Penyimpangan Kelompok-Kelompok Yang Tidak Sampai Keluar Dari Islam Dalam Masalah Takdir
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Kelompok-kelompok ini secara umum dapat dibagi menjadi 2 yaitu Jabariyah dan Qodariyah.
Jabariyah
Jabariyah terbagi menjadi dua kelompok, Jabariyah ekstrem dan Jabariyah yang tidak ekstrem.
- Jabariyah ekstrem
Sebagaimana yang telah penulis singgung sebelumnya, mereka adalah kelompok Jahmiyah, kelompok yang dipelopori oleh Jahm bin Safwan.
Berkaitan dengan Jahm bin Safwan, para ulama berselisih apakah ia kafir atau tidak. Hal ini karena Jahm bin Safwan mengumpulkan banyak kesesatan seperti dalam masalah takdir, Al-Asma’ wa As-Sifat, surga dan neraka, dan yang lainnya. Karena sebab banyaknya kesalahan yang ia lakukan maka sebagian ulama memberikan vonis kafir kepada dirinya. Akan tetapi dalam permasalahan takdir, asalnya kesalahannya tidak sampai mengeluarkan dirinya dari Islam, kecuali jika ia menjalankan konsekuensi dari akidah yang ia yakini ini, seperti menyamakan antara kemaksiatan dan ketaatan. Adapun jika tidak menjalankan konsekuensi dari keyakinannya, maka ia tidak kafir. Hal ini karena tidak setiap orang meyakini konsekuensi dari keyakinannya. Oleh karenanya dikatakan,
لَازِمُ القَوْلِ لَيْسَ بِقَوْلٍ
“Konsekuensi dari suatu pendapat bukanlah pendapat”
Artinya jika seseorang meyakini suatu keyakinan “A” yang berkonsekuensi “B”, maka belum tentu dia meyakini konsekuensi “B” tersebut. Keyakinan dia hanya sebatas pada keyakinannya “A”, tidak pada konsekuensi dari keyakinannya “B”.
Keyakinan Jabariyah ekstrem adalah meyakini semua perbuatan hamba adalah terpaksa seperti orang yang gemetar yang tidak bisa mengontrol pergerakannya, atau juga seperti orang yang jatuh dari gunung. Al-Baghdadi rahimahullah menukilkan perkataan salah seorang Jahmiyah,
وَإِنَّمَا تُنْسَبُ الأَعْمَالُ إِلَى المَخْلُوْقِيْنَ عَلَى الْمَجَازِ
“Amalan disandarkan kepada makhluk hanyalah majaz.”([1])
Asy-Syahristani rahimahullah juga menukil perkataan Jabariyah dalam kitabnya Al-Milal Wa An-Nihal bahwasanya,
إِنَّ الإِنْسَانَ لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ، وَلَا يُوْصَفُ بِالِاسْتِطَاعَةِ، وَإِنَّمَا هُوَ مَجْبُوْرٌ فِي أَفْعَالِهِ
“Sesungguhnya manusia tidak memiliki kemampuan atas segala sesuatu, dan juga tidak disifatkan dengan mampu, Sebab manusia itu terpaksa atas perbuatannya.”([2])
Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah juga menukil perkataan Jabariyah di dalam kitabnya Maqalat Al-Islamiyyin bahwasanya,
وَأَنَّهُ لَا فِعْلَ لِأَحَدٍ فِي الحَقِيْقَةِ إِلَّا الله وَحْدَهُ
“Sesungguhnya tidak ada perbuatan seorang pun secara hakikat kecuali hanya milik Allah ﷻ.”([3])
Kitab-kitab yang penulis sebutkan di atas yaitu Al-Milal Wa An-Nihal, Maqalat Al-Islamiyyin, Al-Farqu Baina Al-Firaq, dan yang semisalnya adalah kitab-kitab yang disebut dengan Kutub Al-Maqaalaat (kitab-kitab yang mengumpulkan pendapat-pendapat firqah). Seseorang jika ingin mengetahui pendapat-pendapat dari kelompok tertentu dalam suatu permasalahan maka ia bisa membaca kitab-kitab ini.
