Sifat-Sifat Ibadurrahman #1
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Ibadurrahman adalah hamba-hamba Allah yang spesial, dimana Allah ﷻ menyebutkannya di dalam firman-Nya surat Al-Furqan ayat 63-77. Allah ﷻ menjelaskan sifat-sifat hamba-Nya yang spesial dengan membuka firman-Nya,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam”.” (QS. Al-Furqan: 63)
Para ulama menjelaskan bahwa sifat-sifat ini adalah sifat-sifat yang selalu melazimi ibadurrahman dan mereka selalu seperti itu. Thahir Ibnu ‘Asyur menyebutkan bahwa lebih tepatnya ada 10 sifat ibadurrahman pada ayat ini. Di penghujung ayat Allah ﷻ menyebutkan tentang buah dari sifat-sifat tersebut,
أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا
“Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) atas kesabaran mereka, dan di sana mereka akan disambut dengan penghormatan dan salam.” (QS. Al-Furqan: 75)
Dengan penuh kesabaran mereka dalam melazimi sifat-sifat tersebut, maka mereka meraih tempat surga yang tinggi. Sebagian ulama menyebutkan kedudukan ayat tersebut, bahwa sifat-sifat ibadurrahman yang disebutkan pada ayat-ayat ini, وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ adalah mubtada’nya, dan ayat-ayat setelahnya yang diawali الَّذِينَ adalah sifat-sifatnya, sedangkan أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ adalah khabarnya([1]).
Di antara karunia Allah ﷻ tatkala menyebutkan sifat-sifat ibadurrahman adalah Allah ﷻ tidak meyebutkan bahwa mereka adalah para sahabat atau tabi’in atau a’immah ataupun ulama pada zaman dahulu. Akan tetapi, Allah ﷻ menyebutkannya dengan sifat-sifat tertentu. Sehingga hal ini memotivasi bagi siapa saja yang membaca ayat-ayat ini untuk menjadi seperti mereka. Artinya peluang terbuka lebar untuk menjadi ibadurrahman bagi setiap orang muslim dari mana pun asalnya, golongannya, sukunya, masanya atau negerinya, dengan syarat mereka harus memenuhi sifat-sifat yang disebutkan oleh Allah ﷻ tentang ibadurrahman tersebut.
Oleh karenanya, ketika kita membaca ayat ini, hendaknya kita memberikan perhatian yang serius agar kita mengetahui, meniru dan melakukan sifat-sifat atau kriteria tersebut. Siapa tahu, dengan karunia dan hidayah dari Allah ﷻ, kita mampu menjadi golongan ibadurrahman.
Allah ﷻ berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam”.” (QS. Al-Furqan: 63)
Hamba-hamba yang dimaksud di dalam ayat tersebut adalah hamba-hamba yang spesial. الْعُبُوْديَّة ‘penghambaan’ yang disandarkan kepada Allah ﷻ memiliki dua kemungkinan,
- Pertama, الْعُبُوْديَّة ‘penghambaan’ yang berkaitan dengan rububiyah.
- Kedua, الْعُبُوْديَّة ‘penghambaan’ yang berkaitan dengan uluhuiyah.
