ATHEISME
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Sebagaimana telah lalu, bahwasanya diantara pembatal tauhid ar-Rububiyah adalah meyakini tidak ada pencipta (atheism). Penulis menyendirikan dan mengkhususkan pembahasannya karena memang membutuhkan konsentrasi tersendiri untuk menelaahnya, mengingat begitu banyak syubhat seputar hal ini yang semakin tersebar di zaman ledakan informasi saat ini.
Theism (المَذْهَبُ الأُلُوُهِيُّ) meyakini adanya Tuhan adalah keyakinan mayoritas manusia, bahkan merupakan asalnya keyakinan manusia. Karenanya di atas muka bumi ini, dimanapun berada, di kurun generasi manapun, pada suku manapun, selalu didapatkan ada tempat ibadah (meskipun mereka berselisih tentang apa yang mereka ibadahi). Adapun pemahaman lain selain ini adalah hal yang طَارِئٌ datang belakangan. Hal ini kerena percaya adanya Tuhan selain merupakan fithroh manusia, ia juga merupakan perkara yang sangat logis yang bisa diterima oleh akal yang minim. Karenanya para ahli filsafat menamakan “Tuhan” tersebut dengan وَاجِبُ الْوُجُوْدِ (yang harus ada). Hal ini karena alam semesta ini yang مُمْكِنُ الْوُجُوْدِ (keberadaannya adalah suatu kemungkinan) harus berhenti pada yang mengadakannya dan menciptakannya yang keberadaannya harus wajib dan bukan mungkin. Jika ternyata sang pencipta juga wujudnya (keberadaannya) juga adalah mungkin (tidak wajib) dan bergantung kepada wujud yang sebelumnya yang juga demikian maka tidak akan terjadi alam semesta.
Diantara kekhususan Tuhan adalah Ia kontak memberi bimbingan kepada makhluknya melalui wahyu yang dibawa oleh para Rasul-Nya. Ia tidak menciptakan makhlukNya lalu membiarkannya begitu saja tanpa ada perhatian dan bimbingan.
Adapun pemahaman-pemahaman menyimpang yang baru datang tentang Tuhan ada beberapa model.
Pertama : Deism (المَذْهَبُ الرُّبُوْبِيُّ).
Yaitu pemahaman yang meyakini adanya Pencipta alam semesta yang azali (wajibul wujud) yang telah menyusun aturan-aturan alam (hukum-hukum alam), yang dimana aturan-aturan tersebut telah mencapai kesempurnaan dan tidak perlu untuk dirubah-rubah lagi, sebagaimana jam tangan yang dibuat oleh pembuatnya lalu dibiarkan begitu saja sementara jam tangan tersebut telah berjalan secara otomatis dengan sendirinya.
Penganut pemahaman ini meyakini untuk mengenal Tuhan maka cukup dengan menggunakan akal untuk melihat tanda-tanda yang ditunjukan oleh alam semesta, tidak perlu harus ada wahyu khusus dari Tuhan tersebut. Karenanya mereka mengingkari wahyu dan mengingkari kenabian. Mereka mengingkari seluruh agama, menurut mereka agama hanyala dibuat untuk menipu dan memperdaya manusia. Pemahaman ini muncul pada abad 18 masehi yang ditenarkan oleh Voltaire (1694 – 1778 M) yang berasal dari Prancis dan Thomas Paine (1737 – 1809 M) seorang Filsuf yang berasal dari Britonia. Pemahaman ini muncul sebagai dampak perlawanan terhadap aturan-aturan gereja dan keyakinan-keyakinan pihak gereja yang menurut mereka hanyalah merupakan khurofat dan bentuk mempermainkan akal manusia, serta hanya digunakan untuk kepentingan duniawi para penguasa gereja.
Keyakinan Deism (المَذْهَبُ الرُّبُوْبِيُّ) ini sangat tidak layak bagi Tuhan yang maha hikmah, karena hal ini melazimkan Tuhan hanya bermain-main tanpa tujuan ketika menciptakan. Tentu Allah tidaklah demikian, tidaklah Dia menciptakan makhluk-Nya kecuali karena tujuan tertentu. Allah berfirman,
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS Al-Mu’minun : 115)
Sebagian da’i liberalisme menyeruakan seperti apa yang diserukan oleh para penganut Deism. Diantara mereka ketika menghalalkan homo seksual maka berkata, “Tuhan ngapain ngurusin urusan esek-esek (masalah seks manusia)?”. Maksudnya yaitu Tuhan tidak urusan dengan pembahasan hubungan seks sehingga tidak perlu mengharamkan homo seksual. Demikian juga pernyataan sebagian mereka yang mengatakan bahwa “Tuhan tidak ikut campur dalam urusan kebebasan beraqidah/beragama, bahkan Tuhan memberi kebebasan”. Pernyataan-pernyataan sebagian da’i liberal tersebut persis dengan apa yang diyakini oleh pemahaman Deism. Wallahu a’lam bis shawab.
Kedua : Atheism (الإِلْحَادُ), yaitu keyikanan tidak adanya Tuhan. Alam adalah azali atau terjadi begitu saja tanpa sebab tertentu. Pemahaman ini terbagi menjadi dua model :
- Strong atheism (الإِلْحَادُ القَوِيُّ) atheis yang kuat, yaitu meyakini bahwasanya Tuhan memang tidak ada. Namun model ilhad seperti ini jarang didapati sekarang, karena terlalu menyinggung para penganut agama, dan menyerang agama secara langsung.
- Weak atheism (الإِلْحَادُ الضَّعِيْفُ) atheis yang lemah, yaitu belum beriman akan adanya tuhan. Pengikut pemahaman ini membawakan atheism dengan lebih lembut, yaitu mereka menyatakan bahwa dalil-dalil yang dibawakan oleh para penganut theism belum cukup kuat untuk menunjukan bahwa tuhan itu ada. Cara inilah yang dipropagandakan oleh para pembesar atheism zaman sekarang. Diantara tokoh pemahaman ini adalah Victor Stanger (1935 – 2014 M) seorang ilmuan fisika. Ia menulis buku yang berjudul “God : The Failed Hypothesis – How Science Shows That God Does Not Exist” (Tuhan suatu hipotesa yang gagal – Bagaimana sains membuktikan bahwa Tuhan tersebut tidak ada).
Atheism juga bisa kita klasifikasikan berdasarkan sebab munculnya menjadi 3 macam :
Pertama : Atheism perasaan (الإِلْحَادُ الْعَاطِفِيُّ), atheism yang muncul karena para penganutnya mengikuti perasaan mereka, yaitu perasaan mereka tidak bisa menerima adanya tuhan. Hal ini terjadi diantaranya karena perasaan yang tidak bisa beriman dengan taqdir Allah atau kondisinya yang tidak sesuai dengan keinginannya. Diantaranya mereka sering berkata, “Jika Tuhan ada, lantas kenapa Ia menciptakan keburukan dan penderitaan?”.([1])
Kedua : Atehism áqli (الإِلْحَادُ الْعَقْلِيُّ) yang atheism model ini terbagi menjadi dua :
Pertama : (الإِلْحَادُ الْفَلْسَفِيُّ). Atheism ini dibangun diatas pemikiran filsafat semata sehingga menolak adanya tuhan([2]).
Kedua : Atheism ílmi (الإِلْحَادُ الْعِلْمِيُّ). Adapun atheism ini dibangun diatas penemuan-penemuan teori ilmiyah (science), apakakah berkaitan dengan ilmu fisika, kedokteran maupun biologi. Menurut penganut atheism ini kenyataan menunjukan adanya pertentangan antara agama dan science. ([3])
Ketiga : Atheism Syahwat (الإِلْحَادُ الشَّهْوَانِيُّ). Atheism jenis ini muncul karena menganggap bahwa agama hanyalah penghalang untuk memuaskan hawa nafsu, karena terlalu banyak perkara lezat yang diinginkan oleh jiwa namun diharamkan oleh agama.
