Hak-hak Istri
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas hak-hak istri. Pada dasarnya pembahasan kali ini hendaknya diketahui oleh para laki-laki (suami), karena yang namanya hak-hak istri itu berarti kewajiban-kewajiban suami. Sebagaimana pula jika dikatakan hak-hak suami, maka maksudnya adalah kewajiban istri.
Dalam kehidupan ini pasti terkumpul pada diri seseorang dua hal yaitu hak-hak dan kewajiban. Seseorang memiliki hak-hak yang boleh dia tuntut dari orang lain yang memiliki kewajiban, dan di lain sisi dia memiliki kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan atas hak-hak orang lain yang ada pada dirinya.
Seseorang yang cerdas tentunya berusaha untuk menunaikan hak orang lain sebelum dia memperhatikan hak-haknya, karena meskipun seseorang tidak mendapatkan hak-haknya di dunia, pasti akan dia dapatkan hak-haknya di akhirat, dan hak-hak tersebut tidak akan hilang. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi ﷺ dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda,
لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ، مِنَ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ
“Semua hak itu pasti akan dipenuhi pada hari kiamat kelak, hingga kambing bertanduk pun akan dituntut untuk dibalas oleh kambing yang tidak bertanduk.”[1]
Jika pada hadits ini hewan saja akan diberikan hak balasnya atas kezaliman hewan yang lain, maka tentu hak-hak manusia pun akan dipenuhi. Maka tatkala kita memiliki hak-hak yang tidak ditunaikan oleh bos kita, tidak ditunaikan oleh istri kita, tidak ditunaikan oleh sahabat kita, maka tidak perlu khawatir karena hak tersebut akan kembali cepat atau lambat. Jika kita tidak menerimanya di dunia, maka kita akan menerimanya di akhirat. Dan sebenarnya beruntung seseorang yang hak-haknya dikembalikan pada hari akhirat, karena pada waktu itu seseorang akan betul-betul butuh dengan pahala, sedangkan cara pengembalian hak-hak yang tidak didapatkan di dunia tersebut adalah dengan mentransfer pahala.
Maka yang lebih utama untuk kita perhatikan adalah hak-hak orang yang ada pada diri kita. Dengan kata lain kewajiban kita kepada orang lain harus kita tunaikan terlebih dahulu. Dan jangan sampai kita meninggal dunia dalam kondisi ada hak orang lain yang belum kita tunaikan, karena perkara seperti ini sangatlah berbahaya. Allah ﷻ berfirman,
فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ، يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ، وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ، وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ، لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ
“Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua). pada hari itu manusia lari dari saudaranya. dan dari ibu dan bapaknya. dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS. ‘Abasa: 33-37)
Para ulama menyebutkan bahwa di antara tafsiran dari ayat ini adalah seseorang pada hari kiamat akan lari dari keluarganya karena dia takut dan khawatir jika dituntut oleh orang-orang tersebut. Padahal biasanya tatkala kondisi sedang genting, seseorang ingin berkumpul dengan orang-orang terdekat. Karena di dunia ini kita tentu memiliki hak orang tua yang harus kita tunaikan, ada hak anak dan istri yang harus kita juga tunaikan, dan hak-hak saudara yang harus ditunaikan. Maka hati-hatilah jika ada hak-hak orang terdekat tersebut yang kita tidak tunaikan, maka pada hari kiamat kelak, kita akan di tuntut oleh mereka. Dan pada hari kiamat kelak, seseorang tidak akan pandang bulu baik kepada orang tuanya, istri atau suaminya, saudaranya ataupun anaknya. Karena pada hari itu seseorang akan sangat butuh terhadap pahala. Oleh karenanya saya ingatkan kembali bahwa hendaknya seseorang sebelum meninggal dunia berusaha untuk menunaikan hak-hak orang lain, dan jangan sampai ada hak-hak orang lain yang belum ditunaikan. Oleh karenanya Sufyan Ats-Tsauri berkata,
إِنَّكَ أَنْ تَلْقَى اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِسَبْعِينَ ذَنْبًا فِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ أَهْوَنُ عَلَيْكَ مِنْ أَنْ تَلْقَاهُ بِذَنْبٍ واحِدٍ فِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ العِبادِ
“Engkau bertemu dengan Allah pada hari kiamat dengan membawa tujuh puluh dosa antara engkau dengan Allah itu lebih ringan atasmu daripada engkau bertemu Allah dengan membawa satu dosa antara engkau dengan seorang hamba.”[2]
Imam Syafi’i juga berkata,
بِئْسَ الزَّاد إِلَى الْمَعَاد الْعُدْوَانُ عَلَى الْعِبَادْ
“Seburuk-buruk bekal untuk hari kiamat kelak adalah berbuat zalim kepada orang lain.”[3]
Fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga pasangan suami istri adalah timbulnya perselisihan dan hilangnya keharmonisan, yang disebabkan karena salah satu dari pasangan suami istri atau bahkan keduanya tidak menunaikan hak-hak pasangannya. Bahkan terkadang seorang suami atau istri menuntut hak-haknya, akan tetapi melupakan hak pasangannya terhadap dirinya, padahal ini adalah sifat yang tercela jika hanya menuntut dan lupa untuk menunaikan kewajiban. Hal seperti ini telah Allah ﷻ singgung dalam firman-Nya,
إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ، وَإِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْ، وَإِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْ، وَإِذَا الْقُبُورُ بُعْثِرَتْ، عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ وَأَخَّرَتْ
“Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi. Tidakkah mereka itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar. (yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-Muthaffifin: 1-5)
Ayat ini pada dasarnya berkaitan tentang orang-orang yang berjual-beli, namun hanya bisa menuntut haknya dan mengabaikan hak orang lain. Ayat ini menggambarkan bagaimana seseorang tatkala memberi barang, dia meminta untuk dicukupkan takaran barang yang dibelinya, akan tetapi tatkala dia menjual barang kepada orang lain, maka dia mengurangi takarannya. Ini adalah contoh sifat seseorang yang hanya suka untuk menuntut haknya, akan tetapi tidak mau menunaikan hak orang lain terhadap dirinya. Maka meskipun ayat ini berkaitan dengan jual beli, namun Syaikh Muhammad bin Soleh Al-‘Utsaimin ﷺ mengatakan bahwa ayat ini mencakup seluruh aspek kehidupan yang memiliki ciri sifat seperti dalam ayat ini.[4]
Contohnya seperti antara seorang pemimpin dan karyawan perusahaan. Banyak di antara pemimpin perusahaan yang sukanya menuntut hak dari karyawannya untuk bekerja tepat waktu, akan tetapi ketika waktu para karyawannya gajian, dia mengabaikan dan suka menunda-nunda urusan tersebut. Ataupun sebaliknya karyawan yang meminta gaji diberikan tepat waktu akan tetapi dia suka bekerja tidak tepat waktu. Kemudian juga bagi seorang pemimpin daerah yang sering meminta pembayaran ini dan itu, akan tetapi tatkala memenuhi permintaan rakyatnya tidak dipenuhi. Sebaliknya pula sebagian rakyat menuntut pemerintah untuk melakukan ini dan itu, akan tetapi ketika berkaitan dengan urusan bayar-membayar, maka kebanyakan dari mereka lari dari urusan tersebut. Maka contoh-contoh seperti ini semua termasuk dalam golongan orang yang Allah sebutkan dalam surah Al-Muthaffifin.
Maka demikian pula dalam aspek rumah tangga, terkadang ada seorang suami yang menuntut istrinya untuk melakukan ini dan itu, akan tetapi ketika istrinya meminta untuk ditunaikan haknya, dia tidak menunaikannya. Sebaliknya juga ada sebagian wanita yang hanya bisa menuntut haknya untuk dibelikan ini dan itu, akan tetapi ketika telah dihadapkan pada kewajiban-kewajibannya terhadap suaminya, dia pun mengabaikannya.
Maka dari itu, ketahuilah bahwa tatkala seseorang berumah tangga, maka dia sedang melakukan suatu kehidupan yang luar biasa, yang dengan kehidupan tersebut dia bisa meraih pahala sebanyak-banyaknya, atau meraih dosa karena kesalahannya yang akhirnya akan mengantarkannya kepada neraka Jahanam.
Oleh karenanya pembahasan hak-hak suami dan hak-hak istri sanggatlah penting untuk diketahui baik bagi yang telah menikah ataupun bagi yang beluk menikah, sebab kehidupan berumah tangga tidaklah gampang. Janganlah seseorang hanya berangan-angan dan memikirkan enaknya menikah, akan tetapi perlu diingat bahwa ada hak dan kewajiban di dalamnya.
Hak-hak Istri
Dahulu para sahabat menanyakan kepada Rasulullah ﷺ tentang hak-hak istri mereka. Di antaranya seperti hadits yang diriwayatkan oleh Hakim bin Mu’awiyah, bahwa dia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ dengan berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟، قَالَ: أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَلَا تُقَبِّحْ أَنْ تَقُولَ: قَبَّحَكِ اللَّهُ}
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang di antara kami atasnya? Beliau berkata: ‘Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah’. Berkata Abu Daud, ‘Dan janganlah engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian) dengan mengatakan: Semoga Allah memburukkan wajahmu’.“[5]
Ini merupakan bentuk perhatian seorang sahabat j terhadap hak-hak istri mereka, sampai-sampai mereka bertanya kepada Rasulullah agar dapat mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Maka hendaknya seseorang suami juga mengetahui hak-hak istrinya untuk dia tunaikan.
Secara umum hak-hak istri terbagi menjadi dua, Pertama adalah hak-hak yang berkaitan dengan harta; Kedua adalah hak-hak yang tidak berkaitan dengan harta (materi) seperti menggaulinya dengan baik, menjaga perasaannya, dan yang lainnya.
Hak-hak yang berkaitan dengan harta
- Mahar
Sebagaimana kita ketahui bahwa mahar adalah harta yang disepakati oleh suami untuk diberikan kepada istri tatkala hendak menikahi sang wanita, yang terkadang disebutkan dalam akad nikah, dan terkadang pula tidak disebutkan. Mahar hukumnya wajib meskipun tidak termasuk dalam syarat dan rukun nikah. Oleh karenanya jika seseorang menikah dan tidak menyebutkan mahar, maka tetap wajib bagi seorang laki-laki untuk membayar mahar yang disebut sebagai مهر المثل (mahar mitsli), yaitu mahar yang layak bagi sang wanita sebagaimana para wanita lain yang sederajat dengannya dengan ukuran ‘urf (kebiasaan) dan suku dari wanita tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa mahar masing-masing daerah berbeda-beda sebagaimana perbedaan mahar antara suku jawa, bugis, betawi, batak, dan yang lainnya. Akan tetapi jika mahar telah disebutkan sebelum pernikahan, maka meskipun nilainya kurang atau lebih dari adat kebiasaan daerah tersebut, maka teta wajib untuk dibayarkan.
