ibadah salat. Allah ﷻ berfirman,
﴿فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ﴾
“Maka salatlah hanya kepada Rabbmu dan sembelihlah (hanya kepada Rabbmu).” (QS. Al-Kautsar: 2)
Maka sebagaimana salat tidak boleh diserahkan kecuali hanya kepada Allah ﷻ, maka demikian pula tidak boleh seseorang menyembelih kepada selain Allah ﷻ, karena hal itu merupakan kesyirikan, seperti menyembelih kepada jin yang sering dilakukan oleh sebagian saudara kita yang tidak mengetahui akan dosa kesyirikan tersebut.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ
Para hadirin sekalian, silakan menyembelih hewan kurban kalian, semoga Allah ﷻ membalas pengorbanan kalian dengan surga-Nya. Berbahagialah pada hari ini, masukkanlah rasa senang kepada orang tua, kepada kerabat, kepada anak-anak. Berilah hadiah kepada mereka, agar mereka tahu bahwasanya mereka sedang berlebaran.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ وَأَنْعِمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ وَجُوْدِكَ وَكَرَمِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Ya Allah ampunilah kaum mukminin dan mukminat, kaum muslimin dan muslimat, yang masih hidup maupun yang telah tiada.
Ya Allah ampunilah kedua orang tua kami, yang telah bersusah payah merawat kami.
Ya Allah ampunilah ibu kami, yang telah bersusah payah mengandung kami selama sembilan bulan, yang telah bersusah payah bertarung melawan kematian tatkala melahirkan kami, yang menahan tidur dengan berlinang air mata tatkala kami sedang sakit, yang begadang demi menidurkan kami tatkala kecil.
Ya Allah ampunilah ayah kami yang telah bekerja keras, berpanas-panas di bawah terik matahari, membanting tulang siang dan malam, semuanya demi membiayai kehidupan kami.
Ya Allah ampuni dosa-dosa kami yang tidak mampu dan kurang berbakti kepada mereka, yang belum bisa membahagiakan mereka sebagaimana mestinya, yang terkadang masih pelit terhadap mereka, masih perhitungan untuk mereka.
Ya Allah tolonglah saudara-saudara kami di Palestina dan Suria dan di mana pun saudara kami yang tertimpa musibah. Tolonglah mereka yang hidup dalam penderitaan, tolonglah mereka yang merayakan hari lebaran dengan aliran air mata dan bunyi letupan senjata dan ledakan, tolonglah mereka yang berhari raya dengan rasa lapar dan ketakutan.
Ya Allah, angkatlah penderitaan mereka, sabarkanlah mereka, kuatkanlah hati mereka.
اللَّهُمَّ لاَ تَدَعْ لَنَا فِي مَقَامِنَا هَذَا ذَنْبًا إِلاَّ غَفَرْتَهُ، وَلاَ مَرِيْضًا إِلاَّ شَفَيْتَهُ، وَلاَ هَمًّا إِلاَّ فَرَّجْتَهُ، وَلاَ دَيْنًا إِلاَّ قَضَيْتَهُ، وَلاَ حَاجَةً مِنْ حَوَائِجِ الدُّنْيَا هِيَ لَكَ رِضَى وَلَنَا فِيْهاَ صَلاَحٌ إِلاَ أَعَنْتَنَا عَلَيْهَا وَيَسَّرْتَهَا لَنَا
Ya Allah, janganlah Engkau biarkan di tempat kami ini ada satu dosa pun kecuali Engkau maafkan, tidak ada seorang pun yang sakit kecuali Engkau sembuhkan, tidak ada kesedihan kecuali Engkau hilangkan, tidak ada hutang kecuali Engkau lunaskan, dan tidak ada satu pun kebutuhan dunia yang baik bagi kami dan Engkau ridhai kecuali Engkau menolong kami untuk meraihnya dan Engkau mudahkannya bagi kami.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَآخِرُ دَعْوَانَا، أَنِ الْحَمْدُ لِله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Footnote:
_________
([1]) HR. Abu Dawud No. 1765 dan disahihkan oleh al-Albani.
([2]) HR. Ahmad No. 1481, Syu’aib al-Arnauth mengatakan sanad hadis ini hasan.