أَدِلَّةُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّةِ
Dalil-dalil Tauhid Rububiyyah
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Pada pembahasan ini kita membagi pendalilan menjadi dua model:
Pertama: أَدِلَّةُ وُجُوْدِ الْخَالِقِ Dalil-dalil yang menunjukan adanya Rabb (pencipta)
Kedua: أَدِلَّةُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّةِDalil-dalil yang menunjukan bahwa Rabb itu esa dalam rububiyyah-nya (yaitu tauhid Rububiyyah)
أَدِلَّةُ وُجُوْدِ الْخَالِقِ
Pertama: Dalil-dalil Adanya Pencipta
Adanya Tuhan (Sang Pencipta) ditunjukan oleh (1) dalil fitrah dan (2) dalil akal terhadap ayat-ayat Allah, yaitu ciptaan-ciptaan Allah yang dahsyat dan menakjubkan sebagai tanda-tanda keagungan dan eksistensi penciptanya bagi mereka yang berpikir.([1])
Dalil Fitrah (دَلِيْلُ الْفِطْرَةِ).
Yang merupakan dalil utama adalah dalil fitrah yang telah Allah tanamkan dalam hati manusia. Allah berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS al-Rum: 30)
Nabi bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ البَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ
“Tiada yang lahir melainkan terlahirkan di atas fitrah. Namun kedua orang tuanya menjadikannya sebagai Yahudi atau Nashrani atau Majusi. Sebagaimana hewan melahirkan anaknya secara sempurna, apakah kalian melihat padanya ada bagian yang terpotong?” ([2])
Fitrah itu dikuatkan lagi dengan perjanjian yang Allah ambil dari setiap manusia. Allah berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’ Atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?’” (QS al-A’raf: 172-173)
Meskipun kejadian ini sekarang dilupakan oleh manusia, namun efeknya masih ada, yaitu fitrah mereka meyakini adanya Tuhan yang esa. Bahkan, orang-orang yang menganggap tuhan lebih dari satu pun tetap menyatakan bahwa ada salah satu dari tuhan-tuhan tersebut yang lebih hebat. Atau, mereka menafsirkan tuhan yang berbilang tersebut dengan makna tuhan yang esa.
Maksud dalil fitrah bukan berarti manusia sejak lahir sudah mengenal agama Islam. Sebab manusia dilahirkan dalam kondisi tidak mengetahui apapun.
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun.” (QS al-Nahl: 78)
Namun, fitrahnya sudah siap untuk menerima agama Islam, tauhid, dan terlebih adanya Sang Pencipta. Fitrah tersebut berkonsekuensi mengakui Penciptanya, mencintai-Nya dan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Konsekuensi dari fitrah tersebut akan ia raih secara bertahap berdasarkan kekuatan fitrahnya serta selamatnya fitrah tersebut dari pengotor-pengotor dan perusak-perusaknya.([3])
Di antara perkara yang membuktikan adanya dalil fitrah:
- Kita dapati bahwa pada asalnya manusia sejak zaman dahulu hingga sekarang di atas kepercayaan terhadap adanya Tuhan. Adapun kalangan ateis maka hanyalah minoritas dan muncul belakangan.
- Kita dapati di berbagai penjuru dunia, baik dari suku yang berbeda-beda, dan budaya yang berbeda-beda, lokasi yang berbeda-beda, serta generasi dan masa yang berbeda-beda, namun kita dapati umumnya ada tempat khusus yang digunakan untuk beribadah kepada Tuhan. Lebih besar kemungkinan kita mendapati suatu kota tanpa sekolah, atau tanpa pemerintahan, atau tanpa pasar, tanpa istana, dibandingkan dengan kota tanpa tempat ibadah.
- Kita dapati anak-anak begitu mudah untuk percaya adanya Tuhan. Kita tidak perlu repot-repot untuk mendoktrin mereka. Sebab hal tersebut merupakan konsekuensi fitrah mereka.
- Di antara hal yang menunjukan fitrah keyakinan adanya pencipta, kita dapati jika seseorang ateis dalam kondisi genting dan terdesak, maka fitrahnya mencari Tuhan untuk menyelamatkannya. Bagaimanapun ia sejatinya membutuhkan sandaran yang kukuh. Sebuah aforisme menyatakan: “There are no atheists in foxholes.” Tidak ada ateis di dalam lubang perlindungan (kondisi terdesak).
- Begitu pula halnya fitrah manusia tidak menerima jika disuruh menyembah hewan atau sesama manusia.
Bukti-bukti Dalil Fitrah:
- Ilmu-ilmu Dasar (مَبَادِئُ الْعِلْمِ الضَّرُوْرِيَّةُ)
Ada ilmu-ilmu dasar yang seseorang mengetahuinya dengan sendirinya tanpa perlu pengamatan dan penelitian. Ilmu ada dua: (1) ilmu yang dihasilkan melalui pengamatan dan (2) ilmu-ilmu dasar yang diketahui secara otomatis tanpa melalui pengamatan.([4]) Contoh ilmu dasar tersebut seperti:
- Akibat timbul karena sebab.
- Satu lebih sedikit daripada tiga.
- Yang lebih ringan dan lebih kecil lebih mudah diangkat daripada yang lebih berat dan lebih besar.
- Tidak mungkin tergabung dua hal yang Misalnya, tidak mungkin seseorang menggambar bulatan yang bersegi tiga, atau segitiga yang bersegi empat. Tidak mungkin seseorang naik dan sekaligus turun. Tidak mungkin sesuatu berstatus ada dan sekaligus tiada.
Berangkat dari ilmu-ilmu dasar tersebut barulah seseorang bisa mendapatkan ilmu dari hasil pengamatan. Jika tanpa ilmu-ilmu dasar tersebut maka pengamatan tidak akan menghasilkan ilmu, karena tidak ada dasar pijakan untuk mengamati dan menilai.
Ilmu-ilmu dasar inilah menunjukan adanya Pencipta karena sudah tertanam sejak awal pada akal manusia.([5])
- Nilai-nilai akhlak (دَلِيْلُ الأَخْلاَقِ)
Manusia di seluruh dunia dengan berbagai perbedaan suku dan jenisnya, semuanya secara umum memiliki kecondongan untuk suka dan memuji sifat serta perbuatan yang baik, seperti kejujuran, kedermanan, suka menolong dan lain-lain. Sebaliknya, mereka juga secara umum benci dengan kejahatan dan kezaliman. Sekalipun mereka tidak pernah belajar secara khusus tentang hal-hal tersebut. Ini semua menunjukan adanya fitrah yang Allah tanamkan dalam hati mereka untuk memiliki insting mengenal kebaikan dan keburukan, serta mencintai kebaikan dan membenci keburukan.
Kalangan ateis berusaha menolak kenyataan adanya “nilai” yang telah terpatri dalam jiwa setiap manusia, bahkan terpatri dalam jiwa para ateis tersebut. Mereka berusaha menipu diri mereka sendiri dengan menyatakan bahwa penilaian tersebut sekadar nisbi (relatif) belaka. ([6])
Sebagian mereka ada yang sampai mengatakan bahwa berhubungan seksual dengan mahram atau hewan itu boleh-boleh saja, tergantung penilaian masing-masing. Sifatnya relatif. Coba tanyakan kepadanya, “Bagaimana jika ada yang merampas hartamu, atau memperkosa putrimu, apakah engkau akan tetap bersikeras bahwa kejahatan semacam itu sifatnya relatif?!”
- Insting (دَلِيْلُ الْغَرَائِزِ)
Insting serta naluri manusia dan hewan itu bermacam-macam. Di antaranya dalam hal ketertarikan kepada lawan jenis. Adanya ketertarikan antara hewan jantan terhadap hewan betina dari yang sejenisnya, meskipun ada dari jenis lain yang lebih indah. Ini semua menunjukan ada yang menanamkannya/memfitrahkannya kepada segenap makhluk, yaitu Sang Pencipta.
Berikut ini adalah hal-hal yang menunjukkan eksistensi Sang Pencipta, sekaligus menjadi sanggahan bagi kalangan ateis:
- Manusia laki-laki secara naluri umumnya bersyahwat kepada wanita. Yang menakjubkan, seorang lelaki tidak bersyahwat kepada ibu kandung atau saudarinya, tidak sebagaimana kepada para wanita lainnya, sekalipun ibu dan saudarinya tersebut fisiknya lebih menarik. Siapakah yang menjadikan ini semuanya? Tentu Pencipta.
- Seorang bayi yang baru lahir, ketika ditempelkan mulutnya ke puting susu ibunya maka ia langsung menyedot air susu ibunya. Siapakah yang mengajari sang bayi tersebut? Seandainya seluruh profesor di dunia ini berkumpul untuk mengajari sesuatu yang sederhana kepada bayi yang baru lahir itu maka mereka tidak akan mampu.
- Siapakah yang mengajari burung-burung untuk terbang jauh pada waktu tertentu menuju tempat tertentu?
- Siapa yang mengajari hewan-hewan untuk bertahan hidup? Kenapa mereka tidak memilih mati saja agar lepas dari penat kehidupan?
- Siapa yang mengajari kecintaan yang luar biasa pada seorang ibu terhadap anaknya? Seorang ibu bisa begitu bersabar mengandung anaknya selama sembilan bulan, bersabar bertarung dengan kematian tatkala melahirkan, bersabar dalam merawat sang anak hingga dewasa.
- Lihatlah rahmat yang ada di antara makhluk, bahkan di kalangan hewan yang buas. Siapa yang telah menjadikan seekor singa betina yang begitu buas ternyata begitu rahmat dan sayang kepada anaknya? Nabi bersabda :
جَعَلَ اللَّهُ الرَّحْمَةَ مِائَةَ جُزْءٍ، فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ جُزْءًا، وَأَنْزَلَ فِي الأَرْضِ جُزْءًا وَاحِدًا، فَمِنْ ذَلِكَ الجُزْءِ يَتَرَاحَمُ الخَلْقُ، حَتَّى تَرْفَعَ الفَرَسُ حَافِرَهَا عَنْ وَلَدِهَا، خَشْيَةَ أَنْ تُصِيبَهُ
“Allah menjadikan rahmat (ciptaanNya) 100 bagian. Allah menahan 99 bagian, dan Allah turunkan 1 bagian di bumi. Dari 1 bagian inilah para makhluk saling merahmati, hingga seekor kuda mengangkat kakinya dari anaknya, agar tidak menginjaknya.” ([7])
Semua insting ini telah Allah ciptakan dan fitrahkan kepada para makhluknya. Ketika Fir’aun bertanya kepada Nabi Musa dan Harun álaihimas salam, فَمَنْ رَبُّكُمَا يَا مُوسَى “Siapakah tuhan kalian berdua wahai Musa?”
