Mendidik Anak Secara Islami #1
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Mukadimah
Pembahasan kita pada kesempatan kali ini merupakan pembahasan yang cukup penting, yaitu tentang bagaimana metode Islam dalam menarbiah anak-anak kita. Pembahasan ini menjadi penting karena kita meyakini bahwasanya agama kita, agama Islam, adalah agama yang sempurna. Allah ﷻ telah berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah: 3)
Oleh karenanya, tidak ada satu pun yang kita butuh dalam kehidupan kita kecuali Islam telah menjelaskannya dengan lengkap, termasuk di antaranya perkara pendidikan anak-anak.
Di antara hal yang menyedihkan adalah kita mendapati sebagian umat Islam memiliki kecenderungan untuk mendidik anak-anaknya dengan metode barat. Padahal, pembahasan metode pendidikan anak dalam Islam juga sangat lengkap dan komprehensif.
Pembahasan ini sangat perlu untuk kita perhatikan, karena kita sama-sama mengetahui bahwa anak adalah di antara sumber kebahagiaan kita. Oleh karenanya, Allah ﷻ dalam sebuah hadis qudsi menyebutkan anak dengan buah hati. Nabi Muhammad ﷺ bersabda tentang percakapan antara Allah ﷻ dan malaikat yang mencabut nyawa anak seorang hamba,
إِذَا مَاتَ وَلَدُ العَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ: قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟ فَيَقُولُونَ: حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ، فَيَقُولُ اللَّهُ: ابْنُوا لِعَبْدِي بَيْتًا فِي الجَنَّةِ، وَسَمُّوهُ بَيْتَ الحَمْدِ
“Jika anak seorang hamba meninggal, Allah berfirman kepada para malaikat-Nya, ‘Apakah kalian telah mencabut anak hambaku?’ Mereka menjawab: ‘Ya’. Allah berfirman: ‘Apakah kalian telah mencabut buah hatinya?’ Mereka menjawab: ‘Ya’. Allah bertanya: ‘Apa yang dikatakan hambaku?’ Mereka menjawab: ‘Dia memuji-Mu dan mengucapkan kalimat istirja’. Allah berkata, ‘Bangunkanlah untuk hambaku satu rumah di surga, dan berilah nama dengan Baitulhamd’.”([1])
Tidak ada di antara kita yang memungkiri bahwasanya anak adalah buah hati, karena tentu orang tua yang benar pasti sangat cinta kepada anaknya karena anak adalah perhiasan dunia. Allah ﷻ berfirman,
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi: 46)
Allah ﷻ juga berfirman,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali-‘Imran: 14)
Jadi, telah jelas bahwasanya anak-anak adalah sumber kebahagiaan bagi kedua orang tuanya.
Perlu untuk kita ketahui bahwasanya anak adalah aset terbaik bagi seseorang. Jika anak-anak kita adalah anak yang saleh, maka kita sebagai orang tua tentu akan merasakan kebahagiaan di dunia sebelum merasakan kebahagiaan di akhirat. Memiliki seorang anak yang taat, ketika diberitahu mendengar, jika diperintah dikerjakan, seakan-akan kita sebagai orang tua sudah mendapatkan sugar yang disegerakan di dunia. Bahkan, terkadang kita sebagai orang tua pun merasa senang dengan sebagian kecil kenakalan anak-anak kita, seperti ketika anak kita mengganggu saudaranya yang lain. Kalau yang demikian saja sudah bisa menjadikan kita senang, maka tentu yang lebih baik daripada itu akan mendatangkan kebahagiaan yang lebih pula.
Selain itu, anak-anak juga menjadi aset terbesar ketika kita sebagai orang tua telah berpindah ke alam barzakh. Ketika kita kelak sudah tidak bisa beramal lagi, maka anak adalah aset yang paling berharga. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، وَعِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ، وَوَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; Sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”([2])
Nabi Muhammad ﷺ dalam sabdanya tersebut tidak menyebutkan bahwa yang berdoa adalah saudaranya, bukan tetangganya, bukan pula gurunya, akan tetapi yang mendoakannya adalah anaknya yang saleh.
Tentu kita sama-sama tahu bahwa siapa pun yang mendoakan orang yang telah meninggal, maka doa tersebut bermanfaat baginya, meskipun yang mendoakan tidak kenal orang yang didoakan, karena doa seorang muslim kepada muslim yang lainnya bermanfaat baik ketika masih hidup atau pun ketika telah meninggal dunia.
Namun, mengapa Nabi Muhammad ﷺ mengkhususkan penyebutan doa anak saleh? Maka ada dua sisi pengkhususan penyebutan tersebut.
