شَرْحُ الْقَوَاعِدِ الأَرْبَعِ
(Syarah 4 Kaidah Penting Memahami Tauhid)
Kaidah Keempat
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
أَنَّ مُشْرِكِي زَمَانَنَا أَغْلَظُ شِرْكًا مِنَ الأَوَّلِينَ، لأَنَّ الأَوَّلِينَ يُشْرِكُونَ فِي الرَّخَاءِ، وَيُخْلِصُونَ فِي الشِّدَّةِ، وَمُشْرِكُو زَمَانَنَا شِرْكُهُمْ دَائِمٌ فِي الرَّخَاءِ وَالشِّدَّة؛ وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ ﴾ [العنكبوت: 65].
“Sesungguhnya kaum musyrikin di zaman kita lebih parah dibandingkan kaum musyrikin zaman dulu. Kaum musyrikin zaman dahulu berbuat syirik pada saat lapang (bergelimang kenikmatan) dan mereka mengikhlaskan (ibadah kepada Allah semata) ketika berada dalam keadaan sempit (tertimpa musibah). Sedangkan orang-orang musyrik di zaman kita berbuat syirik dalam setiap keadaan, baik ketika lapang maupun sempit. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ,
“Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka kembali mempersekutukan [Allah]” (QS. Al- Ankabut: 65).
Syarah
Pada kaidah keempat ini Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan bahwa kaum musyrikin di zaman sekarang lebih parah dibandingkan kaum musyrikin zaman dulu dari satu sisi, yaitu dalam kondisi genting kaum musyrikin Arab dahulu hanya bersandar kepada Allah dengan mengikhlaskan agama mereka. Di antara dalilnya adalah firman Allah ﷻ pada surah Al-Ankabut ayat 65.
﴿ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ ﴾
“Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka kembali mempersekutukan [Allah]” (QS. Al- Ankabut: 65).
Dalil lainnya adalah firman Allah ﷻ,
هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ حَتَّى إِذَا كُنتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِم بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُواْ بِهَا جَاءتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءهُمُ الْمَوْجُ مِن كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّواْ أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُاْ اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنجَيْتَنَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنِّ مِنَ الشَّاكِرِينَ فَلَمَّا أَنجَاهُمْ إِذَا هُمْ يَبْغُونَ فِي الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا بَغْيُكُمْ عَلَى أَنفُسِكُم مَّتَاعَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَينَا مَرْجِعُكُمْ فَنُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): “Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur”
Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (QS Yunus : 22-23)
Allah juga berfirman :
قُلْ مَن يُنَجِّيكُم مِّن ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً لَّئِنْ أَنجَانَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ قُلِ اللهُ يُنَجِّيكُم مِّنْهَا وَمِن كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنتُمْ تُشْرِكُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan: “Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur””
Katakanlah: “Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya” (QS Al-Anám : 63-64)
وَإِذَا مَسَّ الْإِنسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِّنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِن قَبْلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ أَندَادًا لِّيُضِلَّ عَن سَبِيلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيلًا إِنَّكَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka” (QS Az-Zumar : 8)
وَإِذَا مَسَّكُمُ الْضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلاَّ إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الإِنْسَانُ كَفُورًا
Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih (QS Al-Isro’ : 67)
﴿ وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ . ثُمَّ إِذَا كَشَفَ الضُّرَّ عَنْكُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْكُمْ بِرَبِّهِمْ يُشْرِكُونَ ﴾
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudaratan itu dari pada kamu, tiba-tiba sebahagian dari pada kamu mempersekutukan Tuhannya dengan (yang lain).” (QS. An-Nahl: 53-54)
Al-Alusi seorang ulama ahli tafsir berkata dalam tafsirnya Ruh al-Ma’ani dalam menafsirkan firman Allah ﷻ ini,
وَفِي الآيَةِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنْ صَنيعَ أَكْثَرِ العَوامِّ اليَوْمَ مِنْ الْجُؤَارِ إِلَى غَيْرِهِ تَعَالَى مِمَّنْ لَا يَمْلِكُ لَهُمْ بَلْ وَلَا لِنَفْسِهِ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا عِنْدَ إِصابَةِ الضُّرِّ لَهُمْ وَإِعْراضِهِمْ عَنْ دُعَائِهِ تَعَالَى عِنْدَ ذَلِكَ بِالْكُلِّيَّةِ سَفَهٌ عَظيمٌ وَضَلالٌ جَديدٌ لَكِنَّهُ أَشَدُّ مِنْ الضَّلالِ القَديمِ.