Mahar yang dibayarkan oleh suami kepada istri adalah murni hak seorang istri. Karena dalam sebagian tradisi ada yang memisahkan antara uang mahar untuk istri, dan uang untuk mertua. Maka yang menjadi mahar untuk istri tidak boleh diganggu karena merupakan hak istri. Adapun jika dikemudian hari sang suami berikan sebagian dari mahar sang istri dengan ikhlas dan tidak terpaksa, maka itu dibolehkan. Allah ﷻ berfirman,
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. An-Nisa’: 4)
Oleh karenanya mahar adalah murni hak istri dan tidak boleh seorang suami memintanya. Adapun jika istri memberikan dengan kerelaan, maka dibolehkan.
Kewajiban seorang suami membayar mahar juga ditunjukkan ketika telah terjadi perceraian. Ketika perceraian telah terjadi dan mahar belum lunas dibayarkan oleh sang suami, maka tetap wajib bagi seorang suami untuk melunasinya, karena mahar adalah hak istri.
Oleh karenanya ini juga menunjukkan bahwa hendaknya pernikahan itu dimudahkan sebagaimana sahnya pernikahan meskipun tidak menyebutkan mahar. Sebabnya kita dapati sebagian orang yang mempersulit pernikahan dengan cara-cara yang tidak benar, seperti mengucapkan akad harus dengan satu nafas, atau mengucapkan akad dengan terbata-bata maka tidak sah. Hal-hal seperti ini tentunya memberatkan seseorang dalam melangsungkan pernikahan.
- Memberikan nafkah
Kewajiban seorang suami untuk menafkahi istrinya hanya berlaku jika sang istri mau untuk digauli dan menyerahkan dirinya kepada sang suami. Akan tetapi jika sang istri enggan untuk digauli, maka tidak ada kewajiban bagi suami untuk memberi nafkah, karena di antara hak suami juga adalah terpenuhinya hajatnya terhadap istrinya. Akan tetapi jika sang istri adalah seorang yang salihah dan memenuhi hak-hak suaminya dengan wajar, maka wajib bagi sang suami untuk memberi nafkah.
Para ulama mengatakan bahwa di antara hikmah akan hak ini adalah karena wanita tidak bisa untuk keluar dari rumahnya karena banyaknya urusan dan tugas di dalam rumahnya, dan menyebabkan dia tidak bisa bekerja di luar rumah, sehingga wajib bagi suami untuk memenuhi segala kebutuhan istri karena sang istri telah berkhidmah kepadanya.
Nafkah dalam hal ini mencakup tiga hal, yaitu nafkah pangan (makanan), sandang (pakaian), dan papan (rumah atau tempat tinggal). Ini semua wajib dipenuhi oleh sang suami. Allah ﷻ berfirman,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah (suami) menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Dalam ayat yang lain Allah ﷻ berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7)
Di dalam ayat ini, Allah ﷻ memerintahkan seorang suami untuk tidak pelit dalam memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, melainkan menafkahkan sesuai dengan kelapangan yang Allah berikan kepadanya. Sebagaimana dalam hadits yang telah kita sebutkan sebelumnya bahwa tatkala seorang sahabat bertanya tentang apa hak istri terhadap suaminya, maka Nabi ﷺ menjawab,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ
“Engkau memberinya makan apabila engkau makan.”[6]
Dan dalam hadits lain Rasulullah ﷺ telah bersabda,
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Dinar (harta) yang kamu belanjakan di jalan Allah dan dinar (harta) yang kamu berikan kepada seorang budak wanita, dan dinar yang kamu sedekahkan kepada orang miskin serta dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu. Maka yang paling besar ganjaran pahalanya adalah yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.“[7]
Oleh karenanya seorang suami jangan pelit terhadap istrinya. Hendaknya seorang suami memberikan nafkah kepada istrinya sesuai kelapangan yang Allah berikan kepadanya. Sungguh sangat banyak dalil yang menunjukkan bahwa seorang suami harus berbuat baik kepada istrinya. Oleh karenanya tatkala seorang suami memiliki rezeki yang terbatas, maka Allah memerintahkan pula untuk memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya.
Dalam sebuah hadits juga disebutkan tentang perintah Nabi ﷺ bagi seorang suami agar memberi nafkah kepada istrinya. Diriwayatkan bahwa istri Abu Sufyan mengeluh kepada Nabi ﷺ. Dari ‘Aisyah i berkata,
دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ، لَا يُعْطِينِي مِنَ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ، فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ
“Hindun binti ‘Utbah istri Abu Sufyan datang menemui Rasulullah ﷺ seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah laki-laki yang pelit, dia tidak pernah memberikan nafkah yang dapat mencukupi keperluanku dan keperluan anak-anakku, kecuali bila aku ambil hartanya tanpa sepengetahuan darinya. Maka berdosakah jika aku melakukannya?’ Rasulullah ﷺ menjawab: ‘Kamu boleh mengambil sekadar untuk mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu’.”[8]
Dari hadits ini kita mengambil pelajaran bahwa wajib bagi suami untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Jika sekiranya ada seorang suami yang tidak memenuhi kebutuhan istri dan anaknya padahal dia mampu, maka boleh seorang istri mengambil harta suaminya untuk memenuhi kebutuhannya dan anak-anaknya dengan secukupnya, dan tidak boleh seorang istri mengambil harta suaminya secara berlebih-lebihan, karena hal tersebut adalah haram bagi sang istri. Akan tetapi jika seorang suami telah memenuhi segala kebutuhan istri dan anaknya, maka haram bagi istri mengambil harta suaminya sepeser pun.