Sisi pertama: Karena tidak ada yang paling setia mendoakan kita kecuali anak yang saleh. Asalnya, ada tiga orang yang sering mendoakan kita; orang tua, istri atau suami, dan anak. Merekalah tiga orang yang sering mendoakan kita dengan tulus. Adapun orang tua kita, biasanya mereka lebih dahulu dipanggil oleh Allah ﷻ daripada kita, sehingga justru terkadang kita yang banyak mendoakan mereka. Kemudian, pasangan hidup juga tentu senantiasa mendoakan kita, akan tetapi ketika kita telah tiada, bisa jadi dia tidak lagi mendoakan kita, bisa jadi dia menikah lagi dan melupakan kita, namun ini tentunya hanya Allah ﷻ yang tahu. Adapun anak-anak, merekalah yang paling memungkinkan untuk senantiasa mendoakan kita. Akan tetapi, anak kita harus saleh, karena jika tidak saleh maka dia tidak akan sering mendoakan kita, karena orang yang tidak saleh itu dirinya saja jarang didoakan. Oleh karenanya, ketika Nabi Muhammad ﷺ mengisyaratkan bahwa di antara amalan yang tidak terputus adalah doa anak yang saleh, maka sebisa mungkin hal tersebut memotivasi kita untuk mewujudkan anak yang saleh, karena anak yang saleh adalah aset yang terbesar yang akan senantiasa mendoakan orang tuanya. Belum lagi kalau anak-anak bersedekah atas nama kita, berumrah dan berhaji untuk kita, atau bahkan membangun masjid dengan niat untuk kita, maka semua pahalanya akan sampai kepada kita meskipun kita telah berada di alam barzakh.
Sisi kedua: Sebagian ulama berpendapat bahwasanya seluruh amal saleh yang dilakukan oleh anak kita, dan kita memiliki andil dalam amal saleh mereka, baik karena didikan kita, atau karena sikap kita yang mengirim mereka ke pesantren-pesantren untuk belajar, maka kita sebagai orang tua juga akan mendapatkan pahala dari setiap amal saleh yang mereka kerjakan. Tentunya, seseorang yang cerdas akan memahami hal ini agar dia bisa mendapatkan pahala yang banyak. Bukan hanya di dunia, di akhirat juga seseorang akan mendapatkan balasan yang sangat besar. Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21)
Jika sekiranya di surga, seseorang berada di derajat tertentu, kemudian anaknya berada beberapa derajat di bawahnya, maka anak-anaknya tersebut akan diangkat derajatnya ke derajat orang tuanya tanpa mengurangi pahala orang tuanya. Demikian pula sebaliknya, jika ternyata seorang anak berada di suatu derajat di surga, sedangkan orang tuanya berada beberapa derajat di bawahnya, maka orang tuanya akan diangkat ke derajat anaknya. Demikianlah, antara anak dan orang tua yang sama-sama saleh akan saling memberi syafaat di akhirat kelak. Maka, sebuah keuntungan dan kebahagiaan tersendiri ketika kita bisa dikumpulkan bersama anak-anak kita di surga.
Oleh karenanya, tentunya ini memotivasi kita untuk semangat mendidik anak-anak kita. Perlu diingat bahwasanya mendidik anak-anak untuk menjadi anak-anak yang saleh bukanlah suatu perkara yang mudah. Mendidik anak-anak menjadi anak-anak yang saleh membutuhkan banyak pengorbanan, baik berkorban waktu, tenaga, harta, dan bahkan berkorban perasaan. Namun, meskipun banyak pengorbanan yang harus kita keluarkan untuk mendidik anak menjadi anak yang saleh, pengorbanan tersebut akan berpahala di sisi Allah ﷻ. Hidayah memang ada di tangan Allah ﷻ, berhasil atau tidak berhasil anak kita menjadi saleh itu menjadi urusan Allah ﷻ. Akan tetapi, usaha kita untuk mewujudkan hal tersebut mendapat pahala di sisi Allah ﷻ, terlebih lagi kalau anak-anak berhasil menjadi anak yang saleh.
Menarbiah anak adalah kewajiban orang tua
Para orang tua hendaknya mengetahui bahwasanya mendidik anak-anak merupakan suatu kewajiban yang dibebankan di pundak masing-masing, karena anak-anak adalah amanah dari Allah ﷻ. Hal ini telah Allah ﷻ sebutkan dalam Al-Qur’an,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Islam telah mengajarkan kita bahwasanya istri dan anak-anak adalah tanggung jawab suami, sehingga mendidik mereka adalah kewajiban. Islam tidak mengajarkan seseorang untuk egois, tidak mengajarkan seseorang untuk memikirkan diri sendiri, sehingga melupakan dan melalaikan kewajiban mendidik istri dan anak-anak. Akan tetapi, Islam mengajarkan untuk seorang kepala rumah tangga untuk menjaga istri dan anak-anaknya dari api neraka, dan mendidik mereka untuk bisa masuk surga.
Allah ﷻ juga berfirman dalam ayat yang lain,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132)
Ayat ini juga menunjukkan kepada kita bahwasanya tarbiah adalah tanggung jawab masing-masing kepala rumah tangga.