- Jabariyah tidak ekstrem
Kelompok Jabariyah yang tidak ekstrem ini adalah orang-orang yang terkena syubhat Jabariyah, mereka adalah Asya’irah dan Maturidiah. Menurut mereka manusia memiliki kehendak dan qudrah untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan, akan tetapi qudrah tersebut adalah qudrah yang makhluk (القُدرَةُ الحَادِثَةُ), dan qudrah ini tidak punya pengaruh untuk terjadinya perbuatan. Keyakinan ini mereka namakan Al-Kasbu Al-Asy’ari (الكَسْبُ الأَشْعَرِيُ).
Manusia memiliki qudrah untuk melakukan perbuatan yang dikehendakinya seperti makan, minum, jalan, dan yang lainnya. Ketika perbuatan terjadi atau dilakukan, pada hakikatnya perbuatan tersebut adalah ciptaan Allah ﷻ, bukan terjadi karena qudrah manusia, qudrah manusia tidak mempengaruhi terjadinya perbuatan tersebut. Akan tetapi qudrah manusia muncul bersamaan dengan terjadinya perbuatan. Sehingga tidak dikatakan perbuatan terjadi dengan qudrah manusia, tetapi perbuatan terjadi tatkala ada qudrah. Qudrah manusia hanyalah sebagai pertanda Allah ﷻ untuk menciptakan terjadinya perbuatan. Hal ini seperti Pelangi. Pelangi bukan sebab hujan, tetapi hujan turun ketika ada Pelangi. Jadi Pelangi hanya sebagai pertanda turunnya hujan, bukan sebagai sebab.
Analoginya seperti seseorang yang memotong roti dengan pisau, maka roti tersebut bukan terbelah karena qudrah manusia menggerakkan pisau, tetapi Allah ﷻ menciptakan terbelahnya roti ketika orang tersebut menggerakkan pisau. Jadi, qudrah dan kehendak orang tersebut bukanlah sebab dan tidak mempengaruhi terbelahnya roti, tetapi Allah ﷻ yang menciptakan roti terbelah bersamaan dengan qudrah orang tersebut menggerakkan pisau.
Inilah keyakinan Asya’irah yang sangat sulit untuk dipahami yang pada intinya menyatakan bahwa manusia memiliki qudrah untuk melakukan perbuatan, tetapi qudrah tersebut tidak mempengaruhi terjadinya perbuatan manusia. Berbeda dengan keyakinan Ahlusunah bahwasanya qudrah manusia mempengaruhi terjadinya suatu perbuatan, atau bisa dikatakan qudrah manusia adalah sebab terjadinya perbuatan. Berkaitan dengan analogi yang penulis sebutkan di atas, menurut Ahlusunah terbelahnya roti itu karena sebab qudrah manusia menggerakkan pisau. Jadi ada hubungan sebab dan akibat.
Mengapa Asya’irah meyakini akidah Al-Kasbu Al-Asy’ari?
Sebelumnya, Ahlusunah dan Asya’irah sepakat bahwa perbuatan manusia adalah makhluk. Tetapi yang membedakan antara keduanya adalah Ahlusunah meyakini qudrah manusia adalah sebab terjadinya perbuatan, adapun Asya’irah qudrah manusia bukan sebab dan sama sekali tidak mempengaruhi terjadinya perbuatan manusia. Mengapa demikian?
Qudrah ada dua macam. Pertama adalah Al-Qudrah Al-Haditsah yaitu qudrah yang ada pada makhluk, dan kedua Al-Qudrah Al-Qadimah yaitu qudrah yang ada pada Allah ﷻ. Asya’irah meyakini bahwa mengatakan qudrah makhluk bisa membuat perbuatan adalah syirik. Hal ini karena perbuatan adalah makhluk, dan yang bisa menciptakan makhluk hanya Allah ﷻ dengan qudrah-Nya, qudrah manusia tidak bisa karena qudrah manusia itu sendiri haditsah (makhluk). Oleh karena itu mengatakan qudrah manusia bisa membuat perbuatan sama dengan menetapkan ada pencipta selain Allah ﷻ. Sebagaimana perkataan mereka,
لَا قَادِرَ عَلَى الاخْتِرَاعِ إِلَّا الله
“Tidak ada yang mampu menciptakan kecuali Allah ﷻ.”([4])
Inilah pola pikiran mereka dalam menetapkan akidah Al-Kasbu Al-Asy’ari.