وَمِمَّا تَقْشَعِرُّ مِنْهُ الجُلودُ….إِنَّ بَعْضَ المُتَشيِّخينَ قَالَ لِي وَأَنَا صَغيرٌ : إِيَّاكَ ثُمَّ إِيَّاكَ أَنْ تَسْتَغيِثَ بِاللَّهِ تَعَالَى إِذَا خَطَبَ دهاكَ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَعْجَلُ فِي إِغاثَتِكَ وَلَا يَهُمُّهُ سُوءُ حَالَتِكَ وَعَلَيْكَ بِاَلْاسْتِغاثَةِ بِاَلْأَوْلياءِ اَلْسالِفينَ فَإِنَّهُمْ يَعْجَلونَ فِي تَفْريجِ كَرَبِكَ وَيَهُمُّهُمْ سُوءُ مَا حَلَّ بِكَ فَمَجَّ ذَلِكَ سَمْعيْ وهَميْ دمْعيْ وَسَأَلْتُ اللَّهَ أَنْ يَعْصِمَني وَالمُسْلِمِينَ مِنْ أَمْثالِ هَذَا الضّلالِ المُبينِ ، وَلِكَثيرٍ مِنْ المُتَشيِّخينَ اليَوْمَ كَلِماتٌ مِثْلُ ذَلِكَ
“Ayat ini menunjukkan bahwa kebanyakan yang diperbuat oleh orang awam pada saat ini berupa merendahkan suara kepada selain Allah ﷻ yang selain Allah ﷻ tersebut tidak bisa memberi untuk orang lain bahkan untuk dirinya sendiri manfaat maupun mudarat ketika tertimpa musibah. Berpalingnya mereka dari berdoa kepada Allah ﷻ secara menyeluruh merupakan kebodohan yang sangat besar dan kesesatan yang baru, akan tetapi ini lebih parah dari kesesatan terdahulu.
Di antara perkara yang membuat kulit merinding….sesungguhnya sebagian orang yang mengaku sebagai syekh berkata kepadaku, ‘berhati-hatilah dirimu dari beristigasah kepada Allah jika terjadi perkara genting yang menimpamu. Sesungguhnya Allah ﷻ tidak bersegera untuk menolongmu dan tidak akan peduli dengan kondisimu yang buruk. Hendaknya kamu beristigasah kepada para wali terdahulu, sesungguhnya mereka akan segera menghilangkan kondisi gentingmu dan peduli dengan keadaan buruk yang menimpamu. Maka hal itu selalu terngiang di telingaku, membuatku sedih, dan membuat air mataku mengalir. Aku pun meminta kepada Allah ﷻ untuk menjagaku dan kaum muslimin dari semisal kesesatan yang nyata ini. Dan sungguh banyak orang-orang yang mengaku syekh pada hari ini yang mengucapkan perkataan yang semisal itu ” ([1])
Ini menunjukkan apa yang dikatakan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah bukanlah suatu perkara yang baru, hingga al-Alusi rahimahullah pun menyatakan hal yang sama.
Di antara kisah yang serupa dengan ini adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Muhammad Ahmad Basymil dalam kitabnya berjudul Kaifa Nafhamu at-Tauhid. Beliau bercerita,
وَقَدْ حَضَرْتُ كَثِيرًا مِنْ هَؤُلَاءِ وَهُمْ يَتَضَرَّعونَ إِلَى أَوْليائِهِمْ بِالدُّعَاءِ الحَارِّ فِي البَحْرِ ، وَذَلِكَ عِنْدَمَا كُنْتُ مُسَافِرًا فِي البَحْرِ الأَحْمَرِ ، مُنْذُ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً .
“Sungguh aku menyaksikan banyak dari mereka yang tunduk dan berdoa dengan khusyuk kepada wali-wali mereka di lautan. Hal itu terjadi ketika aku bersafar di Laut Merah, sekitar 25 tahun yang lalu.”