Nabi Musa álaihis salam berkata: رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى “Tuhan kami adalah yang memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS Thaha: 50)
Di antara petunjuk tersebut adalah insting yang Allah tanamkan kepada para makhluk agar bisa menjalankan kehidupannya. Ibnul-Jauzi berkata tentang firman Allah ثُمَّ هَدَى “Kemudian memberinya petunjuk”:
ثَلَاَثَة أَقْوَالٍ: أَحَدُهَا: هَدَى كَيْفَ يَأْتِي الذَّكَرُ الأُنْثَى… وَالثَّانِي: هَدَى لِلْمَنْكَحْ وَالْمَطْعَمِ وَالْمَسْكَنِ، .. وَالثَّالِثُ: هَدَى كُلَّ شَيْءٍ إِلَى مَعِيْشَتِهِ
“Ada tiga pendapat dalam hal ini. Pertama: Allah memberi insting (petunjuk) bagaimana jantan mendatangi/mengawini betina…, Kedua: Allah memberi petunjuk untuk kawin, mencari makan, dan mencari tempat tinggal…. Ketiga: Allah memberi petunjuk kepada segala makhluk untuk mencari rezekinya.” ([8])
Allah juga berfirman:
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ، ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).’” (QS al-Nahl: 68-69)
Dalil-dalil Akal (الدَّلاَئِلُ الْعَقْلِيَّةُ) terhadap Ayat-ayat Allah
Dalil-dalil dimaksud disebutkan dalam al-Quran dengan الآيَاتُ ayat-ayat Allah (tanda-tanda kebesaran Allah). Yaitu, dengan menggunakan akal, ketika menyaksikan ciptaan-ciptaan Allah maka akal akan menunjukan adanya Allah, bahkan sekaligus keagungan Allah.([9])
Selain dengan dalil fitrah, adanya Allah juga bisa diketahui dengan dalil akal. Sebagian orang bisa saja dengan fitrahnya mengakui adanya Allah, akan tetapi akalnya menolak hal tersebut, karena terkena begitu banyaknya syubhat.
Banyak dalil akal yang menunjukan adanya Allah. Namun secara umum dalil-dalil akal selalu dibangun dengan “ilmu-ilmu dasar” yang tidak bisa ditolak, seperti ilmu dasar “sebab akibat” dan ilmu dasar التَّرْجِيْحُ بِغَيْرِ مُرَجِّحٍ لاَ يُمْكِنُ “tidaklah mungkin merajihkan sesuatu tanpa sebab.”
Sifat dalil-dalil akal yang ditunjukan oleh al-Quran umumnya simpel dan mudah dipahami siapapun, serta tidak menggunakan premis-premis yang panjang, rumit dan bertele-tele.
Secara umum, “sesuatu yang ada” itu terdiri dari dua jenis: ada yang bisa dilihat langsung dan ada yang tidak kelihatan (gaib). Adapun yang kelihatan maka keberadaanya bisa diketahui dengan melihatnya secara langsung. Adapun yang tidak kelihatan (gaib) maka keberadaannya bisa diketahui dengan cara “dikabarkan/diberitahu” oleh orang yang melihatnya atau dengan atsar/dampak dari keberadaan sesuatu yang gaib tersebut (دَلِيْلُ الأَثَرِ عَلَى المُؤَثِّرِ)
Adapun dalil pengabaran maka hanya bisa diterima oleh orang-orang yang agamais, karena pengabaran tersebut datang dari para Rasul yang menyebutkan bahwa Pencipta itu ada. Para agamais percaya dengan kejujuran dan kebenaran para Rasul. Sementara non agamais belum mau menerima dalil pengabaran. Mereka hanya bisa diajak diskusi dengan dalil “dampak keberadaan sesuatu yang gaib tersebut.”
Di antara dalil-dalil akal yang menunjukan adanya Allah dengan melihat “dampak keberadaan Allah” adalah:
Pertama: Dalil penciptaan (دَلِيْلُ الْإِيْجَادِ وَالْخَلْقِ)([10])
Alam semesta terdiri atas dua jenis makhluk.
Pertama: Yang bisa dilihat dengan langsung oleh manusia huduts-nya (kemunculannya), yaitu makhluk-makhluk tersebut dulunya tidak ada, lalu ada, lalu sirna. Hal ini seperti hewan, tumbuhan, dan manusia itu sendiri.
Kedua: Yang tidak bisa dilihat langsung oleh manusia kemunculannya, seperti: langit, bintang, bulan dan matahari. Namun dengan mengiaskannya (menganalogikannya) dengan makhluk-makhluk jenis pertama tersebut, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa seluruh jenis makhluk mengalami huduts: “dari tidak ada menjadi ada”.
Di antara menguatkan analogi itu adalah, bahwa benda-benda langit tersebut selalu beredar secara teratur dan tidak pernah keluar dari aturannya. Ini menunjukkan bahwa benda-benda langit terebut diatur dan diadakan. Segala sesuatu yang diatur pasti ada yang mengaturnya.([11])
Kenyataan itu, jika ditinjau berdasarkan “ilmu-ilmu dasar”, yaitu segala sesuatu akibat pasti ada sebabnya, maka kesimpulannya adalah, bahwa tidak mungkin ada huduts (kemunculan, kejadian dari tiada menjadi ada), melainkan ada muhdits: “yang menjadikan/mengadakan”, yaitu Sang Pencipta.([12])
Di antara bukti penguat akan argumentasi ini adalah, manusia tidak mampu untuk menciptakan seperti ciptaan Allah. Allah memang menjadikan manusia mampu untuk membuat makanan, mobil, pesawat dan lain-lain, namun itu sekadar mengubah bentuk dari yang sebelumnya sudah ada menjadi bentuk yang lain. Manusia tidak mampu untuk menciptakan bahan-bahan dari hal-hal di atas, misalnya: ikan dan biji-bijian untuk pembuatan makanan, begitu pula misalnya bahan besi, alumunium dan baja, untuk pembuatan mobil dan pesawat.
Kedua : Dalil “perhatian dan keselarasan” (دَلِيْلُ الْعِنَايَةِ)
Maksud dari dalil ini adalah tentang apa yang kita lihat dari perhatian Allah terhadap ciptaanNya, terutama manusia. Kita melihat keselarasan antara alam semesta dengan kondisi manusia. Begitu pula keselarasan antara makhluk yang satu dengan yang lainnya. Semua itu tidak mungkin terjadi kecuali ada yang memberi perhatian dan menciptakan keselarasan tersebut.
Contohnya pada alam semesta ada malam dan siang, matahari dan rembulan, musim-musim, hujan, sungai, laut, hewan-hewan yang mudah dikonsumsi serta dipelihara, dan seterusnya, yang semua itu ternyata selaras dengan kondisi manusia.
Ibnu Rusyd memberi gambaran tentang dalil ini, beliau berkata:
“Jika seseorang melihat kepada sesuatu yang riil. Ternyata ia telah diletakan dengan bentuk tertentu, ukuran tertentu, pas dengan manfaat yang diperlukan, sesuai dengan tujuan yang diharapkan -yang sekiranya tidak diletakkan dengan kondisi demikian atau diubah kondisinya niscaya tidak akan tercapai manfaat yang diharapkan- maka tentu orang itu meyakini bahwa semua kondisi, ukuran, dan bentuk tersebut tidak mungkin terjadi dengan tiba-tiba dan dengan sendirinya.
Contohnya seseorang melihat sebuah batu yang ada di atas tanah. Ternyata batu tersebut dalam bentuk spesifik yang bisa dijadikan tempat duduk. Ternyata batu itu dibentuk dengan posisi dan ukuran tertentu. Tentu orang itu yakin bahwa batu tersebut ada yang membuat, yang ia telah membentuk batu tersebut dengan ukurannya dan diletakkan pada posisi yang pas. Lain halnya jika ia mendapati sebuah batu terlempar di tanah tanpa ada bentuk, ukuran dan posisi tertentu, maka ia bisa memastikan bahwa keberadaan batu tersebut hanyalah kebetulan (tanpa direncanakan) dan tanpa ada yang membuatnya.
Demikian juga halnya dengan alam semesta. Amatilah isi alam semesta, seperti matahari, rembulan, dan seluruh benda-benda langit, yang merupakan sebab terjadinya 4 musim, sebab adanya siang dan malam, sebab adanya hujan, air, dan angin, juga merupakan sebab ditempatinya sebagian lokasi bumi, baik oleh manusia maupun makhluk-makhluk hidup lainnya. Begitu pula kondisi bumi yang selaras dengan penghuninya, baik manusia maupun seluruh hewan darat. Demikian juga sungai dan laut yang selaras dengan hewan-hewan dan tumbuhan-tumbuhan air. Juga udara yang cocok untuk hewan-hewan terbang -dimana jika salah satu dari rangkaian ini rusak maka tidak akan ada makhluk-makhluk yang bisa hidup- maka dengan demikian seorang bisa memastikan bahwa semua keselarasan itu tidak mungkin terjadi dengan sendirinya atau kebetulan. Namun semua keselarasan tersebut pasti ada yang membuatnya dan memberi perhatian kepadanya. Tidak mungkin itu terjadi tanpa ada yang membuatnya.”([13])
Allah berfirman:
أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا، وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا، وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا، وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا، وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا، وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا، وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا، وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا، وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا، لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتً، وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung-gunung sebagai pasak? Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, dan Kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kukuh, dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat.” (QS al-Naba`: 6-16)
Ketiga: Dalil kesempurnaan ciptaan Allah (دَلِيْلُ الْإِتْقَانِ وَالْإِحْكَامِ)
Sebenarnya ini adalah cabang dari dalil sebelumnya (dalil al-‘inayah). Sebab di antara sisi pendalilan dalil al-‘inayah adalah keselarasan masing-masing makhluk tersebut secara sempurna. Namun di sini disebutkan secara terpisah pendalilannya agar lebih jelas.