Akidah Al-Kasbu Al-Asy’ari ini pun ternyata dibantah oleh ulama Asya’irah sendiri yaitu Abul Ma’ali Al-Juwaini rahimahullah dalam kitabnya Ar-Aqidah An-Nidzamiyyah yang pada intinya beliau menjelaskan bahwa Akidah Al-Kasbu Al-Asy’ari adalah akidah yang tidak logis dan menyelisihi alam nyata yang menetapkan adanya sebab dan akibat. Tidak ada perbedaan antara perbuatan yang dihasilkan dari qudrah haditsah dengan sebab akibat yang lain. Allah ﷻ menjadikan alam semesta dengan As-Sunan Al-Kauniyyah yaitu sebab dan akibat, sehingga menyatakan akibat terjadi tanpa sebab adalah celaan terhadap syariat Allah ﷻ.
Di antara hal yang menunjukkan batilnya akidah Al-Kasbu Al-Asy’ari adalah adanya taklif (pembebanan) syariat Allah ﷻ kepada hamba. Allah ﷻ membebani syariat kepada manusia karena manusia memiliki qudrah untuk menjalankan hal tersebut. Manusia memiliki qudrah untuk memilih apakah ia mau menjalankan syariat tersebut ataukah tidak, meskipun qudrah tersebut di bawah kehendak Allah ﷻ. Oleh karena itu manusia bisa dibebani, sehingga akan diberi hukuman jika tidak menjalankan beban tersebut dan sebaliknya akan diberi pahala jika melaksanakan beban tersebut. Jika ternyata qudrah manusia tidak memiliki pengaruh untuk melakukan perbuatan, maka pembebanan syariat kepada hamba adalah perkara yang sia-sia, sehingga berkesimpulan bahwa hamba tidak bisa dituntut untuk menjalankan syariat tersebut. Penjelasan ini dijelaskan oleh Al-Juwaini.([5])
- Qodariyah
Penulis membahas secara khusus tentang Qodariyah pada pembahasan berikut.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Al-Farqu Baina Al-Firaq (99).
([2]) Al-Milal Wa An-Nihal (87).
([3]) Maqalat Al-Islamiyyin (1/219).
([4]) Majmu’ Al-Fatawa (9/349).
([5]) Al-Juwaini berbeda-beda pendapatnya tentang Al-Qudrah Al-Haditsah. Dalam kitabnya Al-Irsyaad ‘Ila Qawathi’ Al-Adillah beliau berkata,
فَالْوَجْهُ الْقَطْعُ بِأَنَّ الْقُدْرَةَ الْحَادِثَةَ لاَ تُؤَثِّرُ فِي مَقْدُوْرِهَا أَصْلاً
“Maka sisi yang tepat yaitu memastikan bahwa Al-Qudrah Al-Haditsah (seperti qudrahnya manusia) tidaklah memiliki pengaruh sama sekali pada hasil perbuatannya” [Al-Irsyaad (210)]
Dan ini persis seperti tafsir yang masyhur dari Al-Kasbu Al-Asy’ari .
Akan tetapi beliau merubah pendapat beliau di akhir hayat beliau sebagaimana yang beliau tulis dalam Al-Aqidah An-Nidzamiyah. Beliau berkata,
“Rukun yang pertama : Tentang qudrah hamba dan pengaruhnya terhadap perbuatannya. Maka kami katakan bahwa telah tetap bagi setiap orang yang berakal dan telah bebas dari tahapan-tahapan taklid dalam kaidah-kaidah tauhid : Bahwasanya Rabb ﷻ menuntut para hambanya untuk beramal dalam kehidupan mereka, dan Allah menyeru mereka untuk beramal, serta memberi ganjaran dan hukuman atas perbuatan mereka tersebut di akhirat. Dan telah jelas dalam nas-nas -yang tidak bisa menerima takwil- bahwasanya Allah ﷻ telah memberikan mereka kemampuan untuk melakukan apa yang Allah perintahkan kepada mereka,
dan Allah ﷻ memberikan mereka kesempatan untuk menjalankan perintah Allah ﷻ serta untuk mencegah diri dari hal-hal yang dilarang. Jika aku membacakan ayat-ayat yang menunjukkan akan hal ini tentu sangat panjang, dan hal ini tidak perlu bagi orang yang berakal yang adil.