Demikian pula, Nabi Muhammad ﷺ telah menekankan dalam sabdanya,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang Amir adalah pemimpin. Seorang suami juga pemimpin atas keluarganya. Seorang wanita juga pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya. Maka setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”([3])
Seorang suami adalah pemimpin di dalam keluarganya, maka dia akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya, termasuk kondisi anak-anak dan istrinya. Oleh karenanya, kita harus ingat bahwasanya menarbiah anak-anak dan istri adalah ibadah, dan padanya terdapat pahala yang besar, yang sudah seharusnya seorang tidak mengabaikannya.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah pernah berkata,
وَقَالَ بعضُ أهلُ الْعلمِ إِن الله سُبْحَانَهُ يسْأَلُ الْوَالِد عَن وَلَدهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قبلَ أَن يسْأَلَ الْوَلَدِ عَن وَالِدِهِ فَإِنَّهُ كَمَا أَن لِلْأَبِ على ابنِهِ حَقًا فَلِلْابْن عَلَى أَبِيه حق فَكَمَا قَالَ تَعَالَى {وَوَصينَا الْإِنْسَان بِوَالِديهِ حسنًا} قَالَ تَعَالَى {قوا أَنفسكُم وأهليكم نَارا وقودها النَّاس وَالْحِجَارَة}…وَقَالَ النَّبِيُ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم اعدِلُوْا بَينَ أَوْلَادِكُمْ
“Berkata sebagian ahli ilmu (ulama), bahwa sesungguhnya Allah ﷻ akan bertanya kepada orang tua tentang tanggung jawabnya terhadap anaknya pada hari kiamat sebelum Allah ﷻ bertanya kepada sang anak tentang tanggung jawabnya terhadap orang tuanya. Sesungguhnya sebagaimana orang tua memiliki hak terhadap anaknya, maka setiap anak juga memiliki hak terhadap orang tuanya sebagaimana firman Allah, ‘Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya’ (QS. Al-‘Ankabut: 8), dan juga firman Allah ‘Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu’ (QS. At-Tahrim: 6)…Nabi Muhammad ﷺ juga telah bersabda, ‘Berbuat adillah kalian di antara anak-anak kalian’([4]).”
Kemudian, Ibnul Qayyim rahimahullah kembali berkata,
فَمن أهمل تَعْلِيم وَلَده مَا يَنْفَعهُ وَتَركه سدى فقد أَسَاءَ إِلَيْهِ غَايَة الْإِسَاءَة وَأكْثر الْأَوْلَاد إِنَّمَا جَاءَ فسادهم من قبل الْآبَاء وإهمالهم لَهُم وَترك تعليمهم فَرَائض الدّين وسننه فأضاعوهم صغَارًا فَلم ينتفعوا بِأَنْفسِهِم وَلم ينفعوا آبَاءَهُم كبارًا كَمَا عَاتب بَعضهم وَلَده على العقوق فَقَالَ يَا أَبَت إِنَّك عققتني صَغِيرا فعققتك كَبِيرا وأضعتني وليدا فأضعتك شَيخا
“Barang siapa yang lalai dari mengajarkan anak-anaknya terhadap perkara yang bermanfaat bagi mereka, dan meninggalkan mereka begitu saja, maka dia telah benar-benar telah melakukan perbuatan buruk kepada anaknya. Kebanyakan anak-anak rusak karena sebab orang tuanya, karena orang tua mengabaikan anaknya, dan tidak mengajarkan anak-anaknya tentang kewajiban-kewajiban dan sunah-sunah agama. Para orang tua menyia-nyiakan anaknya ketika masih kecil, sehingga akhirnya anak-anak tidak mendapatkan manfaat untuk diri mereka sendiri, dan tidak pula memberi manfaat kepada orang tua mereka setelah dewasa, sebagaimana sebagian orang tua mencela anaknya karena tidak taat, maka sang anak berkata, ‘Wahai ayahku, sesungguhnya dahulu engkau telah menyia-nyiakan aku waktu kecil, maka setelah dewasa aku durhaka kepadamu, engkau telah menyia-nyiakan aku ketika kecil, maka aku pun menyia-nyiakan engkau ketika sudah tua.”([5])
Perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah ini menjadi penekanan bahwasanya tarbiah terhadap anak bukanlah sesuatu yang sunah, bahkan itu adalah hal yang wajib, karena anak adalah amanah yang kelak Allah ﷻ akan memintai pertanggungjawaban kita sebagai orang tua kelak di akhirat.
Bahkan, Al-Mawardi juga berkata dengan perkataan yang menakjubkan tentang hal ini. Dia berkata,
من أول حق الولد على أبيه:أن ينتقي أمه
“Di antara hak pertama seorang anak terhadap ayahnya adalah memilihkan ibu([6]) baginya.”([7])
Subhanallah, anak yang belum lahir, bahkan belum menjadi janin saja sudah memiliki hak terhadap orang tuanya kelak. Mengapa demikian? Karena wanita salihah yang kelak menjadi ibunyalah yang akan mendidiknya kelak di kemudian hari.