Seluruh ciptaan Allah dalam kondisi sempurna. Allah berfirman:
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا ۖ مَّا تَرَىٰ فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ مِن تَفَاوُتٍ ۖ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِن فُطُورٍ
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Allah Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” (QS al-Mulk: 3)
Adapun firman Allah tersebut, مَّا تَرَىٰ فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ مِن تَفَاوُتٍ “Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Allah Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang,” maka terdapat dua penafsiran yang datang dari para salaf tentang apa yang dimaksud dengan “melihat pada ciptaan Allah”. Tafsiran pertama, maksudnya adalah ciptaan Allah secara umum. Artinya semua ciptaan Allah sempurna dan seimbang. Apa saja yang kita lihat segalanya tampak sempurna, Allah menciptakan segalanya sempurna sesuai dengan porsinya masing-masing. Tidak ada yang aneh pada masing-masing ciptaan Allah. Manusia dengan bentuknya yang sempurna, gunung-gunung dengan bentuknya yang sempurna, laut dengan kesempurnaannya, pepohonan yang rindang, hewan-hewan dengan bentuknya yang khas, dan seterusnya. Semuanya diciptakan sesuai porsinya masing-masing. Tafsiran kedua, maksudnya adalah melihat langit secara spesifik. Allah menciptakan langit dengan begitu kukuh, bersusun dan banyak benda-benda yang diletakkan di langit. Itu semua Allah ciptakan dengan sempurna dan kita tidak melihat ada keganjilan atau keanehan dalam ciptaan-ciptaan Allah. ([14])
Kemudian Allah berfirman, فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِن فُطُورٍ “Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?” Penggalan ayat ini dijadikan dalil untuk menguatkan pendapat sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan ciptaan Allah dalam ayat ini adalah langit. Meskipun demikian, kedua tafsiran di atas benar. Baik itu langit atau ciptaan Allah yang lain -secara umum- maka semuanya sempurna dan tidak ada cacat. Karena hukum asal khilaf dalam Ilmu Tafsir adalah khilaf tanawwu’ (khilaf yang tidak bertentangan suatu pendapat dengan pendapat yang lain).
Allah juga berfirman:
صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ
“(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kukuh tiap-tiap sesuatu.” (QS al-Naml: 88)
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya.” (QS al-Sajdah: 7)
Oleh karenanya Allah menciptakan segala sesuatu dengan kadar dan ukurannya. Allah berfirman:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS al-Qamar: 49)
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS al-Furqon: 2)
وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ
“Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.” (QS al-Ra’d: 8)
قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS al-Thalaq: 3)
Lihatlah bagaimana hewan lalat yang begitu sempurna penciptaannya, tidak ada kekurangan sama sekali. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ ۖ وَإِن يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَّا يَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ۚ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS al-Hajj: 73)
Lihat pula langit yang begitu kukuh tegak tanpa tiang dan tidak berlubang sama sekali. Lihat pula manusia, bagaimana begitu sempurna penciptaannya. Pada organ-organ tubuh manusia sungguh terlalu banyak keajaiban.
Allah berfirman:
وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan.” (QS al-Dzariyat: 21)
Lihatlah saraf mata menuju otak yang jumlahnya demikian banyak. Saraf tersebut ibarat kabel-kebel yang menghantarkan apa yang dilihat oleh mata untuk dicerna oleh otak. Masing-masing saraf tersebut memiliki fungsi yang berbeda, ada saraf untuk warna-warna tertentu dan saraf untuk bentuk-bentuk tertentu. Jika ada sebagian saraf yang bermasalah ibarat seperti ada kabel yang bermasalah sehingga gambar yang dihasilkan tidak sempurna.
Tentu tidak sangat logis jika menyatakan bahwa semua kesempurnaan pada makhluk terjadi dengan sendirinya dan kebetulan. Mungkin masih masuk akal kalau kebetulan itu terjadi pada satu atau dua item saja, dari sekian puluh ribu item. Namun kalau ribuan item, bahkan seluruh item itu sempurna, maka itu menunjukkan adanya pencipta secara pasti.
Keempat: Dalil pengaturan (دَلِيْلُ التَّسْخِيْرِ وَالتَّدْبِيْرِ)
Ini juga sejatinya masih merupakan bagian dari dalil al-‘inayah, yang kemudian disebutkan secara spesifik agar lebih jelas pendalilannya. Sisi pendalilannya adalah: Tunduknya alam semesta dengan aturan-aturan alam (yang disebut dengan al-sunan al-kauniyyah), dan sama sekali tidak bisa keluar dari aturan-aturan tersebut menunjukan adanya Pencipta yang membuat dan menjalankan aturan-aturan alam tersebut. Amatilah pergerakan matahari, bulan dan bintang-bintang di langit yang senantiasa konsisten dari sejak dahulu kala. Allah berfirman:
وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-A’raf: 54)
وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
“Dan Allah menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya).” (QS al-Ra’d: 2)
وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْأَنْهَارَ، وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (QS Ibrahim: 32-33)
وَذَلَّلْنَاهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوبُهُمْ وَمِنْهَا يَأْكُلُونَ، وَلَهُمْ فِيهَا مَنَافِعُ وَمَشَارِبُ أَفَلَا يَشْكُرُونَ
“Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka; maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya mereka makan. Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur.” (QS Yasin: 72-73)
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS al-Mulk: 15)
Karena itu kita tidak boleh membenarkan ucapan peramal bahwa kejadian alam dan nasib orang terpengaruh dengan gerakan bintang atau benda langit tertentu. Buktinya dalam satu waktu (di saat bintang tertentu muncul) ternyata lahir berbagai macam manusia yang nasib mereka berbeda-beda, ada yang nantinya kaya, ada yang miskin, ada yang berumur panjang, ada yang berumur pendek, ada yang baik dan ada yang buruk.
Demikian juga dalam waktu yang sama bisa terjadi kecelakaan pesawat atau kapal, sementara penumpangnya dari berbagai macam suku, asal, agama, status sosial, dan lain-lainnya. Namun mereka mengalami nasib musibah yang sama. Ini semua menunjukan bahwa yang mengatur alam semesta bukanlah benda-benda langit melainkan Sang Pencipta yang mengaturnya dengan al-sunan al-kauniyyah tersebut.([15])
Kelima : Dalil pengkhususan (دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ)
Di antara bukti eksistensi Tuhan adalah adanya makhluk dengan kekhususannya masing-masing. Sebagai contoh kecil, misalnya air mata berasa asin, air telinga pahit, dan air mulut tawar.([16])
Air mata asin. Kandungannya meliputi leusinenkefalin, adrenokortikotropik, dan prolaktin, serta beberapa elektrolit, protein pengikat lemak dan immunoglobulin A, yang keseluruhannya menghasilkan rasa asin. Fungsi utamanya adalah menjaga kondisi mata agar tetap stabil. Protein pengikat lemak itu sendiri membuat lapisan terluar yang terdiri dari lapisan terluar yang terdiri dari lapisan lemak yang fungsinya melindungi kelembaban mata agar tetap utuh.
Air telinga pahit. Ia merupakan hasil sekresi dari kelenjar-kelenjar di dalam telinga yang bersifat basa dan lengket. Cairan yang pahit ini menjadikan serangga tidak tertarik untuk masuk ke dalam lubang telinga. Kalaupun dimasuki oleh serangga maka menjadikan mereka tidak tahan berlama-lama di dalamnya dan segera keluar. Cairan yang cenderung lengket ini juga menjadikan benda-benda yang masuk terperangkap dan dapat dikeluarkan sebagai kotoran telinga.
Air liur mulut berasa tawar. Ini karena memang fungsi mulut sebagai indra perasa. Tentu jika air liur kita berasa akan menjadikan kita tidak nyaman dalam menyantap makanan dan minuman. Ingat ketika kita sakit, dimana air liur terasa pahit, maka minum air tawar pun terasa pahit dan sangat tidak nyaman.
Semua ini tidak mungkin terjadi dengan sendirinya atau kebetulan. Ini menunjukan adanya Sang Pencipta yang membuat kekhasan yang berbeda-beda untuk fungsi yang berbeda-beda pula.
Jika Allah berkehendak tentu Allah bisa menciptakan dengan model selain yang kita saksikan sekarang ini. Allah berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang dan kalau Dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu.” (QS al-Furqan: 45)
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ، أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ، لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ
“Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya? Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur.” (QS al-Waqi’ah: 68-70)
Ini semua menunjukan bahwa kekhasan kondisi dan bentuk dari makhluk-makhluk yang ada memang dikehendaki oleh Pencipta secara spesifik.
Keenam: Dalil keindahan (دَلِيْلُ الْجَمَالِ)
Seorang teolog yang bernama Clark H. Pinnock pernah berkata, “Cara terbaik menghadapi ateisme adalah dengan melihat keindahan yang Tuhan ciptakan, bukan dengan perdebatan logika.” ([17])
Sisi pendalilannya, jika alam semesta ini terjadi dengan sendirinya tanpa Tuhan, atau terjadi tanpa tujuan, maka tidak akan ada keindahan padanya.
Namun kenyataannya alam semesta penuh dengan keindahan. Jika alam semesta sekadar eksis begitu saja, maka adanya langit pun cukup, akan tetapi Allah menjadikan bintang-bintang sebagai perhiasan langit.
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ
“Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang.” (QS al-Shaffat: 6)
Bahkan Allah menghiasi alam bukan hanya dengan adanya matahari, namun juga disertai dengan indahnya sunset dan sunrise.
Jika yang penting eksistensi bisa berlanjut maka yang penting ada oksigen untuk manusia, misalnya. Kenyataannya selain adanya oksigen, Allah juga memberikan aroma-aroma harum yang luar biasa. Demikian juga jika yang penting ada tumbuh-tumbuhan, maka tidak perlu adanya warna-warni bunga yang indah. Jika yang krusial adalah sekadar berketurunan, maka tidak perlu ada kecantikan dan ketampanan lawan jenis.
Allah berfirman:
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS al-Kahf: 7)
Oleh karena itu, teori evolusi tidak bisa menjelaskan teori keindahan. Sebab jika tujuan makhluk hidup hanya untuk mempertahankan eksistensinya maka tidak perlu adanya keindahan.
Allah menjadikan hewan-hewan dengan bentuk yang indah. Lihatlah bagaimana burung-burung dengan warna yang indah, ikan-ikan hias dengan keindahan yang luar biasa. Jika hanya sekedar untuk bertahan hidup maka tidak perlu hewan-hewan tersebut memiliki keindahan-keindahan tersebut. Allah berfirman:
وَالْأَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ، وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ
“Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.” (QS al-Nahl: 5-6)
Jangankan hewan-hewan hias, bahkan hewan ternak saja memiliki keindahan, dari sisi variasi bentuknya, selain juga jumlahnya, yang pemiliknya berbangga dan bergaya dengan hewan-hewannya tersebut.