Maka saya sampaikan bahwa kewajiban memberi nafkah adalah suatu hal yang penting dan merupakan hak istri yang harus ditunaikan seorang suami. Kewajiban nafkah suami terhadap istri di antaranya adalah dalam hal makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
- Nafkah pangan (makanan)
Seorang suami wajib memberi makan kepada istrinya sebagaimana yang dia makan, sebagaimana hadits yang telah kita sebutkan. Maka jangan sampai kita dapati istri kita dalam keadaan kurus, kekurangan makanan, dan kekurangan gizi, karena istri punya hak untuk mendapatkan makanan. Maka dari sini, seorang istri berhak mendapatkan makanan sebagaimana apa yang dimakan oleh suaminya. Namun ini perlu diingat bahwa tidak wajib bagi seorang suami untuk selalu memberikan makanan yang mewah, melainkan memberikan makanan yang sewajarnya. Adapun jika sesekali makan enak maka tidak mengapa, karena jika selalu memakan makanan yang mewah, maka hal tersebut malah masuk dalam hal pemborosan.
- Nafkah sandang (pakaian)
Seorang suami hendaknya memberikan nafkah pakaian, sepatu, tas, dan perlengkapan lainnya kepada istrinya dengan wajar, sehingga seorang istri memiliki sesuatu yang bisa dia kenakan di rumahnya, atau pada acara-acara yang dia hadiri seperti walimah, pertemuan, dan acara yang lainnya.
Kemudian perlu untuk diperhatikan bahwa hendaknya nafkah sandang tersebut tidaklah berlebih-lebihan, melainkan sesuai dengan kemampuan sang suami, karena kita dapati sebagian para istri memiliki berbagai macam koleksi sandal dan sepatu, tas, dan pakaian. Padahal mungkin cukup dua hingga tiga yang dimiliki oleh seorang istri. Ketahuilah bahwa berlebih-lebihan dalam hal ini tidaklah memberikan faedah. Oleh karenanya tidak wajib bagi suami untuk memenuhi permintaan istri yang suka mengoleksi sepatu, tas atau pakaian. Hendaknya seorang suami memenuhi kebutuhan istri sesuai dengan kemampuannya dan juga sewajarnya sebagaimana wanita-wanita yang ada pada zaman sekarang.
- Nafkah papan (tempat tinggal)
Pada perkara tempat tinggal, seorang istri berhak untuk mendapatkan tempat tinggal sendiri yang terpisah dari orang tua maupun iparnya atau bahkan saudaranya. Jangankan wanita yang masih dalam status pernikahan, suami wajib memberikan tempat tinggal bagi wanita yang dicerai dan dalam masa idah. Sebagaimana firman Allah ﷻ yang bercerita tentang wanita yang dicerai dalam Al-Quran,
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu) maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)
Maka jika wanita yang dicerai saja Allah ﷻ memerintahkan untuk memberikan tempat tinggal, maka bagaimana lagi dengan seorang wanita yang masih menjadi istri sah.
Sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelumnya bahwa asalnya tempat tinggal yang harus suami sediakan adalah tempat tinggal yang bersifat privasi dan terpisah dari kerabat suami, atau bahkan istri suami yang lainnya. Para ulama mengatakan seperti Al-Kasani ﷺ,
وَلَوْ أَرَادَ الزَّوْجُ أَنْ يُسْكِنَهَا مع ضَرَّتِهَا أو مع أَحْمَائِهَا كَأُمِّ الزَّوْجِ وَأُخْتِهِ وَبِنْتِهِ من غَيْرِهَا وَأَقَارِبِهِ فَأَبَتْ ذلك عليه أَنْ يُسْكِنَهَا في مَنْزِلٍ مُفْرَدٍ
“Jika suami hendak mengajak istrinya tinggal bersama istrinya yang lain atau kalangan keluarga mertua istri seperti ibunda suami, saudari suami (ipar) atau putri dari istrinya yang lain serta kerabat suami yang lain sedang istri enggan dalam hal tersebut, maka suami harus menempatkannya dalam rumah pribadi.”[9]
Maka jika seorang istri tidak setuju dan mengizinkan kerabat suaminya untuk tinggal bersamanya, tidak boleh seorang suami kemudian marah terhadap istrinya karena itu merupakan bagian hak istri.
Dari sini juga kita dapat mengetahui bahwa tidak boleh seorang suami menggabungkan antara istri yang satu dengan istrinya yang lain dalam satu rumah. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Qudamah ﷺ dengan mengatakan,
وَلَيْسَ لِلرَّجُلِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ امْرَأَتَيْهِ فِي مَسْكَنٍ واحِدٍ بِغَيْرِ رِضاهما، صَغِيرًا كَانَ أَوْ كَبِيرًا؛ لِأَنَّ عَلَيْهُمَا ضَرَرًا؛ لِما بَيْنَهُمَا مِنْ العَداوَةِ والْغَيْرَةِ، واجْتِماعُهُمَا يُثِيرُ المُخاصَمَةَ والْمُقاتِلَةَ، وَتَسْمَعُ كُلُّ واحِدَةٍ مِنْهُمَا حِسَّهُ إِذَا أَتَى إِلَى الأُخْرَى، أَوْ تَرَى ذَلِكَ، فَإِنَّ رَضِيتَا بِذَلِكَ جَاز؛ لِأَنَّ الحَقَّ لَهُما، فَلَهُمَا الْمُسامَحَةُ بِتَرْكِهِ
“Tidak boleh seorang suami mengumpulkan dua istri dalam satu tempat tinggal tanpa keridhaan keduanya, baik istri muda maupun istri tua, karena mudarat yang bisa muncul di antara keduanya, yaitu permusuhan dan kecemburuan. Apabila keduanya dikumpulkan akan mengobarkan pertikaian dan permusuhan. Yang satu akan mendengar atau melihat ketika suaminya ‘mendatangi’ istri yang lain. Namun, jika kedua istri ridha, hal itu dibolehkan. Sebab, hal itu menjadi hak keduanya dan mereka bisa menggugurkannya.”[10]
Oleh karena itu, tatkala seseorang laki-laki menikah, dan kondisi memaksakan dia untuk menempatkan ibunya di rumahnya, maka dia harus sadari bahwa hal tersebut berarti telah menggugurkan hak istri untuk memiliki tempat tinggal sendiri dan yang terpisah. Maka wajib seorang suami untuk meminta izin dan mendapat ridanya terlebih dahulu kepada istrinya tanpa memaksakannya untuk menggugurkan haknya. Adapun wanita salihah pasti akan memberikan izin jika sang suami meminta yang demikian, karena banyak terjadi perselisihan dan cekcok yang luar biasa tatkala seorang suami menggabungkan istri dan ibunya dalam satu rumah, meskipun ada pula kasus lain di mana hubungan menantu dan mertua menjadi harmonis. Akan tetapi perlu saya ingatkan bahwa seorang istri tidak wajib merawat ibu mertua, sehingga tidak boleh bagi seorang suami untuk menyalahkan sang istri tatkala tidak membantunya dalam merawat ibunya, karena syariat menyebutkan demikian.