Syubhat-syubhat Atheism
Sesungguhnya syaitan terus bersemangat untuk menjerumuskan manusia dalam keraguan akan adanya Tuhan, dengan membisikan syubhat-syubhat dalam hati manusia. Karenanya wajar jika terkadang seseorang dalam hatinya terbetik hal-hal yang menyerempet-nyrempet pada kekufuran.
Abu Hurairah berkata :
جَاءَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلُوهُ: إِنَّا نَجِدُ فِي أَنْفُسِنَا مَا يَتَعَاظَمُ أَحَدُنَا أَنْ يَتَكَلَّمَ بِهِ، قَالَ: «وَقَدْ وَجَدْتُمُوهُ؟» قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: «ذَاكَ صَرِيحُ الْإِيمَانِ»
“Datang sekelompok orang dari para sahabat Nabi shallallahu álaihi wasallam, lalu mereka bertanya kepada beliau : “Sesungguhnya kami mendapati dalam diri kami suatu perkara yang besar untuk kami utarakan”. Nabi berkata, “Apakah kalian mendapatinya?”. Mereka berkata, “Iya”. Nabi berkata, “Itulah iman yang jelas” ([4])
Ibnu Masúd berkata :
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْوَسْوَسَةِ، قَالَ: «تِلْكَ مَحْضُ الْإِيمَانِ»
Nabi shallallahu álaihi wasallam ditanya tentang was-was, maka beliau berkata, “Itu adalah murninya iman” ([5])
Maksudnya yaitu murninya iman atau jelasnya iman diketahui dari hati kalian yang menolak syubhat tersebut, sehingga tidak menjadikan syubhat tersebut kokoh dalam hati kalian, akhirnya hanya menjadikan syubhat tersebut sebagai was-was saja. ([6])
Nabi shallallahu álaihi wasallam juga telah menjelaskan bahwa godaan dan bisikan syaitan tentang kekufuran tersebut akhirnya menjadikan sebagian orang terbawa dan berbicara. Artinya syubhat tersebut masuk ke dalam dada manusia dan mulai kokoh.
Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
لَنْ يَبْرَحَ النَّاسُ يَتَسَاءَلُونَ حَتَّى يَقُولُوا: هَذَا اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ، فَمَنْ خَلَقَ اللَّهَ
“Orang-orang tidak berhenti bertanya-tanya hingga mereka berkata, “Allah pencipta segala sesuatu, lantas siapakah yang menciptakan Allah?” ([7])
Nabi juga bersabda :
يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ: مَنْ خَلَقَ كَذَا، مَنْ خَلَقَ كَذَا، (وفي رواية : مَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ؟ مَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ؟) حَتَّى يَقُولَ: مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ؟ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ وَلْيَنْتَهِ
“Syaitan datang kepada salah seorang dari kalian lalu berkata, “Siapakah yang menciptakan ini?, siapakah yang menciptakan itu? (dalam riwayat yang lain : Siapa yang menciptakan langit?, siapa yang menciptakan bumi?), hingga syaitan berkata, “Siapakah yang menciptakan Tuhanmu?”. Maka jika telah sampai pertanyaan syaitan kepadanya hendaknya ia berlindung kepada Allah dan hendaknya ia berhenti” ([8])
Dalam riwayat yang lain :
فَمَنْ وَجَدَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا، فَلْيَقُلْ: آمَنْتُ بِاللهِ
“Barang siapa yang mendapat sesatu dari yang seperti itu (syubhat) maka ucapkanlah “Aku beriman kepada Allah” ([9])
Karena mengingat kondisi demikian, bahwasanya syubhat-syubhat syaitan untuk mengatheiskan manusia sangat mungkin terjadi dan bahkan telah terjadi, maka perlu bagi kita untuk membahas syubhat-syubhat tersebut, agar bisa diselamatkan oleh Allah dari kekufuran-kekufuran terebut.
Berikut ini syubhat-syubhat yang sering ditanyakan oleh kaum atheis.
Pertama : Semua ini terjadi dengan tiba-tiba (صُدْفَة)?
Jawab : Ini adalah perkara yang sangat tidak logis. Karena setiap akibat pasti ada sebabnya. Jika ada seorang anak kecil terdorong lantas kita sampaikan kepadanya bahwa dia terdorong tiba-tiba tanpa sebab, tentu anak kecil itu tidak akan terima. Demikian juga jika kita katakan bahwa seluruh baju terjadi dengan tiba-tiba terjahit tanpa ada yang menjahitnya tentu adalah perkara yang mustahil. Apalagi dengan alam semesta ini yang berjalan dengan teratur, apakah tidak ada yang menciptakannya?.
Abu Hanifah yang berdebat dengan para Atheis yang mengingkari eksistensi Sang Pencipta. Beliau bercerita kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian, jika ada sebuah kapal diberi muatan barang-barang, penuh dengan barang-barang dan beban. Kapal tersebut mengarungi samudera. Gelombangnya kecil, anginnya tenang. Akan tetapi setelah kapal sampai di tengah tiba-tiba terjadi badai besar. Anehnya kapal terus berlayar dengan tenang sehingga tiba di tujuan sesuai renana tanpa goncangan dan berbelok arah, padahal tak ada nahkoda yang mengemudikan dan mengendalikan jalannya kapal. Masuk akalkah cerita ini?” Mereka berkata, “Tidak mungkin. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal, bahkan oleh khayal sekalipun, wahai Syaikh.” Lalu Abu Hanifah berkata, “Subhanallah, kalian mengingkari adanya kapal yang berlayar sendiri tanpa pengemudi, namun kalian mengakui bahwa alam semesta yang terdiri dari lautan yang membentang, langit yang penuh bintang, dan benda-benda langit serta burung yang beterbangan tanpa adanya Pencipta yang sempurna penciptaan-Nya dan mengaturnya dengan cermat?! Celakalah kalian, lantas apa yang membuat kalian ingkar kepada Allah?”([10])
Demikianlah kecerdasan Imam Abu Hanifah dan ketidakilmiahan orang-orang Atheis.
Jika kita memperhatikan diri kita yang dipenuhi dengan kompleksitas niscaya akan kita jumpai keteraturan. Mengatakan bahwa semuanya terjadi dengan sendirinya adalah jawaban yang tidak masuk akal. Tidak mungkin segala sesuatu tersusun dengan rapi melainkan telah ada yang mengaturnya.
Kedua : “Jika semua ada pasti ada yang mengadakan/menciptakan, maka lantas siapakah yang menciptakan Tuhan?”
Jawab :
Pertama : Pernyataan tersebut secara akal tidak harus demikian. Karena pernyataan yang benar bukanlah “Semua yang ada pasti ada yang mengadakannya”, akan tetapi yang benar adalah “Semua yang haadits حَادِثٌ (yang bermula, atau yang didahului dengan ketiadaan) pasti ada yang mengadakan”
Kedua : Logika di atas tidak mungkin, karena jika kita mengikuti logika tersebut berarti tidak akan ada makhluk. Kenyataannya makhluk dan alam semesta telah ada, berarti seluruh kejadian harus kembali dan berhenti pada Dzat yang harus ada dengan sendirinya dan tidak diciptakan (وَاجِبُ الْوُجُوْدِ), dialah Tuhan.
Logikanya sebagai berikut : Jika seseorang tidak akan minum kopi kecuali diberikan kopi dari orang dibelakangnya dan yang dibelakangnya tidak bisa memberikan kopi kepada yang didepannya kecuali menerima kopi dari yang dibelakangnya dan seterusnya, maka untuk terjadi minum kopi, silisilah tersebut harus berhenti kepada orang terakhir yang dia punya kopi sendiri tanpa menunggu dari orang di belakangnya. Adapun jika silsilah tersebut tidak ada ujungnya, maka tidak akan terjadi minum kopi.