Ketujuh: Dalil mukjizat para Nabi
Di antara ayat-ayat Allah yang menunjukan rububiyyah Allah adalah mukjizat-mukjizat para Nabi dan Rasul. Karena hakikat mukjizat adalah خَرْقٌ لِلْعَادَةِ (kejadian luar biasa) yang di luar dari ranah hukum alam yang umumnya berlaku. Ini menunjukan adanya Rabb yang menjalankan mukjizat tersebut. Karena Rabb itulah yang telah membuat hukum alam, maka hanya Dialah yang mengadakan sesuatu di luar dari hukum alam tersebut.
Allah berfirman:
وَرَسُولًا إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنِّي قَدْ جِئْتُكُمْ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ أَنِّي أَخْلُقُ لَكُمْ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ فَأَنْفُخُ فِيهِ فَيَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَأُحْيِ الْمَوْتَى بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُونَ وَمَا تَدَّخِرُونَ فِي بُيُوتِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): ‘Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.’” (QS Ali ‘Imran: 49)
فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ، وَأَزْلَفْنَا ثَمَّ الْآخَرِينَ، وَأَنْجَيْنَا مُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَجْمَعِينَ، ثُمَّ أَغْرَقْنَا الْآخَرِينَ، إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُؤْمِنِينَ
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa: ‘Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain tersebut. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat) dan tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman.” (QS al-Syu’ara`: 63-67)
فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ أَجْمَعِينَ، إِلَّا عَجُوزًا فِي الْغَابِرِينَ، ثُمَّ دَمَّرْنَا الْآخَرِينَ، وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ، إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُؤْمِنِينَ
“Lalu Kami selamatkan ia beserta keluarganya semua, kecuali seorang perempuan tua (isterinya), yang termasuk dalam golongan yang tinggal. Kemudian Kami binasakan yang lain. Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu) maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu. Sesunguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti-bukti yang nyata. Dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman.” (QS al-Syu’ara`: 170-174)
وَيَا قَوْمِ هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آيَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ
“Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat.” (QS Hud: 64)
Terlebih lagi mukjizat-mukjizat yang berkaitan secara spesifik dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya:
Pertama: Akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang luar biasa merupakan mukjizat tersendiri. Tidak mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki akhlak seperti itu kecuali ada Tuhan yang menjadikan beliau demikian.
Kedua: Mukjizat al-Quran yang diturunkan kepada beliau, yang hingga sekarang tidak ada yang mampu yang mendatangkan seperti al-Quran padahal al-Quran turun dengan bahasa Arab.
Ketiga: Nabi mengabarkan tentang banyak hal yang tidak mungkin diketahui oleh manusia biasa, seperti mengabarkan tentang hal-hal gaib masa lalu, hal-hal gaib masa depan, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan sains, yang ternyata baru terbukti kebenarannya di zaman modern sekarang.
Keempat: Mukjizat-mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lainnya yang banyak, yang telah dikumpulkan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka, seperti dalam kitab al-Dalail al-Nubuwwah, karya al-Baihaqi.
Penguat-Penguat Dalil-Dalil Adanya Tuhan
Pertama: Adanya perubahan-perubahan dan tahapan-tahapan yang dialami oleh manusia di luar kekuasannya, yang ia tidak bisa mengatur tahapan-tahapan tersebut, itu menunjukan bahwa ada Yang Maha mengatur perubahan-perubahan tersebut. Seseorang melihat dirinya dari tahapan bayi, lalu remaja, lalu dewasa, lalu tua dan ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah perubahan-perubahan tersebut.
Bahkan ia dulunya adalah air mani,([18]) lalu menjadi segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, lalu ada tulang-belulang, dan seterusnya hingga ia menjadi manusia.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ، ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ، ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS al-Mu`minun: 12-14)
Ia tidak mampu untuk mengatur dirinya sendiri dari kondisi lemah (air mani) menuju kondisi yang semakin sempurna (menjadi daging yang bertulang).
Demikian pula ketika ia telah menjadi sempurna menjadi seorang pemuda yang sangat kuat maka ia tidak mempu untuk mencegah dirinya dari kondisi yang semakin melemah dan semakin tua. Allah berfirman:
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS al-Rum: 54)
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى مِنْ قَبْلُ وَلِتَبْلُغُوا أَجَلًا مُسَمًّى وَلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).” (QS Ghafir: 67)
Kedua: Adanya berbagai model manusia dengan berbagai macam warna kulit mereka serta bervariasinya sifat dan tabiat mereka. Bahkan dua anak yang lahir dari rahim yang sama, dari ayah dan ibu yang sama ternyata bisa berbeda warna kulitnya dan tabiatnya. Yang satu sangat lembut penyabar sementara yang satunya kasar dan pemarah, misalnya. Jika semua terjadi hanya karena sekedar natural (alami) saja maka tentu semua manusia harusnya sama baik warna kulit maupun tabiatnya.
Ketiga: Adanya ratusan bahasa di alam ini. Padahal tidak ada guru khusus yang mengajari mereka. Apalagi dengan jutaan kosakata dengan beragam penggunaannya. Begitu pula dengan anak-anak yang diberi kemampuan menguasai bahasa dalam usia yang dini.
Allah berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah penciptaan langit dan bumi serta beragamnya bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS al-Rum: 22)
Keempat: Lihatlah tetumbuhan yang berasal dari biji yang kecil dan lunak namun jika diletakan di tanah maka bisa membelah tanah lalu keluar dan berubah menjadi pohon yang besar serta menghasilkan buah yang banyak. Bahkan pepohonan dan buah itu pun beraneka ragam jenis dan rasanya.
Allah berfirman:
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَى طَعَامِهِ، أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا، ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا، فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا، وَعِنَبًا وَقَضْبًا، وَزَيْتُونًا وَنَخْلًا، وَحَدَائِقَ غُلْبًا، وَفَاكِهَةً وَأَبًّا، مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ
“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya, sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS ‘Abasa: 24-32)
Kelima: Lihatlah air hujan yang turun ke bumi, bagaimana ia turun dalam bentuk air tawar dan bukan air asin. Ia turun dalam bentuk butiran-butiran, yang tiap butirannya tidak bercampur dengan butiran yang lain, baik di udara maupun di bumi. Sekiranya butiran-butiran tersebut bergabung di udara lalu turun ke bumi tentu dapat menyebabkan bencana.
Allah berfirman:
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ، أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ، لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ
“Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum, Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya, Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur.” (QS al-Waqi’ah: 68-70)
Demikian juga Allah menurunkan hujan sesuai kadar keperluan manusia. Jika Allah tidak menahan sebagian hujan, tentu akan terjadi banjir besar dan membinasakan manusia.([19])
Keenam: Lihatlah matahari yang bersinar sejak sekian abad lalu. Energi panas yang sampai ke bumi selalu konstan dan stabil, padahal jaraknya begitu jauh. Siapakah yang menyediakan sumber energi yang bertahan demikian lama? Begitu pula matahari yang bertahan di orbitnya, jika matahari maju sedikit maka penghuni bumi akan mati kepanasan, dan sebaliknya jika matahari menjauh sedikit tentu penghuni bumi akan mati kedinginan. Tidak mungkin semua itu terjadi dengan sendirinya.
Ketujuh: Lihatlah langit yang begitu luas dan tinggi tanpa tiang yang menyangganya. Bahkan tetap kukuh meskipun ditempati oleh benda-benda langit yang begitu besar dan berat. Allah berfirman:
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (QS al-Dzariyat: 47)
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat.” (QS al-Ra’d: 2)
Kedelapan: Lihlatlah angin, bertiup dengan teratur. Ada angin yang merangkai awan, ada angin yang memindahkan posisi awan, dan ada angin yang menggerakan awan untuk menurunkan hujan. Ada angin yang menjalankan perahu dan kapal. Seandainya seluruh manusia berkumpul untuk membuat angin yang berhembus di lautan maka mereka tidak akan mampu.
Allah berfirman:
اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاءِ كَيْفَ يَشَاءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ فَإِذَا أَصَابَ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
“Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.” (QS al-Rum: 48)
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ يَشَاءُ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ
“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (QS al-Nur: 43)
Kesembilan: Lihatlah bumi, Allah menjadikannya sebagai hamparan yang mudah untuk ditinggali. Kenapa bumi tidak semuanya berupa bebatuan yang cadas atau semuanya berupa lautan?
Kemudian tanah di bumi ada yang menahan (menyerap) air dan menumbuhkan tetumbuhan, ada pula tanah yang tidak bisa menahan dan tidak bisa menyerap air, serta ada pula tanah yang menahan air namun tidak menumbuhkan tetumbuhan seperti danau dan yang semisalnya. Siapakah yang menjadikan beragam model tanah tersebut?
Kesepuluh: Lihatlah burung-burung bagaimana bisa berterbangan di udara. Sementara ada hewan-hewan unggas yang bentuknya mirip dengannya juga memiliki sayap (seperti ayam dan bebek) namun tidak bisa terbang. Allah berfirman:
أَلَمْ يَرَوْا إِلَى الطَّيْرِ مُسَخَّرَاتٍ فِي جَوِّ السَّمَاءِ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا اللَّهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas. Tidak ada yang menahannya (sehingga tidak jatuh) selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.” (QS al-Nahl: 79)
Kesebelas: Betapa banyak orang yang doanya dikabulkan seketika itu juga. Siapakah yang mendengarkan dan mengabulkan permohonan-permohonan tersebut?
Kedua Belas: Betapa sering seseorang bertekad melakukan sesuatu namun tiba-tiba berubah tekadnya. Ini semua menunjukan tekadnya pun ada yang mengaturnya. Seorang Badui pernah ditanya, “Dengan apa engkau mengenal Tuhanmu?” Ia menjawab, بِنَقْضِ الْعَزَائِمِ وَصْرْفِ الْهِمَمِ “Dengan batalnya tekad dan semangat yang berpaling (secara tiba-tiba).”
Ketiga Belas: Siapa yang menjadikan kucing yang buas ketika berburu tikus menjadi begitu lembut dan dekat dengan manusia? Siapakah yang menjadikan onta yang begitu kuat namun menjadi lembut dan tunduk diperintah dan dinaiki oleh manusia? Jawaban semua itu tentu hanyalah Allah Sang Pencipta.
أَدِلَّةُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّةِ
Kedua: Dalil Tuhan Tunggal Tidak Berbilang
Dalil-dalil tentang tauhid Rububiyyah (keesaan Tuhan) bisa kita klasifikasikan menjadi dua:
Pertama: Dalil Fitrah
Sebagaimana fitrah telah menunjukan akan adanya Tuhan, maka demikian juga fitrah menunjukan bahwa Tuhan tersebut esa dan tidak berbilang. Karena itu, ketika dalam kondisi genting umumnya hati manusia akan bergantung kepada satu arah saja, yaitu kepada Tuhan yang satu. Tidaklah hati mereka mencari tuhan yang berbilang, hati mereka akan mencari dan bergantung kepada satu kekuatan terbesar yang mereka yakini bisa menghilangkan kegentingan mereka. Allah berfirman:
وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia.” (QS Al-Isra`: 67)
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS al-‘Ankabut: 65)
Keesaan tuhan yang ditunjukan oleh fitrah juga diisyaratkan oleh Nabi Yusuf ‘alaihis salam dalam perkataannya:
يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ، مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu.” (QS Yusuf: 39-40)
Pertanyaan Nabi Yusuf ‘alaihis salam kepada kedua penghuni penjara tersebut adalah dalam rangka untuk menggerakan kembali fitrah mereka untuk berpikir: manakah yang lebih baik, apakah Tuhan yang esa ataukah yang berbilang? Selanjutnya Yusuf menegaskan bahwa apa yang mereka sembah tersebut hanyalah tuhan-tuhan yang dinama-namakan saja yang tidak ada hakikatnya.([20])
Kedua: Dalil Akal
Kalangan Ahli Kalam mengajukan sebuah dalil logika (‘aqliy) untuk menunjukan keesaan Tuhan dan tidak berbilang. Dalil itu disebut dengan دَلِيْلُ التَّمَانُعِ “Dalil Tamanu’ (saling menghalangi)” atau دَلِيْلُ الْمُمَانَعَةِ. Masih terdapat pro dan kontra di kalangan ulama terkait pendalilan ini. Namun yang benar, dalil ‘aqliy tersebut memang benar dan tepat sasaran.([21])
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
Secara bahasa التَّمَانُعُ artinya saling menghalangi, yaitu jika ada dua tuhan maka tuhan yang satu akan mencegah tuhan lainnya yang ingin menjalankan keinginannya, demikian pula sebaliknya.
Dengan asumsi kondisi adanya dua tuhan di atas, maka terdapat 3 (tiga) alternatif kemungkinan:
- Pertama: Kedua tuhan tersebut sama-sama saling menguasai satu sama Ini tidak mungkin, karena tekumpul dua hal yang kontradiktif (menguasai dan dikuasai) dalam satu waktu.
- Kedua: Kedua tuhan tersebut sama-sama tidak saling menguasai satu sama lain, maka keduanya tidak pantas untuk menjadi tuhan karena sama-sama lemah
- Ketiga: Salah satu dari tuhan-tuhan tersebut menguasai tuhan-tuhan yang lainnya, maka yang berhak menjadi tuhan hanyalah yang menguasai.
Adapun berkaitan dengan التَّمَانُعُ, maka dengan asumsi kedua tuhan tersebut memiliki kuasa yang sama, namun berbeda keinginan, lalu keduanya terfokus pada satu objek tertentu yang sama. Misalnya, tuhan pertama ingin menggerakan benda tertentu sedangkan tuhan kedua justru ingin mendiamkannya, maka dalam hal ini terdapat 3 kemungkinan:
- Pertama: Kedua tuhan tersebut berhasil memenuhi kehendaknya.
Ini mustahil karena menggabungkan dua hal yang kontradiktif. Tidak mungkin benda tersebut bergerak sekaligus diam dalam waktu yang sama. Jika objeknya adalah alam semesta maka tentu tidak akan terjadi alam semesta.
- Kedua: Kedua tuhan tersebut gagal memenuhi kehendak mereka.
Dengan demikian keduanya tidak pantas jadi tuhan karena ketidakmampuannya, serta juga terjadi dua hal yang kontradiktif, yaitu benda tersebut bergerak dan diam dalam satu waktu.
- Ketiga: Pada benda tersebut terjadi salah satunya saja, yaitu diam atau bergerak. Ini juga tidak mungkin karena adalah bentuk التَّرْجِيْحُ بِلاَ مُرَجِّحٍ (tarjih tanpa sebab). Karena bagaimana mungkin bisa menyatakan salah satu dari kedua tuhan tersebut terwujudkan keinginannya sedangkan keduanya memiliki kuasa yang sama.([22])
Namun jika demikian asumsinya, maka yang terpenuhi kehendaknya itulah yang berhak menjadi tuhan, sementara yang tidak terpenuhi kehendaknya maka tidak pantas menjadi tuhan karena kelemahan dan ketidakmampuannya.
Ada kemungkinan keempat, yaitu kedua tuhan tersebut saling bersepakat dalam kehendak mereka. Namun ini juga menunjukan bahwa kedua tuhan tersebut tidak pantas untuk jadi tuhan karena keduanya saling membutuhkan bantuan yang lainnya.
Ibnu Taimiyyah berkata:
فَكُلٌّ مِنْ الْمُشْتَرِكَيْنِ فِي مَفْعُولٍ فَأَحَدُهُمَا مُفْتَقِرٌ إلَى الْآخَرِ فِي وُجُودِ ذَلِكَ الْمَفْعُولِ؛ مُحْتَاجٌ إلَيْهِ فِيهِ وَإِلَّا لَمْ يَكُونَا مُشْتَرِكَيْنِ؛ لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا إمَّا أَنْ يَكُونَ مُسْتَقِلًّا بِالْفِعْلِ مُنْفَرِدًا بِهِ؛ أَوْ لَا يَكُونَ فَإِنْ كَانَ مُسْتَقِلًّا بِهِ مُنْفَرِدًا بِهِ امْتَنَعَ أَنْ يَكُونَ لَهُ فِيهِ شَرِيكٌ أَوْ مُعَاوِنٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُسْتَقِلًّا مُنْفَرِدًا بِهِ لَمْ يَكُنْ الْمَفْعُولَ بِهِ وَحْدَهُ بَلْ بِهِ وَبِالْآخَرِ وَلَمْ يَكُنْ هُوَ وَحْدَهُ كَافِيًا فِي وُجُودِ ذَلِكَ الْمَفْعُولِ بَلْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الْآخَرِ فِي وُجُودِ ذَلِكَ الْمَفْعُولِ مُفْتَقِرًا إلَيْهِ فِيهِ
“Masing-masing dari dua pihak yang bermitra untuk satu objek tentu maka salah satu pihak membutuhkan yang lain untuk mewujudkan objek tersebut. Jika tidak demikian maka tentu keduanya tidak bermitra. Karena pilihannya, masing-masing dari kedua pihak itu mampu membuat objek tersebut secara mandiri atau tidak mampu. Jika mampu, maka ia tidak bermitra. Namun jika ia tidak mampu, maka objek itu tidak akan terjadi karena adanya satu pihak saja, melainkan dengan kerja sama pihak lain. Jadi Ia tidak bisa bersendirian dalam mewujudkan objek tersebut, namun membutuhkan pihak lain.”([23])
Kedua tuhan itu memiliki sifat-sifatnya masing-masing. Jika sifat-sifatnya sama maka salah satunya tentu yang lebih sempurna, karena kalau keduanya sama sempurna maka tidak ada tuhan, sebab tuhan harus yang paling sempurna. Adapun jika sifatnya berbeda-beda berarti maka keduanya juga tidak pantas menjadi tuhan karena ada zat lain yang memiliki sifat sempurna yang tidak ia miliki.
Selain itu, jika ada pencipta yang lain selain Allah maka mana Rasul yang diutusnya? mana kitab yang diturunkannya? Adapun Allah maka telah mengutus Rasul-Nya dan menurunkan Kitab-Nya.
Adapun dalil-dalil akal dari al-Quran yang menunjukan tunggalnya Pencipta, maka berkisar pada tiga ayat:([24])
Pertama: Firman Allah:
مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” (QS al-Mu`minun: 91)
Ayat ini sangat jelas menunjukan tauhid Rububiyyah (Tunggalnya Pencipta). Adapun sisi pendalilannya adalah Allah menyatakan bahwa Allah tidak punya anak, dan tidak ada juga sesembahan bersama Allah. Sebab jika ada, maka konsekuensinya sesembahan-sesembahan tersebut juga memiliki sifat Rububiyyah (di antaranya sifat “mencipta”, sebagaimana disebutkan dalam ayat tesebut). Dengan asumsi demikian, maka akan melazimkan dua hal:
Pertama: Sebagaimana firman Allah: لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ “masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya.” Telah diketahui bahwa itu tidak terjadi. Kita lihat alam hanya satu dan tidak ada makhluk-makhluk lain dengan tuhan mereka.
Kedua: Sebagaimana firman Allah: وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ “dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.” Yakni, mustahil tuhan-tuhan tersebut sama dalam qudrah (kuasa)nya. Pasti ada yang terkuat diantara mereka dan akhirnya ialah yang berkuasa dari semuanya. Dialah yang berhak untuk menjadi tuhan.([25]) Jika digabungkan dua kelaziman di atas, maka ayat ini selaras untuk dijadikan sebagai hujah atas Dalil Tamanu’ yang diutarakan oleh Ahli Kalam.([26])
Kedua: Firman Allah:
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ´Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS al-Anbiya`: 22)
Ibnu Rusyd menjelaskan sisi pendalilan dari ayat ini: Secara logika, jika ada dua raja yang masing-masing melakukan tindakan yang sama dengan raja lainnya, maka tidak mungkin keduanya menghasilkan sebuah kota. Karena tidak mungkin dua pelaku yang sejenis memunculkan satu perbuatan. Jika kedua raja tersebut sama-sama bertindak maka kota tersebut akan rusak, kecuali salah satu raja bekerja dan yang lain menganggur. Tentu sifat “menganggur” tersebut bukanlah sifat tuhan. Karenanya kapan terkumpul dua tindakan dari jenis yang sama pada satu tempat yang sama maka melazimkan rusaknya tempat tersebut.([27]) Demikian penjelasan Ibnu Rusyd.