Siapa yang mengamati kitab-kitab suci yang dimana di dalamnya banyak dalil yang menyeru kepada perbuatan-perbuatan mulia dan larangan-larangan dari perbuatan-perbuatan keji yang membinasakan, demikian juga sebagian perbuatan keji tersebut dikaitkan dengan hukum hudud dan balasan-balasan, lalu memperhatikan tentang janji dan ancaman, apa yang wajib diyakini berupa membenarkan para Rasul tentang pengabaran mereka mengenai hukuman yang akan menimpa para pembangkang dan orang-orang sombong, baik hisab maupun azab serta kesudahan yang buruk. Dan perkataan Allah ﷻ kepada mereka (pada hari kiamat), ‘Kenapa kalian melanggar, kenapa kalian bermaksiat dan membangkang?, padahal Aku sudah mencurahkan kenikmatan bagi kalian, aku panjangkan waktu untuk kalian, Aku utus para Rasul bagi kalian, dan telah Kujelaskan hujah bagi kalian لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ‘agar tidak ada argumentasi bagi manusia di hadapan Allah setelah diutusnya para Rasul’ (QS An-Nisa : 165).”
فَمَنْ أَحَاطَ بِذَلِكَ كُلِّهِ ثُمَّ اسْتَرَابَ فِي أَنَّ أَفْعَالَ الْعِبَادِ وَاقِعَةٌ عَلَى حَسَبِ إِيْثَارِهِمْ وَاخْتِيَارِهِمْ وَاقْتِدَارِهِمْ فَهُوَ مُصَابٌ فِي عَقْلِهِ، أَوْ مُسْتَقِرٌّ عَلَى تَقْلِيْدِهِ، مَصَمِّمٌ عَلَى جَهْلِهِ، فَفِي الْمَصِيْرِ إِلَى أَنَّهُ لاَ أَثَرَ لِقُدْرَةِ الْعَبْدِ فِي فِعْلِهِ قَطْعُ طَلَبَاتِ الشَّراَئعِ وَالتَّكْذِيْبُ بِمَا جَاءَ بِهِ الْمُرْسَلُوْنَ
Maka barang siapa yang mengerti ini semua, lalu masih ragu bahwasanya perbuatan para hamba terjadi atas pilihan mereka dan qudrah mereka sendiri maka ia adalah orang akalnya terganggu, atau kokoh di atas sikap taklid butanya atau kekeh dalam kejahilannya. Maka penghujung dari keyakinan bahwa qudrah hamba tidak punya pengaruh terhadap perbuatannya merupakan bentuk memutuskan perintah-perintah syariat dan mendustakan apa yang dibawa oleh para Rasul” [Al-Aqidah An-Nidzamiyah (42-44)]
Pendapat beliau yang terakhir ini pula yang dinukil oleh Asy-Syahristani dalam Al-Milal Wa An-Nihal, yaitu perkataan beliau,
وَأَمَّا إِثْبَاتُ قُدْرَةٍ لاَ أَثَرَ لَهَا بِوَجْهٍ فَهُوَ كَنَفْيِ الْقُدْرَةِ أَصْلاً…فَلاَبُدَّ إِذَنْ مِنْ نِسْبَةِ فِعْلِ الْعَبْدِ إِلَى قُدْرَتِهِ حَقِيْقَةً
“Adapun menetapkan qudrah tanpa punya pengaruh sama sekali maka ini sama saja dengan menafikan qudrah dari asalnya….maka jika demikian harus menisbahkan perbuatan hamba kepada qudrahnya secara hakikat (sesungguhnya).” [Al-Milal Wa An-Nihal, Asy-Syahristani (1/98-99)].