Al-Mawardi dalam perkataannya tersebut seakan-akan mengingatkan kepada kita bahwasanya hak anak sangat penting, bahkan sebelum dia lahir ke muka bumi seorang lelaki harus memilihkan baginya istri yang salihah, yang diharapkan di kemudian hari wanita tersebut bisa mendidik anak-anaknya dengan benar, karena keterkaitan antara ibu dan anak sangatlah erat, terlebih ketika sang anak masih sangat kecil.
Bagaimana kalau ternyata seorang sudah terlanjur menikah dengan wanita yang kurang salihah? Maka di situlah seseorang dianjurkan untuk menjaga istri dari neraka jahanam, yaitu dengan cara seorang suami mendidik istrinya menjadi wanita yang salihah, bagaimana pun caranya. Ketika pendidikan anak diserahkan kepada wanita yang tidak salihah maka akan repot, karena bisa jadi anak tidak akan tumbuh menjadi anak yang saleh dan salihah.
Metode mendidik anak secara islami
Kita akan menyebutkan beberapa hal terkait metode-metode dalam mendidik anak secara Islami. Pembahasan ini penulis sarikan dari kitab Manhaj at-Tarbiyah an-Nabawiyyah li at-Thifl, karya Muhammad Nur As-Suwaid. Penulis merasa kitab tersebut sangat komprehensif dalam mengingatkan kita tentang pentingnya metode para nabi dalam mendidik anak-anak.
Bahkan, beliau Muhammad Nur As-Suwaid juga mengingatkan bahwasanya sebagaimana orang tua berjuang untuk mendidik anak-anak, setan juga berjuang untuk menggelincirkan anak-anak Anda dari jalan yang benar.([8]) Sebagaimana firman Allah ﷻ dalam Al-Qur’an,
وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ
“Dan bersekutulah dengan mereka pada harta dan anak-anak.” (QS. Al-Isra’: 64)
Bahkan, setan ingin merusak anak-anak manusia sejak awal, yaitu sejak seorang ingin menggauli istrinya. Oleh karenanya, ketika seseorang ingin menggauli istrinya, disunahkan baginya berdoa agar setan tidak ikut-ikutan. Oleh karenanya, dalam sebuah hadis qudsi Allah ﷻ berkata,
وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ
“Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus semuanya, mereka didatangi oleh setan lalu menggelincirkan mereka dari agama mereka.”([9])
Oleh karenanya, ketika orang tua menarbiah anak-anak, maka ada musuh tak terlihat yang senantiasa berusaha merusak anak-anak, bahkan permusuhan itu dimulai sejak seorang laki-laki menggauli istrinya. Maka, ini menjadi hal yang perlu untuk kita waspadai sebagai orang tua.
Ada beberapa hal yang penting untuk dijalankan ketika mendidik anak-anak:
- Teladan yang baik
Kita sebagai orang tua sudah seharusnya memberi contoh yang baik kepada anal-anak. Ketahuilah bahwasanya anak-anak memiliki kemampuan yang sangat kuat dalam meniru, terlebih lagi ketika sang anak masih kecil. Kemudian, sang anak tentu lebih banyak bersama dengan orang tuanya, sehingga yang mereka akan tiru adalah kegiatan orang tuanya. Jika ternyata orang tua memiliki hobi menonton film, maka anaknya pun akan meniru untuk hobi menonton film. Apabila orang tua memiliki hobi bermain game, maka sang anak juga akan ikut hobi bermain game.
Setidaknya, ada tiga faktor yang mempengaruhi baik tidaknya seorang anak. Di antara faktor tersebut adalah faktor setan, faktor lingkungan, dan faktor orang tua. Pengaruh yang besar dari orang tua ini telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Oleh karenanya, ketika orang tua merupakan orang tua yang saleh dan salihah, maka hal itu akan memberikan peluang besar untuk menjadikan anak-anaknya sebagai anak yang saleh atau salihah. Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.”([10])
Kita tidak memungkiri bahwasanya ada orang tua yang buruk memiliki anak yang baik seperti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Demikian pula ada orang tua yang baik memiliki anak yang buruk seperti Nabi Nuh ‘alaihissalam. Namun, secara umum orang tualah yang memiliki pengaruh besar terhadap anaknya.
Demikian juga sabda Nabi Muhammad ﷺ,
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seorang itu bergantung dengan agama temannya, maka hendaklah salah seorang melihat siapa yang menjadi temannya.”([11])
Kalau Nabi Muhammad ﷺ telah mengatakan bahwa pengaruh teman sangat besar terhadap seseorang, maka penulis katakan bahwa pengaruh orang tua jauh lebih besar lagi terhadap anaknya, terutama ketika sang anak masih kecil dan lebih banyak berinteraksi di dalam rumah.