Maksud الْعُبُوْديَّة ‘penghambaan’ yang berkaitan dengan rububiyah adalah semua makhluk adalah hamba Allah, baik kafir, musyrik ataupun mukmin([2]). Berdasarkan firman Allah ﷻ,
إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan akan datang kepada (Allah) Yang Maha Pengasih sebagai seorang hamba.” (QS. Maryam: 93)
Namun, yang dimaksud ibadurrahman bukanlah yang disebutkan di dalam ayat ini. Yang dimaksud ibadurrahman adalah hamba-hamba yang telah mewujudkan ‘ubudiyah di dalam kehidupan keseharian mereka. Hal ini sama seperti ketika Allah ﷻ memuji Nabi ﷺ pada sisi ibadahnya. Sebagaimana diketahui bahwa Nabi ﷺ memiliki dua sifat utama yaitu عَبْدُ اللَّه وَ رَسُوْلُه ‘hamba Allah dan utusan-Nya’. Nabi ﷺ tidak hanya sekedar dipuji dari sisi beliau sebagai seorang Rasul أَشْرَفُ الْمُرْسَلِيْن ‘rasul yang paling mulia’, namun beliau juga dipuji dari sisi beliau sebagai seorang hamba. Bahkan, di dalam beberapa ayat Allah ﷻ memuji Nabi ﷺ dengan mengangkat sifat ‘ubudiyahnya dan juga pada saat beliau berada pada kondisi-kondisi genting. Contohnya adalah seperti firman Allah di dalam surat Al-Isra’([3]),
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa.” (QS. Al-Isra’: 1)
Pada ayat ini Allah ﷻ menyebutkan dengan بِعَبْدِهِ ‘hamba-Nya’ dan tidak menyebutkan بِرَسُوْلِهِ ‘rasul-Nya’. Padahal, keadaan tersebut termasuk dalam kondisi genting, yaitu tatkala orang-orang kafir mengingkari adanya Isra’ dan Mikraj, karena menurut mereka hal itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal. Saat itu adalah kondisi yang genting, bahkan waktu itu sebagian orang ada yang murtad. Namun, Allah ﷻ menetapkan dan menampilkan sifat ‘ubudiyah beliau ﷺ.
Begitu juga halnya tatkala Rasulullah ﷺ sedang mendirikan shalat dan hendak diganggu oleh orang-orang musyrikin. Allah ﷻ berfirman,
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ
“Dan sesungguhnya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (melaksanakan shalat).” (QS. Al-Jinn: 19)
Di dalam ayat ini Allah ﷻ menyebut Nabi ﷺ dengan عَبْدُ اللَّهِ ‘hamba Allah’.
Oleh karenanya, maksud penghambaan pada surat Al-Furqan ini adalah peribadatan (الألوهِيَّة) ‘kepada Allah’. Mereka adalah hamba-hamba yang spesial yang tunduk kepada Allah ﷻ dan beribadah kepada-Nya di dalam setiap langkah kaki dan sikap mereka. Orang yang paling tinggi dalam mewujudkan ‘ubudiyahnya adalah Nabi ﷺ. Di antara bentuk ibadah Nabi ﷺ, sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Mughirah radhiallahu’anhu,
قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَوَرَّمَتْ قَدَمَاهُ
“Nabi ﷺ mendirikan shalat hingga bengkak kedua kaki beliau.”([4])
Bahkan, disebutkan di dalam riwayat yang lain dari ‘Aisyah radhiallahu’anha,
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا
“Sesungguhnya Nabi ﷺ mendirikan shalat malam hingga pecah-pecah kedua kakinya, lalu ‘Aisyah berkata: ‘Kenapa engkau berbuat demikian, wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?’ beliau ﷺ bersabda, ‘Apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?’.” ([5])
Jadi, maksud dari ibadurrahman adalah hamba-hamba spesial yang mewujudkan peribadatan kepada Allah ﷻ. As-Sa’di menafsirkan bahwa kata عِبَادُ diidhafahkan kepada الرَّحْمَنِ (Yang Maha Penyayang) bukan kepada الله, sehingga menjadi عِبَادُ الرَّحْمَنِ, sebagai isyarat bahwasanya mereka ini bisa menjadi hamba-hamba Allah lantaran kasih sayang Allah ﷻ. ([6]) Allah ﷻ berfirman,
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ
“Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nur: 21)
Jika seseorang sadar bahwa dia ternyata mampu mewujudkan ‘ubudiyahnya kepada Allah pada saat puasa, shalat, membaca Al-Quran ataupun bersedekah, maka sejatinya karunia dari Allah ﷻ, bentuk kasih sayang Allah kepadanya dan termasuk hamba-hamba yang mendapatkan rahmat dari Allah ﷻ. Di antara sifat-sifat ibadurrahman yang terdapat pada ayat ini adalah:
