أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
Latin: alam tara kayfa fa’ala rabbuka bi-ash-haabi alfiili
Arti: “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?”
Tafsir Quran Surat Al-Fil Ayat-1
Para ulama sepakat bahwasanya Surat Al-Fiil adalah surat Makiyyah yang diturunkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sebelum berhijrah ke kota Madinah. Surah Al-Fiil menceritakan tentang kisah yang sangat masyhur yaitu kisah Abrahah bersama tentara gajahnya datang ke Makkah ingin menghancurkan Ka’bah.
Al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya untuk surat Al-Fiil menceritakan tentang kisah bagaimana Allah menghancurkan tentara bergajah tersebut. Berikut ini adalah kisah pasukan gajah yang dipaparkan secara ringkas, padat dan berisi. Telah disebutkan sebelumnya dalam kisah Ashhabul Ukhduud bahwa Dzu Nuwas, Raja Himyar terakhir adalah seorang musyrik. Orang inilah yang membunuh sekitar dua puluh ribu Ashhabul Ukhduud yang beragama Nasrani. Tidak ada seorangpun yang lolos dari mereka yang dibakar selain Daus Dzu Tsa’laban. Ia meminta bantuan kepada kaisar raja syam yang beragama Nasrani. Maka raja Syam ini menulis surat yang ditujukan kepada an-Najasyi, raja Habasyah. Isinya agar raja Najasyi membantu Daus karena posisi An-Najasyi -di Habasyah- lebih dekat ke Yaman (dari pada kaisar yang ada di Syam). An-Najasyi pun mengutus dua orang panglimanya, yaitu Aryath dan Abrahah bin ash-Shabbah Abi Yaksum berserta tentara besar jumlahnya.
Pasukan besar ini masuk ke Yaman, dan berhasil menguasai seluruh wilayah Yaman. Mereka berhasil merampas kerajaan dari Himyar, dan Dzu Nuwas sendiri mati tenggelam di laut.
Maka orang-orang Habasyah menguasai kerajaan Yaman seutuhnya, dibawah perintah dua pamglima tersebut, yaitu Aryath dan Abrahah.
Kemudian mereka berdua berselisih paham dalam pemerintahannya. Keduanya bertengkar dan bersiap-siap untuk berperang. Maka salah satu diantara mereka berdua berkata, “kita tidak perlu melibatkan dua pasukan dalam peperangan, cukup kita berdua sajalah yang berduel satu lawan satu. Siapa yang menang diantara kita, maka dialah yang memerintah kerajaan ini”
Usulan ini disetujui oleh lawannya, maka keduanya berduel satu lawan satu. Aryath menyerang Abrahah. Dia menebaskan pedangnya, hingga memotong hidung Abrahah, merobek mulutnya dan mengoyak wajahnya. Kemudian datanglah ‘Ataudah, seorang pengawal setia Abrahah, dia menyerang Aryath hingga berhasil membunuhnya. Dan Abrahah pulang dalam keadaan terluka, kemudian lukanya diobati hingga sembuh dan dia pun akhirnya menjadi satu-satunya pemegang kekuasaan kendali tentara Habasyah di Yaman.
Kemudian an-Najasyi mengirim surat kepada Abrahah, dia menyalahkan Abrahah atas tindakan yang telah ia lakukan, bahkan ia berjanji dan bersumpah akan menginjak-injak (menyerang) negerinya dan mencukur ubun-ubunnya.
Lalu Abrahah mengirim utusan kepadanya untuk meluluhkan dan mengambil hatinya. Bersama utusan itu Abrahah mengirim hadiah-hadiah dan bingkisan-bingkisan ditambah dengan sebuah kantong yang berisi tanah Yaman dan rambut ubun-ubun yang telah dia cukur. Abrahah mengirim semua itu melalui utusannya kepada an-Najasyi disertai sepucuk surat yang berisi “Raja bisa menginjakan kaki diatas tanah yang ada didalam kantong ini sehingga bisa memenuhi sumpah (yang telah Raja ucapkan), dan ini rambut ubun-ubunku, aku mengirimkannya kepadamu.”
Ketika surat tersebut sampai kepada an-Najasyi, ia mengagumi apa yang telah dilakukan oleh abrahah dan akhirnya dia bisa menerima dan menyetujui perbuatannya.