Dari sini, seseorang hendaknya mulai berusaha untuk menjadi orang tua yang saleh dan salihah yang bisa memberikan contoh yang nyata di hadapan anak-anaknya. Oleh karenanya, para ulama menyebutkan bahwasanya di antara hikmah mengapa seseorang dianjurkan salat sunah di rumah adalah agar anak-anak melihat. Ketika sang anak melihat hal tersebut, itu akan menanamkan nilai-nilai iman dalam hati anaknya. Demikian pula ketika sang anak melihat orang tuanya pergi dan pulang dari mesjid, hal itu akan memberi pengaruh kepada sang anak, bahkan betapa sering kita lihat anak-anak malah meminta ikut ke masjid bersama orang tuanya. Demikian pula ketika orang tua membaca Al-Qur’an dengan khusyuk di rumahnya, kemudian anaknya melihat orang tuanya meski sambil bermain, pasti akan memberi pengaruh.
Namun, ketika orang tua tidak pernah memberi contoh yang baik, anaknya melihatnya selalu dalam keadaan menonton film, melihat orang tuanya tidur ketika azan, melihat orang tuanya berbohong kepada orang lain, maka sifat-sifat yang dilihat oleh sang anak tersebut akan memberi pengaruh di benak anak-anak. Bahkan jika sang anak melihat orang tuanya bersikap pelit, maka sang anak juga akan bersikap pelit. Oleh karenanya, pepatah yang mengatakan ‘buah jatuh tidak jauh dari pohon’ adalah sebuah ungkapan yang benar, sikap anak itu tidak jauh dari sikap orang tuanya.
Memberikan contoh atau teladan yang baik bagi anak-anak seringnya menjadi sebuah hal yang lebih bermanfaat daripada memberikan ratusan teori kepada anak. Hal ini pernah penulis dengar dari seseorang, dia menceritakan bahwa suatu hari dia mengendarai mobil bersama ayahnya, kemudian ketika mendapati lampu merah, mereka pun berhenti. Ketika lampu sudah menunjukkan warna hijau, ternyata ada orang tua menyeberang jalan, maka ayahnya pun turun lalu menahan kendaraan lain agar orang tua tersebut bisa menyeberang dengan selamat. Maka sang anak tersebut kemudian mengatakan bahwasanya apa yang dia lihat dari orang tuanya adalah pelajaran yang sangat berharga, bahkan pelajaran yang tidak akan dia lupakan seumur hidupnya.
Oleh karenanya, mencontohkan teladan yang baik sangatlah penting. Ketika orang tua memberi contoh kepada anaknya untuk bersedekah, untuk salat, untuk baca Al-Qur’an, dan dalam berbagai amal saleh lainnya, maka tentu anak akan terpengaruh lama-kelamaan. Sebelum anak kita masukkan ke sekolah-sekolah, hendaknya kita berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan teladan yang baik bagi anak-anak, sehingga mereka melihat dan meniru kebaikan-kebaikan yang kita lakukan di depan mereka.
Bagaimana pun juga, memberi teladan yang baik adalah usaha yang bisa kita lakukan untuk menjadikan anak sebagai anak yang baik. Adapun ketika kita telah berusaha untuk menjadikan anak kita baik, namun ternyata mereka tidak tumbuh menjadi anak yang baik, maka itu di luar kemampuan kita.
Disebutkan dalam riwayat Abu Daud, dari Abdullah bin Abu Bakrah berkata kepada ayahnya yaitu Abu Bakrah([12]), ‘Wahai ayahku, Aku mendengar engkau berdoa setiap pagi: Allahumma ‘aafinii fii badanii allahumma ‘aafinii fii sam’ii allahumma ‘aafinii fii basharii laa ilaaha illa anta, engkau mengulanginya tiga kali ketika di pagi hari dan sore hari.’ Maka Abu Bakrah berkata kepada anaknya,
إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو بِهِنَّ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَسْتَنَّ بِسُنَّتِهِ
“Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ berdoa dengannya, maka aku ingin untuk mengikuti sunah beliau.”([13])
Ini merupakan di antara contoh nyata di mana seorang anak melihat orang tuanya melakukan sesuatu, sehingga akhirnya dia bertanya dan bahkan bisa meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya.
- Memilih waktu dalam memberikan nasihat
Sebagai orang tua, tidak setiap saat kita harus menasihati anak-anak, tapi hendaknya kita pilih waktu-waktu yang di mana mereka bisa mendengar nasihat kita, sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ yang memilih waktu yang pas untuk memberi nasihat.
Ada beberapa waktu-waktu yang dilakukan Nabi Muhammad ﷺ dalam memberi nasihat, di antaranya:
- Ketika sedang dalam perjalanan
Hal ini sebagaimana yang Nabi Muhammad ﷺ lakukan terhadap Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma ketika masih kecil. Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata,
كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا، فَقَالَ: يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ، احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ
“Aku pernah berada di belakang Rasulullah ﷺ pada suatu hari, beliau bersabda, ‘Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kalimat; jagalah Allah niscaya Ia menjagamu, jagalah Allah niscaya kau menemui-Nya di hadapanmu, bila kau meminta, mintalah pada Allah dan bila kau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah, ketahuilah sesungguhnya seandainya umat bersatu untuk memberimu manfaat, mereka tidak akan memberi manfaat apa pun selain yang telah ditakdirkan Allah untukmu dan seandainya bila mereka bersatu untuk membahayakanmu, mereka tidak akan membahayakanmu sama sekali kecuali yang telah ditakdirkan Allah padamu, pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering (takdir telah ditetapkan)’.”([14])
Banyak sekali riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ ketika bersama para sahabat dalam sebuah perjalanan, baik dengan berjalan kaki, atau dengan berboncengan bersama Nabi Muhammad ﷺ, kemudian beliau ﷺ memberi nasihat kepada para sahabat yang bersamanya.