Demikian juga seorang tantara disuruh mengesekusi seorang penjahat hingga mendapat perintah dari atasannya, dan atasannya tersebut juga tidak bisa memerintahkan untuk mengesekusi hingga mendapat perintah dari atasannya, dan seterusnya. Maka agar eksekusi bisa terjadi silsilah perintah tersebut harus berhenti pada atasan yang terakhir yang tidak menunggu lagi perintah dari atasannya, dan dialah atasan tertinggi. Adapun jika silsilah tersebut tidak ada penghujungnya maka tidak akan pernah terjadi eksekusi.
Demikian juga dengan alam ini, terjadinya alam ini terjadi karena sebuah sebab, dan sebab itu membutuhkan sebab sebelumnya dan seterusnya, namun harus berhenti kepada sebab utama yang tidak membutuhkan sebab yang lain. Jika tidak maka tidak akan terjadi ala mini.
Ketiga : Pertanyaan “Siapa yang menciptakan Allah?”, adalah pertanyaan yang salah. Hal ini sifat Allah adalah Pencipta bukan diciptakan. Hal ini sama seperti pertanyaan, “Apakah Allah bisa menciptakan Tuhan semisal Allah?”. Hal ini karena Tuhan tidaklah diciptakan. Allah adalah sebab yang awal, maka tidak mungkin juga pertanyaan “Siapakah penyebab sebab yang pertama?”, karena hal ini melazimkan Allah akan berubah menjadi sebab yang kedua. Demikian juga pertanyaan, “Bisakah Allah menciptakan batu yang lebih besar dari Allah dan Allah tidak mampu mengangkatnya?”, karena Allah adalah Akbar (Yang maha besar) dan Allah adalah al-Qodir (Yang maha kuasa). Pertanyaan-pertanyaan seperti adalah pertanyaan yang salah, sama halnya seperti pertanyaan, “Bisakah anda menggambar segi empat yang bulat?”, “Bisakah anda naik ke bawah?”
Karenanya Nabi memberi arahan kepada orang yang timbul dalam benaknya pertanyaan seperti ini agar berlindung kepada Allah dan agar berhenti. Karena pertanyaan seperti ini adalah was-was yang merupakan pertanyaan yang tidak logis dan bertentangan dengan akal sehat dan dasar-dasar ilmu logika([11]).
Pertanyaan ini adalah senjata Iblis yang ingin menimbulkan keraguan akan adanya Allah. Sebagaimana telah lalu bahwasanya hal ini telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam, beliau bersabda :
لَنْ يَبْرَحَ النَّاسُ يَتَسَاءَلُونَ حَتَّى يَقُولُوا: هَذَا اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ، فَمَنْ خَلَقَ اللَّهَ
“Orang-orang tidak berhenti bertanya-tanya hingga mereka berkata, “Allah pencipta segala sesuatu, lantas siapakah yang menciptakan Allah?” ([12])
Nabi juga bersabda :
يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ: مَنْ خَلَقَ كَذَا، مَنْ خَلَقَ كَذَا، حَتَّى يَقُولَ: مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ؟ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ وَلْيَنْتَهِ
“Syaitan datang kepada salah seorang dari kalian lalu berkata, “Siapakah yang menciptakan ini?, siapakah yang menciptakan itu?, hingga syaitan berkata, “Siapakah yang menciptakan Tuhanmu?”. Maka jika telah sampai pertanyaan syaitan kepadanya hendaknya ia berlindung kepada Allah dan hendaknya ia berhenti” ([13])
Dalam riwayat yang lain :
فَمَنْ وَجَدَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا، فَلْيَقُلْ: آمَنْتُ بِاللهِ
“Barang siapa yang mendapat sesatu dari yang seperti itu (syubhat) maka ucapkanlah “Aku beriman kepada Allah” ([14])
Untuk menghadapi syubhat ini bisa dengan cara berpaling dengan menguatkan keimanan dengan berkata, أَعُوْذُ بِاللهِ مَنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk” demikian juga dengan berkata, آمَنْتُ بِاللهِ “Aku beriman kepada Allah”
Atau metode kedua yang diisyaratkan oleh Nabi dengan sabdanya وَلْيَنْتَهِ “Hendaknya ia berhenti”, karena kalau tidak berhenti berarti seseorang telah membuang akal sehatnya.
Keempat : Jika misalpun kita mengatakan ada yang menciptakan Allah, maka lantas kenapa?, yang penting engkau percaya kepada Tuhan (Allah) yang konsekuensinya engkau harus taat kepada aturan-aturannya tanpa harus mengetahui siapa dibalik Tuhan karena itu bukan urusan dan bukan ranahmu. (Akan tetapi tentunya pernyataan bahwa ada yang menciptakan tuhan adalah pernyataan yang tidak logis)
Ketiga : “Bukankah bisa jadi alam merupakan (وَاجِبُ الْوُجُوْدِ) “yang harus ada tanpa ada yang menciptakan ?”
Jawab :
Pertama : Memang benar bahwasanya secara logika yang namanya wujud “ada” bisa terbagi menjadi 3 :
- Yang wajib wujudnya
- Yang mungkin wujudnya
- Yang mustahil wujudnya
Jika engkau meyakini bahwa alam juga azali (وَاجِبُ الْوُجُوْدِ), maka berarti engkau sepakat bahwa ada suatu wujud yang tidak bermula, wujud yang tidak membutuhkan sebab lain yang mengadakannya. Hanya saja menurutmu wujud tersebut adalah alam itu sendiri, sementara kami wujud tersebut itulah “Tuhan” yang menciptakan alam tersebut.
Kedua : Alam semesta ada dua kemungkinan, (pertama) hukum asalnya adalah tidak ada lalu ada, (kedua) hukum asalnya memang sudah ada sejak azali (tanpa didahului dengan ketiadaan).
Jika hukum asalnya tidak ada, maka tidak mungkin dia berubah menjadi ada (wujud) tanpa ada sebab yang mengadakan. Karena jika tidak ada faktor luar yang merupakan sebab yang mengadakan maka seharusnya alam akan tetap dalam “ketiadaannya”. Adapun menyatakan alam berubah dari ketiadaan menjadi ada tanpa ada sebab, maka ini tentu bertentangan dengan dasar-dasar ilmu darurat.
Jika hukum asalnya adalah ada, berarti dia azali dan wajibul wujud (وَاجِبُ الْوُجُوْدِ) maka seharusnya alam akan abadi dan tidak akan mengalami fana (sirna). Namun tentu hal ini bertentangan dengan realita. kenyataannya kita melihat begitu banyak anggota alam yang tadinya tidak ada, dan begitu banyak anggota alam yang tadinya ada lantas menjadi tidak ada. Sebagai contoh diantara anggota alam adalah manusia, hewan, dan tetumbuhan yang tadinya tidak ada lalu menjadi ada lalu menjadi tidak ada. Demikian juga benda-benda mati seperti gunung yang dipangkas dan diambil tanahnya untuk dijadikan rumah sehingga mengalami perubahan.
Keempat : “Sebagian alam terjadi dengan sendirinya, sementara anggota-anggota alam yang lain (seperti manusia, hewan, dan tumbuhan) terjadi belakangan atas olahan alam tersebut”.
Jawab : Kita sepakat bahwasanya alam adalah benda mati, seperti bumi, gunung, laut, bintang, dll semuanya tidak memiliki kehendak. Demikian juga rembulan dan matahari yang selalu berjalan di orbitnya yang menunjukan ia tidak berkehendak dan terikat dengan pengaturan. Lantas bagaimana alam yang hitam dan mati tersebut bisa memunculkan makhluk seperti manusia yang berakal, berkehendak, mengolah alam, bahkan merusak alam?.
Kelima : “Kita tidak percaya adanya tuhan karena tidak bisa melihatnya. Jika tuhan ada apa susahnya untuk memperlihatkan dirinya?”
Jawab : Ada beberapa sisi untuk membantah syubhat ini :
Pertama : Tentu secara ilmiyah sesuatu itu bisa diketahui adanya dengan terlihat langsung atau dengan melihat atsarnya (bukti-bukti keberadaannya).