- Apabila mereka berjalan, maka mereka berjalan dengan lembut tanpa ada kesombongan sama sekali
Allah ﷻ berfirman,
الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا
“Adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati.” (QS. Al-Furqan: 63)
Sifat pertama ibadurrahman adalah apabila mereka berjalan, maka mereka berjalan dengan lembut tanpa ada kesombongan sama sekali. Para ahli tafsir menafsirkan bahwa apabila mereka berjalan, maka mereka berjalan dengan tawadhu’([7]), bukan dengan sombong dan angkuh. Tawadhu’ adalah akhlak yang mulia. Seseorang yang berjalan dengan kesombongan, menunjukkan bahwa apa yang ada di dalam dadanya lebih buruk dari apa yang dia tampakkan. Kesombongan bisa terlihat dengan berbagai bentuk, di antaranya dengan berjalan. Maka dari itulah, Allah ﷻ berfirman,
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا
“Dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh.” (QS. Luqman: 18)
Dengan berjalan saja, seseorang bisa terlihat sikapnya yang sombong ataupun tidak, terutama pada zaman dahulu. Pada zaman sekarang, mungkin hal itu jarang dijumpai, karena kebanyakan orang berjalan menaiki kendaraan, baik mobil, motor atau kendaraan yang lain. Namun, terkadang sikap sombong mereka bisa terlihat dari tulisan, tutur kata, ceramah, mimik/raut wajah atau sikap-sikap yang lain, yang sejatinya menunjukkan akan kesombongannya.
Pada ayat ini disebutkan يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ ‘di atas muka bumi’ maksudnya adalah ketika bermuamalah([8]). Karena tidak ada tempat lain untuk melakukan muamalah, melainkan di atas muka bumi ini. Seakan-akan Allah mengatakan, “Jika mereka bermuamalah dengan orang lain, maka muamalah mereka jauh dari kesombongan, baik dari tutur kata, senyuman ataupun sikapnya, menunjukkan kelembutan”. Maka dari itu, apabila seseorang memiliki sifat sombong, maka sejatinya dia telah keluar dari sifat-sifat ibadurrahman, meskipun dia rajin shalat, bersedekah dan tidak berbuat kesyirikan.
- Apabila ada orang-orang jahil datang kepada mereka untuk mencela atau mencerca, maka mereka berlalu tidak menghiraukannya
Allah ﷻ berfirman,
وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam”.” (QS. Al-Furqan: 63)
Sifat kedua ibadurrahman adalah apabila ada orang-orang jahil datang kepada mereka untuk mencela atau mencerca, maka mereka berlalu dan tidak menggubrisnya. Meskipun mereka hendak menjawabnya, maka mereka menjawab dengan jawaban yang tenang, mendatangkan keselamatan dan tidak menimbulkan keributan([9]). Intinya, ketika mereka bersikap dengan orang lain, yang menjadi perhatian mereka adalah bagaimana sikap yang harus mereka lakukan untuk mendatangkan keridaan Allah ﷻ, bukan untuk memuaskan hawa nafsu mereka sendiri. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجاهِلِينَ
“Jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)
Pada zaman sekarang ini, khususnya ketika banyak orang bermedia sosial. Terkadang seseorang mendapati orang lain yang menjelek-jelekkannya atau mencelanya, sehingga dia tidak mampu untuk menahan amarahnya. Akibatnya, untuk membantahnya dia harus membalas dendam dan melampiaskan kemarahannya dengan mengumpulkan banyak orang atau menyelesaikan masalahnya di depan umum. Seakan-akan dia memiliki sikap tidak ingin diusik sedikitpun oleh orang lain. Padahal banyak dari kalangan para nabi yang diusik, para ulama juga banyak yang diusik.
Adapun ibadurrahman apabila diusik oleh orang-orang jahil berupa perbuatan maupun perkataan, maka mereka berlalu dan menanggapi dengan jawaban secukupnya. Karena, sejatinya mereka mencari keridaan Allah ﷻ, bukan untuk menunjukkan sikap ingin menang sendiri di depan umum. Mereka tahu bahwa tindakan kebodohan yang dilontarkan orang-orang jahil kepada mereka, tidak harus ditanggapi dengan kebodohan pula, namun mereka cukup menanggapinya dengan kebaikan.