Oleh karenanya secara fikih seorang istri punya hak untuk memiliki tempat tinggal sendiri dan privasi. Kalau sekiranya seorang suami hendak mendatangkan kerabatnya ke rumahnya, maka sang suami haru meminta izin dan ridha istrinya, karena dengan mendatangkan kerabat suami berarti telah menggugurkan hak istri.
Timbul pertanyaan, apakah masih wajib bagi suami memberi nafkah kepada istri yang bekerja? Maka dalam hal ini terdapat dua keadaan:
Keadaan pertama, ada pembahasan dalam masalah fikih berjudul syarat dalam pernikahan. Yang dimaksud hal ini bukanlah syarat sahnya nikah, akan tetapi syarat tambahan yang dipasang oleh calon suami atau istri dalam pernikahan. Sebagai contoh seorang laki-laki memberikan syarat kepada sang wanita, bahwa mereka akan menikah jika sang wanita bersedia tinggal di daerah tertentu yang telah ditentukan oleh calon suami. Kalau calon istri setuju, maka dia harus memenuhi persyaratan tersebut. Contoh lain adalah calon istri menyetujui terlaksananya pernikahan dengan syarat setelah menikah dia dibolehkan untuk dan/atau tetap bekerja. Maka jika calon suami menyetujui persyaratan tersebut, kelak ketika istri telah bekerja, maka suami tetap wajib memberikan nafkah kepada istri karena telah menyetujui syarat tersebut sejak awal.
Keadaan kedua, apabila syarat-syarat tersebut (istri ingin bekerja) muncul dikemudian hari (setelah menikah), maka dengan demikian seorang istri mengambil hak suami yaitu seorang istri tinggal di rumah. Maka dalam hal ini perlu ada pengertian dan diskusi dari keduanya untuk mencari persetujuan tentang nafkah, apakah masih ada, atau dikurangi, atau yang lainnya. Sebab tatkala seorang istri bekerja di luar rumah, maka dia telah mengambil hak suami, dan menjadi keputusan suami untuk menggugurkan haknya atau tidak.
Hak-hak selain harta
-
- Suami harus adil terhadap istri-istrinya
Jika seorang suami memiliki istri lebih dari satu, maka dia harus bersikap adil kepada semua istrinya. Kemudian jika seorang suami tidak adil kepada istri-istrinya, maka dipastikan dia telah terjerumus dalam dosa besar karena dia terancam dengan ancaman khusus dari Nabi ﷺ. Dalam sebuah hadits Nabi ﷺ bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Barangsiapa yang memiliki dua orang istri kemudian ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan sebelah badannya miring.”[11]
Kata para ulama, maksud dia datang dalam keadaan miring adalah dia datang pada hari kiamat dalam keadaan dipermalukan di hadapan banyak orang. Oleh karenanya hal ini menunjukkan bahwa berlaku tidak adil adalah dosa besar. Maka tatkala seseorang memiliki istri lebih dari satu, jangan sampai dia berlaku tidak adil.
Keadilan di antara para istri hukumnya wajib bagi seorang suami. Adil yang pertama adalah adil dalam hal jatah menginap yang harus ditunaikan sesuai dengan kesepakatan. Adil yang kedua adalah dalam hal jatah nafkah. Sebagian ulama mengatakan bahwa adil dalam hal ini hanya pada hal-hal hang wajib. Meskipun kadarnya tidak sama, akan tetapi sudah mencukupi hak-hak istri. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa harus adil dalam segala hal. Akan tetapi adil dalam segala hal ini sungguh sangat berat. Sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa sebenarnya tidak sampai pada derajat harus adil dalam semua hal, akan tetapi hanya sampai pada derajat yang disunnahkan (dianjurkan).
Kemudian juga dalam perkara bersafar. Jika seorang suami bersafar dalam rangka untuk liburan dan mengajak salah satu istri, maka wajib bagi seorang suami untuk mengajak istri yang lain pada waktu yang lain. Akan tetapi jika safar tersebut bukan dalam rangka liburan, melainkan urusan pekerjaan, maka suami berhak memilih siapa di antara istrinya yang hendak dia ikutkan bersamanya.
- Mempergauli istri dengan baik
Allah ﷻ berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa’: 19)
Nabi ﷺ juga bersabda,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ، بِأَمَانَةِ اللَّهِ
“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam berbuat baik terhadap wanita. Sesungguhnya kalian telah mengambil mereka sebagai amanah Allah.”[12]
Dari sini seorang suami harus sadar bahwasanya istri adalah amanah dari Allah ﷻ dan harus dijaga dengan baik, karena kelak seorang suami akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap amanah yang Allah berikan kepadanya.