فَقَدْ كُنَّا أَكْثَرَ مِنْ ثَمَانِينَ رَاكِبًا فِي سَفينَةٍ شِراعيَّةٍ صَغيرَةٍ ، وَعِنْدَمَا هَاجَ عَلَيْنَا المَوْجُ وَغَشيْنا مِنْ كُلِّ مَكانٍ صَارَتْ السَّفينَةُ تَهْبِطُ بِنَا بَيْنَ الأَمْواجِ الهائِلَةِ ، وَكَأَنَّهَا تَنْوِي الِاسْتِقْرارَ فِي قَاعِ البَحْرِ ، وَتَرْتَفِعُ مَعَ المَدِّ وَكَأَنَّهَا تُرِيدُ الطَّيَرَانَ مِنْ البَحْرِ .
“Kami saat itu berjumlah 80 penumpang dalam sebuah kapal yang kecil. Ketika kami dihantam ombak dan ombak pun meliputi kami dari segala arah, perahu kami terombang-ambing diterpa ombak yang dahsyat seakan-akan perahu tersebut akan tenggelam ke dasar laut dan terkadang terangkat seakan-akan mau terbang dari lautan.”
وَفِي تِلْكَ السّاعَةِ العَصيبَةِ ضَجَّ الْقُبُورِيُونُ بِالدُّعَاءِ وَطَلَبَ العَوْنَ والْمَدَدَ، لَا مِنْ اللَّهِ الحَيِّ القَديرِ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، وَإِنَّمَا مِنْ المَيِّتِ اَلَّذِي لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ .
“Dalam kondisi sulit tersebut para quburiyun meminta pertolongan. Bukan kepada Allah ﷻ yang maha hidup dan mampu terhadap segala sesuatu, akan tetapi dari mayat yang tidak mampu sama sekali.”
فَقَدْ تَوَجَّهُوا بِقُلوبٍ خَاشِعَةٍ كَسيرَةٍ إِلَى اَلشَّيْخِ سَعيدِ بْنِ عِيسَى رَحِمَهُ اللَّهُ اَلَّذِي فارَقَ الحَياةَ مُنْذُ أَكْثَرَ مِنْ سِتِّمِائَةِ سَنَةٍ ، وَأَخَذُوا يَدْعونَهُ فِي فَزَعٍ مَشوبٍ بِالرَّجاءِ ، قَائِلِينَ : ( يَا ابْنَ عِيسَى ، يَا ابْنَ عِيسَى ، حلّها يَا عَمودَ الدّينِ ) وَأَخَذُوا يَتَسَابَقُونَ بِنَذْرِ النُّذورِ لَهُ وَالتَّعَهُّدِ بِتَقْدِيمِهَا عِنْدَ قَبْرِهِ إِنْ هُمْ نَجوْا مِنْ الغَرَقِ ، وَكَأَنَّ أَمَرَهُمْ بِيَدِهِ لَا بيَدِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ….
“Sungguh mereka telah menghadap dengan hati yang khusyuk kepada Syekh Said bin Isa rahimahullah yang telah wafat lebih dari 900 tahun yang lalu. Mereka mulai berdoa kepadanya dengan rasa takut dicampur rasa harap sambil berkata, ‘Wahai Ibnu Isa, Wahai Ibnu Isa, hilangkanlah, Wahai Tiang agama.’ Dan mereka mulai bernazar dan berjanji untuk memberikannya pada kuburannya jika mereka selamat dari tenggelam, seakan-akan perkaranya berada di tangan Syekh Said bin Isa bukan di tangan Allah ﷻ….”