Namun Ibnu Taimiyyah tidak sependapat dan beliau mengkritik penjelasan Ibnu Rusyd itu.([28]) Karena ayat ini datang dalam konteks membantah kaum musyrik Arab yang menyembah sesembahan-sesembahan lain di samping mereka juga menyembah Allah. Perhatikan konteks ayat-ayat sebelum dan sesudahnya sebagai berikut:
وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ، يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ، أَمِ اتَّخَذُوا آلِهَةً مِنَ الْأَرْضِ هُمْ يُنْشِرُونَ، لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ، لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ، أَمِ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ هَذَا ذِكْرُ مَنْ مَعِيَ وَذِكْرُ مَنْ قَبْلِي بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الْحَقَّ فَهُمْ مُعْرِضُونَ
“Dan kepunyaan-Nya segala yang di langit dan di bumi. Malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih, mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari bumi, yang dapat menghidupkan (orang-orang mati). Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ´Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai. Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah: ‘Tunjukkanlah hujahmu! (Al-Quran) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku.’ Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling.” (QS al-Anbiya`: 19-24)
Telah diketahui bahwa kaum musyrik meyakini keesaan Sang Pencipta, bahwa Allah satu-satunya pencipta. Kesyirikan mereka adalah mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah. Mereka menjadikan sesembahan-sesembahan tersebut sebagai perantara antara mereka dengan Allah sebagaimana yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’” (QS al-Zumar: 3).
Demikian juga Ahli Kalam berlebih-lebihan sehingga berusaha mengkaitkan ayat ini dengan Dalil Tamanu’. Padahal ayat ini tidak ada kaitannya. Menurut Ahli Kalam, ayat ini menjelaskan bahwa jika ada banyak pencipta maka terjadi kerusakan langit dan bumi. Ternyata kerusakan tersebut tidak terjadi, maka ini menunjukan bahwa Pencipta hanya tunggal.
Namun tafsiran seperti ini tidak selaras dengan Dalil Tamanu’. Sebab kalau selaras, maka ayatnya seharusnya berbunyi: لَمْ يُوجَدَا “niscaya langit dan bumi tidak tercipta,”([29]) namun kenyataannya Allah berfirman: لَفَسَدَتَا “niscaya langit dan bumi akan rusak.”
Sebagian ulama Ahlus Sunnah([30]) mengambil jalan tengah dengan tetap menganggap bahwa ayat ini juga tetap mengisyaratkan kepada tunggalnya Pencipta, dengan sisi pendalilan yang mirip dengan Dalil Tamanu’, meskipun tidak sama persis dengan yang diutarakan oleh Ahli Kalam. Sisi pendalilannya lebih sederhana dan lebih mudah dicerna oleh masyarakat. Yaitu, jika ada dua pencipta yang mengatur alam ini maka pasti akan ada kekacauan dalam aturan-aturan alam. Sebagaimana yang kita saksikan di dunia ini, adanya dualisme kepemimpinan menyebabkan kekacauan. Ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd, namun beliau tidak menganggap ini sebagai Dalil Tamanu’.
Ketiga: Firman Allah:
قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا، سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَقُولُونَ عُلُوًّا كَبِيرًا
“Katakanlah: ‘Jikalau ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai ‘Arsy.’ Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya.” (QS al-Isra`: 42-43)
Sisi pendalilan ayat ini: jika ada tuhan-tuhan selain Allah bersama Allah, niscaya mereka saling baku hantam dan berebut untuk menguasai. Dengan demikian kandungan ayat ini sama dengan kandungan firman Allah:
مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” (QS al-Mu`minun: 91)
Ini adalah pendapat sebagian ahli tafsir seperti al-Baghawi dan Abu al-Sa’ud dalam tafsir mereka.
Adapun Ibnu Taimiyyah, maka beliau memandang maksud ayat ini adalah jika terdapat tuhan-tuhan selain Allah maka mereka pun akan berusaha mencari kedekatan kepada Allah dan mereka akan beribadah kepada Allah dan memohon kepada Allah. Lantas mengapa kaum musyrik menyembah mereka, sementara kalaupun mereka ada, maka mereka akan menyembah Allah dan mencari kedekatan kepadaNya.([31])
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa ilmu dasar tentang adanya tuhan lebih darurat (lebih mudah dan kuat terpatri dalam hati) daripada pengetahuan tentang ilmu-ilmu dasar sains (seperti 1 lebih kecil dari 2, atau satu adalah sepertiga dari 3). Buktinya, seseorang lebih butuh untuk merealisasikan konsekuensi adanya Tuhan dengan terdorong hatinya untuk berdoa dan memohon kepada pencipta, daripada merenungkan konsekuensi dari “1 lebih kecil daripada 3”. Adapun bahwa “satu lebih kecil dari tiga”, atau “tidak mungkin tergabung dua hal yang kontradiktif” hampir-hampir tidak terbetik dalam pikiran banyak orang apalagi menjalankan konsekuensinya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, “adanya Allah” sejatinya tidak membutuhkan dalil. Ibnu Taimiyyah berkata:
كَيْفَ يُطْلَبُ الدَّلِيلُ عَلَى مَنْ هُوَ دَلِيلٌ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ؟ … وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأَذْهَانِ شَيْءٌ … إِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ إِلَى دَلِيلٍ
“Bagaimana dituntut untuk mencari bukti/argumen untuk menunjukan sesuatu yang merupakan bukti atas segala sesuatu…. Sungguh, bukanlah hal benar dalam pikiran, jika jelasnya siang hari masih membutuhkan bukti.” Lihat penukilan Ibnul-Qayyim dalam Madarij al-Salikin, vol. I, hlm. 82.
Namun setan berusaha untuk mengeleminasi fitrah tentang eksistensi Tuhan dari dada manusia dengan menghembuskan syubhat-syubhat. Lihat Majmu’ al-Fatawa, vol. II, hlm. 15-16, dan Bayan Talbis al-Jahmiyyah, vol. IV, hlm. 562, 585.
Oleh karena itu, penjelasan dan pemaparan dalil-dalil rububiyyah Allah adalah dalam rangka menepis syubhat-syubhat yang disebarkan oleh kalangan ateis.
Ketika fitrah terserang oleh syubhat-syubhat tersebut maka ia pun terkotori, sehingga perlu pemaparan tentang dalil-dalil rububiyyah (adanya Tuhan), bukan untuk menanamkan fitrah, melainkan untuk mengembalikan fitrah kepada asalnya yang bersih dan mengakui adanya Pencipta. Ibnu Taimiyyah berkata:
الإِقْرَارُ بِالصَّانِعِ فِطْرِيٌّ ضَرُوْرِيٌّ بَدِيْهِيٌّ لاَ يَجِبُ أَنْ يَتَوَقَّفَ عَلَى النَّظَرِ وَالاِسْتِدْلاَلِ
“Pengakuan adanya pencipta adalah perkara fitrah yang otomatis dan spontan, yang muncul di hati tanpa harus melalui pengamatan dan penelitian.” Lihat Bayan Talbis al-Jahmiyyah, vol. IV, hlm. 570.
Namun:
وَإِنْ كَانَتْ ضَرُوْرِيَّةً فِي حَقِّ أَهْلِ الْفِطَرِ السَّلِيْمَةِ فَكَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ يَحْتَاجُ فِيْهَا إِلَى النَّظَرِ، وَالإِنْسَانُ قَدْ يَسْتَغْنِي عَنْهُ فِي حَالٍ وَيَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي حَالٍ
“Meskipun ia otomatis ada pada orang-orang yang fitrahnya masih bersih, akan tetapi banyak orang yang perlu pengamatan untuk mengetahui adanya pencipta. Seseorang terkadang memerlukan pengamatan dan penelitian pada suatu kondisi, namun tidak memerlukannya dalam kondisi lainnya.” Lihat Dar` Ta’arudh al-‘Aql wan-Naql, vol. III, hlm. 303-304.
Oleh karena itu:
فَمَنْ حَصَلَتْ لَهُ الْمَعْرِفَةُ أَوِ الإِيْمَانُ … بِغَيْرِ النَّظَرِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ، وَمَنْ لَمْ تَحْصُلْ لَهُ الْمَعْرِفَةُ وَلاَ الإِيْمَانُ إِلاَّ بِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ
“Siapa yang memiliki makrifat (mengakui adanya Allah) dan keimanan … tanpa pengamatan maka tidak wajib baginya untuk melakukan pengamatan. Begitu pula siapa yang tidak memiliki makrifat dan iman kecuali dengan pengamatan maka wajib baginya pengamatan tersebut.” Dar` Ta’arudh al-‘Aql wan-Naql, vol. VII, hlm. 405.
Dengan demikian, perkara pertama yang wajib diketahui oleh mukalaf itu berbeda-beda berdasarkan kondisi mukalaf tersebut. Lihat Dar` Ta’arudh al-‘Aql wan-Naql, vol. VIII, hlm. 16.
Adapun jika diperlukan “pengamatan” maka banyak “pengamatan/teori” yang bisa mengantarkan sesorang untuk mengenal adanya pencipta. Semua pengamatan/teori yang mengantarkan hal tersebut maka teori tersebut benar. Karena itu tidak dibenarkan untuk membatasi pada satu teori/pengamatan tertentu untuk mengenal adanya pencipta. Lihat Majmu’ al-Fatawa, vol. XVI, hlm. 338.
Jika seseorang telah memiliki makrifat lantas ia menempuh pengamatan yang benar dan ditunjukan oleh syariat maka makrifatnya akan semakin kuat. Lihat al-Intishar li Ahlil-Hadits, Abul-Muzhaffar al-Sam’ani, hlm. 60.
Namun juga perlu diwaspadai pengamatan-pengamatan (teori-teori tentang adanya Tuhan) yang diutarakan oleh sebagian ahli bidah, yang kadang justru tidak mengantarkan pada keimanan tentang adanya Pencipta, bahkan sebaliknya mengantarkan pada keraguan adanya pencipta, atau bahkan bisa berkonsekuensi pada penafian Sang Pencipta.
([2]) HR al-Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658.
([3]) Lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah dalam Dar-ut-Ta’arudh, vol. VIII, hlm. 383, dan vol. IV, hlm. 322.
([4]) Al-Ghazzali menjelaskan bahwa ilmu-ilmu dasar seperti ini tidak butuh dalil untuk membutikan kebenarannya. Jika ilmu-ilmu dasar ini pun harus membutuhkan dalil maka ujung semua erkara tidak pernah mencapai kebenaran. Sebab “dalil yang menunjukan kebenaran tersebut” juga masih membutuhkan dalil untuk membuktikan kebenarannya, dan begitu seterusnya tanpa ujung. Al-Ghazzali berkata:
فَإِنَّ الأَوَّلِيَاتِ لَيْسَتْ مَطْلُوْبَةً فَإِنَّهاَ حَاضِرَةٌ، وَالْحَاضِرُ إِذَا طُلِبَ فُقِدَ وَاخْتَفَى
“Sesungguhnya perkara-perkara mendasar tidak perlu dituntut, karena ia sudah hadir (jelas). Sesuatu yang hadir (jelas) jika dituntut maka justru menjadi samar dan hilang.” Lihat Munqidz min al-Dhalal, hlm. 48.