Lalu abrahah mengirim surat kepada an-Najasyi dengan mengatakan, “Sungguh, aku akan membangun sebuah gereja yang belum pernah dibangun sebelumnya untukmu dinegeri Yaman.” Kemudian Abrahah menjalankan proyek pembangunan sebuah gereja yang megah di Shan’a. Bangunannya menjulang tinggi dan altarnya pun demikian. Semua sisinya dihias dengan megah. Orang Arab menyebutnya dengan al-Qullais karena ketinggiannya. Maksudnya, jika orang melihat ketinggiannya dari bawah, maka peci (qulunsuwah) nya hampir jatuh dari kepalanya, karena tingginya bangunan tersebut.
Abrahah al-Asyram bertekad adar orang-orang Arab memusatkan hajinya ke gereja tersebut, sehingga haji mereka tidak lagi berpusat di Ka’bah kota Makkah. Maka ia menyerukan tekadnya tersebut di wilayah kerajaannya, sehingga orang-orang Arab suku Adnan dan suku Qahthan membenci tekadnya tersebut.
Kaum Quraisy pun menjadi sangat marah karenanya, sehingga sebagian orang dari mereka mendatangi gereja itu dan masuk ke dalamnya waktu malam lalu membuat kerusuhan didalamnya, kemudian kembali pulang (sebelum siang). Ketika para penjaga gereja melihat kejadian tersebut, mereka melaporkan hal itu kepada Abrahah. Mereka berkata kepadanya “Ini dilakukan oleh sebagian orang Quraisy karena mereka kesal kepadamu yang telah menjadikan gereja ini sebagai tandingan bagi bait (rumah) mereka (yakni Ka’bah). “Lalu Abrahah bersumpah bahwa ia akan menyerang Ka’bah di Makkah dan menghancurkannya berkeping-keping.
Muqatil bin Sulaiman menceritakan bahwa beberapa pemuda dari Suku Quraisy memasuki gereja tersebut, lalu menyalakan api di dalamnya, sedangkan pada hari itu cuaca sangat panas, sehingga gereja tersebut terbakar dan ambruk.
Karena itulah, Abrahah bersiap siap dan berangkat dengan membawa pasukan tentara yang berjumlah besar dan tangguh, agar tidak seorangpun bisa menghalang-halanginya. Ia mengendarai gajah yang begitu besar, yang belum pernah ada gajah sebesar itu sebelumnya. Gajah tersebut disebut dengan Mahmud, yang dikirimkan oleh Najasyi (Raja Habasyah) kepadanya untuk keperluan itu. Ada yang mengatakan bahwa delapan ekor gajah yang dibawanya. Ada juga yang mengatakan dua belas ekor, selain yang dikendarai Abrahah. Wallahu a’lam.
Hal itu dimaksudkan untuk menghancurkan Ka’bah dengan cara mengikat setiap sudut Ka’bah dengan rantai, lalu rantai itu dikalungkan dileher gajah. Jika gajah itu dihalau, maka tembok Ka’bah akan runtuh dengan sekali tarikan saja.
Ketika kaum Arab mendengar perjalanan Abrahah, mereka menanggapinya sebagai perkara yang sangat gawat. Mereka bertekad untuk membela Ka’bah dengan menghalangi serangan tentara Abrahah, dan menghalangi orang yang ingin menghandurkannya.
Salah seorang pembesar dan raja dari negeri Yaman yang bernama Dzu Nafar tampil keluar, menyeru kaumnya dan seluruh kaum Arab untuk ikut bersamanya melawan Abrahah. Ia berseru untuk berjuang membela Ka’bah serta menghalangi keinginan Abrahah untuk meruntuhkan dan menghancurkan Ka’bah.
Maka mereka menanggapi seruannya dan berperang melawan Abrahah. Akan tetapi Abrahah bisa mengalahkan mereka, karena Allah Sunhanahu wata’ala hendak menunjukan kehormatan dan keagungan Ka’bah. Dzu Nafar sendiri ditawan, dan Abrahah membawanya melangkah maju.
Sesampainya di negeri Khasy’am, Abrahah dihadang oleh Nufail bin Habib al-Khasy’ami bersama kaumnya, juga Syahran dan Nahis. Akan tetapi Abrahah pun dapat mengalahkan mereka dan menawan Naufail bin Habib. Abrahah ingin membunuhnya, tetapi kemudian ia memaafkannya dan membawanya untuk menjadi penunjuk jalan menuju negeri Hijaz.