وَعِنْدَمَا حاوَلْتُ – عَلَى صِغَرِ سُنّي حِينَذَاكَ – إِقْناعَهُمْ بِأَنَّ هَذَا مَوْقِفٌ لَا يَصِحُّ أَنْ يَتَوَجَّهَ فِيه مُسْلِمٌ إِلَى غَيْرِ اللَّهِ وَرَجَوتُ مِنْهُمْ – فِي شَفَقَةٍ وَإِخْلاصٍ – أَنْ يَلْجَؤُوا إِلَى رَبِّهِمْ وَيُخْلصُونَ لَهُ الدّينَ بِاَلْتَضَرَّعِ بِالدُّعَاءِ إِلَيْهُ وَحْدَهُ ، وَأَنْ يَتْرُكوا اَلشَّيْخَ اِبْنَ عِيسَى اَلَّذِي لَيْسَ لَهُ مِنْ الأَمْرِ شَيْءٌ ، اَلَّذِي لَا يَسْمَعُهُمْ فَضْلًا عَنْ أَنْ يُجيبَ دُعاءَهُمْ ، ثَاروا وَصَاحُوا جَمِيعًا ( وَهّابي ، وَهّابي ! ! ) وَكَادُوا يَقْذِفونَ بِي بَيْنَ الأَمْواجِ اَلْهائِجَةِ لَوْلَا أَنَّ اللَّهَ حِمَانيْ مِنْهُمْ ثُمَّ بَعْضَ اَلَّذِينَ يَكْتُمُونَ إيمانَهُمْ فِي السَّفينَةِ .
“Ketika aku berusaha (saat itu aku masih kecil) menjelaskan kepada mereka bahwa perbuatan mereka tidak layak dilakukan oleh seorang muslim untuk selain Allah ﷻ dan aku mengharapkan mereka (dengan lembut) untuk menyandarkannya kepada Allah ﷻ dan mengikhlaskan agama dengan doa yang tunduk kepada-Nya semata, serta meninggalkan Syekh Ibnu Isa yang tidak memiliki kemampuan apa pun dan tidak bisa mendengar mereka, terlebih lagi mengabulkan doa mereka. Namun mereka semua berteriak, ‘Wahabi, Wahabi!’ Hampir saja mereka melemparku ke dalam ombak yang dahsyat seandainya Allah ﷻ kemudian sebagian orang menyembunyikan keimanannya yang berada di kapal tidak melindungiku dari mereka.
وَعِنْدَمَا هَدَأَتْ العاصِفَةُ وَنَّجْونا بِعَوْنِ اللَّهِ تَعَالَى وَفَضْلِهِ وَحْدَهُ وَلَيْسَ بِفَضْلِ ابْنِ عِيسَى – طَبْعًا – وَأَقْبَلَ بَعْضُنا يُهَنِّئُ بَعْضًا ، أَخَذَ هَؤُلَاءِ اَلْقُبُورِيونَ يُؤَنِّبُونَنِي وَيخُوّفُونَنِي مِنْ سُوءِ الظَّنِّ بِاَلْأَوْلياءِ ، مُمْتَنينَ عَليَّ بِالنَّجَاةِ وَمُذَكِّرينَ بِأَنَّهُ لَوْلَا حُضورُ القُطْبِ ( ابْنُ عِيسَى ) وَخُفّانُهُ فِي تِلْكَ السّاعَةِ العَصبيَّةِ لَكُنَّا جَمِيعًا فِي بُطونِ الأَسْماكِ .