([5]) Problemnya jika ada ateis mengingkari ilmu-ilmu dasar tersebut. Contohnya, ada yang menyatakan, “Alam ini tadinya tidak ada, lalu tiba-tiba terjadi dengan sendirinya tanpa Pencipta.” Tentu hal ini tidak masuk akal. Sebab di antara ilmu dasar adalah “tidak mungkin sesuatu terjadi tanpa sebab”, sehingga ketika ia menolak ilmu dasar tersebut maka ia berani menyatakan bahwa alam terjadi dengan tiba-tiba, dari tidak ada lantas menjadi ada, tanpa ada sebab yang menyebabkan perubahan status dari ketiadaan menjadi ada. Ini tentu tidak logis. Lebih tidak logis lagi, berdasarkan konsekuensi pandangan mereka: Ketiadaan bisa menciptakan keberadaan!
Ada kisah yang cukup lucu tentang perdebatan seorang ateis dengan seorang agamais. Sang agamais bertanya, “Apakah Anda percaya dengan ilmu-ilmu dasar ini?” Ateis itu menjawab, “Tidak. Saya tidak percaya!” Sang agamais lalu berkata, “Bahkan, sejatinya engkau percaya.” Ateis itu tetap bersikeras, “Sudah saya tegaskan: Saya tidak percaya!” Agamais itu kembali menimpali, “Justru itu menunjukkan bahwa engkau sejatinya percaya!” Maksudnya, ateis itu meyakini bahwa “percaya” dan “tidak percaya” merupakan dua hal kontradiktif, yang tidak mungkin digabungkan. Sedangkan hal tersebut (yaitu: dua hal kontradiktif tidak mungkin digabungkan), merupakan salah satu postulat dalam ilmu-ilmu dasar yang coba diingkari oleh ateis tadi. Pada akhirnya ateis itu pun kalah debat. Lihat Syumu’ al-Nahar, ‘Abdullah al-‘Ujairi, hlm. 51.
([6]) Pada kesempatan lainnya, terjadi perdebatan antara seorang ateis dan agamais. Sang agamais bertanya, “Menurut Anda, mana yang lebih baik surga atau neraka yang membakar?” Ateis itu menjawab, “Tentu neraka.” Sang agamis pun bertanya lebih lanjut, “Apa timbangan yang menjadi dasar penilaianmu?” Ateis itu terjebak. Ia telah memberikan jawaban yang tentu saja tidak benar dan menyelisihi fitrahnya. Kalaupun ia bersikeras bahwa menurutnya ia telah menjawab dengan benar, maka ia tidak akan bisa mengelak bahwa jawabannya itu didasarkan atas kemampuannya menilai mana yang dianggapnya baik dan mana yang dianggap buruk, dimana hal tersebut sudah tertanam dalam dirinya. Itulah bagian dari fitrah.
([7]) HR Al-Bukhari no. 6000, dan Muslim no. 2752.
([8]) Lihat Zad al-Masir, vol. III, hlm. 161.
([9]) Ayat-ayat Allah yaitu makhluk-makhluk ciptaan Allah seperti alam semesta, pepohonan, hewan-hewan, gunung, langit, bumi, matahari, rembulan, dan lain-lain, yang menunjukan adanya Sang Pencipta. Allah menamakan makhluk-makhluk tersebut dengan ayat-ayat, karena ayat artinya adalah tanda atau bukti yang menunjukan akan adanya Allah. Allah berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS al-Baqarah: 164)
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali ‘Imran: 190)
وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الْأَرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS al-Ra’d: 3)
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ، وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ، وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ، وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ، وَمِنْ آيَاتِهِ يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَيُحْيِي بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ، وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ تَقُومَ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةً مِنَ الْأَرْضِ إِذَا أَنْتُمْ تَخْرُجُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).” (QS al-Rum: 20-25)
([10]) Dalil (argumentasi) ini dikenal dengan nama-nama yang lain seperti دَلِيْلُ الْاِخْتِرَاعِ dan دَلِيْلُ الْحُدُوْثِ. Perlu diingat dalil al-huduts yang dimaksud الدَّلِيْلُ بِالْحُدُوْثِ عَلَى الْمُحْدِثِ adalah pendalilan dengan “kejadian yang baru” (dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada) yang menunjukan adanya “yang menjadikan.” Pendalilan ini berbeda dengan الدَّلِيْلُ بِالأَعْرَاضِ عَلَى الْحُدُوْثِ, “Pendalilan dengan adanya a’radh (aksiden) untuk menunjukan adanya kebaharuan (huduts).” Hal ini dikarenakan kebaharuan makhluk merupakan perkara aksiomatis yang sangat jelas (badahi) yang langsung bisa ditangkap, sehingga tidak memerlukan lagi argumentasi untuk hal itu. Contoh: “turunnya hujan” itu sangat jelas menunjukan bahwa hujan itu baharu, karena akal langsung bisa menangkap bahwa hujan sebelumnya tidak ada, lalu turun, dan nantinya berkahir. Dengan demikian, tidak perlu mencari dalil: “Apa bukti bahwa hujan itu حَادِثٌ hadits (baharu, sebelumnya tidak ada menjadi ada)?” Sebagaimana halnya manusia berasal dari mani, buah-buahan berasal dari pohon, munculnya tetumbuhan dari tanah, dan yang semisalnya, maka huduts-nya secara otomatis langsung bisa diketahui. Inilah pendalilan al-Quran, yaitu berdalil dengan huduts (dari tidak ada menjadi ada) untuk menunjukan adanya muhdits (penciptanya).
Allah berfirman:
قَالَ كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا
“Tuhan berfirman: ‘Demikianlah.’ Tuhan berfirman: ‘Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesunguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali.’” (QS Maryam: 9)
أَوَلَا يَذْكُرُ الْإِنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ يَكُ شَيْئًا
“Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sedang ia tidak ada sama sekali.” (QS Maryam: 67). Lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah dalam Dar` al-Ta’arudh, vol. VII, hlm. 219.
Adapun para pegiat ilmu Kalam, maka mereka membahas: الدَّلِيْلُ عَلَى الْحُدُوْثِ “Apa dalilnya bahwa alam ini baharu?” Kemudian mereka terjebak dengan دَلِيْلُ الأَعْرَاضِ dan pada akhirnya mereka justru menolak sifat-sifat Allah. Ini karena penyimpulan dalil a’radh (aksiden) bahwa adanya التَّغَيُّرُ “perubahan” merupakan dalil kebaharuan sesuatu tersebut. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa Pencipta tidak boleh mengalami “perubahan”, sehingga Tuhan harus statis. Lalu mereka pun menolak sifat-sifat ikhtiyariyyah (fi’liyyah, perbuatan-perbuatan Tuhan). Padahal secara akal, namanya perubahan tidak melazimkan adanya huduts (dalam arti dari tidak ada menjadi ada), apalagi sampai dijadikan suatu kelaziman yang absolut.
([11]) Lihat penjelasan Ibn al-Rusyd dalam al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah, hlm. 150-151.
([12]) Sang Pencipta (المُحْدِثُ) tersebut bisa ada dua kemungkinan:
Pertama: Pencipta yang sempurna ilatnya (sebabnya, kausalitasnya) sehingga ma’lul (akibat, efek kausalitasnya, yaitu makhluk) muncul bersamaan dengan ilat. Konsekuensi pandangan ini:
- Alam semesta (makhluk) bersifat qadim (azali) bersama dengan azalinya sang pencipta. Ini tentu bertentangan dengan realita. Sebab kita tahu betapa banyak isi alam ini yang dimulai dari ketiadaan dan tidak azali.
- Sang Pencipta adalah مُوْجِبٌ بِذأتِهِ, yaitu secara konsekuensi zatnya harus menciptakan makhluknya. Ini melazimkan Tuhan menciptakan tanpa kehendak. Sebab mau tidak mau Tuhan disertai makhluk sebagai kelaziman zatnya. Realitanya tidak demikian. Perbedaaan-perbedaan makhluk dengan keistimewaannya masing-masing menunjukan bahwa Sang Pencipta memiliki kehendak pada keberadaan makhluknya.
- Jika ilat (sebab) dan ma’lul (akibat) muncul bersamaan, maka tidak akan diketahui mana sebab dan mana akibat. Karena keduanya muncul bersamaan, dan bisa jadi malah terjadi keterbalikan: sebab menjadi akibat, dan akibat menjadi sebab.
Kedua: Pencipta tersebut sempurna ilatnya namun memiliki iradah (kehendak), sehingga Sang Pencipta dan makhluknya eksistensinya tidaklah ada secara bersamaan. Meskipun kemampuan Tuhan untuk mencipta sudah ada sejak azali, akan tetapi eksistensi makhluk itu barulah menjadi ada, setelah Tuhan menghendaki keberadaannya (dari yang sebelumnya tiada). Berbeda halnya dengan eksistensi Tuhan yang selalu ada dan tidak pernah tiada. Inilah pandangan yang tepat. Jika Allah menciptakan sesuatu, maka Allah berkehendak sesuatu itu ada, lalu menciptakannya, hingga terjadilah sesuatu ciptaan itu.
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (QS Yasin: 82)
Lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah dan bantahan beliau terhadap para filsuf yang menyatakan keazalian alam dalam al-Radd ‘alal-Manthiqiyyin, hlm. 147-149, Majmu’ al-Fatawa, vol. IX, hlm. 139-140, dan al-Shafadiyyah, vol. I, hlm. 10-16.
([13]) Lihat al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah, karya Ibnu Rusyd, hlm. 194-195.
([14]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi, vol. XVIII, hlm. 208.
([15]) Lihat: al-Adillah al-‘Aqliyyah al-Naqliyyah, Sa’ud al-‘Arifi, hlm. 237-238.
([16]) Hal ini telah disinggung oleh Ibnu Taimiyyah dalam al-Nubuwwat, vol. II, hlm. 922, dan Minhaj al-Sunnah an-Nabawiyyah, vol. V, hlm. 415-516.