Oleh karenanya, ketika kita sedang berjalan bersama anak-anak, ketika bertamasya, mungkin kita bisa menasihati mereka, karena di waktu tersebut mereka sedang senang-senangnya, dan bisa menerima nasihat.
- Ketika anak-anak melakukan kesalahan
Di antara waktu di mana orang tua bisa menasihati anak-anak adalah ketika sang anak melakukan kesalahan. Tentunya, menasihati anak-anak ketika dia melakukan kesalahan adalah dengan cara yang lembut.
Hukum asal seseorang memberi nasihat adalah dengan kelembutan, karena itulah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Dalam suatu hadis dengan sanad yang sahih, Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِأَهْلِ بَيْتٍ خَيْرًا، أَدْخَلَ عَلَيْهِمُ الرِّفْقَ
“Apabila Allah ‘Azza wa Jalla menghendaki kebaikan pada suatu keluarga, maka Allah masukkan kelembutan pada keluarga tersebut.”([15])
Nabi Muhammad ﷺ juga pernah bersabda,
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan itu tidak akan berada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya (dengan kebaikan). Sebaliknya, jika kelembutan itu dicabut dari sesuatu, melainkan ia akan membuatnya menjadi buruk.”([16])
Oleh karenanya, ketika menasihati anak, jangan dengan berteriak-teriak. Ketahuilah bahwasanya tidak semua perkara dihadapi dengan mengangkat suara, terlebih lagi kalau anak-anak masih bisa mendengar dengan normal. Ketika seseorang menasihati dengan mengangkat suara, maka menunjukkan bahwa Allah ﷻ tidak menghendaki kebaikan pada perkara tersebut.
Sesungguhnya setan sering membisik di telinga kita untuk bersikap tegas dan keras kepada anak-anak, mungkin dengan mengangkat suara, dengan memukul, mencubit, atau dengan cara yang lainnya. Penulis tidak mengatakan hal itu dilarang, boleh namun hanya sesekali, karena hukum asal dalam menyikapi sikap anak-anak adalah dengan kelembutan.
Di antara waktu kita tetap harus menjaga kelembutan kita adalah ketika anak-anak melakukan kesalahan. Dalam suatu hadis, Umar bin Abi Salamah pernah mengatakan,
كُنْتُ غُلاَمًا فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللَّهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
“Waktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah ﷺ, tanganku ke sana ke mari di nampan saat makan. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Wahai anak, sebut nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu.”([17])
Dalam riwayat yang lain, Nabi Muhammad ﷺ berkata kepada Umar bin Abi Salamah,
ادْنُ بُنَيَّ فَسَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
“Wahai anakku mendekatlah, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah dari yang dekat.”([18])
Lihatlah bagaimana kelembutan Nabi Muhammad ﷺ ketika Umar bin Abi Salamah yang ketika masih anak-anak itu salah ketika makan. Terkadang, sebagian orang tua mungkin mengejek anaknya ketika makan dengan rakus, berantakan ketika makan, atau yang lainnya. Namun, hendaknya orang tua juga memahami bahwa anak-anak juga memiliki perasaan, maka hendaknya mengingatkan dengan cara yang baik dan lembut. Ketahuilah, bahwa nasihat yang baik akan terekam oleh sang anak hingga dia dewasa, sebagaimana Umar bin Abi Salamah yang mengingat apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ terhadapnya, sampai kemudian dia meriwayatkannya kepada kita.
- Ketika sakit
Di antara waktu yang dipilih oleh Nabi Muhammad ﷺ menasihati anak-anak adalah ketika sakit. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ dahulu memiliki pembantu seorang Yahudi. Suatu ketika, pembantu tersebut sakit, lalu dijenguklah oleh Nabi Muhammad ﷺ. Ketika dijenguk, Nabi Muhammad ﷺ pun dudu di sisi kepala anak tersebut dan menasihatinya untuk masuk Islam. Anak tersebut kemudian melihat ayahnya yang berada di sampingnya dan memerintahkan untuk menaati Nabi Muhammad ﷺ. Maka, anak tersebut pun masuk Islam. Kemudian Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ
“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari neraka.”([19])
Orang yang sakit seringnya mudah untuk menerima nasihat, dan ini terlihat sebagaimana hadis yang telah disebutkan. Ini juga menunjukkan tentang bagaimana akhlak Nabi Muhammad ﷺ yang sangat mulia. Beliau memiliki pembantu yang berbeda agama, dan pembantu tersebut taat kepada beliau meskipun di saat genting, tentu tidak lain kecuali karena beliau dikenal oleh pembantunya tersebut sebagai orang yang saleh.