Ketika mendekati wilayah Tha-if, maka penduduk Tsaqid keluar menemui Abrahah. Mereka bersikap baik kepadanya karena khawatir dengan rumah ibadah mereka yang bernama Latta. Mereka memuliakan Abrahah dan pasukannya, lalu mereka mengutus Abu Raghal sebagai penunjuk jalan.
Ketika Abrahah sampai di daerah al-Muhammas yang berada didekat kota Makkah, ia berhenti di sana. Kemudian bala tentaranya merampas harta benda milik penduduk Makkah yang terdiri dari unta dan harta lainnya.
Dari semua harta yang diambil, terdapat dua ratus unta milik ‘Abdul Muththalib. Orang yang merampas harta benda penduduk Makkah dengan perintah Abrahah adalah panglima pasukan garis depan yang bernama al-Aswad bin Maqshud, sehingga beberapa orang Arab mencelanya, berdasarkan riwayat tersebut oleh Ibnu Ishaq.
Lalu Abrahah mengutus Hanathah al-Himyari ke Makkah, ia diperintahkan untuk membawa tokoh kaum Quraisy bersamanya serta memberitahukan bahwa sang raja tidak akan datang untuk memerangi kalian, kecuali jika menghalang-halangi untuk melindungi Ka’bah.
Ketika Hanathah tiba di Makkah, ia ditunjukan kepada ‘Abdul Muththalib bin Hasyim. Hanathah menyampaikan kata-kata kepada Abrahah kepadanya. Maka ‘Abdul Muththalib berkata, “Demi Allah, kami tidak ingin memeranginya, kami tidak punya kekuatan untuk berperang. Ini adalah Baitullah al-Haram (rumah Allah yang mulia) dan rumah Khalil-nya Ibrahim. Jika Dia berkehendak melindunginya, maka memang rumah ini adalah rumah suci dan haram-Nya (yang Allah haramkan menghancurkannya). Dan jika Allah berkehendak membiarkannya, maka kami pun tidak kuasa membela rumah ini.”
Lalu Hanathah berkata kepadanya, “Mari pergi bersamaku untuk memenuhi Abrahah.” Maka ‘Abdul Muththalib pergi bersamanya.
Ketika Abrahah melihat ‘Abdul Muththalib, ia menghormatinya. ‘Abdul Muththalib merupakan pria yang berbadan besar dan rupawan. Abrahah turun dari kursi kebesarannya dan ia duduk bersama ‘Abdul Muththalib di atas permadani. Ia berkata kepada juru bicaranya (penerjemahnya), “Tanyakan kepadanya, apa yang ia butuhkan?” Maka ‘Abdul Muththalib berkata kepada juru bicara Abrahah. “Sesungguhnya yang aku butuhkan iyalah dua ratus unta milikku yang telah diambil, mohon raja berkenan mengembalikannya kepadaku.”
Lalu Abrahah berkata kepada penerjemah, “Katakan padanya, “Sungguh kamu telah membuatku kagum ketika aku melihatmu. Akan tetapi sekarang aku memandangmu remeh, karena kamu masih membicarakan dua ratus unta milikmu yang telah aku ambil, sementara kamu membiarkan Ka’bah yang merupakan simbol agamamu dan agama nenek moyangmu. Padahal aku datang kesini untuk menghancurkannya. Tidakkah kamu membicarakan hal itu denganku?”
Maka ‘Abdul Muththalib berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku ini pemilik unta. Sedangkan Ka’bah itu ada Pemiliknya sendiri (Allah). Dia-lah yang akan membelanya.”
Abrahah berkata, “Dia tidak akan bisa mencegahku.”
‘Abdul Muththalib berkata, “Itu urusanmu.”
Ada yang menceritakan bahwa ‘Abdul Muththalib menemui Abrahah disertai sejumlah pemuka orang-orang Arab. Mereka menawarkan sepertiga harta mereka kepada Abrahah dengan catatan ia harus menarik kembali tekadnya. Akan tetapi Abrahah menolaknya dan mengembalikan unta milik ‘Abdul Muththalib.
Kemudian ‘Abdul Muththalib kembali menuju kaum Quraisy, lalu ia memerintahkan mereka agar keluar dari kota Makkah dan berlindung di atas puncak gunung, karena dia takut terimbas amukan pasukan Abrahah.