Kaidah menyatakan :
عَدَمُ الدَّلِيْلِ الْمُعَيَّنِ لاَ يَدُلُّ عَلَى عَدَمِ الْمَدْلُوْلِ الْمُعَيَّنِ لِأَنَّهُ يَدُلُّ عَلَيْهِ دَلِيْلٌ آخَرُ
“Tidak ada dalil tertentu yang menunjukan adanya sesuatu bukan berarti sesuatu tersebut tidak ada, karena bisa jadi ditunjukan oleh dalil yang lain”
Keberadaan “Budi” di rumahnya bisa ditunjukan dengan beberapa indicator (dalil) seperti mobilnya yang sedang di parkiran, atau kedua sendalnya yang tergeletak di depan rumah, dan juga suaranya yang terdengar dari luar, atau terlihat langsung keberadaan Budi di dalam rumah. Jika ternyata sendalnya Budi tidak ada bukan berarti Budi tidak ada di rumah, karena masih ada dalil-dalil yang lain yang bisa menunjukan keberadaan Budi di rumah.
Demikian pula dengan “adanya” Allah, bisa diketahui dengan dilihat langsung (seperti yang akan dirasakan oleh para penghuni surga pada hari kiamat), atau dengan mendengar suara Allah (sebagaimana yang dialami oleh Nabi Musa álaihis salam ketika Allah berbicara langsung denganNya), atau dengan tanda-tanda bukti-bukti keberadaannya, yaitu berupa kedahsyatan makhluk-makhluk ciptaanNya.
Seorang arab badui ditanya مَا الدَّلِيْلُ عَلَى أَنَّ لِلْعَالَمِ صَانِعًا؟“Apa dalil bahwasanya alam ini ada penciptanya?”. Maka ia menjawab :
يَا سُبْحَانَ اللَّهِ، إِنَّ الْبَعْرَةَ لَتَدُلُّ عَلَى الْبَعِيرِ، وَإِنَّ أَثَرَ الْأَقْدَامِ لَتَدُلُّ عَلَى الْمَسِيرِ، فَسَمَاءٌ ذَاتُ أَبْرَاجٍ، وَأَرْضٌ ذَاتُ فِجَاجٍ، وَبِحَارٌ ذَاتُ أَمْوَاجٍ؟ أَلَا يَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى وُجُودِ اللَّطِيفِ الْخَبِيرِ؟
“Ya subhaanallahu, sesungguhnya kotoran onta menunjukan adanya onta, dan bekas tapak kaki penunjukan ada perjalanan. Langit yang memiliki bintang-bintang, bumi yang memiliki jalan-jalan, lautan yang dipenuhi dengan ombak, bukankah semua itu menunjukan akan adanya Allah yang maha lembut dan maha mengetahui?” ([15])
Bukti-bukti bahwa Allah ada banyak, sebagaimana telah dibahas di dalil-dalil akan adanya Allah.
Kedua : Terlalu banyak teori yang juga dihasilkan tanpa adanya melihat langsung, contoh teori grafitasi, teori gaya, teori proton, electron, dan neutron.
Ketiga : Ada banya perkara-perkara yang ada namun kita tidak bisa melihatnya. Contohnya adalah listrik, kita tidak pernah melihatnya akan tetapi kita bisa merasakannya. Demikian juga jin adalah makhluk yang ada namun kita tidak bisa melihatnya. Akan tetapi keberadaannya bisa kita rasakan, seperti ketika jin tersebut merasuk kepada seorang manusia lantas berbicara dengan lisan dan suara manusia tersebut dengan pembicaraan yang tidak mungkin diucapkan oleh manusia tersebut.
Keempat : Penglihatan langsung ternyata tidak bisa menjamin kebenaran, seperti fatamorgana, seperti bengkoknya kayu ketika dimasukan ke dalam air
Keenam : Jika Tuhan itu ada tentunya Dia maha baik, dan jika Dia maha baik seharusnya di dunia ini tidak ada penderitaan, tidak ada bencana, tidak ada tangisan, dan tidak ada segala sesuatu yang tidak mengenakan. Lantas kenapa Dia menciptakan hal-hal tersebut?.
Jawab :
Orang-orang atheis tidak bisa menerima dengan akal mereka akan adanya orang-orang miskin yang tertindas, atau sebagian mereka yang dizolimi, atau munculnya bencana-bencana alam yang menimpa manusia. Pikiran mereka harusnya Tuhan memilihkan yang terbaik bagi makhlukNya dengan menjadikan manusia seluruhnya dalam kondisi nyaman.
Bantahan akan hal ini dari beberapa sisi :
Pertama : Tuhan ketika menciptakan tentu dengan tujuan, yaitu menguji para hambaNya. Yang namanya ujian tentu adalah perkara-perkara yang tidak disukai oleh jiwa seseorang. Jika semua diciptakan dalam kondisi nyaman maka tidak tercapai tujuan tersebut. Tuhan tidak sedang menciptakan manusia untuk menempati surga di bumi.
Kedua : Diantara keindahan alam ciptaan Tuhan ini berlaku sebab dan akibat, jika semua dalam kondisi nyaman maka akan hilanglah hukum sebab akibat tersebut. Contoh, barang siapa yang berusaha maka dia berhasil, barang siapa yang malas maka akan tertinggal. Namun jika semua orang nyaman maka hilanglah hukum sebab akibat tersebut.
Ketiga : Demikian juga dengan adanya keburukan (hal yang tidak disukai) maka akan diraih berbagai macam kemuliaan. Maksiat merupakan jalan menuju taubat, kesulitan merupakan jalan menuju kesabaran, jihad merupakan jalan menuju syahadah (mati syahid).
Bahkan diciptakannya Iblis mendatangkan banyak kebaikan. Seperti Allah menunjukkan bagaimana Allah mampu menciptakan dua hal yang kontradiktif, Iblis dan Jibril, Fir’aun dan Musa, Abu Jahl dan Muhammad, Neraka dan Surga, Jihad di jalan Syaitan dan Jihad di jalan Allah, Bakhil dan Dermawan, dll.
Jika ada yang berkata, “Bukankah Allah mampu menciptakan itu semua tanpa menciptakan Iblis atau keburukan?”. Jawabannya, hal itu adalah mustahil, sebagaimana pertanyaan, “Bisakah seseorang naik ke bawah?”, “Bisakah seseorang bersabar tanpa ada perkara yang harus disabarinya?”, “Bisakah taubat tanpa ada maksiat yang dilakukan?”.
Keempat : Kenyataan bahwa di alam ini kebaikan masih mendominasai. Benar ada orang yang sakit, akan tetapi yang sehat lebih banyak. Benar masih banyak yang susah makan, akan tetapi yang kenyang lebih banyak. Benar ada yang membujang akan tetapi yang menikah lebih banyak. Benar ada yang mandul akan tetapi yang punya anak lebih banyak. Benar ada api yang membakar akan tetapi api yang digunakan untuk yang bermanfaat jauh lebih banyak.
Kelima : Sesungguhnya berbagai makna kebaikan (seperti rahmat, ampunan, kebaikan, rindu, cinta, dll) tidak bisa dipahami dengan baik kecuali jika diketahui sebagian keburukan atau lawannya. Sehingga kehidupan yang diinginkan oleh atheism di dunia (kehidupan tanpa keburukan maka tanpa juga kebaikan, tanpa kesalahan maka juga tanpa kebenaran) adalah kehidupan yang jika ada maka merupakan kehidupan yang tanpa makna, kehidupan yang bertentangan dengan hikmah
Keenam : Selajutnya kita balik bertanya, “Apakah mungkin Tuhan menciptakan alam yang semua bebas melakukan dan memilih apa yang dikehendaki?”. Apakah bisa dibayangkan kehidupan dengan kondisi semua orang adalah bos (tanpa ada yang diperintah sama sekali)?, semua hewan bebas dan tidak ada yang mau disembelih dan dimakan?.
Sepertinya ini alam yang sulit terjadi, seperti bisakah dibuat segi tiga yang seginya ada empat? Apakah bisa dibuat bunderan yang bersegi empat?.