Dalam hadits lain Nabi ﷺ bersabda,
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ، إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Dan aku berwasiat (untuk berbuat baik) kepada wanita, karena sesungguhnya dia diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas, jika kamu berusaha untuk meluruskannya, niscaya akan patah, jika kamu membiarkannya, dia akan senantiasa bengkok, maka aku berwasiat agar kalian berbuat baik terhadap wanita.”[13]
Ketika kita telah mengetahui bahwa istri kita tercipta sebagaimana Hawa yaitu dari tulang rusuk Nabi Adam u, maka tabiat tulang tersebut adalah bengkok dan tidak mungkin untuk diluruskan. Oleh karenanya Nabi ﷺ menjelaskan tentang kekurangan wanita bukan bertujuan untuk menghinakan para wanita, akan tetapi agar para laki-laki memberi uzur kepada wanita. Oleh karenanya Nabi ﷺ membuka dan menutup hadits di atas dengan memerintahkan untuk berbuat baik kepada para wanita.
Sebagian ulama menafsirkan kata “Aku berwasiat agar kalian berbuat baik terhadap wanita ” dengan mengatakan,
يُوصِي بَعْضُكُمْ بَعْضًا فِيهِنَّ خَيْرًا
“Yaitu hendaknya sebagian (para suami) saling mewasiatkan sebagian (para suami) yang lain untuk berbuat baik kepada mereka (para istri).”[14]
Penafsiran ulama di atas seakan-akan menunjukkan bahwa perkara berbuat baik kepada istri adalah perkara yang sering dilupakan, sehingga para ulama merasa perlu untuk para suami saling mengingatkan kepada para suami yang lainnya akan hal ini. Karena memang benar bahwa saat ini banyak seorang suami yang lupa untuk berbuat baik kepada istrinya. Padahal tatkala bergaul dengan wanita lain, dia bersikap lemah lembut dan bertutur kata yang sopan. Akan tetapi tatkala bertemu dan berbicara dengan istrinya, dia tidak memikirkan kata-kata yang keluar dari mulutnya, sehingga tidak jarang dia menyakiti hati istrinya dan membuatnya menangis. Ini adalah perkara yang sangat menyedihkan. Syaikh Abdurrazzaq pernah menceritakan kisah yang seperti ini, di mana ada empat orang yang saling bersahabat, dan salah satunya adalah yang paling berakhlak mulia. Tatkala ketiga temannya pulang ke rumahnya masing-masing, mereka menceritakan baiknya akhlak temannya kepada istrinya masing-masing, sehingga istri-istri mereka pun mengenal teman suaminya tersebut sebagai orang yang berakhlak mulia. Suatu ketika mereka berempat mengadakan acara keluarga dengan menghadirkan masing-masing istrinya. Tatkala masing-masing istri mereka bertemu, ketiga istri temannya akhirnya bercerita dan memuji teman suaminya yang berakhlak mulia kepada istrinya. Maka seketika istrinya kaget karena selama ini dia tidak mendapatkan kelembutan akhlak tersebut dari suaminya sebagaimana yang diceritakan oleh ketiga istri teman suaminya.
Oleh karenanya kita sering mendapati sebuah fenomena di mana seseorang mampu berbuat baik kepada orang yang jauh, akan tetapi bagi orang terdekatnya (di rumah) tidak demikian, padahal sikap tersebut harusnya terbalik. Sehingga ketika seorang suami mudah memaafkan kesalahan orang lain, maka seharusnya dia pun bisa lebih mudah lagi untuk memaafkan istrinya. Begitu pula dalam hal memberi uzur dan kebaikan-kebaikan lainnya, karena sesungguhnya kebaikan istri itu sangat banyak, apalagi Nabi ﷺ telah mengisyaratkan bahwa wanita itu sifatnya bengkok dan sulit untuk diluruskan.
Maka sebagai laki-laki atau seorang suami, dia harus mengerti kekurangan-kekurangan wanita (istrinya) tersebut. Terlebih lagi sebagian ulama menafsirkan maksud tulang rusuk yang paling bengkok di bagian atas adalah lisan para wanita yang terkadang berbicara tanpa memikirkan terlebih dahulu. Oleh karena itu hendaknya suami tidak terlalu mengambil hati dari perkataan istrinya, karena telah menjadi tabiat seorang wanita yang seperti itu.
Kemudian dalam hadits lain Nabi ﷺ bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku.”[15]
Ini dalil bahwa kesempatan bagi seorang suami untuk meraih surga tertinggi dengan berakhlak mulia terhadap istrinya. Karena kata Nabi ﷺ,
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ القِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا
“Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan yang tempat duduknya lebih dekat kepadaku pada hari kiamat ialah orang yang akhlaknya paling bagus.”[16]
Sesungguh akhlak asli seseorang akan tampak ketika seseorang bergaul dengan istrinya. Tatkala seseorang bergaul dengan orang lain, maka semua orang bisa untuk memperbagus perangainya sampai kapan pun, akan tetapi ketika bersama istri, maka itu adalah hal yang tidak mudah untuk dilakukan dalam waktu yang lama. Maka ketika ada seseorang yang terus berakhlak mulia kepada istrinya, ketahuilah bahwa memang dirinya memiliki akhlak mulia dan tidak dibuat-buat. Oleh karenanya hendaknya para suami menjadikan hadits ini sebagai motivasi untuk bisa meraih surga tertinggi dengan menjadi suami yang terbaik untuk istri.