Kemudian ‘Abdul Muththalib bangkit berdiri, lalu ia memegang lingkaran besi yang ada di puntu Ka’bah. Ia berdoa bersama sebagian kaum Quraisy kepada Allah meminta pertolongan atas serangan Abrahah dan bala tentaranya. Sambil memegang lingkaran besi yang ada di pintu Ka’bah, ‘Abdul Muththalib berkata:
“Ya Allah, sesungguhnya manusia melindungi tempat tinggalnya, maka lindungilah tempat suci-Mu”
“Jangan sampai salib dan tipu daya mereka mengalahkan tipu daya-Mu esok hari.”
Ibnu Ishaq berkata, “Kemudian ‘Abdul Muththalib melepaskan lingkaran besi yang ada di pintu Ka’bah, kemudian mereka keluar menuju puncak gunung”
Muqatil bin Sulaiman menceritakan bahwa mereka meninggalkan seratus ekor unta yang berkalung di Ka’bah. Siapa tahu sebagian bala tentara Abrahah ada yang mencurinya tanpa hak, sehingga Allah akan membalas mereka.
Ketika fajar menyingsing, Abrahah bersia-siap memasuki kota Mekah. Ia menyiapkan gajahnya yang diberi nama Mahmud. Ia menuju kota mekkah, Nufail bin Habib melangkah ke depan sehingga ia berdiri di samping gajah tersebut. Kemudian Nufail memegang kupingnya dan berkata, “Duduklah hai Mahmud atau kembalilah dengan selamat ke tempat asalmu, karena kamu berada di tanah Allah yang suci.”
Kemudian Nufail melepaskan kupingnya, lalu gajah tersebut bersimpuh, dan Nufail bin Habib berlari sekuat tenaga menuju puncak sebuah gunung. Lalu mereka memukul gajah tersebut agar bangkit berdiri, tapi gajah tersebut tidak mau berdiri. Lalu mereka memukul kepalanya dengan kapak dan memasukan tongkat yang berujung lengkung ke dalam lubang belalai gajah tersebut lalu mecabutnya agar ia bangkit berdiri, akan tetapi gajah tersebut tetap tidak mau bangkit berdiri. Lalu mereka mengarahkan gajah tersebut kembali ke arah negeri Yaman, maka gajah tersebut bangkit berdiri dan bergegas melangkahkan kakinya. Dan mereka mengarahkannya ke arah Syam, maka gajah tersebut juga mau berjalan. Dan ketika mereka mengarahkannya ke timur, maka ia juga mau berjalan. Akan tetapi mereka mengarahkannya ke kota Makkah, maka gajah tersebut berhenti menderum.
Kemudian Allah mengutus burung dari laut. Masing-masing burung membawa tiga batu, satu batu di paruhnya dan dua batu di kedua kakinya. Batu yang dibawanya sebesar biji kedelai dan kacang adas. Dan siapa saja yang terkena lemparan batu tersebut, maka dia binasa. Namun tidak semua orang dari mereka terkena lemparan batu. Mereka berlarian kocar-kacir mencari jalan. Itulah kisah singkat tentang tentara bergajah. (lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/458-461)
Kisah pertemuan Abdul Muthhalib dengan Abrahah juga dinukil oleh Al-Hākim dalam Al-Mustadrāk dan dishahihkan oleh Al-Hākim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata:
أَقْبَلَ أَصْحَابُ الْفِيلِ حَتَّى إِذَا دَنَوْا مِنْ مَكَّةَ اسْتَقْبَلَهُمْ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ لِمَلِكِهِمْ: مَا جَاءَ بِكَ إِلَيْنَا مَا عَنَاكَ يَا رَبَّنَا أَلَا بَعَثْتَ فَنَأْتِيكَ بِكُلِّ شَيْءٍ أَرَدْتَ؟ ” فَقَالَ: أُخْبِرْتُ بِهَذَا الْبَيْتِ الَّذِي لَا يَدْخُلُهُ أَحَدٌ إِلَّا آمَنَ فَجِئْتُ أُخِيفُ أَهْلَهُ. فَقَالَ: إِنَّا نَأْتِيكَ بِكُلِّ شَيْءٍ تُرِيدُ فَارْجِعْ” فَأَبَى إِلَّا أَنْ يَدْخُلَهُ
“Pasukan bergajah pun datang. Ketika mereka mulai mendekati Mekkah, maka datanglah ‘Abdul Muththalib, kakek Nabi ﷺ menemui pasukan tersebut. ‘Abdul Muthalib berkata kepada pemimpin mereka (yaitu Abrahah): “Untuk apa engkau datang kepada kami? Tidak cukupkah engkau mengirim utusanmu sehingga kami akan membawakan kepadamu semua yang kau inginkan?”