([17]) Most Moved Mover: A Theology of God’s Openness (Carlisle: Paternoster Press, 2002), p. 2, sebagaimana dikutip oleh Dr. Sami ‘Amiri dalam Barahin Wujudillah, hlm. 677.
([18]) Bahkan air mani pun yang ada dalam tubuh manusia juga bukan ciptaan manusia dan di luar kendalinya. Allah berfirman:
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تُمْنُونَ، أَأَنْتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ
“Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah (air mani) yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?” (QS al-Waqi’ah: 58-59)
Di antara bukti bahwa air mani adalah ciptaan Allah sehingga manusia adalah ciptaan Allah dan bukan ciptaan orang tuanya:
- Seorang manusia sejak kecil tidak bisa mengeluarkan air mani. Setelah ia mencapai usia dewasa maka ia pun bisa memproduksi air mani. Jadi air mani tersebut muncul bukan karena kehendaknya.
- Betapa banyak orang yang menggauli istrinya -sementara ia normal dan istrinya pun normal- namun tidak bisa menghasilkan anak. Sebagian mereka hanya bisa memiliki 2 orang anak, misalnya. Padahal mereka tidak mengikuti program KB.
- Demikian pula ketika seorang lelaki telah mencapai masa tua maka air maninya berkurang dan akhirnya terputus produksi air maninya.
- Seorang lelaki tatkala menggauli istrinya ia tidak bisa menghendaki anak sesuai dengan kemauannya. Ia tidak bisa mengatur anaknya lelaki atau perempuan, tampan atau tidak, cerdas atau tidak, putih atau berkulis sawo atau hitam. Ia pun tidak bisa mengatakan bahwa anak ini akan hidup selama sekian puluh tahun, misalnya.
Ini semua menunjukan bahwa manusia adalah ciptaan Allah bukan ciptaan orang tuanya. Allah yang menentukan bentuk manusia tersebut, kapan ajalnya, berapa rizkinya, dan seterusnya.
([19]) Adapun terjadinya banjir di berbagai negeri maka itu adalah taqdir Allah yang penuh hikmah, di antaranya:
- Agar manusia tahu bahwasanya hujan itu ada yang mengaturnya, yaitu Allah. Allah mampu mengubah aturannya dengan menahannya, sehingga terjadi kemarau, atau menurunkannya secara berlebihan, sehingga terjadi banjir.
- Sebagai bentuk peringatan kepada sebagian manusia agar kembali kepada Allah dan berhenti dari dosa-dosa yang mereka lakukan.
- Atau sebagai hukuman bagi sebagian manusia sebagaimana Allah timpakan azab kepada kaum Nabi Nuh.
([20]) Lihat al-Adillah al-‘Aqliyah al-Naqliyah ‘ala Ushul al-I’tiqad, Sa’ud al-‘Arifi, hlm. 294.
([21]) Ibnu Taimiyyah berkata:
الَّذِي ذَكَرَهُ النُّظَّارُ عَنِ الْمُتَكَلِّمِيْنَ، الَّذِي سَمَّوْهُ دَلِيْلَ التَّمَانُعِ، بُرْهَانٌ تَامٌّ عَلَى مَقْصُوْدِهِمْ، وَهُوَ امْتِنَاعُ صُدُوْرِ الْعَالَمِ عَنِ اثْنَيْنِ وَإِنْ كَانَ هَذَا هُوَ تَوْحِيْدُ الرُّبُوْبِيَّةِ. وَالْقُرْآنُ يُبَيِّنُ تَوْحِيْدَ الإِلَهِيَّةِ وَتَوْحِيْدَ الرُّبُوْبِيَّةِ…بَلْ هُوَ بُرْهَانٌ صَحِيْحٌ عَقْلِيٌّ
“Argumentasi yang disebutkan oleh para peneliti dari Ahli Kalam, yang mereka namakan dengan Dalil Tamanu’ merupakan bukti yang sempurna tepat dengan tujuan mereka, yaitu kemustahilan munculnya alam semesta dari dua tuhan. Meskipun dalil ini berkaitan dengan tauhid Rububiyyah, sementara al-Quran menjelaskan tauhid Uluhiyyah sekaligus tauhid Rububiyyah…. Namun, Dalil Tamanu’ adalah dalil akal yang benar.” Lihat Dar`ut-Ta’arudh, vol. IX, hlm. 354.
([22]) Lihat Tamhid al-Awail, al-Baqillani, hlm. 45, Syarh al-Maqashid, al-Taftazani, vol. IV, hlm. 35, Ma’alim Ushul al-Din, al-Razi, hlm. 79-80, dan al-Mawaqif, al-Iji, hlm. 279.
([23]) Lihat Majmu’ al-Fatawa, vol. XX, hlm. 176.
Ada sejumlah kritik yang dilontarkan oleh sebagian ulama yang kontra dengan Dalil Tamanu’ tersebut. Intinya, mereka menyatakan adanya dua tuhan tidak melazimkan terjadinya Tamanu’: keduanya tidak harus bertengkar dan berkontradiksi. Mereka menyebutkan adanya kemungkinan lain, di antaranya:
Pertama: Kedua tuhan tersebut bersepakat. Tuhan pertama menciptakan sebagian objek, dan tuhan lainnya menyelesaikan bagian yang lainnya dari objek tersebut.
Kemungkinan ini disebutkan oleh Ibnu Rusyd. Beliau berkata, “Mungkin saja kedua tuhan tersebut bermitra. Ini lebih layak bagi para tuhan itu ketimbang berselisih. Jika keduanya bersepakat untuk menciptakan alam, maka seperti dua pencipta yang bekerjasama dalam membuat satu objek ciptaan. Jika perkaranya demikian maka harus dikatakan bahwa perbuatan keduanya merupakan bentuk kerjasama karena pada objek yang sama. Kecuali jika dikatakan “bisa jadi tuhan pertama melakukan sebagian objek, dan yang kedua menciptakan bagian lain dari objek tersebut.” Atau bisa jadi keduanya menciptakan objek secara bergantian (الْمُدَاوَلَةُ/التَّدَاوُلُ).” Lihat al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah, hlm. 157-158.
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa kemungkinan cara “bergantian” tidak pas karena menunjukan kekurangan pada kedua tuhan tersebut. Yang memungkinkan menurut beliau adalah kerjasama di antara kedua tuhan namun bukan dengan cara “bergantian mencipta”. Sehingga dengan penjelasan ini Ibnu Rusyd tidak setuju dengan Dalil Tamanu’.
Namun sebagaimana telah lalu penjelasan Ibnu Taimiyyah bahwa kemungkinan ini tidak bisa membatalkan argumentasi Dalil Tamanu’. Sebab Kerjasama itu menunjukan bahwa keduanya saling membutuhkan, dan yang berkebutuhan demikian tidak pantas menjadi tuhan. Lihat Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, vol. XX, hlm. 176.
Kedua: Bisa jadi qudrah (kemampuan) masing-masing tuhan mampu untuk mewujudkan kehendaknya, dengan syarat tuhan yang lain tidak ikut menciptakan objek yang sama bersamaan dengan itu. Ini tidaklah menjatuhkan qudrah dari masing-masing tuhan.
Kemungkinan ini pun tidak tepat. Artinya, sejatinya masing-masing tuhan itu tidak mampu. Sebab qudrah-nya tidak mutlak melainkan bersyarat, yaitu dengan syarat tuhan yang lain tidak mengganggu dan membiarkannya mencipta. Ini menunjukan bahwa tuhan tersebut tidak memiliki kemampuan secara independen, melainkan ia hanya bisa mencipta apabila dizinkan oleh tuhan yang lain. Dengan demikian kemungkinan ini juga tidak bisa membatalkan Dalil Tamanu’. Lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah dalam Dar`ut-Ta’arudh, vol. IX, hlm. 362.
Ketiga: Masing-masing tuhan tersebut memiliki ilmu tentang sisi-sisi maslahat dan sisi-sisi mudarat, yang dengan ilmu tersebut keduanya saling menghormati dan tidak berselisih. Di antaranya masing-masing tahu bahwa jika tuhan yang satu telah menciptakan suatu objek maka ia tidak akan mengganggu untuk mencipta lawan dari objek tersebut.
Kemungkinan ini tidak tepat karena pembahasan Dalil Tamanu’ adalah jika maslahat antara menggerakan objek dan mendiamkan objek adalah sama, yaitu tuhan yang ingin menggerakan memiliki kemaslahatan yang sama dengan kemaslahatan yang dipandang oleh tuhan yang ingin mendiamkan. Lihat Syarh al-Maqashid, vol. IV, hlm. 36.
Dengan demikian maka Dalil Tamanu’ adalah dalil ‘aqliy yang benar dan bisa digunakan sebagai argumentasi yang menunjukan bahwa tuhan hanyalah satu. Lihat al-Adillah al-‘Aqliyyah al-Naqliyyah, Sa’ud al-‘Arifi, hlm. 301.
Penulis pernah bertemu dengan seorang mualaf yang bercerita bahwa sebab ia masuk Islam karena ia berfikir jika tuhan lebih dari satu, maka setiap keputusan di bumi ini harus dirundingkan oleh tuhan-tuhan tersebut. Tentu ini perkara yang sulit dengan banyaknya keputusan yang diambil dalam setiap saat di alam semesta. Kapan para tuhan tersebut harus berunding? Apakah tidak terjadi diskusi dan perdebatan di antara mereka?
([24]) Lihat al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah, suntingan ‘Abdul-Hamid Badawi, hlm. 155.
([25]) Lihat penjelasan panjang Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj al-Sunnah, vol. III, hlm. 313-325.
([26]) Lihat al-Adillah al-‘Aqliyyah al-Naqliyyah ‘ala Ushul al-I’tiqad, hlm. 332.
([27]) Inilah sisi pendalilan yang diutarakan oleh Ibnu Rusyd dalam al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah, hlm. 155.
([28]) Lihat kritik Ibnu Taimiyyah dalam Dar`ut-Ta’arudh, hlm. IX, hlm. 344.
([29]) Lihat penjelasan Ibnu Abil-‘Izz al-Hanafi dalam Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyah, vol. I, hlm. 40.
([30]) Ini adalah pendapat al-Baghawi dalam Tafsir-nya, vol. V, hlm. 314, Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, vol. V, hlm. 337 dan 491, dimana beliau menganggap ayat ini semakna dengan QS al-Mukminun: 91 yang merupakan Dalil Tamanu’, al-Syaukani dalam Fathul-Qadir, vol. III, hlm. 475, dan al-Sa’di dalam Tafsir-nya, hlm. 521.