Dan sebaik-baik contoh suami yang berbuat baik terhadap istrinya adalah Nabi ﷺ. Di antara kisahnya adalah tatkala istri Nabi ﷺ Shafiyah i mendatangi beliau yang dalam keadaan iktikaf di sepuluh terakhir Ramadhan. Kita tentu tahu bahwa hakikat iktikaf adalah konsentrasi beribadah kepada Allah, dan tidak boleh keluar dari masjid kecuali darurat. Akan tetapi Nabi ﷺ memberhentikan ibadahnya kepada Allah agar dapat berbicara dengan istrinya, dan mengantarkan istrinya keluar dari masjid sampai ke rumahnya. Kisah lain juga tatkala Shafiyah hendak naik ke atas untanya, akan tetapi dia tidak bisa mencapainya. Maka Nabi ﷺ menegakkan lututnya untuk dinaiki Shafiyah agar bisa naik ke atas untanya. Kejadian ini disaksikan oleh para sahabat.
Ketahuilah para suami, sesungguhnya wanita itu ingin diperlakukan mulia di hadapan orang lain, dia ingin menunjukkan bahwa dia disayang dan memiliki kedudukan yang baik di sisi suaminya. Sebagaimana yang dilakukan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Beliau mengatakan,
دَخَلَ الْحَبَشَةُ الْمَسْجِدَ يَلْعَبُونَ فَقَالَ لِي: يَا حُمَيْرَاءُ أَتُحِبِّينَ أَنْ تَنْظُرِي إِلَيْهِمْ فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَقَامَ بِالْبَابِ وَجِئْتُهُ فَوَضَعْتُ ذَقَنِي عَلَى عَاتِقَهُ فَأَسْنَدْتُ وَجْهِي إِلَى خَدِّهِ، قَالَتْ: وَمِنْ قَوْلِهِمْ يَوْمَئِذٍ أَبَا الْقَاسِمِ طَيِّبًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَسْبُكِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ لَا تَعْجَلْ، فَقَامَ لِي ثُمَّ قَالَ: حَسْبُكِ، فَقُلْتُ: لَا تَعْجَلْ يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَتْ: وَمَا لِي حُبُّ النَّظَرِ إِلَيْهِمْ، وَلَكِنِّي أَحْبَبْتُ أَنْ يَبْلُغَ النِّسَاءَ مَقَامُهُ لِي وَمَكَانِي مِنْهُ
“Suatu hari orang-orang Habasyah masuk masjid dan menunjukkan atraksi permainan di dalam masjid, lalu Rasulullah ﷺ memanggil Aisyah, “Wahai Humaira, apakah engkau mau melihat mereka?” Aisyah menjawab, “Iya.” Maka Nabi ﷺ berdiri di depan pintu, lalu aku datang dan aku letakkan daguku pada pundak Rasulullah ﷺ dan aku tempelkan wajahku pada pipi beliau.” Lalu ia mengatakan, “Di antara perkataan mereka tatkala itu adalah, ‘Abul Qasim adalah seorang yang baik’.” Maka Rasulullah ﷺ mengatakan, “Apakah sudah cukup wahai Aisyah?” Ia menjawab: “Jangan terburu-buru wahai Rasulullah.” Maka beliau pun tetap berdiri. Lalu Nabi ﷺ mengulangi lagi pertanyaannya, “Apakah sudah cukup wahai Aisyah?” Namun, Aisyah tetap menjawab, “Jangan terburu-buru wahai Rasulullah ﷺ, “Aisyah mengatakan, “Sebenarnya bukan karena aku senang melihat permainan mereka, tetapi aku hanya ingin memperlihatkan kepada para wanita bagaimana kedudukan Nabi ﷺ terhadapku dan kedudukanku terhadapnya.”[17]
Maka ini di antara dalil yang menunjukkan bagaimana perhatian Nabi ﷺ terhadap istrinya. Maka hendaknya seorang suami memuliakan istri dengan berbagai sikap yang baik.
Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa ‘Aisyah i mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي جَالِسًا، فَيَقْرَأُ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا بَقِيَ مِنْ قِرَاءَتِهِ نَحْوٌ مِنْ ثَلاَثِينَ – أَوْ أَرْبَعِينَ – آيَةً قَامَ فَقَرَأَهَا وَهُوَ قَائِمٌ، ثُمَّ يَرْكَعُ، ثُمَّ سَجَدَ يَفْعَلُ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ، فَإِذَا قَضَى صَلاَتَهُ نَظَرَ: فَإِنْ كُنْتُ يَقْظَى تَحَدَّثَ مَعِي، وَإِنْ كُنْتُ نَائِمَةً اضْطَجَعَ
“Rasulullah ﷺ pernah melaksanakan shalat dengan duduk dan Beliau membaca surat sambil duduk. Bila sedikit tersisa dari bacaannya sekitar tiga puluh atau empat puluh ayat, maka beliau berdiri dan melanjutkan bacaannya itu dengan berdiri. Kemudian beliau rukuk lalu sujud, Kemudian beliau melakukan seperti itu pada rakaat kedua. Bila beliau telah menyelesaikan shalatnya, beliau melihat (kepadaku). Bila aku telah bangun maka beliau mengajak aku berbincang dan bila aku masih tidur, maka beliau berbaring.”[18]
Lihatlah bagaimana sikap Nabi ﷺ yang menyempatkan berbicara dengan istrinya di penghujung malam. Padahal kita ketahui bahwa pada waktu itu adalah waktu yang dianjurkan untuk banyak berzikir dan berdoa kepada Allah ﷻ.
- Hendaknya seorang suami cemburu kepada istrinya.