Sifat seperti inilah yang diperlukan oleh setiap muslim, terutama di zaman sekarang ini. Karena orang yang jahil jumlahnya tidak sedikit, bahkan terkadang setiap orang terjerumus di dalam kejahilan. Di media sosial pun banyak orang yang jahil dan tidak paham dengan etika. Oleh karenanya, tidak semua kejahilan atau gangguan dari orang lain, harus dibalas dengan hal yang serupa. Sebagaimana disebutkan di dalam pepatah “Anjing menggonggong kafilah berlalu”. Gangguan tersebut bisa dibalas dengan kata-kata yang bijak dan tidak harus dibalas dengan celaan yang serupa atau membongkar aib atau hal yang semisalnya. Karena yang dicari adalah keridaan Allah ﷻ, bukan keridaan manusia.
Demikianlah, sifat ibadurrahman ketika mereka bermuamalah dengan orang-orang. Apabila berhadapan dengan orang baik, maka mereka juga bersikap baik. Bahkan, apabila mereka menghadapi orang-orang yang buruk, maka mereka menghadapinya dengan sikap yang baik pula.
- Mendirikan shalat pada malam hari/sepertiga malam
Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
“Dan orang-orang yang menghabiskan waktu malam untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri.” (QS. Al-Furqan: 64)
Sifat ketiga ibadurrahman adalah mereka mendirikan shalat pada malam hari([10]). Itulah kondisi mereka pada malam hari, mereka menghabiskan malam mereka untuk beribadah kepada Allah ﷻ, mendirikan shalat, memperbanyak sujud, memohon kepada Allah ﷻ. Di siang hari mereka melakukan akhlak yang mulia, sedangkan di malam hari mereka menghabiskan waktunya untuk Rabb mereka. Tentunya, hal ini menunjukkan mereka sangat perhatian terhadap amalan shalat malam.
Maka dari itu, syarat yang harus diperhatikan bagi setiap orang muslim yang ingin menjadi ibadurrahman adalah hendaknya mendirikan shalat malam. Pada waktu malam dia harus memiliki sebagian waktunya untuk mendirikan shalat. Untuk menjadi ibadurrahman, tidak cukup dengan akhlak mulia saja, akan tetapi dia harus memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat ibadurrahman yang lainnya, dan di antaranya adalah dengan mendirikan shalat tahajud pada malam hari.
Rasulullah ﷺbersabda,
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأَبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ
“Hendaklah kalian shalat malam, karena sesungguhnya itu adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian.”([11])
Apalagi di saat seorang muslim berada pada bulan Ramadan, ditambah lagi keadaan atau kondisi yang sangat mendukung untuk mengerjakannya, maka dia bisa mendirikan shalat tarawih, karena shalat tarawih juga termasuk shalat malam.
Apakah harus mengerjakan shalat malam hingga berjam-jam? Seorang muslim tidak diharuskan mengerjakan shalat malam hingga berjam-jam lamanya. Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anha berkata,
مَنْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ بَعْدَ الْعِشَاءِ فَقَدْ بَاتَ لِلَّهِ سَاجِدًا وَقَائِمًا
“Barang siapa yang shalat (malam) dua rakaat atau lebih setelah shalat isya’, sungguh dia telah menghabiskan malamnya dalam keadaan sujud dan berdiri (beribadah) untuk Allah.”([12])
Al-Kalbi ﷺjuga berkata,
مَنْ أَقَامَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَأَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ فَقَدْ بَاتَ سَاجِدًا وقَائِمًا
“Barang siapa yang mendirikan shalat dua rakaat setelah shalat maghrib dan empat rakaat setelah shalat isya’, sesungguhnya dia telah bermalam dalam keadaan sujud dan berdiri karena Allah.” ([13])
Kesimpulannya adalah bagi seorang muslim yang semakin banyak mengerjakan shalat malam, maka hal itu semakin baik. Tidak diharuskan baginya untuk mengerjakan shalat hingga dua atau tiga jam, paling tidak dia berusaha meluangkan waktunya untuk mengerjakan shalat witir, misalnya mengerjakannya sebanyak tiga rakaat atau kurang lebih seperempat jam untuk Allah setiap harinya, seandainya dia mengerjakan lebih dari itu, maka hal itu lebih baik. Jangan sampai dia melewati malam-malamnya tanpa sujud kepada Allah ﷻ sama sekali. Tujuannya adalah agar dia termasuk golongan ibadurrahman.