Lagi pula makna “bebas” baru bisa dipahami jika ada “terpaksa”. Adapun jika alam tersebut semua tidak ada yang “terpaksa” maka tidak ada yang namanya “bebas”.
Ketujuh : Kehidupan yang mereka angan-angankan dimana tidak ada keburukan sama sekali, tidak ada perkara yang mereka tidak sukai, dan seluruh perkara yang mereka inginkan akan terwujudkan tanpa batasan, maka seakan-akan mereka ingin menjadi Tuhan. Dan bayangkan jika semua orang memiliki apa yang dia kehendaki, maka kedudukan semuanya adalah seperti tuhan, dan tentunya para tuhan-tuhan tersebut akan saling berkontradiksi ketika keinginan mereka berlawanan.
Kedelapan : Adapun model kehidupan yang diimpikan oleh kaum atheism adalah kehidupan yang akan mereka dapatkan jika mereka masuk surga. Itupun di surga, Allah menciptakan para pembantu yang selalu siap membantu, demikian juga hewan-hewan yang siap disantap, sehingga tetap saja ada pihak yang terpaksa “dalam kaca mata mereka”. Selain itu juga tetap saja di surga ada aturan-aturan, seperti tingkatan surga, jumlah bidadari, model surga dll.
Namun Tuhan (Allah) memiliki tujuan untuk memilih orang-orang yang berhak untuk masuk surga dengan memberikan ujian kepada mereka dengan kehidupan dunia, sehingga penghuni surga tahu akan agungnya kadar kenikmatan surga setelah mengetahui bagaimana kehidupan yang sulit di dunia.
Kesembilan : Tuhan yang diyakini oleh orang Islam adalah Tuhan yang seluruh perbuatannya adalah penuh dengan hikmah. Semua perbuatan Allah adalah baik, yang buruk hanyalah sebagian ciptaannya sebagai rangkain dari perbuatan baik dan hikmah yang dilakukan oleh Tuhan. Karena Allah tidak menciptakan dan tidak berbuat dengan kejahilan atau hanya bermain-main.
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ
“Dan tidaklah Kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main” (QS Al-Anbiyaa : 16 dan ad-Dukhoon : 38)
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka” (QS Shood : 27)
Contoh logis sederhana, seorang dokter yang melakukan amputasi demi keselamatan pasien. Jika dilihat dari sisi amputasi tentu merupakan hal yang buruk karena memotong anggota tubuh, akan tetapi jika dilihat dari sisi penyelamatan sang pasien maka tindakan dokter tersebut adalah tindakan yang tepat. Bahkan dokter tersebut adalah dokter yang bijak dan penyayang.
Kesepuluh : Jika otakmu wahai atheis tidak bisa menerima ini semua, maka janganlah engkau menyalahkan Tuhan, akan tetapi salahkan sendiri otakmu yang tidak menerima atau tidak mampu memikirkan ini semua. Karenanya Tuhan melarangmu memikirkan hal-hal yang diluar nalarmu dengan firmanNya :
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai” (QS Al-Anbiyaa’ : 23)
Ketujuh : Apakah Allah bisa menciptakan yang seperti dirinya atau apakah Allah bisa menciptkan batu yang lebih besar darinya sehingga Allah tidak mampu untuk mengangkatnya?
Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya adalah suatu yang mustahil karena menggabungkan dua hal yang kontradiksi. Karena yang namanya Tuhan maka tidak boleh diciptakan, lantas bagaimana Tuhan menciptakan Tuhan?
Demikian juga Allah maha besar, dan Allahlah yang terbesar, lantas bagaimana menciptakan sesuatu yang lebih besar darinya sementara Dia-lah yang maha besar.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini layaknya seperti pertanyaan, “Apakah engkau bisa menggambar suatu bunderan yang segi tiga?”, “Bisakah engkau membuat gambar segi empat yang seginya ada tiga?”, “Bisakah engkau naik ke bawah?”, “Bisakah engkau turun ke atas?”, dan pertanyaan-pertinyaan yang semisalnya.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Bantahan secara umum bahwasanya Tuhan menciptakan manusia di bumi bukan untuk menciptakan surga bagi mereka, akan tetapi memang untuk menguji mereka. Karenanya yang namanya ujian tentu manusia akan dihadapkan dengan hal-hal yang tidak ia sukai. Adapun bantahannya secara detail akan disampaikan ketika membahas syubhat-syubhat atehis.
([2]) Diantara pemicu timbulnya para tokoh pencetus atheis adalah keberadaan para pemuka agama nashrani yang tidak mampu menata masyarakat. Hukum gereja lebih cenderung menimbulkan diskriminasi. Hal ini menimbulkan gejolak dari para cendekiawan di masa tersebut untuk menolak hukum gereja atau dengan kata lain menolak agama, yang akhirnya bermuara pada menolak adanya Tuhan. Penolakan adanya tuhan ini diawalnya dibangun bukan diatas penemuan teori-teori ilmiyah pengetahuan, akan tetapi berdasarkan filsafat logika pemikiran semata yang muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap kebencian terhadap agama.
Diantara tokoh-tokoh pemicu atheis tersebut adalah :
Pertama : Feuerbach dan Marx (dari Jerman)
Ludwig Feuerbach (1804-1872) dan Karl Marx (1818-1883) menjadi dua tokoh besar atheisme dalam sejarah peradaban manusia. Keduanya digolongkan filsuf materialistis karena bagi mereka pemikiran manusia dipengaruhi oleh hal-hal material. Artinya, hal-hal materiallah yang “menentukan” pikiran manusia.
Feuerbach dijuluki sebagai bapak atheisme modern karena dialah yang meletakan dasar pemikiran atheisme secara gamblang dan mempengaruhi pemikiran atheisme selanjutnya termasuk Karl Marx.
Feuerbach telah berhasil menjawab pertanyaan tentang adanya Allah melalui pendekatan kesadaran manusia (Psikologis). Bagi Feuerbach, adanya Allah merupakan sebuah fenomena kesadaran manusia saja. Allah ada hanya sebagai akibat proses kesadaran manusia. Dengan demikian, jika kesadaran manusia tidak ada maka Allah otomatis tidak ada. Pemikiran Feuerbach tentang Allah ini akhirnya diapresiasi oleh Marx.
Marx beranggapan persoalan tentang Allah telah selesai dan dijawab oleh Feuerbach. Maka untuk lebih dalam lagi memahami seperti apa pemikiran Feuerbach, berikut akan diuraikan pendasaran filosofis atheisme Feuerbach.
Atheisme Feuerbach
Seperti telah dijelaskan di atas, sebagai seorang yang dijuluki materialistis, hal itupun akan terlihat dalam pemikiran Feuerbach. Bagi Feuerbach, Allah itu merupakan “sosok” proyeksi dari semua keinginan dan hasrat manusia itu sendiri. Misalnya, manusia menginginakan kesempurnaan, kemahatahuan, kemahakuasaan, tetapi keinginan itu tidak dapat dicapai manusia. Maka kesemua hal itu ditempatkan pada sosok di luar manusia yang disebut Allah
Fenomena proyeksi ini dapat diambil contoh seseorang yang sedang jatuh cinta. Misalnya, seorang gadis selalu mengatakan bahwa lelaki itulah yang mencintainya sementara dirinya tidak merasakan hal serupa. Ternyata hal serupa dialami oleh gadis itu namun dia “melemparkan” perasaan itu pada orang lain. Demikianpun keyakinan pada Allah. Manusia berusaha memproyeksi semua kehendak dan keinginannya pada sosok di luar dirinya.
Kehendak dan hasrat menjadi “maha tahu, maha besar, maha kasih, atau maha pengampun” adalah hasrat yang ingin dicapai oleh manusia sendiri. Lalu manusia seoalah-olah menciptakan sebuah sosok di mana semua ke-maha-an itu dimiliki sosok di luar dirinya yaitu Allah. Demikianlah atheisme Feuerbach yang coba disederhanakan dan diuraikan secara singkat khusus bagi pembaca yang tidak terbiasa dengan pemikiran Feuerbach.