Nabi ﷺ bersabda,
إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّ اللهُ، وَمِنْهَا مَا يُبْغِضُ اللهُ، وَمِنَ الْخُيَلَاءِ مَا يُحِبُّ اللهُ، وَمِنْهَا مَا يُبْغِضُ اللهُ، فَأَمَّا الْغَيْرَةُ الَّتِي يُحِبُّ اللهُ، فَالْغَيْرَةُ فِي رِيبَةٍ، وَأَمَّا الَّتِي يُبْغِضُ اللهُ، فَالْغَيْرَةُ فِي غَيْرِ الرِّيبَةِ، وَأَمَّا الْخُيَلَاءُ الَّتِي يُحِبُّ اللهُ أَنْ يَتَخَيَّلَ الْعَبْدُ بِنَفْسِهِ لِلَّهِ عِنْدَ الْقِتَالِ، وَأَنْ يَتَخَيَّلَ بِالصَّدَقَةِ
“Sesungguhnya di antara cemburu itu ada yang disukai Allah dan ada yang dibenci Allah dan di antara sikap sombong itu ada yang disukai Allah dan ada yang dibenci Allah, cemburu yang disukai Allah adalah cemburu dalam keraguan dan yang dibenci Allah adalah cemburu di luar keraguan, sedangkan sikap sombong yang disukai Allah sombongnya seorang hamba untuk Allah saat perang dan sombong dengan sedekah.”[19]
Ketika seorang suami mendapati istrinya berbicara dengan orang lain, maka hendaknya seorang suami merasa cemburu akan hal tersebut, karena hal tersebut adalah hal yang patut bagi seorang suami untuk merasa curiga. Seorang suami harus menunjukkan kecemburuannya agar sang istri tahu bahwa dia disayang oleh suaminya. Bukan malah seorang suami memamerkan kecantikan dan aurat istrinya dengan membiarkan istrinya menggunakan pakaian yang menarik perhatian orang-orang. Maka hal yang seperti ini tidak diperbolehkan, karena di antara hak istri adalah seorang suami cemburu kepadanya jika didapati hal-hal yang perlu untuk dicurigai. Akan tetapi jika kecemburuan tersebut tanpa alasan atau kecurigaan yang berlebihan, maka yang demikian juga tidak boleh.
- Tidak boleh seorang suami mencela fisik sang istri
Tidak boleh bagi suami untuk mengejek, mengolok-olok, atau mencela fisik sang istri dengan perkataan apa pun, meskipun perkataan itu benar adanya. Apalagi sampai mengatakan sebagaimana di dalam hadits,
وَلَا تُقَبِّحْ أَنْ تَقُولَ: قَبَّحَكِ اللَّهُ
“Dan janganlah engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian) dengan mengatakan ‘Semoga Allah memburukkan wajahmu’.“[20]
- Tidak boleh memboikotnya kecuali di dalam rumah
Ketika seorang suami sedang marah terhadap istrinya, jangan dengan mudah baginya untuk pergi dari rumahnya dan tidak pulang. Ketahuilah bahwa hak tersebut hanya boleh dilakukan dalam kondisi terdesak. Akan tetapi jika ada seorang suami yang setiap kali marah kepada istrinya meninggalkan rumahnya, maka hal tersebut tidak boleh. Oleh karenanya seorang suami boleh memboikot istri dengan syarat hanya di rumahnya, dan ini adalah hak istri.
Sebagian para ulama juga mengatakan bahwa meskipun hal tersebut (memboikot istri di luar rumah) boleh dilakukan sebagaimana yang pernah di lakukan Nabi ﷺ terhadap istri-istrinya, akan tetapi hal tersebut bisa membuat istri jauh lebih sakit hati. Maka ingatlah bahwa hukum asal seorang suami tidak boleh meninggalkan rumah. Seorang suami boleh marah dan jengkel, akan tetapi tetap di rumahnya memperhatikan istrinya.
- Mengingat kebaikan istri tatkala suami marah kepada istrinya
Nabi ﷺ bersabda,
لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang Mukmin membenci wanita Mukminah, jika dia membenci salah satu perangainya, niscaya dia akan ridha dengan perangainya yang lain.”[21]
Tatkala istri kita melakukan kesalahan, jangan kita seorang suami langsung terfokus pada kesalahannya tersebut. Ingatlah terlebih dahulu kebaikan-kebaikannya yang lain agar hati kita bisa bersyukur. Sebab wanita maupun laki-laki pasti memiliki kesalahan. Maka jangan sampai karena satu kesalahan seorang istri membuat suami melupakan segala kebaikan yang dilakukan istri terhadapnya.
Footnote:
____________
[1] HR. Muslim No. 2582
[2] At-Tadzkirah fii Ahwal Al-Mauta wa Umur Al-Akhirah hal. 726.
[3] Siyar A’lam An-Nubala’ 10/41
[4] Lihat Tafsir Al-‘Utsaimin Juz ‘Amma hal. 93-94
[5] HR. Abu Daud No. 2142, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani.
[6] HR. Abu Daud No. 2142, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani.
[7] HR. Muslim No. 995
[8] HR. Muslim No. 1714
[9] Bada’iu Ash-Shana’i 4/32
[10] Al-Mughni lii Ibnu Qudamah 7/300
[11] HR. Abu Daud No. 2133, dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani.
[12] HR. Ibnu Majah No. 3047
[13] HR. Muslim No. 1468
[14] Subulus Salam Ash-Shan’ani 2/203
[15] HR. Ibnu Majah No. 1977, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ Ash-Shaghir No. 3314, dari Ibnu ‘Abbas h
[16] HR. At-Tirmidzi No. 2018, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ Ash-Shaghir No. 2201, dari Jabir h
[17] HR. An-Nasa’i No. 8902 dalam Sunan Al-Kubra, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Hadits Ash-Shahihah No. 3277
[18] HR. Bukhari No. 1119
[19] HR. Ahmad No. 23747, hadits ini hasan lighairih.
[20] HR. Abu Daud No. 2124
[21] HR. Muslim No. 1469