- Mereka takut kepada siksaan Allah ﷻ
Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا. إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا
“Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahanam dari kami, karena sesungguhnya azabnya itu membuat kebinasaan yang kekal. Sungguh, Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.” (QS. Al-Furqan: 65-66)
Adapun sifat keempat ibadurrahman adalah mereka takut kepada siksaan Allah ﷻ.([14]) Ini adalah hal yang menakjubkan. Di siang hari mereka beramal dengan akhlak yang mulia, di malam hari menghabiskan waktunya dengan beribadah kepada Allah ﷻ, namun dengan hal itu mereka tidak merasa ‘ujub atau yakin akan masuk surga. Justru, mereka semakin takut kepada Allah ﷻ. Berdasarkan firman Allah ﷻ,
إِنَّما يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبادِهِ الْعُلَماء
“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.” (QS. Fatir: 28)
Semakin mereka mengenal Rabb mereka, maka mereka semakin takut kepada Allah ﷻ. Sehingga mereka berdoa,
رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا
“Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahanam dari kami, karena sesungguhnya azabnya itu membuat kebinasaan yang kekal.”
Sebagian ulama menjelaskan bahwa maksud dari غَرَامًا adalah ‘melazimi’, artinya seseorang jika sudah tertimpa azab neraka, maka dia tidak akan terlepas dari azab itu, dan tidak akan berhenti dari azab tersebut. Sedangkan, sebagian yang lain menjelaskan bahwa maksudnya adalah أَشَدُّ الْعَذَابِ ‘keras’([15]). Ibadurrahman sangat takut dari azab neraka Jahanam, karena jika tertimpa azab tersebut, maka tidak akan lepas darinya. itulah gambaran penderitaan azab neraka Jahanam. Seperti keadaan seseorang yang tertimpa suatu penyakit, maka dia akan menderita, akan tetapi ketika penyakitnya sembuh, maka penderitaannya pun menghilang. Berbeda dengan azab neraka Jahanam yang penderitaannya tidak akan berhenti.
Di antara doa yang mereka panjatkan adalah,
إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا
“Sungguh, Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.”
Thahir Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa مُسْتَقَرًّا ‘tempat menetap’ yang waktunya tidak selamanya, seperti ahli tauhid yang melakukan kemaksiatan, lalu dosa mereka lebih banyak dari pada kebaikan mereka, maka mereka kelak akan dimasukkan ke dalam neraka Jahanam مُسْتَقَرًّا ‘tempat menetap, namun tidak selamanya. Sedangkan مُقَامًا ‘tempat kediaman selama-lamanya’. Namun, bagaimanapun keadaan neraka Jahanam, baik مُسْتَقَرًّا atau مُقَامًا, keduanya adalah tempat yang penuh dengan penderitaan([16]). Olah karenanya, di antara doa yang dipanjatkan oleh ibadurrahman adalah berlindung dari siksa neraka Jahanam.
Footnote:
______
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 13/68
([2]) Lihat: Tafsir As-Sa’di 1/586
([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 13/67
([7]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 13/68
([8]) Lihat: At-Tahriir wa At-Tanwiir Li Ibnu ‘Asyur 19/68
([9]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 6/122
([10]) Lihat: At-Tahriir wa At-Tanwiir Li Ibnu ‘Asyur 19/70
([11]) HR. Tirmidzi no. 3549, Al-Hakim no. 1156, Al-Baihaqi no. 4317 di dalam As-Sunan Al-Kubra, Ath-Thabrani no. 7466 di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, hadis di sahihkan oleh Al-Hakim dan dihasankan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-Ghalil no. 452 2/200.
([12]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 13/72
([13]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 13/72
([14]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 13/72