Inilah di antara contoh dari Nabi Muhammad ﷺ tentang waktu-waktu menasihati anak. Intinya, jangan kemudian kita setiap hari menasihati anak secara terus-menerus. Pilihlah waktu-waktu yang baik untuk menasihati anak-anak, agar mereka senantiasa mengingat nasihat tersebut.
C. Berlaku adil di antara anak-anak
Anak-anak memiliki sifat cemburu yang tinggi, dan ketika kita telah memiliki anak tentu telah mengetahui akan hal ini. Maka, ketika orang tua tidak bisa mengatur dengan baik dalam menyikapi anak-anak, tidak berbuat adil kepada mereka, maka tentu akan menimbulkan pertikaian di antara mereka, dan bahkan anak-anak bisa durhaka kepada orang tuanya.
Sebagai contoh bagaimana besarnya kecemburuan antara anak yang satu dengan anak yang lainnya adalah sebagaimana kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan saudara-saudaranya. Nabi Ya’qub ‘alaihissalam memiliki dua belas anak, namun ternyata sepuluh anak dari Nabi Ya’qub ‘alaihissalam cemburu kepada Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan Bunyamin. Allah ﷻ berfirman,
اِذْ قَالُوْا لَيُوْسُفُ وَاَخُوْهُ اَحَبُّ اِلَى اَبِيْنَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ اِنَّ اَبَانَا لَفِيْ ضَلَلٍ مُّبِيْنٍ
“Ketika mereka berkata, ‘Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) lebih dicintai ayah daripada kita, padahal kita adalah satu golongan (yang kuat). Sungguh, ayah kita dalam kekeliruan yang nyata. (QS. Yusuf: 8)
Sebab kecemburuan yang luar biasa di antara sepuluh anak Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, sampai mereka berencana untuk membunuh Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Allah ﷻ berfirman tentang perkataan mereka,
اقْتُلُوا يُوسُفَ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ
“Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian ayah tertumpah kepadamu, dan setelah itu kamu menjadi orang yang baik.” (QS. Yusuf: 9)
Selain kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam, Allah ﷻ juga menyebutkan kisah Habil dan Qabil. Qabil yang cemburu kepada Habil akhirnya membunuh Habil. Allah ﷻ berfirman,
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, ‘Sungguh, aku pasti membunuhmu!’ Dia (Habil) berkata, ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa’.” (QS. Al-Maidah: 27)
فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Maka nafsu (Qabil) mendorongnya untuk membunuh saudaranya, kemudian dia pun (benar-benar) membunuhnya, maka jadilah dia termasuk orang yang rugi.” (QS. Al-Maidah: 30)
Selain itu, banyak sekali kasus yang kita temui tentang kecemburuan antar saudara, sampai akhirnya mereka dendam kepada ayah dan ibunya, tidak lain karena menganggap bahwa orang tuanya tidak berbuat adil kepadanya, akhirnya dia pun durhaka kepada orang tuanya.
Oleh karenanya, tidak berbuat adil kepada anak-anak ini bisa menimbulkan kedurhakaan dari mereka terhadap orang tuanya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Nu’man bin Basyir, dia berkata,
أَنَّ أَبَاهُ أَتَى بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي نَحَلْتُ ابْنِي هَذَا غُلَامًا كَانَ لِي، فَقَالَ: أَكُلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَهُ مِثْلَ هَذَا؟، قَالَ: لاَ، قَالَ: فَارْجِعْهُ (وفي رواية: لاَ تُشْهِدْنِي عَلَى جَوْرٍ)
“Bahwasanya bapaknya Nu’man (yaitu Basyir) datang bersamanya menemui Rasulullah ﷺ lalu berkata, ‘Sesungguhnya saya telah memberi anakku ini seorang budak milikku.’ Maka Beliau bertanya, ‘Apakah semua anakmu kamu berikan seorang budak seperti dia?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Kalau begitu ambillah kembali’. Dalam riwayat lain beliau berkata: Aku tidak mau bersaksi di atas kezaliman)([20])”([21])
Bahkan dalam riwayat yang lain, Nabi Muhammad ﷺ menambahkan dengan berkata,
أَيَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا إِلَيْكَ فِي الْبِرِّ سَوَاءً؟ قَالَ: بَلَى، قَالَ: فَلَا إِذًا
“Apakah kamu tidak ingin mereka berbakti kepadamu dengan kadar yang sama? Basyir menjawab, ‘Tentu.’ Beliau bersabda, ‘Jika begitu, janganlah lakukan perbuatan itu’.”([22])
Dalam riwayat Imam Muslim juga Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: اتَّقُوا اللهَ، وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ
“Apakah kamu berbuat demikian kepada anak-anakmu?” Basyir menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anakmu’.”([23])
Oleh karenanya, berbuat adil di antara anak-anak adalah di antara perkara yang penting untuk diingat oleh para orang tua. Hendaknya orang tua adil kepada anak-anaknya dalam segala hal, baik dalam sikap maupun kasih sayang, karena anak-anak tentu bisa menilai apakah orang tuanya adil atau tidak, baik anak-anak mengungkapkannya atau tidak. Kalau anak-anak mengungkapkan ketidakadilan kita maka masih mending, namun jika ternyata mereka tidak mengungkapkannya, kemudian ternyata dia jengkel dan memukul saudaranya, ini yang kita khawatirkan, sementara itu banyak terjadi.