Jadi menurut Feuerbach bahwasanya manusia hanya menyembah hasil pemikirannya sendiri.
Bantahan :
Pertama : Hal ini tentu tidaklah benar jika kita melihat agama yang menyimpang saja seperti Nashrani, maka mereka menyembah “Yesus” (Nabi Ísa álaihis salam) bukan karena sosok khayalan yang dikhayalkan oleh pemikiran mereka. Akan tetapi sosok Nabi Isa yang ada yang melakukan berbagai mukjizat, sehingga mereka mengkultuskannya hingga diangkat sampai menjadi sosok tuhan.
Apalagi jika kita melihat kepada agama yang hanif dan benar yaitu agama Islam. Maka sungguh “Allah” bukanlah sosok yang dikhayalkan oleh masyarakat, akan tetapi sifat-sifat Allah dijelaskan oleh Allah sendiri dalam al-Qurán dan juga melalui lisan Rasulnya Muhammad shallallahu álaihi wasallam. Karenanya persangkaan “Feuerbach” bahwa manusia hanyalah menyembah khayalan ciptaannya sendiri tidaklah benar.
Kedua : Jika manusia hanya menyembah hasil khayalan dan imajinasinya sendiri maka tentu akan muncul berbagai macam tuhan, karena masing-masing manusia punya imajinasi tersendiri dan juga memiliki sosok dambaan tersendiri.
Sekarang kita masuk pada atheisme ala Marx, yang tentunya tetap mendasarkan pada pemikiran Feuerbach sekalipun ada beberapa kritikan yang diberikan Marx pada Feuerbach.
Atheisme Karl Marx: Agama sebagai Opium Rakyat Jelata
Pemikiran Feuerbach ini sendiri mendapatkan kritikan dari Marx. Bagi Marx, pemikiran atheisme Feuerbach bersifat ahistoris, tidak bersifat praktis dan hanya sampai pada taraf kesadaran saja. Dan ini kiranya yang akan disempurnakan Marx, menurutnya penjelasan tentang penolakan Allah dari Feuerbach tidak bersifat historis (dikonkritkan dalam pengalaman manusia) dan hanya mengandalkan kesadaran manusia.
Penolakan akan adanya Allah harus dijelaskan melalui pengalaman nyata manusia dan tidak hanya pada retorika kesadaran ala Feuerbach.
Berangkat dari pemahaman Feuerbach, Karl Marx berpendapat bahwa masalah Allah telah dijelaskan dan selesai pada Feuerbach. Artinya, Feuerbach telah menjelaskan sebuah pendasaran kenapa Allah mesti ditolak keberadaannya. Hanya saja Feuerbach tidak dapat menjelaskan alasan manusia bersikap atau menjadi alienasi dari hasrat-hasratnya secara konkret.
Kekurangan itulah yang akan dijawab oleh Marx. Bagi Marx ada dua hal penting: 1) mengapa manusia masuk dalam alienasi (keterasingan/perangkap agama) itu dan 2) bagaimana cara mengatasi alienasi itu. Alienasi agama terjadi karena keadaan miskin dari masyarakat. Keadaan itu membuat mereka tertekan dan lari ke dunia khayalan. Agama merupakan tanda dari keadaan miskin itu sendiri sekaligus bentuk protes atas situasi miskin itu sendiri.
Bagi Marx, kemiskinan religius tidak lain daripada protes terhadap kemiskinan yang sesungguhnya. Maka jawaban atas pertanyaan mengapa manusia masuk dalam alienasi agama sudah jelas yaitu situasi miskin dari masyarakat. Maka salah-satu cara untuk mengatasi alienasi itu adalah menghilangkan penyebabnya yaitu kemiskinan.
Lalu mengapa akhirnya agama dipandang sebagai opium bagi rakyat jelata? Menurut Marx, hal itu mau menunjukkan unsur kesengajaan dari institusi agama dan negara. Rakyat dininabobokkan oleh janji di alam surga loka sehingga membuat mereka malas, tidak mau berubah, dan tidak memiliki semangat emansipatoris. Kesengsaraan di dunia akan dibalas kebahagiaan setelah kehidupan di dunia ini.
Layaknya cara kerja opium, membuat masyarakat tidak sadar dan menjadi candu. Demikianpun agama membuat masyarakat menjadi tidak sadar dan candu akan janji-janji sorga loka. Maka Marx akan berusaha untuk menyadarkan lagi masyarakat dan tidak lagi menjadi candu agama.
Kemiskinan sebagai penyebab alienasi agama mengerucut pada persoalan utama dan mendasar yaitu penghapusan kelas dalam masyarakat. Adanya kelas seperti kaum kapitalis dan proletar misalnya. Secara singkat, penghapusan kelas dalam masyarakat akan menimbulkan keadilan dan kemiskinan yang dialami kaum proletar dapat teratasi. Dengan demikian, alienasi agamapun teratasi karena penyebabnya yaitu kemiskinan telah dihilangkan.
Hak milik pribadi atas alat produksi tentu sangat ditentang Marx sebagaimana hal itu hanya dimiliki oleh kaum kapitalis. Dan hal itu menjadi penyebab ketidakadilan dalam masyarakat yang akhirnya menciptakan kemiskinan. Seperti yang telah ditekankan di atas, kemiskinan pula menjadi penyebab adanya alienasi agama dalam masyarakat. Karenanya Karl Marx menggaungkan pemahaman sosialime yang merupakan lawan dari kapitalisme. (Sosialisme ada teori untuk melawan kapitalisme, sementera komunisme adalah praktik (aksi) dari teori sosialime tersebut).
Atau dalam abstraksi lain, Marx menjelaskan bahwa ada dua bangunan dalam masyarakat yaitu bangunan bawah dan bangunan atas. Bangunan bawah akan mempengaruhi bangunan atas. Bangunan bawah terdiri dari ekonomi dan transaksi sosial sedangkan bangunan atas terdiri dari agama, politik, dan ideologi pemerintahan. Bangunan atas sangat ditentukan oleh bangunan bawah.
Dengan demikian, jika bangunan bawah seperti ekonomi dapat mengatasi kemiskinanannya maka bangunan atas seperti agama dengan sendiri akan lenyap. Jadi kemiskinan sebagai akibat dari adanya kelas dalam manyarakat menjadi penentu ada tidaknya alienasi agama itu atau keyakinan adanya Tuhan. Penghapusan kelas tentu menjadi semangat utama Karl Marx. Hilangnya kemiskinan secara otomatis hilangnya juga keyakinan akan adanya Tuhan.
Tanpa harus masuk lebih dalam lagi ide Marx tentang penghapusan kelas, setidaknya kita dapat mengambil sebuah insight bahwa ketika kehidupan ekonomi menjadi baik maka agama dengan sendiri akan hilang. Demikianlah kiranya, pandangan atheisme Karl Marx. (lihat : https://www.qureta.com/post/atheisme-la-feuerbach-dan-marx)
Bantahan :
Pertama : Sesungguhnya pemikiran Marx ini -sebagaimana telah dijelaskan- adalah dibangun diatas kerusakan hukum-hukum gereja yang tidak bisa menimbulkan perbaikan taraf ekonomi masyarakat, dan hanya menguntungkan pihak-pihak penguasa gereja. Jika Marx mendalami hukum-hukum Islam maka tentu ia akan mendapatkan solusinya dalam hukum Islam -seperti zakat, infaq, dan sedekah-. Sehingga ia tidak perlu terjebak dalam sosialisme → komunisme → atheisme.
Kedua : Pemikiran Karl Marx pun sekarang mulai ditinggalkan oleh masyarakat karena ternyata pemikirannya pun mengalami kegagalan. Lihatlah sistem pemerintahan di Rusia, yang dianggap perintis komunisme di dunia, hancur dalam persaingannya dengan kapitalisme Barat. Sehingga dalam sejarah, ajaran Marx tampaknya bisa dianggap sebagai jalan yang salah. Demikian juga di zaman kita sekarang bagaimana kegagalan sistem sosialisme di Venezuela yang menghancurkan ekonomi negera tersebut.