“Ketika angin mereda dan kami selamat dengan pertolongan Allah ﷻ dan keutamaan-Nya, bukan karena keutamaan Ibnu Isa (tentunya), sebagian kami mengucapkan selamat kepada sebagian yang lain. Lalu para quburiyun mencelaku dan menakut-nakutiku dari suuzan kepada para wali, menganggap aku jauh dari keselamatan. Juga mereka menyebutkan bahwa seandainya kalau bukan karena kehadiran (Ibnu Isa) dan keringanan yang dia berikan pada waktu sulit tersebut maka niscaya kami semua sudah berada di perut ikan.” ([2])
Asy-Syaukani -dalam tafsirnya : Fathul Qodir- ketika menafsirkan QS Yunus : 22 beliau berkata :
وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ بَيَانُ أَنَّ هَؤُلَاءِ الْمُشْرِكِينَ كَانُوا لَا يَلْتَفِتُونَ إِلَى أَصْنَامِهِمْ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ، وَمَا يُشَابِهُهَا، فَيَا عَجَبًا! لِمَا حَدَثَ فِي الْإِسْلَامِ مِنْ طَوَائِفَ يَعْتَقِدُونَ في الأموات؟ فإذا عَرَضَتْ لَهُمْ فِي الْبَحْرِ مِثْلُ هَذِهِ الْحَالَةِ دَعَوُا الْأَمْوَاتَ، وَلَمْ يُخْلِصُوا الدُّعَاءَ لِلَّهِ كَمَا فَعَلَهُ الْمُشْرِكُونَ كَمَا تَوَاتَرَ ذَلِكَ إِلَيْنَا تَوَاتُرًا يَحْصُلُ بِهِ الْقَطْعُ، فَانْظُرْ هَدَاكَ اللَّهُ مَا فَعَلَتْ هَذِهِ الِاعْتِقَادَاتُ الشَّيْطَانِيَّةُ، وَأَيْنَ وَصَلَ بِهَا أَهْلُهَا، وَإِلَى أَيْنَ رَمَى بِهِمُ الشَّيْطَانُ، وَكَيْفَ اقْتَادَهُمْ وَتَسَلَّطَ عَلَيْهِمْ؟ حَتَّى انْقَادُوا لَهُ انْقِيَادًا مَا كَانَ يَطْمَعُ فِي مِثْلِهِ وَلَا فِي بَعْضِهِ مِنْ عُبَّادِ الْأَوْثَانِ، فَإِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Ayat ini menjelaskan bahwa mereka -kaum musyrikin- tidak menengok sama sekali kepada berhala-berhala mereka dalam kondisi genting seperti ini dan yang kondisi genting yang semisalnya. Maka sungguh menakjubkan tentang yang terjadi di dunia Islam berupa kelompok-kelompok yang memiliki keyakinan kepada mayat-mayat?!. Jika mereka mengalami kondisi genting seperti ini di tengah lautan mereka malah berdoa kepada mayat-mayat dan tidak memurnikan doa hanya kepada Allah sebagaimana yang dilakukan oleh kum musyrikin arab dulu. Sebagaimana kabar mereka ini (kelompok-kelompok islam sekarang yang dalam kondisi genting malah berdoa kepada mayat) telah sampai kepada kami secara mutawatir (sumber informasi yang sangat banyak -red) yang membuat kami memastikan kebenaran kabar tersebut. Maka -semoga Allah memberi hidayah kepadamu- lihatlah apa yang telah dilakukan oleh akidah-akidah syaitan tersebut? Lihatlah bagaimana akidah syaitan tersebut membawa mereka kepada perbuatan ini (dalam kondisi genting malah syirik-red), bagaimana syaitan membuang mereka, bagaimana syaitan bisa menggiring dan menguasai mereka?. Sampai-sampai mereka patuh kepada syaitan yang para penyembah berhala tidak ingin melakukannya bahkan tidak ingin melakukan meski sebagiannya?. Maka innaa lillahi wa innaa ilaihi rojiún” ([3])
Muhammad al-Amin Asy-Syinqithi berkata :
وَيُعْلَمُ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ بَعْضَ جَهَلَةِ الْمُتَسَمِّينَ بِاسْمِ الْإِسْلَامِ أَسْوَأُ حَالًا مِنْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ، فَإِنَّهُمْ إِذَا دَهَمَتْهُمُ الشَّدَائِدُ، وَغَشِيَتْهُمُ الْأَهْوَالُ وَالْكُرُوبُ الْتَجَئُوا إِلَى غَيْرِ اللَّهِ مِمَّنْ يَعْتَقِدُونَ فِيهِ الصَّلَاحَ، فِي الْوَقْتِ الَّذِي يُخْلِصُ فِيهِ الْكُفَّارُ الْعِبَادَةَ لِلَّهِ
“Dari sini diketahui bahwasanya sebagian orang bodoh yang berafiliasi kepada Islam ternyata lebih buruk kondisinya daripada para penyembah berhala. Mereka -sebagian orang bodoh tersebut- jika ditimpa dengan kondisi genting serta dipenuhi dengan penderitaan maka merekapun segera bersanda kepada selain Allah yaitu kepada orang yang mereka anggap shaleh, padahal dlam kondisi tersebut kaum kafir Arab mengikhlaskan ibadah mereka hanya kepada Allah” ([4])
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Qawaidul Arba’ Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________