Bahkan penulis katakan, berlaku adil bukan hanya berlaku untuk orang tua kepada anak-anaknya, akan tetapi juga berlaku bagi para guru terhadap murid-muridnya. Ketahuilah, di antara hikmah para guru tidak boleh mendapat hadiah dari wali murid, yaitu agar gurunya tetap bisa berbuat adil kepada semua murid. Kalau sekiranya guru mendapatkan hadiah dari wali murid tertentu, maka seringnya sang guru akan condong kepada murid tersebut, dan tidak lagi berlaku adil kepada semua muridnya.
Timbul pertanyaan, apakah orang tua bisa membedakan antara anak yang satu dengan anak yang lainnya? Sebagian ulama mengatakan boleh dalam hal-hal tertentu atau ketika ada hajat yang akhirnya mengharuskan orang tua membedakan sikap atau pemberian kepada seorang anak dibandingkan dengan anak yang lainnya. Misalnya, ketika ada di antara anak-anak yang berkebutuhan khusus. Maka, orang tua hendaknya memberikan penjelasan kepada anak-anaknya yang lain, bahwasanya saudaranya tersebut memiliki kekurangan sehingga harus diberikan perhatian khusus. Atau misalnya, ketika seorang anak memiliki kebutuhan tertentu seperti masuk universitas, maka orang tua juga harus menjelaskan kepada anak-anak yang lain bahwasanya kakaknya sedang membutuhkan sesuatu untuk keperluannya, sehingga kakaknya harus diberikan perhatian lebih.
Demikian pula Imam Ahmad rahimahullah berfatwa bahwasanya jika didapati ada di antara seorang anak yang jika diberi uang selalu bermaksiat, atau membelanjakannya untuk bermaksiat, maka orang tua boleh membedakan anak tersebut dengan anak yang lain dengan tidak memberinya uang, karena ini merupakan di antara bentuk kondisi khusus yang mengharuskan orang tua membedakan sikap antara anak yang satu dengan anak yang lainnya.([24])
Penulis pernah menghadapi suatu kasus, ada seseorang yang datang dan mengadu bahwasanya dia cemburu kepada saudaranya. Dia mengatakan bahwasanya kakaknya diberikan rumah oleh orang tuanya, sementara dia tidak diberikan rumah. Ternyata, kakaknya mendapatkan rumah tersebut ketika dia masih kecil, sementara kakaknya waktu itu telah dewasa dan membutuhkan rumah. Akhirnya, ketika orang tuanya telah meninggal, kakaknya memiliki rumah, sedangkan dia tidak memiliki rumah, akhirnya dia pun cemburu dan jengkel dengan saudaranya.
Di sini, perlu untuk diketahui oleh orang tua bahwasanya untuk pemberian besar seperti rumah, hendaknya diberikan kepada anak yang membutuhkan dengan masih atas nama kita sebagai orang tua, agar jika kita telah meninggal, rumah tersebut bisa menjadi warisan dan dibagi bersama oleh anak-anaknya. Namun, jika ternyata orang tua mampu memberikan rumah kepada semua anak-anaknya ketika masih hidup, maka tentu yang demikian insya Allah tidak menimbulkan perkara di kemudian hari.
Footnote:
______________
([1]) HR. Tirmizi No. 1021, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani.
([2]) HR. Tirmizi No. 1376, dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani.
([4]) HR. Abu Daud No. 3544, dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani, dan disebutkan pula oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya (3/157).
([5]) Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud (hlm. 229).
([6]) Yaitu maksudnya adalah mencarikan ibu yang salihah.
([7]) Nashihah al-Muluk, karya Al-Mawardi (hlm. 162).
([8]) Manhaj at-Tarbiyah an -Nabawiyyah li at-Thifl, karya Muhammad Nur As-Suwaid (hlm. 75-76).
([11]) HR. Abu Daud no. 4833, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani.
([12]) Abu Bakrah adalah seorang sahabat.
([13]) HR. Abu Daud No. 5090, Syaikh Al-Albani mengatakan sanadnya hasan.
([14]) HR. Tirmizi No. 2516, dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani.
([15]) HR. Ahmad No. 24427, sahih menurut Al-Arnauth.
([18]) HR. Abu Daud No. 3777, dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani.
([21]) HR. Bukhari No. 2586 dan HR Muslim No. 1623, dengan lafal Imam Muslim.
([24]) Lihat: Manhaj at-Tarbiyah an-Nabawiyyah li at-Thifl (hlm. 98).