Ketiga : Pemikiran sosialisme menciptakan ketidak adilan, karena ingin menciptakan kesamarataan dalam kepemilikan harta akan tetapi dengan cara merampas harta kelas yang kaya untuk dibagikan kepada kelas yang miskin. Demikian juga sosialisme mematikan kreatifitas dan produktifitas orang-orang yang cerdas dan memiliki kelebihan, karena hasil kreatifitas mereka tidak menjadikan mereka menjadi spesial, karena harta harus milik bersama (الاِشْتِرَاكِيَّةُ)
Keadilan dalam Islam bukan dengan penyamaan, akan tetapi dengan meletakan sesuatu pada tempatnya.
Keempat : Pemikiran sosialisme ini secara kenyataan tidak akan pernah terwujudkan, karena namanya kelas-kelas dalam strata ekonomi masyarakat mustahil untuk dihapuskan, karena itu sudah merupakan hukum alam, bahwa ada yang memerintah dan ada yang diperintah. Tatkala sosialisme diterapkan (menurut mereka) maka ada segelintir orang yang bertugas untuk mengatur harta rakyat, tentu saja segelintir orang ini tetap saja berada di kelas yang lebih tinggi. Demikian juga para pejabat di negeri sosialis tidak akan sama gaya hidupnya dengan rakyat kelas bawah.
Allah berfirman :
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain” (QS Az-Zukhruf : 32)
Kedua : Friedrich Nietzsche (meninggal 25 agustus 1900). Tuhan sudah mati (dalam bahasa jerman : Gott ist tot) adalah ungkapan yang dipopulerkan oleh penulis Jerman yang bernama Friedrich Nietzsche dalam bukunya Die fröhliche Wissenschaft. Ia menulis buku ini karena menganggap bahwa aturan-aturan gereja hanyalah memperburuk kehidupan manusia. Nietzsche percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Tuhan orang Kristen, dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya yang sewenang-wenang, tidak akan lagi menghalanginya, sehingga manusia boleh berhenti mengalihkan mata mereka kepada ranah adikodrati dan mulai mengakui nilai dari dunia ini. Pengakuan bahwa “Tuhan sudah mati” adalah bagaikan sebuah kanvas kosong. Ini adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif — suatu kebebasan untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk menerima beban masa lampau. (https://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan_sudah_mati)
Bantahan : Sebagaimana telah jelas bahwa pemikiran Nietzsche hanyalah dibangun atas kekecewaan terhadap hukum gereja yang dianggap dzolim. Seandainya ia mengetahui tentang indahnya hukum-hukum Islam maka tentu ia tidak perlu “mematikan” Tuhan.
([3]) Ada beberapa teori science yang memicu munculnya atheism, diantaranya :
Pertama : Teori Darwin.
Teori ini dicetuskan oleh Charles Robert Darwin (12 Februari 1809 – 19 April 1882 Inggris). Ia adalah seorang naturalis dan ahli geologi Inggris, paling dikenal untuk kontribusinya kepada teori evolusi. Darwin berpendapat bahwa manusia berasal dari Kera. Nenek moyang manusia adalah kera yang berevolusi menjadi manusia modern seperti sekarang ini.
Pada tahun 1859 Darwin menulis ide tentang evolusi di buku Asal usul Spesies (The Origin of Species) yang menjelaskan teori evolusi, buku tersebut secara tidak diduga, menjadi laku keras dan kontroversial.
Darwin beranggapan bahwa semua makhluk berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu semua species berhubungan satu sama lain dan mempunyai “common ancestor” (berasal dari satu garis keturunan) dan melalui mutasi species baru muncul. Pola percabangan evolusi dihasilkan dari sebuah proses yang dia sebut seleksi alam. Secara kasar, teori ini menyebutkan bahwa nenek moyang manusia adalah kera. Pada awalnya kesimpulan itu adalah berdasarkan penemuan penemuan tulang belulang hewan dan manusia purba termasuk kera purba. Kera tersebut secara bertahap mengalami ‘perbaikan biologis’ selama jutaan tahun sehingga menjadi manusia (https://id.wikipedia.org/wiki/Charles_Darwin)
Teori Darwin dibangun di atas bahwa setiap makhluk tidak diciptakan secara tersendiri, tapi semuanya berasal dari satu nenek moyang, yang kemudian mengalami evolusi dan proses yang disebut seleksi alam, sehingga bermunculan beragam makhluk. Tentu teori ini bertentangan dengan ajaran Islam (bahkan ajaran Yahudi dan Nashrani) yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia pertama yaitu Adam tanpa melelui proses evolusi. (Bahkan dalam Islam Adam adalah manusia yang sempurna dari segala hal, karenanya para penghuni surga kelak akan dibentuk dengan bentuk yang sempurna yaitu bentuk nenek moyang mereka Adam). Sehingga terori Darwin ini ketika muncul mendapat perlawanan keras dari pihak gereja, yang teori ini juga seakan-akan mengenyampingkan fungsi Tuhan Sang Maha Pencipta.
Adapun bantahan terhadap teori ini sebagai berikut :
Pertama : Teori ini tidak bisa menjelaskan proses evolusi mayoritas makhluk. Darwin mungkin “bisa” menduga proses evolusi manusia, yang berasal dari kera lalu setelah berevolusi jutaan tahun akhirnya berubah menjadi manusia. Akan tetapi bagaimana evolusi “serangga” misalnya yang berjumlah 80 persen dari model hewan. Apakah serangga-serangga tersebut mengalami evolusi? Bagaimanakah logikanya? Ataukah dari dulu hingga sekarang hanya seperti itu saja?
Kedua : Demikian juga teori ini gagal dalam menjelaskan evolusi burung, bahkan betapa banyak unggas (seperti bebek dan ayam) yang memeliki sayap persis seperti burung akan tetapi mereka tidak bisa terbang?
Ketiga: Darwin berkata bahwasanya nenek moyang kita dahulu memiliki rambut dan bulu yang lebat, namun berjalan dengan waktu akhirnya berkuranglah bulu tersebut karena tidak adanya kebutuhan untuk bulu yang banyak. Namun jika ditanya, kenapa wanita tidak memiliki bulu sama sekali, sementara lelaki masih tersisa bulu-bulunya?
Maka pengikut teori ini akan menjawab, “Ini adalah darurat karena wanita butuh untuk berpenampilan cantik”. Tentu ini jawaban yang sangat tidak logis menurut teori mereka, seharusnya mereka berdalil dengan adaptasi dan evolusi dan seleksi alam.
Keempat : Tatkala Darwin berusaha menjelaskan kenapa lebih banyak rambut di kepala dari pada dibagian tubuh yang lain, maka ia menyatakan bahwa karena kebutuhan kepala terhadap rambut disebabkan kepala sangat rentan terkana benturan.
Kita katakan, lantas kenapa rambut tidak banyak di hidung? Bukankah hidung dan dahi lebih sering terkena benturan? Kenapa tidak banyak rambut di situ?. Demikian juga lantas kenapa banyak rambut di bagian dalam tubuh, apakah sering terkena benturan?.
Kelima: Jika kita berbicara tentang kera yang dianggap sebagai nenek moyang manusia, maka :
- Kenyataannya bayi kera lebih kuat dan aktif dibandingkan bayi manusia. Maka jika ditinjau dari sisi bayi maka kera lebih sempurna daripada bayi manusia. Demikian juga dari sisi kekuatan maka kera dewasa lebih kuat dari manusia dewasa. Maka tidak benar bahwa kera berevolusi dari tidak sempurna menjadi sempurna seperti manusia, karena pada sebagian sisi -seperti kekuatan- maka kera lebih sempurna daripada manusia.
- Kera-kera yang lain tidak mengalami evolusi menjadi manusia. Kera-kera setelah ribuan tahun tetap saja modelnya demikian, tidak berubah menjadi lebih “tampan” sedikit. Karena jika kera selalu berevolusi tentu kita akan melihat spesies “manusia baru” dengan model baru dari kera yang lain misalnya.