Abrahah (dengan sombongnya –pent) berkata, “Aku dikabarkan tentang ka’bah (kota Mekah) yang tidak seorangpun memasukinya kecuali dalam keadaan aman. Maka aku datang ke mari untuk memberi ketakutan kepada penduduknya.”
Abdul Muthhalib berkata, “Kami akan memberikan semua yang kau inginkan, kembalilah engkau !”. Akan tetapi Abrahah tetap bersikeras untuk masuk Mekah (menuju ka’bah). (HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok no 3974)
Dalam riwayat yang lain Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata;
فَأَتَاهُمْ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ إِنَّ هَذَا بَيْتُ اللَّهِ لَمْ يُسَلِّطْ عَلَيْهِ أَحَدًا قَالُوا لَا نَرْجِعُ حَتَّى نَهْدِمَهُ فَكَانُوا لَا يُقَدِّمُونَ فِيلَهُمْ إِلَّا تَأَخَّرَ فَدَعَا اللَّهُ الطَّيْرَ الْأَبَابِيلَ فَأَعْطَاهَا حِجَارَةً سَوْدَاءَ فَلَمَّا حَاذَتْهُمْ رَمَتْهُمْ فَمَا بَقِيَ مِنْهُمْ أَحَدٌ إِلَّا أَخَذَتْهُ الْحَكَّةُ فَكَانَ لَا يَحُكُّ أَحَدٌ مِنْهُمْ جِلْدَهُ إِلَّا تَسَاقَطَ لَحْمُهُ
Abdul Muttholib mendatangi mereka dan berkata, “Sesungguhnya ini adalah rumah Allah. Allah tidak akan menyerahkannya kepada seorangpun untuk menguasai nya (menghancurkannya).” Mereka berkata, “Kami tidak akan kembali hingga kami menghancurkannya.” Maka tidaklah mereka memerintahkan gajah mereka untuk maju kecuali gajah tersebut mundur. Allah kemudian memanggil burung-burung dengan berbondong-bondong, lalu Allah memberikan batu berwarna hitam kepada burung-burung tersebut. Tatkala burung-burung itu telah sejajar dengan mereka maka burung-burung itu melemparkan batu tersebut kepada mereka. Sehingga tidak tersisa seorang pun dari mereka kecuali mengalami rasa gatal (yang luar biasa-pent). Tidaklah seorangpun dari mereka yang menggaruk kulitnya kecuali dagingnya berjatuhan.” (Disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 12/207 dan beliau menilai sanadnya hasan)
Dalam riwayat yang lain dari Ikrimah, beliau berkata:
أَنَّهَا كَانَتْ طَيْرًا خُضْرًا خَرَجَتْ من الْبَحْر لَهَا رُؤُوس كَرُءُوسِ السِّبَاعِ
“Burung-burung tersebut berwarna hijau, muncul dari laut, kepalanya seperti kepala binatang buas.” (Disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 12/207 dan beliau menilai sanadnya shahih)
Pasukan Abrahah yang terkena lemparan batu tidak semuanya tewas seketika. Sebagian mereka tewas dengan cepat, sebagian lagi kabur dalam kondisi terputus-putus dan terlepas-lepas anggota tubuhnya hingga tewas. Adapun Abrahah, dia tidak tewas seketika namun dia termasuk yang kabur melarikan diri. Allah tidak menjadikannya langsung tewas karena Allah ingin menyiksanya. Ada yang mengatakan bahwa dia tewas di negeri Khots’am. Ada pula yang berpendapat bahwa dia berhasil kembali ke Shan’a dan mati disana. Namun selama dalam perjalanan kaburnya, badannya terlepas sedikit demi sedikit dari tubuhnya sampai akhirnya di Shan’a dadanya terbelah dan jantungnya keluar, Allāh menyiksanya dan tidak langsung mematikannya. Demikianlah kisah Abrahah dengan pasukan tentara bergajahnya yang dihancurkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/486)
Allah berfirman pada permulaan surat:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?”
Ashabul fiil (tentara bergajah) adalah Abrahah dan kawan-kawannya yang membawa 12 ekor gajah atau 8 ekor yang bertujuan untuk mencungkil Ka’bah.