Kedua : Teori terjadinya alam semesta
Sebagian ahli fisika mengemukakan teori-teori terjadinya alam semesta. Teori-teori tersebut pada dasarnya hanyala hipotesa-hipotesa yang tidak akan pernah bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang jadi permasalahan sebagian orang justru menjadi atheis karena meyakini teori-teori tersebut.
Berikut ini beberapa teori-teori tentang penciptaan alam :
Pertama : Teori Big bang (Ledakan besar)
Big bang merupakan salah satu teori yang paling populer mengenai terciptanya alam semesta. Teori yang pertama kali dikemukakan oleh George Lematitre ini menyatakan asal usul alam semesta dimulai dari suatu atom yang sangat padat. Pada suatu saat atom ini meledak karena memiliki energi kalori yang tinggi, dan materinya tersebar keseluruh ruang angkasa
Akibat ledakan tersebut, partikel partikel atom berubah menjadi banyak planet dan bintang yang tersebar keseluruh alam semesta. Untuk itu dapat membutuhkan waktu ribuan hingga jutaan tahun lamanya
Kedua : Teori Bintang Kembar
Teori ini menyatakan bahwa tata surya terbentuk melalui dua bintang kembar. Salah satu bintang kembar tersebut meledak karena memiliki materi yang padat dan suhunya terlalu panas. Akibat dari ledakan tersebut dapat membentuk planet planet disekitarnya. Karena bintang tersebut memiliki gaya gravitasi, maka planet tersebut memutari bintangnya
Faktor utama terciptanya teori bintang kembar mengacu pada hasil dari penelitian sebelumnya terhadap pembentukan ‘tata surya’ yang lain. Lyttleton berpendapat bahwa ia beranggapan ada tata surya lain yang tercipta oleh teori bintang kembar
Ketiga : Teori Kabut/Nebula
Teori Nebula pertama kali dikemukakan oleh seorang Ilmuwan Jerman, Emmanuel Swedenborg pada tahun 1724 dan akhirnya disempurnakan oleh Pierre Marquis De Leplace pada tahun 1796.
Teori ini menyatakan bahwa tata surya terbentuk dari kondensasi awan atau kabut gas yang sangat panas. Kondendasi tersebut menjadi bagian bagian terpisah dan memutar. Pada bagian tengah kondensasi awan, partikel partikel memusat sehingga terbentuklah sebuah bintang. Pada partikel yang berada dibagian pinggir kondensasi membentuk planet dan sisanya membentuk asteroid, meteor, dan lain lain.
Keempat : Teori Tidal
Teori yang dikemukakan oleh James Jeans pada tahun 1919 ini menyebutkan bahwa planet terbentuk dari hasil percikan bintang yang disebut tidal. Planet ini terbentuk karena terjadinya percikan antara dua bintang yang saling berdekatan satu sama lain.
Kelima : Teori Keadaan Tetap
Teori ini menyebutkan bahwa alam semesta terbentuk tanpa tercipta dan tak akan pernah berakhir. Maksudnya adalah alam semesta terbentuk begitu saja tanpa ada awalnya. Teori ini artinya alam semesta akan selalu tetap dan tidak ada istilah kiamat. Teori ini diciptakan karena setiap galaksi memiliki jumlah yang tetap meskipun dari waktu ke waktu dapat berubah ubah
Inilah diantara teori-teori penciptaan alam semesta. Tentu teori-teori ini hanyalah dugaan yang tidak akan pernah bisa terbuktikan secara ilmiah. Terlebih lagi teori-teori tersebut menyebutkan bahwa kejadian alam semesta miliyaran tahun yang lalu !!.
Namun sebenarnya seandainya pun teori-teori tersebut benar maka seharusnya justru malah semakin menguatkan keyakinan akan adanya Pencipta. Karena :
- Semua teori di atas menyatakan bahwa alam semesta berasal dari satu atom yang sangat padat, atau berasal dari bintang kembar, atau dari kabut, dll. Maka pertanyaan yang paling mendasar, “Dari manakah muncul benda-benda tersebut?”. Orang yang beriman akan berkata, “Tuhan yang menciptakan benda-benda tersebut”.
Adapun atheis akan menjawab dengan senjata andalannya “Itu semua ada dengan sendirinya”, atau “ Itu semuanya ada dengan kebetulan”.
- Jika teori-teori di atas benar, lantas kenapa tiba-tiba bisa terjadi ledakan pada benda-benda tersebut?, atau sebagiannya meledak dan sebagiannya tidak meledak?. Tentunya ada sebab yang menjadikannya meledak?. Orang beriman akan berkata, “Yang menyebabkan ledakan adalah Tuhan”.
Adapun orang atheis akan berkata dengan senjata tumpulnya yang sangat tidak ilmiah, “Kebetulan terjadi demikian”.
- Pertanyaan berikutnya, “Benda tersebut (baik bintang atau kabut atau benda apapun) yang merupakan asal alam semesta, yang tadinya benda mati bagaimana bisa berubah menjadi makhluk hidup dengan berbagai macam ragamnya dan indahnya?”. Demikian juga, “Bagaimana bisa ledakan-ledakan tersebut menciptakan sistem alam semesta yang begitu kokoh dan indah, gugusan bintang, matahari yang terus bersinar dan berada pada orbitnya, demikian juga rembulan?”.
- Lihatlah tubuh manusia dengan sistem organ-organ tubuh yang begitu menakjubkan apakah terjadi dengan sendirinya?. Bumi yang datar, yang dihiasi dengan dataran yang indah, disela-selanya mengalir sungai-sungai yang indah, disertai adanya lautan yang luas dengan berbagai hewannya, apakah ini semua hanya terjadi kebetulan?
Kesimpulannya : Orang-orang atheis yang mengaku memperjuangkan keilmiahan ternyata sangat tidak ilmiah. Mereka ternyata mempertuhankan “Kebetulan”. Bahkan ada seorang atheis Mesir yang bernama Doktor Ism’ail Ahmad Adham (penulis kitab لِمَاذَا أَنَا مُلْحِدٌ؟ “Kenapa Aku Menjadi Atheis?” yang wafat tahun 1940) dengan semangatnya menjelaskan teori “Kebetulan”. Dalam bukunya tersebut (hal 7) ia mengaku sangat berbahagia dengan “atheisme” nya sebagaimana bahagianya orang yang beriman. Namun kenyataannya ia mati dengan bunuh diri karena kebenciannya terhadap kehidupan. Dan ia berwasiat agar jasadnya tidak dikuburkan tapi dibakar. (https://ar.wikipedia.org/wiki/إسماعيل_أدهم). Dalam bukunya tersebut ia menyatakan bahwa “kebetulan” itu seperti dua buah dadu yang dilemparkan maka kebetulan akan keluar dua wajah dari dua dadu tersebut. Demikian pula alam semesta ini terjadi dengan kebetulan sehingga terjadilah aturan-aturan yang berlaku (lihat hal 8-13 dari bukunya).
Lihatlah, orang ini bukanlah orang gila akan tetapi seorang doctor yang menguasai berbagai bahasa, akan tetapi atheisme nya menjadikannya berbicara seperti orang gila sehingga menyatakan bahwa semua keindahan alam semesta ini terjadi karena kebetulan.
([6]) Lihat Maáalim as-Sunan, al-Khotthoobi 4/147
([7]) HR Al-Bukhari 7296, dari Anas bin Malik
([8]) HR al-Bukhari no 3276 dan Muslim no 134 dari Abu Hurairah
([10]) Kisah seperti ini diriwayatkan dari Abu Hanifah dan juga ulama yang lainnya (Lihat syarh al-Áqidah at-Thohawiyah hal 1/35 dan Tafsir Ibnu Katsir)
([11]) Lihat Bayaan Talbiis al-Jahmiyyah, Ibnu Taimiyyah 5/277-278
([12]) HR Al-Bukhari 7296, dari Anas bin Malik
([13]) HR al-Bukhari no 3276 dan Muslim no 134 dari Abu Hurairah